• Tidak ada hasil yang ditemukan

Febrile Neutropenia

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA (Halaman 167-185)

EVALUASI PEMBERIAN ANTIBIOTIK PASIEN RAWAT INAP DI RUANG PERAWATAN ANAK

DAFTAR TABEL

2.3. Febrile Neutropenia

2.3.1. Defisi Neutropenia

Neutropenia adalah suatu keadaan di mana jumlah neutrofil kurang dari 1500 sel/μL. Pasien dengan neutropenia umumnya mengalami infeksi yang disebabkan bakteri endogen dan jamur pada saluran gastrointestinal. Berikut adalah klasifikasi neutropenia berdasarkan nilai Absolute Neutrophile Count (Boxer & Dale, 2002) :

5

Universitas Indonesia

b. Neutropenia sedang (moderate) : nilai ANC 500 – 1000 sel/ μL c. Neutropenia berat (severe) : nilai ANC < 500 sel/ μL

Jenis mikroba yang sering dan jarang menyebabkan infeksi pada neutropenia tertera pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Jenis mikroba yang sering dan jarang menyebabkan infeksi pada neutropenia

Organisme Sering terjadi Jarang terjadi

Bakteri Gram positif S. aureus Staphyllococcus coagulase negative Enterecoccus Streptococcus viridans Spesies Corynebacterium Spesies Bacillus Spesies Clostridium

Bakteri Gram negatif E. coli

K. pneumoniae P. aeruginosa Spesies Enterobacter Spesies Acinetobacter Citrobacter freundii Serretia marcescens Spesies Legionella Mikrobakteria M. fortuitum M. cheloneae Fungi C. albicans C. kruzei T. glabrata Spesies Aspergillus Mucor Rhizopus Fusarium Trichosporon Pseudoallescheria boydii Cryptococcus Malassezia furfur

Virus Herpes simpleks

Varisela-zoster

Cytomegalovirus

Parasit Pneumocystis carinii

Toxoplasma gondii Strongyloides stercoralis [sumber : Hadinegoro, 2002 ].

2.3.2. Definisi Febril Neutropenia (FN)

Febrile neutropenia (FN) didefinisikan sebagai demam (dalam dua kali

pengukuran suhu lebih dari 38˚C atau satu kali suhu lebih dari 38.5˚C) pada pasien dengan jumlah neutrofil kurang dari 500sel/μL atau pasien dengan jumlah leukosit kurang dari 1000sel/μL yang diprediksi akan mengalami penurunan jumlah neutrofil hingga kurang dari 500sel/μL (National Comprehensive Cancer Network, 2011).

2.3.3. Derajat Faktor Risiko

Derajat faktor risiko adalah risiko perburukan sampai terjadinya ancaman kematian pada pasien didasarkan pada jenis tumor solid atau hematologik, tipe kemoterapi konvensional/intensif/agresif, komorbiditas, dan lamanya neutropeni. Badan Koordinasi Nasional Hematologi Onkologi Medik Penyakit Dalam Indonesia (HOMPEDIN) dalam Panduan Tatalaksana Febril Neutropeni/Demam Neutropeni

Pada Pasien Kanker (2005) mengkategorikan tiga derajat risiko, yaitu

1. Risiko rendah a. Solid tumor

b. Kemoterapi konvensional c. Tak ada komorbiditas

d. Neutropeni berlangsung singkat ≤ 3 hari

e. Tidak didapatkan klinis infeksi berat : CNS, pneumonia berat, infeksi kateter f. Tidak didapatkan tanda-tanda sepsis atau syok

2. Risiko sedang

a. Solid tumor atau keganasan hematologi b. Kemoterapi intensif

c. Ada/tidak ada komