TESIS
Oleh
YASIR ARFAN
107011080/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
YASIR ARFAN
107011080/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Nomor Pokok : 107011080
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
Pembimbing Pembimbing
(Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum)(Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, MHum
Anggota : 1. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum
2. Syafruddin S.Hasibuan, SH, MHum
3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
Nama : YASIR ARFAN
Nim : 107011080
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : STATUS KEPEMILIKAN HAK CIPTA ARSITEKTUR
YANG DIBUAT BERDASARKAN HUBUNGAN KERJA (SUATU PENELITIAN DI KOTA MEDAN)
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
belum pernah ada pendaftaran hak cipta arsitektur di Indonesia. Padahal pendaftaran bertujuan untuk mendapatkan catatan formal status kepemilikan hak cipta, terutama untuk mendukung pembuktian dalam hal terjadi sengketa kepemilikan hak cipta. Ketika ciptaan arsitektur dibuat dalam suatu hubungan kerja, dalam prakteknya menjadi tidak jelas pihak mana yang berhak atas kepemilikannya. Siapa yang sebenarnya berhak disebut sebagai pencipta atau pemegang hak cipta pada suatu arsitektur.
Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif analitis, yang menguraikan atau memaparkan sekaligus menganalisis permasalahan mengenai Pendaftaran hak cipta arsitektur yang dibuat berdasarkan hubungan kerja dan mengapa hak cipta arsitektur yang dibuat berdasarkan hubungan kerja di Kota Medan tidak dimanfaatkan/didaftarkan oleh arsitek penciptanya serta bagaimana perlindungan hukum terhadap hak cipta arsitektur yang dibuat berdasarkan hubungan kerja di Kota Medan.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa di Indonesia, pendaftaran ciptaaan bukan merupakan keharusan bagi pencipta atau pemegang hak cipta. Namun surat pendaftaran ciptaan dapat dijadikan sebagai alat bukti awal di pengadilan apabila timbul sengketa di kemudian hari terhadap suatu ciptaan. Disamping itu, tanpa pendaftaranpun hak cipta tetap mendapat perlindungan. Ada beberapa faktor yang membuat hak cipta arsitektur tidak dimanfaatkan/didaftarkan antara lain adalah UUHC kurang memberikan aturan yang memadai bagi ciptaan arsitektur, UUHC tidak mewajibkan pendaftaran hak cipta, kurangnya pemahaman dan kesadaran hukum arsitek tentang hak cipta arsitektur, kurangnya sosialisasi UUHC pada masyarakat arsitektur dan lemahnya penegakan hukum. Selama ini perlindungan terhadap hak cipta arsitektur belum berjalan sebagaimana diharapkan, selain melalui hukum hak cipta para arsitek di dalam praktek juga harus memperkuat perlindungan melalui kontrak. Perlindungan hak cipta arsitekrut melalui hukum kontrak merupakan salah satu jalan keluar yang baik untuk menampung kelemahan pelaksanaan hukum hak cipta selama ini.
Arsitektur perlu diberi perlindungan hukum, yang gunanya terutama untuk menjamin adanya kepastian hak agar para pencipta dapat lebih kreatif untuk menciptakan arsitektur yang lebih baik. Disarankan kepada pihak yang berwenang untuk membuat peraturan perundangan khusus yang menegaskan dan melengkapi UUHC. Jika pendaftaran hak cipta tidak merupakan keharusan, maka perlu dipikirkan tentang upaya apa yang harus dilakukan untuk menarik minat para pencipta untuk mendaftarkan hasil ciptaannya. Kepada arsitek yang bekerja di perusahaan berdasarkan hubungan kerja mulai menanfaatkan secara maksimal hak cipta arsitektur yang telah diberikan UUHC kepada mereka. Disarankan kepada kedua belah pihak agar selalu memasukkan klausula tentang kepemilikan hak cipta arsitektur dalam perjanjian kerjanya. Disamping itu diperlukan usaha yang lebih aktif oleh pemerintah untuk mensosialisasikan UUHC, serta upaya penegakan hukum.
holders. It can be proven through the absence of architecture copyright registration in Indonesia. Actually, registration is intended to obtain a formal record of copyright ownership status, especially to support the evidence in case a dispute of copyright ownernship occurs. When a creation of architecture is made in a working relationship, in practice, who has the right of its ownership becomes unclear. In an architecture issue, it is hard to determine who has the right to be called the creator or copyright owner.
This analytical descriptive study explained and analyzed the problem related to the registration of the copyright of the architecture made based on a working relationship in the City of Medan, and why the architecture made was not utilized/registered by the architect who created it, as well as what legal protection was applied to the copyright of the achitecture made based on a working relationship in the City of Medan.
The result of this study showed that, in Indonesia, to register a creation is a must for the creator or copyright holder. Yet, the letter of registration can be used as an initial evidence in a court of law in case a dispute related to a creation occurs in the future. In addition, without being registered, the copyright keeps being protected. For example, an architec has a creation, it will be more efficient for him/her to make a direct relationship with the company that accepts or needs the creation rather than registering it first. There were several factors causing why the achitecture copyright was not utilized/registered such as the Law on Copyright does require the registration of copyright, the architects do not have enough legal awareness or do not understand much about architecture copyright, the Law on Copyrigt is less socialized to the architecture community, and the weak low enforcement. So far, the protection for architecture copyright has not implemented as expected. In addition to the copyright, in practice, the architects should also strengthen their architecture creation through a contract. The protection of architecture copyright through contract law is one of the good solutions to accommodate the limitation of the implementation of Law on Copyright all this time.
Architecture needs legal protection, especially to guarantee the certainty of right that the creator can be more creative to create a better architecture. The autority is suggested to make a special assertive regulation of legislation to complete the existing Law on Copyright. If the registration of copyright is not a must, it is necessary to think of what to be done to make the creators interested in registering their creations. The architects working for a company based on a working relationship are suggested to start to maximally utilize the architecture copyright given by the Law on Copyright to them. Both parties are suggested to always include the clause of architecture copyright ownership in the work agreement the made. In addition, the government should be more active in socializing Law on Copyright and law enforcement.
Puji dan syukur alhamdulillah kepada Allah SWT, karena dengan berkat hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan thesis ini. Selanjutnya shalawat beserta salam disanjung kepada Nabi Muhammad SAW.
Thesis ini berjudul “STATUS KEPEMILIKAN HAK CIPTA
ARSITEKTUR YANG DIBUAT BERDASARKAN HUBUNGAN KERJA
(SUATU PENELITIAN DI KOTA MEDAN)”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Penulisan Tesis ini dapat selesai dengan adanya bantuan dan dorongan serta bimbingan dari berbagai pihak, Teristimewa sekali ucapan terima kasih kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta yang telah banyak memberikan bantuan material dan spiritual dengan semangat juang yang tinggi, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi.
Ucapan terima kasih secara khusus kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, S.H.,
C.N., M.Hum., dan Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., D.F.M., selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.
Kemudian juga, semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak kolokium, seminar hasil sampai ujian tertutup sehingga penulisan menjadi lebih sempurna dan terarah.
Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya kepada :
kepada Penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.
4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang sangat bermanfaat selama Penulis mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di bangku kuliah.
6. Seluruh Staf/Pegawai di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada Penulis selama menjalani pendidikan.
7. Seluruh responden dan informan yang telah banyak membantu dalam hal pengambilan data dan informasi-informasi penting lainnya yang berkenaan dengan penulisan tesis ini.
8. Rekan-rekan Mahasiswa dan Mahasiswi di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya angkatan tahun 2010 yang telah banyak memberikan motivasi kepada Penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
‘Aalamiin
Medan, Februari 2013 Penulis,
vi
Nama : YASIR ARFAN
Tempat/tanggal lahir : Banda Aceh/16 Mei 1984
Alamat : JL. Rawa Sakti Timur No 39 B
Jeulingke, Banda Aceh
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Status Perkawinan : Belum Kawin
Agama : Islam
II. DATA ORANG TUA
Nama Ayah : Drs. Irfan Kamaruzzaman.
Nama Ibu : Yufaizar, S.Sos.
III. PENDIDIKAN
SD Negeri 22 Banda Aceh Tamat tahun 1996
SMP Negeri 1 Banda Aceh Tamat tahun 1999
SMU Negeri 1 Banda Aceh Tamat tahun 2002
S1 Hukum Universitas Syiah Kuala Tamat Tahun 2009
vii
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR ISTILAH ASING ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penelitian... 10
D. Manfaat Penelitian... 10
E. Keaslian Penelitian ... 11
F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 12
G. Metode Penelitian ... 20
BAB II PENDAFTARAN HAK CIPTA ARSITEKTUR YANG DIBUAT BERDASARKAN HUBUNGAN KERJA ... 26
A. Dasar Hukum Hak Cipta Arsitektur ... 26
B. Pengaturan Hak Cipta Arsitektur Menurut Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002... 28
C. Ruang Lingkup Perlindungan Hak Cipta Arsitektur... 39
D. Konsep/Bentuk Perlindungan Hukum yang dapat didaftarkan bagi Ciptaan Arsitektur ... 51
E. Prosedur Pendaftaran Hak Cipta ... 58
viii
B. Hak Cipta Arsitektur dalam Kontrak Kerja yang Dibuat
Berdasarkan Hubungan Kerja ... 79
C. Faktor Penyebab hak cipta arsitektur yang dibuat Berdasarkan hubungan kerja tidak dimanfaatkan/didaftarkan oleh arsitek penciptanya... 86
BAB IV STATUS KEPEMILIKAN HAK CIPTA ARSITEKTUR YANG DIBUAT BERDASARKAN HUBUNGAN KERJA.... 93
A. Prinsip Kepemilikan dalam Hak Cipta... 93
B. Status Kepemilikan Hak Cipta Arsitektur yang Dibuat berdasarkan Hubungan Kerja... 100
C. Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cipta Arsitektur Dalam Suatu Hubungan Kerja ... 108
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 120
A. KESIMPULAN ... 120
B. SARAN ... 122
ix
Gambar 1 - Seni Gambar Bangunan... 42
Gambar 2 - Seni Gambar Miniatur... 43
Gambar 3 - Maket Bangunan... 43
Gambar 4 - Bangunan Gedung... 44
Gambar 5 - Prosedur Permohonan Pendaftaran Hak Cipta... 64
2. Arche : Yang berarti yang asli, yang utama, yang awal;
3. Auto cad : Suatu aplikasi yang berguna untuk mendesign suatu gambar sehingga menjadi informasi. Autocad ini bisa berbentuk 2D dan 3D sehingga gambar terlihat lebih nyata dan detail.
4. Desain : Kerangka bentuk; rancangan
5. Desainbangunan : Kerangka bentuk suatu bangunan; motif bangunan; pola bangunan; corak bangunan
6. Estetika : Hal-hal yang dapat diserap oleh pencaindera sehingga diartikan sebagai persepsi indera
7. Exterior : Bagian luar (rumah, gedung, dsb) 8. Firmitas : Kekuatan
9. Fresh graduate : Lulusan baru
10. Gazebo/pergola : Jalan untuk pejalan kaki, di atasnya terdapat para-para untuk tanaman merambat sbg peneduh yg ditopang oleh deretan tiang di kanan kiri jalan;
11. Hyperbuilding : Skala bangunan yang sangat besar (giant) yang mampu memfasilitasi berbagi kegiatan manusia; menggunakan ultra struktur; terdiri atas fungsi-fungsi penopang bangunan yang serba otomatis dan canggih;
12. Interior : Bagian dalam gedung (ruang dsb); 2 tatanan perabot (hiasan dsb) di dl ruang dalam gedung dsb
13. Konstruksi : Susunan (model, tata letak)
14. Lay-out plan : Tata letak, penyusunan dari elemen-elemen desain yang berhubungan kedalam sebuah bidang sehingga membentuk susunan artistik. Hal ini bisa juga disebut manajemen bentuk dan bidang
15. Master Builder : Pemimpin dalam sebuah bangunan
16. Maquate : bentuk tiruan (gedung, kapal, pesawat terbang, dsb) dalam tiga dimensi dan skala kecil, biasanya dibuat dari kayu, kertas, tanah liat, dsb.
17. Mimesis mimeseos : Tiruan atas tiruan
18. Plagiarisme : Penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah karangan dan pendapat sendiri.
19. Plan : Perencanaan
23. SketchUp : Merupakan salah satu dari sekian banyak software yang berfungsi untuk membuat gambar 3D (3 dimensi) 24. Ornament : Hiasan dalam arsitektur, kerajinan tangan, dsb; lukisan;
perhiasan;
25. Tektoon : Menunjuk pada suatu yang berdiri kokoh, tidak roboh, dan stabil
belum pernah ada pendaftaran hak cipta arsitektur di Indonesia. Padahal pendaftaran bertujuan untuk mendapatkan catatan formal status kepemilikan hak cipta, terutama untuk mendukung pembuktian dalam hal terjadi sengketa kepemilikan hak cipta. Ketika ciptaan arsitektur dibuat dalam suatu hubungan kerja, dalam prakteknya menjadi tidak jelas pihak mana yang berhak atas kepemilikannya. Siapa yang sebenarnya berhak disebut sebagai pencipta atau pemegang hak cipta pada suatu arsitektur.
Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif analitis, yang menguraikan atau memaparkan sekaligus menganalisis permasalahan mengenai Pendaftaran hak cipta arsitektur yang dibuat berdasarkan hubungan kerja dan mengapa hak cipta arsitektur yang dibuat berdasarkan hubungan kerja di Kota Medan tidak dimanfaatkan/didaftarkan oleh arsitek penciptanya serta bagaimana perlindungan hukum terhadap hak cipta arsitektur yang dibuat berdasarkan hubungan kerja di Kota Medan.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa di Indonesia, pendaftaran ciptaaan bukan merupakan keharusan bagi pencipta atau pemegang hak cipta. Namun surat pendaftaran ciptaan dapat dijadikan sebagai alat bukti awal di pengadilan apabila timbul sengketa di kemudian hari terhadap suatu ciptaan. Disamping itu, tanpa pendaftaranpun hak cipta tetap mendapat perlindungan. Ada beberapa faktor yang membuat hak cipta arsitektur tidak dimanfaatkan/didaftarkan antara lain adalah UUHC kurang memberikan aturan yang memadai bagi ciptaan arsitektur, UUHC tidak mewajibkan pendaftaran hak cipta, kurangnya pemahaman dan kesadaran hukum arsitek tentang hak cipta arsitektur, kurangnya sosialisasi UUHC pada masyarakat arsitektur dan lemahnya penegakan hukum. Selama ini perlindungan terhadap hak cipta arsitektur belum berjalan sebagaimana diharapkan, selain melalui hukum hak cipta para arsitek di dalam praktek juga harus memperkuat perlindungan melalui kontrak. Perlindungan hak cipta arsitekrut melalui hukum kontrak merupakan salah satu jalan keluar yang baik untuk menampung kelemahan pelaksanaan hukum hak cipta selama ini.
Arsitektur perlu diberi perlindungan hukum, yang gunanya terutama untuk menjamin adanya kepastian hak agar para pencipta dapat lebih kreatif untuk menciptakan arsitektur yang lebih baik. Disarankan kepada pihak yang berwenang untuk membuat peraturan perundangan khusus yang menegaskan dan melengkapi UUHC. Jika pendaftaran hak cipta tidak merupakan keharusan, maka perlu dipikirkan tentang upaya apa yang harus dilakukan untuk menarik minat para pencipta untuk mendaftarkan hasil ciptaannya. Kepada arsitek yang bekerja di perusahaan berdasarkan hubungan kerja mulai menanfaatkan secara maksimal hak cipta arsitektur yang telah diberikan UUHC kepada mereka. Disarankan kepada kedua belah pihak agar selalu memasukkan klausula tentang kepemilikan hak cipta arsitektur dalam perjanjian kerjanya. Disamping itu diperlukan usaha yang lebih aktif oleh pemerintah untuk mensosialisasikan UUHC, serta upaya penegakan hukum.
holders. It can be proven through the absence of architecture copyright registration in Indonesia. Actually, registration is intended to obtain a formal record of copyright ownership status, especially to support the evidence in case a dispute of copyright ownernship occurs. When a creation of architecture is made in a working relationship, in practice, who has the right of its ownership becomes unclear. In an architecture issue, it is hard to determine who has the right to be called the creator or copyright owner.
This analytical descriptive study explained and analyzed the problem related to the registration of the copyright of the architecture made based on a working relationship in the City of Medan, and why the architecture made was not utilized/registered by the architect who created it, as well as what legal protection was applied to the copyright of the achitecture made based on a working relationship in the City of Medan.
The result of this study showed that, in Indonesia, to register a creation is a must for the creator or copyright holder. Yet, the letter of registration can be used as an initial evidence in a court of law in case a dispute related to a creation occurs in the future. In addition, without being registered, the copyright keeps being protected. For example, an architec has a creation, it will be more efficient for him/her to make a direct relationship with the company that accepts or needs the creation rather than registering it first. There were several factors causing why the achitecture copyright was not utilized/registered such as the Law on Copyright does require the registration of copyright, the architects do not have enough legal awareness or do not understand much about architecture copyright, the Law on Copyrigt is less socialized to the architecture community, and the weak low enforcement. So far, the protection for architecture copyright has not implemented as expected. In addition to the copyright, in practice, the architects should also strengthen their architecture creation through a contract. The protection of architecture copyright through contract law is one of the good solutions to accommodate the limitation of the implementation of Law on Copyright all this time.
Architecture needs legal protection, especially to guarantee the certainty of right that the creator can be more creative to create a better architecture. The autority is suggested to make a special assertive regulation of legislation to complete the existing Law on Copyright. If the registration of copyright is not a must, it is necessary to think of what to be done to make the creators interested in registering their creations. The architects working for a company based on a working relationship are suggested to start to maximally utilize the architecture copyright given by the Law on Copyright to them. Both parties are suggested to always include the clause of architecture copyright ownership in the work agreement the made. In addition, the government should be more active in socializing Law on Copyright and law enforcement.
A. Latar Belakang
Secara sederhana Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) atau Intellectual
Property Rights adalah suatu hak yang timbul bagi hasil pemikiran yang
menghasilkan suatu produk yang bermanfaat bagi manusia. HaKI bisa juga diartikan
sebagai hak bagi seseorang karena ia telah membuat sesuatu yang berguna bagi orang
lain. Prinsipnya, setiap orang harus memperoleh imbalan bagi kerja kerasnya.1
HaKI menjadi sangat penting untuk menggairahkan laju perekonomian dunia
yang pada akhirnya membawa kesejahteraan umat manusia.2 Kalau di suatu negara
orang hanya mau memanfaatkan sesuatu secara cuma-cuma, maka tidak akan ada
orang-orang berbakat yang mau bersusah payah membuat sesuatu. Pada akhirnya
bangsa itu sendiri yang akan rugi karena tidak bisa mencapai kemajuan. Agar orang
mau berkreasi, mereka harus dijamin akan memperoleh imbalan sepantasnya. Jika
mereka kemudian berlomba-lomba membuat aneka penemuan atau karya baru, maka
pada akhirnya bangsanya yang akan beruntung karena terdorong terus untuk maju.3
Hak Cipta (copyright), merupakan suatu konsep yang tercakup dalam
pengertian HaKI, Hak cipta merupakan hak atas kekayaan intelektual yang diberikan
khusus dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Hukum hak cipta positif di
1
Haris Munandar dan Sally Sitanggang, Mengenal HAKI Hak Kekayaan Intelektual Hak Cipta, Paten dan Seluk beluknya,Erlangga, Jakarta, 2008, hal. 2
2
Adrian Sutedi,Hak Atas Kekayaan Intelektual, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 5 3
Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
(untuk seterusnya disingkat UUHC), dalam UUHC ini ditentukan ciptaan apa saja
yang diberikan perlindungan hukum, yang salah satunya adalah “arsitektur” (pasal 12
ayat 1 huruf g).
Indonesia sebagai negara sedang berkembang menempatkan pembangunan
sebagai orientasi bagi kesejahteraan rakyat. Perkembangan pembangunan terutama
pembangunan fisik secara nyata dapat dilihat melalui banyaknya bangunan indah dan
megah dengan gaya arsitektur yang bervariasi antara satu dengan lainnya. Konstruksi
bangunan ini dapat berupa perumahan penduduk, perkantoran pemerintah dan swasta,
pusat perbelanjaan, pusat rekreasi, pusat pendidikan dan keagamaan, yang
menyimpan nilai-nilai artistik tersendiri dan kadang-kadang berbentuk khas (unik),
karya para arsitek. Para arsiteklah yang merencanakan suatu bangunan, sehingga
disamping nyaman untuk digunakan juga indah dipandang mata. Dengan kata lain,
suatu bangunan disamping harus memenuhi syarat-syarat teknis konstruksi, juga
memiliki nilai artistik tersendiri yang dihasilkan melalui kreatifitas para arsitek.4
Kemampuan merancang atau mendesain seorang arsitek didapat melalui suatu
proses pendidikan, pelatihan, pengalaman, disiplin.5 Karya dari arsitektur yang telah
dihasilkan oleh para arsitek tersebut haruslah mendapat perlindungan dan
penghargaan, jika dipandang dari sudut ekonomi, mereka perlu mendapatkan kembali
4
Sanusi Bintang, dkk.,Laporan Hasil Penelitian Perlindungan Hak Cipta Karya Arsitektur (Suatu Penelitian di Banda Aceh), Unsyiah, Banda Aceh, 1996, hal. 1
5
modal atau mendapatkan keuntungan dari hasil karyanya. Jika dipandang dari sudut
moral maka penghargaan yang diberikan kepada arsitek sebagai pencipta tidaklah
dapat dinilai dengan uang, namun dapat dihargai dengan memberikan kekuasaan atau
wewenang tertentu kepadanya untuk melakukan sesuatu apabila ada orang yang
melanggarnya. Hak moral juga menyatakan bahwa suatu ciptaan merupakan refleksi
pribadi dari pencipta, karena itu ia mutlak tidak dapat dibagi-bagi maupun dilakukan
perubahan. Dengan adanya perlindungan ini maka diharapkan agar lebih dapat
mendorong kreativitas arsitek untuk menghasilkan arsitektur yang lebih banyak
variasinya dan lebih tinggi nilai artistiknya.6
Salah satu cara efektif pemberian penghargaan di atas adalah melalui
pelaksanaan hukum hak cipta (copyright). Hak cipta tersebut melekat pada diri
seorang pencipta atau pemegang hak cipta, sehingga lahirlah dari hak cipta tersebut
hak ekonomi (economic rights) dan hak moral (moral rights). Seorang pencipta
(dalam hal ini arsitek) diberikan hak khusus (eksklusif) oleh hukum untuk
mengontrol penggunaan hasil ciptaannya, yang mencakup memperbanyak atau
mengumumkan. Hanya pencipta sajalah yang mempunyai kekuasaan demikian, pihak
lainnya baru boleh melakukan hal-hal yang serupa apabila telah memperoleh izin dari
penciptanya, yang biasanya melalui perjanjian lisensi dengan pembayaran sejumlah
royalti tertentu kepada pencipta.
Definisi arsitektur itu sendiri adalah seni dan ilmu dalam merancang
bangunan. Dalam artian yang lebih luas, arsitektur mencakup merancang dan
6
membangun keseluruhan lingkungan binaan, mulai dari level makro yaitu
perencanaan kota, perancangan perkotaan, arsitektur lansekap, hingga ke level mikro
yaitu desain bangunan, desain perabot dan desain produk. Arsitektur juga merujuk
kepada hasil-hasil proses perancangan tersebut.7
Kata Arsitek berasal dari bahasa Yunani, Architekton yang merupakan
rangkaian dua kata yaituArchiyang berarti pemimpin atau yang pertama, danTekton
yang berarti membangun. Jadi Arsitek adalah pemimpin pembangunan (master
builder).8
Seperti halnya dokter, akuntan dan pengacara, arsitek adalah profesi yang
menjual jasanya kepada masyarakat. Keberadaan arsitek diakui untuk mengurusi
segala permasalahan mengenai rancang bangun, mulai dari penyusunan konsep
perancangan hingga pengawasan berkala sampai akhirnya menjadi sebuah produk
arsitektural. Selain itu, seorang arsitek juga mempunyai tanggung jawab secara moral
seumur hidup terhadap karya-karyanya.9
Banyak tantangan yang dijalani oleh seorang lulusan sarjana arsitektur dewasa
ini, demi memulai kariernya sebagai seorang arsitek profesional. Tetapi pada
umumnya, fresh graduate lulusan jurusan arsitektur yang ingin menjalani karirnya
sebagai arsitek profesional akan bergabung dengan konsultan perencana dan
7
Artikel non-personal, 13 januari 2011, Dunia Arsitek dan Arsitektural, http://indofiles.showthread.php.htm /[Artikel]Dunia Arsitek dan Arsitektural, Internet, diakses tanggal 14 Februari 2012
8
Budiharjo,Jati Diri Arsitek Indonesia. Penerbit Alumni. Bandung, 1997, hal. 9 9
perancangan untuk bekerja mencari nafkah sekaligus ilmu yang bersifat praktek
untuk nantinya menjadi bekal bagi dirinya untuk menjadi arsitek profesional. Selain
itu, para lulusan baru ini juga dapat bergabung dengan konsultan pengawas ataupun
perusahaan pengembang perumahan (Real Estates development) yang secara
langsung sangat memerlukan keahlian para arsitek.10
Dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor l8 Tahun 1999 tentang Jasa
Konstruksi (untuk seterusnya disingkat UUJK) disebutkan “bahwa para pihak dalam
suatu pekerjaan konstruksi adalah pihak pengguna jasa dan pihak penyedia jasa”.
Sedangkan dalarn pasal 16 undang-undang tersebut ditentukan pihak penyedia jasa
adalah: “Perencana Konstruksi, Pelaksana Konstruksi, dan Pengawas Konstruksi”.
Tetapi dalam hal ini arsitek yang bekerja pada perusahaan perencana konstruksi lah
yang paling bersinggungan dengan hak milik intelektual, karena di perusahaan jenis
ini dihasilkan dokumen perencanaan perancangan yang telah dibuat oleh arsitek.
Berprofesi sebagai Arsitek berarti melaksanakan janji komitmen untuk
berkarya sebaik-baiknya melalui hubungan antara arsitek dan masyarakat yang
membutuhkan keahliannya dan mempercayainya. Interaksi dalam hubungan kerja ini
merupakan hal yang terpenting dalam profesi ini, hubungan kerja ini terutama
didasarkan oleh saling percaya. Aturan hubungan professional harus diwujudkan
dalam bentuk pegangan yang disatu pihak berbentuk landasan hukum untuk
menjamin perlindungan terhadap masyarakat yang menggunakan jasa professional
itu, serta untuk menjamin nafkah bagi dan dapat dihasilkannya karya yang terbaik
oleh si profesional.11
Dalam Pasal 22 ayat (3) UUJK ditentukan pula bahwa kontrak kerja
konstruksi untuk pekerjaan perencanaan diharuskan memuat ketentuan tentang hak
atas kekayaan intelektual, dimana hasil inovasi perencanaan konstruksi dalarn suatu
pelaksanaan kontrak kerja konstruksi baik bentuk hasil akhir perencanaan dan/atau
bagian-bagiannya kepemilikannya dapat diperjanjikan.
Hukum adalah dasar kehidupan dari setiap masyarakat yang beradab. Semua
hal kini diatur secara jelas dalam hukum, termasuk soal kepemilikan. dalam
hubungan kepemilikan hak cipta terhadap arsitektur yang dihasilkan oleh pegawai
atau karyawan suatu lembaga atau perusahaan, UUHC dalam Pasal 8 mengatur
sebagai berikut:
(1) Jika suatu ciptaan dibuat dalam hubungan dinas dengan pihak lain dalam lingkungan pekerjaannya, pemegang hak cipta adalah pihak yang untuk dan dalam dinasnya ciptaan itu dikerjakan, kecuali ada perjanjian lain antara kedua pihak dengan tidak mengurangi hak pencipta apabila penggunaan ciptaan itu diperluas sampai ke luar hubungan dinas.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Ciptaan yang dibuat pihak lain berdasarkan pesanan yang dilakukan dalam hubungan dinas.
(3) Jika suatu Ciptaan dibuat dalam hubungan kerja atau berdasarkan pesanan, pihak yang membuat karya cipta itu dianggap sebagai Pencipta dan Pemegang Hak Cipta, kecuali apabila diperjanjikan lain antara kedua pihak.
Menurut penjelasan pasal 8 ayat (l), (2) dan (3) UUHC Tahun 2002 yang
dimaksud dengan hubungan dinas adalah hubungan kepegawaian antara pegawai
11
negeri dengan instansinya, ketentuan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa Hak
Cipta yang dibuat oleh seseorang berdasarkan pesanan dari instansi pemerintah tetap
dipegang oleh instansi pemerintah tersebut selaku pemesan, kecuali diperjanjikan
lain. Sedangkan yang dimaksud dengan hubungan kerja atau berdasarkan pesanan
disini adalah ciptaan yang dibuat atas dasar hubungan kerja di lembaga swasta atau
atas dasar pesanan pihak lain.
Jadi, arsitek sebagai orang yang menghasilkan ciptaan arsitektur yang dalam
hal ini bekerja sebagai pegawai atau karyawan di suatu lembaga atau perusahaan
dapat berkarya melalui 2 (dua) cara yaitu bekerja dalam suatu hubungan dinas atau
dalam suatu hubungan kerja. Tetapi dalam penelitian ini peneliti hanya rnembatasi
pada kepemilikan hak cipta atas arsitektur dalam suatu hubungan kerja saja.
Menurut ketentuan Pasal 8 ayat (2) UUHC Tahun 2002 disebutkan bahwa
ciptaan arsitektur yang dikerjakan oleh arsitek dalam suatu hubungan kerja atau
berdasarkan pesanan maka hak ciptanya dipegang oleh arsitek itu sendiri, kecuali
telah disepakati sebelumnya yakni dalam perjanjian kerja bahwa kepemilikan hak
cipta atas arsitektur tersebut ada pada perusahaan.Sedangkan dalam pasal 22 ayat (3)
UUJK ditentukan bahwa kontrak kerja konstruksi untuk pekerjaan perencanan harus
memuat ketentuan tentang hak atas kekayaan intelektual.
Berdasarkan penelitian, perusahaan perencana konstruksi (sebagai majikan)
tidak pernah membuat perjanjian dengan arsitek (sebagai pekerja) tentang
kepemilikan hak cipta arsitektur. Namun kenyataannya semua hasil ciptaan arsitektur
perusahaannya lagi, ciptaan arsitekturnya masih tetap digunakan untuk diwujudkan
dalam bentuk bangunan tanpa memberikan fee atau royalti. Status kepemilikan hak
cipta arsitektur menjadi tidak jelas ketika didalam kontrak kerja tidak memuat klausul
tentang kepemilikan hak cipta. Dalam prakteknya banyak yang beranggapan
Perusahaanlah yang berhak karena telah memberi gaji, tapi undang-undang
menentukan hak cipta itu melekat pada penciptanya (arsitek) kecuali apabila
diperjanjikan lain antara kedua belah pihak.
Hak Cipta Arsitektur belum pernah didaftarkan dan Pengadilan di Indonesia
belum pernah menangani kasus hukum seorang arsitek mempersoalkan plagiarisme
arsitek lain terhadap bangunan yang dibuatnya, ataupun arsitek mempersoalkan
perusahaan tempatnya bekerja karena melanggar hak ciptanya. Sehingga peneliti
tertarik ingin mengetahui apa yang salah dalam hal ini.
Belinda Rosalina dalam disertasinya yang bertajuk ‘Perlindungan Karya
Arsitektur Berdasarkan Hukum Hak Cipta: Perspektif Similaritas Substansial pada
Sengketa Hak Cipta Karya Arsitektur’, di hadapan sidang doktoral, ia mengatakan
UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta telah gagal melindungi plagiarisme
terhadap karya arsitektur. Ia menjelaskan walaupun perlindungan bagi karya
arsitektur telah ada dalam UU Hak Cipta, pada kenyataannya ketentuan tersebut tidak
dapat dibuktikan dengan belum adanya kasus hukum sengketa hak cipta terhadap
karya arsitektur di pengadilan Indonesia12
Alasan keengganan untuk menuntut sesama arsitek ataupun pihak lain yang
telah meniru ciptaannya menjadi misteri gelap dari dunianya. ’Mimesis mimeseos’
atau tiruan atas tiruan, ternyata cukup mewarnai bangunan-bangunan yang saat ini
ada. Tanpa ingin menyebutkan bangunan yang mana meniru yang mana, sudah
menjadi pengetahuan umum bahwa warna kota kita menjadi seragam. Bahkan
daerah-daerah bangunan konservasi perlahan-lahan melenyap terkikis modernisme dalam
wajah bangunan-bangunan minimalis yang semakin merajalela.13
Jadi, berdasarkan uraian di atas maka ciptaan arsitektur yang dikerjakan oleh
arsitek sebagai perencana di perusahaan perencana konstruksi berdasarkan hubungan
kerja, ketika tidak ada memuat perjanjian sebelumnya mengenai hak ciptanya, dalam
hal ini tidak jelas siapa yang memegang hak ciptanya, padahal UUJK telah dengan
tegas mensyaratkan harus memuat ketentuan tentang hak atas kekayaan intelektual
dalam kontrak kerja konstruksi. Penelitian ini juga menjadi penting karena data dari
Departemen Hukum dan HAM Provinsi Sumatera Utara, Hak Cipta Arsitektur ini
belum pernah dilakukan pendaftaran baik di Kota Medan maupun di Indonesia,
padahal Arsitektur merupakan salah satu materi yang telah mendapatkan
perlindungan dalam UUHC.
12
Ali, 21 Juni 2010, UU Hak Cipta Belum Bisa Melindungi Karya Arsitektur, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4c1f7d1492475/, Internet, diakses tanggal 1 April 2012.
13
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang maka yang menjadi masalah dalam
penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pendaftaran Hak Cipta Arsitektur yang dibuat berdasarkan
hubungan kerja di Kota Medan?
2. Mengapa Hak Cipta Arsitektur yang dibuat berdasarkan hubungan kerja di
Kota Medan tidak dimanfaatkan/ didaftarkan oleh arsitek penciptanya?
3. Bagaimanakah status kepemilikan Hak Cipta Arsitektur yang dibuat dalam
suatu hubungan kerja?
C. Tujuan Penelitian
Mengacu pada permasalahan dalam penelitian ini, maka dapat
dikemukakan tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan tentang pendaftaran Hak Cipta Arsitektur
yang dibuat berdasarkan hubungan kerja di Kota Medan;
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan mengapa Hak Cipta Arsitektur yang
dibuat berdasarkan hubungan kerja di Kota Medan tidak dimanfaatkan/
didaftarkan oleh arsitek penciptanya;
3. Untuk mengetahui dan menjelaskan tentang status kepemilikan Hak Cipta
Arsitektur yang dibuat dalam suatu dalam suatu hubungan kerja
D. Manfaat Penelitian
Secara teoritis peneliti mengharapkan agar hasil penelitian ini dapat
pengetahuan dalam hal ”Status Kepemilikian Hak Cipta Arsitektur yang dibuat
Berdasarkan Hubungan Kerja (Suatu Penelitian di Kota Medan)”
Secara praktis peneliti mengharapkan agar hasil penelitian ini dapat
menjadi masukan bagi para pihak, pemerintah, penegak hukum, akademisi,
mahasiswa, masyarakat umum, terutama para arsitek, perusahaan konstruksi,
dan pengguna jasa arsitek.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap berbagai literatur dan hasil
penelitian pada Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas
Universitas Sumatera Utara, diketahui bahwa topik dan permasalahan yang
dibahas yang berhubungan dengan “Status Kepemilikan Hak Cipta Arsitektur
yang dibuat Berdasarkan Hubungan Kerja (Suatu Penelitian di Kota Medan)”
untuk judul yang sama belum pernah dilakukan penelitian. Akan tetapi telah
ada ulasan ataupun penelitian tentang hak cipta arsitektur, yaitu: dengan judul
tesis Perlindungan Hukum terhadap Karya Arsitektur Ditinjau dari
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang ditulis oleh L.K.
Safrida Manik, Mahasiswi Magister Kenotariatan, Nomor Induk Mahasiswi
027011032. Akan tetapi tesis tersebut lebih fokus kepada perlindungan
hukumnya berdasarkan Undang-Undang Hak Cipta, dengan pendekatan/
perumusan masalah yang berbeda, yaitu:
1. Apakah peraturan hak cipta di Indonesia telah cukup mengatur
2. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan timbulnya pelanggaran atas
Hak Cipta Karya Arsitektur?
3. Bagaimana upaya yang dilakukan untuk mengatasi pelanggararan atas
hak Cipta Karya Arsitektur?
sehingga judul tesis ini dapat dijamin keasliannya sepanjang mengenai
judul dan permasalahan seperti yang diuraikan diatas, dengan ini dapat
dikatakan dengan sesungguhnya bahwa dalam penulisan tesis ini tidak
melanggar hak cipta pihak lain baik secara langsung ataupun tidak langsung
termasuk dalam pengutipan dari sumber lain. Oleh karena itu, dapat
dipertanggung jawabkan bahwa hasil penelitian ini (tesis) memiliki keaslian
atau originalitas. Disamping itu masalah pemahaman, pengkajian dan
penelitian dalam hubungan dengan konteks persoalan Hak Cipta Arsitektur
masih termasuk langka dan jarang.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala
spesifik atau proses tertentu terjadi dan suatu teori harus diuji dengan
menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan
ketidakbenarannya14. Teori dipergunakan sebagai landasan atau alasan
mengapa suatu variabel bebas tertentu dimasukkan dalam penelitian, karena
14
berdasarkan teori tersebut variabel bersangkutan memang dapat
mempengaruhi variabel tak bebas atau merupakan salah satu penyebab.15
selain itu teori ini bermanfaat untuk memberikan dukungan analisis terhadap
topik yang sedang dikaji, disamping itu teori ini dapat memberikan bekal
kepada kita apabila akan mengemukakan hipotesis dalam tulisan.16
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat,
teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang
menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis17. Sedangkan tujuan dari
kerangka teori menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasikan
dan menginterprestasi hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan
hasil-hasil penelitian yang terdahulu.
Dari beberapa pendapat di atas dapat diketahui bahwa maksud
kerangka teori adalah pengetahuan yang diperoleh dari tulisan dan dokumen
serta pengetahuan kita sendiri yang merupakan kerangka dari pemikiran dan
sebagai lanjutan dari teori yang bersangkutan, sehingga teori penelitian dapat
digunakan untuk proses penyusunan maupun penjelasan serta meramalkan
kemungkinan adanya gejala-gejala yang timbul.
15
Lexy J. Molloeng,Metodelogi Penelitian Kuantitatif,Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hal. 35
16
Mukti Fajar ND. & Yulianto Achmad,Dualisme Penelitian hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, yokyakarta, 2010, hal. 144
17
Dalam menjawab rumusan permasalahan yang ada, kerangka teori
yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penulisan ini adalah teori
kepastian hukum.
Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama
adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan
apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan
hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya
aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja
yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.
Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang
melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan
hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang
telah di putuskan.18
Hukum dibentuk bukan tanpa visi atau dibuat secara tak bermaksud,
hukum pada umumnya dibentuk atau dibuat dengan visi atau tujuan untuk
memenuhi rasa keadilan, kepastian, dan ketertiban.19Penganut aliran normatif
positivisme, secara dogmatis lebih menitikberatkan hukum pada aspek
kepastian hukum bagi para pendukung hak dan kewajiban.20
18
Peter Mahmud Marzuki,Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, 2008, hal 158
19
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (suatu kajian filosofi dan sosiologi),Gunung Agung, Jakarta, 2002, hal. 85
20
Penganut aliran positivisme lebih menitikberatkan kepastian sebagai
bentuk perlindungan hukum bagi subjek hukum dari kesewenang-wenangan
pihak yang lebih dominan. Subjek hukum yang kurang bahkan tidak dominan
pada umumnya kurang bahkan tidak terlindungi haknya dalam suatu
perbuatan dan peristiwa hukum. Kesetaraan hukum adalah latar belakang
yang memunculkan teori tentang kepastian hukum. Hukum diciptakan untuk
memberikan kepastian perlindungan kepada subjek hukum yang lebih lemah
kedudukan hukumnya.21
Kepastian hukum bermuara pada ketertiban secara sosial. Dalam
kehidupan sosial, kepastian adalah menyaratakan kedudukan subjek hukum
dalam suatu perbuatan dan peristiwa hukum. Dalam paham positivisme,
kepastian diberikan oleh negara sebagai pencipta hukum dalam bentuk
undang-undang. Pelaksanaan kepastian dikonkretkan dalam bentuk lembaga
yudikatif yang berwenang mengadili atau menjadi wasit yang memberikan
kepastian bagi setiap subjek hukum.22
Dalam hubungan secara perdata, setiap subjek hukum dalam
melakukan hubungan hukum melalui hukum kontrak juga memerlukan
kepastian hukum. Pembentuk undang-undang memberikan kepastiannya
melalui pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Perjanjian yang
21
Mario A. Tedja, 4 desember 2012, Teori Kepastian dalam Perspektif Hukum, http://mariotedja.blogspot.com/2012/12/teori-kepastian-dalam-prespektif-hukum.html, Internet, diakses tangal 30 Desember 2012
berlaku sah adalah undang-undang bagi para subjek hukum yang
melakukannya dengan itikad baik. Subjek hukum diberikan keleluasaan
dalam memberikan kepastian bagi masing-masing subjek hukum yang terlibat
dalam suatu kontrak. Kedudukan yang sama rata dipresentasikan dalam
bentuk itikad baik. Antar subjek hukum yang saling menghargai kedudukan
masing-masing subjek hukum adalah perwujudan dari itikad baik.23
Kepastian dalam melakukan kontrak tidak hanya dari suatu akibat
suatu kontrak yang hendak diinginkan, akan tetapi juga pada substansi
kontrak itu sendiri. Pembentuk undang-undang juga mewajibkan kepastian
dalam merumuskan suatu kontrak. Pasal 1342 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata menyatakan bahwa kata-kata yang digunakan juga harus jelas
sehingga tidak dapat menyimpang dari penafsiran yang sudah dijelaskan.
Oleh karena kontrak merupakan undang-undang bagi para subjek hukum
maka segala sesuatu yang tertulis harus pasti diartikan oleh para subjek
hukum. Jika suatu kontrak tidak memberikan kepastian dalam hal isinya maka
kedudukan subjek hukum yang lemah akan tidak terlindungi dan menjadi
tidak pasti.24
Selain teori kepastian hukum, penelitian ini membutuhkan juga
bantuan dari suatu konsep mengenai kepemilikan dari Locke, Hak Cipta
dikatakan berakar dari hukum alam sehingga mau tidak mau mengharuskan
kita mempelajari pandangan dari John Locke.
Dalam pandangan John Locke, hak kepemilikan adalah sesuatu yang
sah dan diakui karena setiap orang mempunyai hak untuk
memelihara/mempertahankan dirinya. Oleh karena itu setiap orang
mempunyai hak untuk makan, minum dan segala sesuatu yang secara natural
manusia akan mengusahakannya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Lebih lanjut Locke menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak atas
benda tertentu sebagai hak pribadinya. Atas dasar pemikiran ini maka Locke
ingin membangun teori hak kepemilikan bahwa secara natural setiap orang
memang sejak awal sudah mempunyai hak-hak untuk menjadi kebutuhan
pokoknya dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya.25
Locke dalam gagasannya mengenai kepemilikan, berkonsep bahwa
Tuhan memberikan bumi kepada semua manusia secara sama, demi
mendukung kehidupan manusia.26Hak milik yang didasarkan pada pemberian
Tuhan mempunyai sifat yang masih umum, kepemilikan ini masih
menunjukkan kepemilikan bersama.27Persoalan yang muncul kemudian ialah
bagaimana supaya kepemilikan bersama itu beralih menjadi kepemilikan
pribadi. Dasar apa yang melegitimasi hak milik pribadi.
25
Ridwan, Hak Milik: Perspektif Islam, Kapitalis, dan Sosialis,Purwokerto, STAIN Press, 2010, hal. 112
26
Schmandt, Henry J. Filsafat Politik: Kajian Historis dari Yunani Kuno sampai Zaman Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002. hal. 336.
27
Locke mengatakan sesuatu yang telah disediakan oleh alam secara
alamiah diberikan bagi seluruh umat manusia. Namun, hak kepemilikan itu
muncul apabila seseorang melakukan usaha-usaha kepemilikan yakni dengan
adanya The ‘labor’ of his body and the ‘work’ of his hands atau telah
memperkerjakan badannya dan menghasilkan karya dari tangannya. Dengan
kata lain, kerja merupakan dimensi mendasar dari hidup manusia, karena
kerja membuat hidup manusia lebih manusiawi. Kerja mempunyai peranan
yang sangat penting untuk melegitimasi milik umum menjadi milik pribadi.28
Negara berusaha mengatur hak-hak kepemilikan objek Hak Cipta
selaku Hak Atas Kekayaan Intelektual dengan membuat aturan-aturan dalam
perundang-undangan. Aturan-aturan ini berusaha menyeimbangkan antara
kepentingan individu dan kepentingan publik. Perbedaan kepentingan ini
pada akhirnya juga menimbulkan perbedaan pandangan atas kepemilikan hak
dalam hukum Hak Cipta sehingga berdampak pada perlindungan hak-hak,
baik ekonomi maupun moral dari seorang Pencipta. Berangkat dari inilah,
teori Locke akan digunakan pada penelitian ini yang berjudul Status
Kepemilikan Hak Cipta Berdasarkan hubungan Kerja.29
2. Kerangka Konsepsional
a. Status adalah keadaan, kepastian, kedudukan hukum seseorang.
28
Ibid, hal. 67 29
b. Kepemilikan adalah kekuasaan yang didukung secara sosial untuk memegang
kontrol terhadap sesuatu yang dimiliki secara eksklusif dan menggunakannya
untuk tujuan pribadi.
c. Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas
inspirasinya lahir suatu ciptaan berdasarkan fikiran, imajinasi, kecekatan,
keterampian atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan
bersifat pribadi.
d. Ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta yang menunjukkan keasliannya
dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Suatu ciptaan yang telah
diekspresikan secara nyata akan melahirkan hak cipta.
e. Hak cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi izin untuk
itu, dengan tudak mengutangi pembatasan-pembatasan menutut
perundanga-undangan yang berlaku.
f. Pelanggaran Hak Cipta adalah perbuatan merugikan orang lain dan akan
mempengaruhi laju pembangunan dalam bidang intelektual yang menghambat
upaya meningkatkan kecerdasan bangsa.
g. Arsitek adalah sebutan ahli yang mampu membuat rancang bangun dan
memimpin konstruksinya, yang mempunyai latar belakang atau dasar
pendidikan tinggi arsitektur dan/atau yang setara
h. Arsitektur adalah seni gambar bangunan, seni gambar miniatur, dan seni
i. Hubungan kerja adalah hubungan hukum yang terbentuk berdasarkan
perjanjian kerja antara arsitek dengan pengusaha yang bergerak di bidang
perencanaan konstruksi, yang terjalin akibat adanya penugasan dan
kesepakatan antara dua pihak.
j. Perjanjian kerja adalah suatu ikatan hubungan kerja secara tertulis yang
mempunyai kekuatan hukum antara pihak pengguna jasa/ perusahaan
perencana dan arsitek yang menjalin hubungan kerja, dimana didalamnya
diterangkan dengan jelas dan tegas tentang syarat-syarat pekerjaan.
k. Perusahaan perencana/ konsultan perencana adalah perusahaan yang
melaksanakan tugas konstruksi dalam bidang perencanaan karya bangunan
atau perencanaan lingkungan beserta kelengkapannya.
l. Kontrak kerja konstruksi adalah keseluruhan dokumen yang mengatur
hubungan hukum antara pengguna jasa/perusahaan perencana dengan asitek
dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
G. Metode Penelitian
1. Sifat Penelitian
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode yuridis empiris yang merupakan penelitian lapangan dengan sifat
penelitian deskriptif analisis yaitu menggambarkan, menelaah, menjelaskan
dan menganalisis peraturan yang berlaku berkaitan dengan Status
Kepemilikan Hak Cipta Arsitektur yang Dibuat Berdasarkan Hubungan
Penelitian yuridis empiris adalah penelitian hukum mengenai
pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum normatif secara in action
pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.30
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (penelitian terhadap data
primer) yaitu suatu penelitian yang meneliti peraturan-peraturan hukum yang
kemudian digabungkan dengan data dan prilaku yang hidup ditengah-tengah
masyarakat. Data/materi pokok dalam penelitian ini diperoleh secara
langsung dari para responden melalui penelitian lapangan, yaitu para arsitek
di kota Medan yang pernah melakukan penciptaan atas suatu arsitektur yang
bekerja di perusahaan jasa konstruksi.
Sebagai kegiatan ilmiah, penelitian ini tidak didasarkan kepada
peninjauan satu disiplin ilmu hukum saja, tetapi didasarkan kepada perspektif
dari disiplin ilmu arsitektur yang relevan. Walaupun penelitian yang
dilakukan menggunakan perspektif disiplin ilmu arsitektur, namun penelitian
ini tetap merupakan penelitian hukum, karena perpektif disiplin ilmu
arsitektur di pakai hanya sekedar alat bantu dalam pelaksanaan penelitian ini.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian lapangan adalah di Kota Medan. Alasan dipilihnya lokasi ini
karena Kota Medan adalah termasuk salah satu kota besar di Indonesia, ibukota
Sumatera Utara ini merupakan pusat pemerintahan dan pusat perekonomian, sehingga
30
pembangunannya berkembang cukup pesat, termasuk juga di bidang konstruksi
bangunan hasil karya para arsitek.
3. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah para arsitek sebagai pencipta suatu arsitektur
dan perusahaan perencana konstruksi di kota Medan yang menggunakan tenaga kerja
arsitek.
Mengingat keterbatasan waktu dan biaya dikhawatirkan dengan jumlah
populasi yang relatif cukup banyak, maka tidak mungkin dapat dilakukan penelitian
terhadap semua populasi tersebut diatas, sehingga dari keseluruhan populasi yang ada
akan diambil beberapa orang saja sebagai sampel penelitian. Penentuan sampelnya
dilakukan secara kelayakan purposive sampling, yaitu sampel dari populasi yang
diperkirakan dapat mewakili keseluruhan populasi. Untuk itu dari beberapa
perusahaan perencana konstruksi yang ada di Kota Medan dipilih arsitek dari setiap
perusahaan yang akan dijadikan responden sebagai sampel penelitian, yaitu sebagai
berikut:
a. Perusahaan Perencana Konstruksi di Kota Medan, sebanyak 5 perusahaan;
b. Para arsitek sebagai pemilik/pemegang hak cipta, sebanyak 10 orang;
Disamping responden, juga dipilih beberapa orang narasumber sebagai
informan untuk mengontrol kebenaran data yang diberikan responden dan untuk lebih
mempertajam analisis. Mereka ini adalah sebagai berikut :
a. Pihak Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Provinsi Sumatera Utara, sebanyak 1
b. Pihak pemerintah/penyidik khusus (PPNS-HKI) pada Kantor Wilayah
Departemen Hukum dan HAM Provinsi Sumatera Utara, sebanyak 1 orang.
4. Jenis Data
Dalam penelitian ini, jenis data yang dipergunakan adalah data primer yang
dihasilkan dari penelitian lapangan yang diperoleh langsung dari responden dan
informan yang terkait dengan judul penelitian.
Dengan mengadakan studi/penelitian kepustakaan akan diperoleh data awal
untuk dipergunakan dalam penelitian lapangan,31 dan data sekunder yang diperoleh
dari penelitian kepustakaan yang terdiri dari :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti seperti
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak
Cipta, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun
1999 Tentang Jasa Konstruksi.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum yang memberikan penjelasan dan petunjuk mengenai bahan
hukum primer seperti buku-buku referensi, jurnal hukum, hasil-hasil
penelitian karya ilmiah yang relevan dengan penelitian ini.
c. Bahan Hukum Tertier
31
Disebut juga bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi
petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder, yaitu berupa kamus, majalah, surat kabar, dan media informasi
lainya.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang dipergunakan dalam pengumpulan data dilakukan melalui 2
(dua) cara, data diperoleh dengan melakukan penelitian kepustakaan (library
research) dan penelitian lapangan (field research). Penelitian kepustakaan untuk
memperoleh data sekunder yang dilakukan dengan mempelajari peraturan
perundang-undangan, buku-buku teks, artikel-artikel, dan tulisan-tulisan ilmiah yang ada
hubungannya dengan masalah yang akan diteliti.
Penelitian lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer yang dilakukan
dengan pengumpulan data secara langsung dari pihak-pihak terkait dengan objek
yang akan diteliti. Agar memperoleh data ini maka akan dilakukan dengan
mewawancarai responden dan informan secara lisan dan terstruktur.
6. Alat Pengumpulan Data
Alat yang dipakai dalam pengumpulan data dalam penelitian ini adalah:
a. Studi dokumen, dilakukan secara tidak langsung digunakan untuk
memperoleh data sekunder dengan membaca, mempelajari, meneliti,
mengidentifikasi dan menganalisis data sekunder yang berkaitan dengan
b. Observasi, dilakukan dengan mengamat-amati objek penelitian berupa
karya-karya arsitektur yang tampak secara fisik atau hasil dari pada suatu ide atau
gagasan, yang disebutkan dalam UUHC.
c. Wawancara, dilakukan secara langsung dengan menggunakan pedoman
wawancara, berupa wawancara terarah dan tersistematis yang ditujukan
kepada responden dan informan.
7. Analisis Data
Setelah semua data yang dibutuhkan terkumpul (data sekunder dan data
primer), kemudian dilakukan pemeriksaan terhadap data, baik melalui wawancara
observasi, dan inventarisasi data tulis yang ada. Kemudian data diolah dan disususun
secara sistematis. Terhadap data tersebut dilakukan analisis secara kualitatif, melalui
kerangka berpikir induktif-deduktif sebagai jawaban atas permasalahan hukum yang
ada dalam penelitian ini. Kegiatan analisis ini diharapkan akan dapat menjawab
rumusan permasalahan dan menghasilkan kesimpulan permasalahan serta tujuan
BAB II
PENDAFTARAN HAK CIPTA ARSITEKTUR YANG DIBUAT BERDASARKAN HUBUNGAN KERJA
A. Dasar Hukum Hak Cipta Arsitektur
Berne Convention for the Protection of Artistic and Literary Works(Konvensi
Bern tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra) atau yang biasa disebut secara
singkat dengan “Konvensi Berne” saja, yang mulai berlaku di tahun 1886, merupakan
ketentuan hukum internasional pertama mengatur masalah Hak Cipta antara
negara-negara berdaulat.32 Dalam konvensi ini, Hak Cipta diberikan secara otomatis kepada
si pembuat karya cipta, dan pembuat tidak harus mendaftarkan karyanya untuk
mendapatkan Hak Cipta. Segera setelah sebuah karya dicetak atau disimpan dalam
satu media, si pencipta otomatis mendapatkan hak eksklusif Hak Cipta terhadap karya
tersebut dan juga terhadap karya derivatif atau turunannya (karya-karya lain yang
dibuat berdasarkan karya pertama), hingga si pencipta secara eksplisit menyatakan
sebaliknya atau hingga masa berlaku Hak Cipta tersebut sudah habis.33
Melalui Konvensi Berne perlindungan Hak Cipta atas arsitektur masih
berbentuk sederhana yaitu: plan, sketches, and plastics works, relatif to ...
architecture (perencanaan, sketsa dan karya-karya plastik yang berkaitan dengan
arsitektur) setelah mengalami evolusi melalui revisi-revisinya, Konvensi Berne
memberikan konsep terbaru untuk hak cipta arsitektur, yakni sebagai: works of
32
Achmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca Trips, Bandung , Alumni, 2005, hal. 44
33
architecture; ... illustrations, maps, sketches and three dimensional works relative to
architecture(karya-karya arsitektur; ... ilustrasi, peta-peta, perencanaan, sketsa-sketsa
dan karya tiga dimensi yang berhubungan dengan karya arsitektur).34
Sejarah hak cipta di Indonesia bermula pada tahun 1958, bertolak dari
nasionalisme ekonomi yang didengungkan Bung Karno. Perdana Menteri Djuanda
menyatakan Indonesia keluar dari Konvensi Bern dan menyatakan semua ketentuan
hukum tentang hak cipta tidak berlaku, agar para intelektual Indonesia bisa
memanfaatkan hasil karya, cipta, dan karya asing tanpa harus membayar royalti.
Dengan pertimbangan agar tidak menyulitkan Indonesia dalam pergaulan masyarakat
internasional, sikap itu ditinjau kembali setelah Orde Baru berkuasa ketentuan lama
zaman Belanda tentang hak cipta, yakni Auteurswet 1912 Staatsblad Nomor 600
Tahun 1912 (aturan kolonial pertama yang sudah disesuaikan dengan Konvensi Bern)
berlaku lagi.35
Selanjutnya pada tahun 1982 Pemerintah Indonesia mencabut pengaturan
tentang hak cipta berdasarkan Auteurswet 1912 Staatsblad Nomor 600 Tahun 1912,
dan sebagai gantinya menetapkan UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, yang
merupakan undang-undang hak cipta pertama di Indonesia. UU itu yang kemudian
direvisi dengan UU No. 7 Tahun 1987, setelah itu dirubah dengan UU No. 12 Tahun
1997, dan terakhir diganti dengan UU No. 19 Tahun 2002 (UUHC 2002) yang
34
Belinda Rosalina,Op Cit, hal. 2 35Ibid,
berlaku hingga saat ini.36 Perlindungan terhadap arsitektur telah diberikan oleh
perundang-undangan Hak Cipta di Indonesia sejak diundangkan pertama sekali dalam
UUHC 1982 dan pengaturannya masih diatur dalam UUHC 2002 sampai sekarang.
Pergantian ketentuan hukum melalui pembaruan sejumlah undang-undang
tersebut tidak lepas dari peran Indonesia dalam hubungan internasional. Pada tahun
1994 Indonesia telah meratifikasi pembentukan organisasi Perdagangan Dunia
(World Trade Organization-WTO), yang mencakup pula perjanjian tentang Trade Re
lated Aspects of Intellectual Propertyrights-TRIPs (Perdagangan yang Terkait dengan
Hak Kekayaan Intelektual). Ratifikasi tersebut diwujudkan dalam bentuk UU Nomor
7 Tahun 1994. Pada tahun 1997 Indonesia meratifikasi kembali Konvensi Bern
melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997. Yang tidak kalah pentingnya,
Indonesia juga meratifikasiCopdiundnagnyrights Treaty(Perjanjian Hak cipta) yang
disahkan oleh World Intellectual Property Organization (WIPO) melalui keputusan
Presiden Nomor 19 Tahun 199737
B. Pengaturan Hak Cipta Arsitektur Menurut Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002
Masalah hak cipta Arsitektur salah satu yang tidak terlepaskan dari
pengaturan muatan materi hukum hak cipta dalam UUHC 2002. Hal ini dapat dilihat
secara lengkap dalam ketentuan Pasal 12 ayat (1) UUHC yang menyatakan:
Dalam undang-undang ini ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam
bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang mencakup:
a. Buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang
diterbitkan dan semua hasil karya tulis lain;
b. Ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
d. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
e. Drama atau drama musical, tari, koreografi, pewayangan dan pantonim;
f. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni
kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase dan seni terapan;
g. Arsitektur;
h. Peta;
i. Seni batik;
j. Fotografi;
k. Sinematografi;
l. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database dan karya seni dari hasil
pengalihwujudan.
Yang dimaksud dengan arsitektur menurut Penjelasan Pasal 12 Ayat 1, Huruf
g, antara lain meliputi: seni gambar bangunan, seni gambar miniatur, dan seni gambar
maket bangunan.
UUHC ini berisi 15 bab dan 78 pasal, dari sekian banyak bab dan pasal,
terdapat kata “arsitektur” sebanyak 4 (empat) buah yaitu pada:38
38
1. Bab II Pasal 12, tentang Lingkup Hak Cipta salah satu diantaranya adalah
arsitektur.
2. Bab II Pasal 15, tentang pembatasan hak cipta arsitektur.
3. Bab II Pasal 23, tentang mempertunjukkan Ciptaan arsitektur di dalam
suatu pameran untuk umum atau memperbanyaknya dalam satu katalog.
4. Bab III Pasal 29, tentang Masa Berlaku Hak Cipta arsitektur.
Sementara di dalam Penjelasan UUHC ini terdapat 2 (dua) kata “arsitektur”
yaitu pada:
1. Penjelasan Pasal 12 Ayat 1, Huruf c, yang berbunyi:
“Yang dimaksud dengan alat peraga adalah Ciptaan yang berbentuk dua
ataupun tiga dimensi yang berkaitan dengan geografi, topografi, arsitektur,
biologi atau ilmu pengetahuan lain.” , dan
2. Penjelasan Pasal 12 Ayat 1, Huruf g, yang berbunyi:
“Yang dimaksud dengan arsitektur antara lain meliputi: seni gambar
bangunan, seni gambar miniatur, dan seni gambar maket bangunan.”
Dalam UUHC Tahun 2002 tidak dijelaskan secara rinci bagaimana cakupan
ruang lingkup dan tata cara perlindungannya, namun dalam penjelasan UUHC
disebutkan bahwa arsitektur meliputi: seni gambar bangunan, miniatur, dan maket
bangunan. Perlindungan ini lebih menjamin hak ekonomi dari para arsitek karena
akan tertutupnya kedua alternatif sumber peniruan baik dari gambar bangunan
Dalam UUHC juga tidak ada ditentukan kriteria atau batasan-batasan dan
aspek-aspek apa sajakah yang dimiliki ciptaan arsitektur yang dapat dilindungi
sebagai pedoman dalam berpraktek bagi para arsitek, disamping itu dalam
undang-undang ini tidak disebutkan bagaimanakah kategori arsitektur yang mempunyai nilai
keaslian (originality)39
Untuk perlindungan arsitektur ini beberapa ketentuan yang perlu mendapat
pengaturan lebih lanjut secara khusus adalah mengenai ruang lingkup pengertian
arsitektur itu sendiri. Apakah pengertiannya meliputi arsitektur dua dimensi saja
(seperti rencana, gambar, dan model bangunan) atau termasuk juga arsitektur tiga
dimensi (bentuk atau struktur bagunan). Negara-negara peserta Konvensi Berne
melindungi keduanya yaitu meliputi ciptaan dua dimensi maupun ciptaan tiga
dimensi.40
Pada hak cipta arsitektur sebagaimana terhadap ciptaan lainnya juga terdiri
dari hak ekonomi dan hak moral. Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan
manfaat ekonomi atas ciptaan serta produk terkait. Hak moral adalah hak yang
melekat pada diri pencipta atau pelaku yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus
tanpa alasan apapun, walaupun hak cipta atau hak telah dialihkan.41
39
L.K. Safrida Manik, Perlindungan Hukum Terhadap Karya Arsitektur Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (Studi di Kota Medan), Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Medan, 2004, hal. 103
40
Sanusi Bintang,Op Cit, hal. 90 41
Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah memberikan definisi hak
ekonomi adalah hak yang dimiliki seorang pencipta untuk mendapatkan keuntungan
dari eksploitasi ciptaannya.42
Hak ekonomi terdiri dari komponen-komponen sebagai berikut :43
1. Hak reproduksi (menerbitkan/memperbanyak)
2. Hak eksekusi (memainkan/mempertunjukkan)
3. Hak adaptasi (memindahkan/mengalihkan) dan
4. Hak interpretasi (menerjemahkan/mengalihbahasakan).
Jenis hak ekonomi pada setiap klasifikasi HKI dapat berbeda-beda. Pada hak
cipta, jenis hak ekonomi lebih banyak jika dibandingkan dengan paten dan merek.
Abdulkadir Muhammad mengelompokkan hak ekonomi ke dalam 4 jenis yaitu :44
1) Hak perbanyakan (penggandaan), yaitu penambahan jumlah ciptaan dengan
pembuatan yang sama, hampir sama, atau meyerupai ciptaan tersebut dengan
menggunakan bahan-bahan yang sama maupun tidak sama, termasuk
mengalihwujudkan ciptaan.
2) Hak adaptasi (penyesuaian), yaitu penyesuaian dari satu bentuk ke bentuk
lain, seperti penerjemahan dan satu bahasa ke bahasa lain, novel dijadikan
sinetron, patung dijadikan lukisan, drama pertunjukan dijadikan drama radio.
42
Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori dan Praktiknya di Indonesia), Citra Aditya bakti, Bandung, 1997, hal. 65
43Ibid 44
3) Hak pengumuman (penyiaran), yaitu pembacaan, penyuaraan, penyiaran atau
penyebaran ciptaan dengan menggunakan alat apa pun dan dengan cara
sedemikian rupa, sehingga ciptaan dapat dibaca, didengar, dilihat, dijual, atau
disewa oleh orang lain.
4) Hak pertunjukan (penampilan), yaitu mempertontonkan, mempertunjukan,
mempergelarkan, memamerkan ciptaan di bidang seni oleh musisi, dramawan,
seniman, peragawati.
Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah menggemukakan lebih banyak
lagi, ada 8 jenis hak ekonomi yang melekat pada hak cipta, yaitu:45
1 )Hak reproduksi (reproduction right), yaitu hak untuk mengadakan ciptaan.
Undang-undang Hak Cipta Indonesia menggunakan istilah hak perbanyakan.
2 )Hak adaptasi (adaptation right), yaitu hak untuk mengadakan adaptasi
terhadap Hak Cipta yang sudah ada, misalnya penerjemahan dari sate bahasa
ke bahasa lain, isi novel diubah menjadi isi skrenario flim. Hak ini diatur
dalamBern Convention clan Unversal Copyright Convention.
3 )Hak distribusi (distribution right), yaitu hak untuk menyebarkan kepada
masyarakat setiap hasil ciptaan dalam bentuk penjualan atau penyewaan.
Dalam Undang-undang Hak Cipta Indonesia, hak ini dimaksudkan dalam hak
mengumumkan.
4 )Hak pertunjukan (performance right), yaitu hak untuk mengungkapkan karya
seni dalam bentuk pertunjukan atau penampilan oleh pemusik, dramawan,
45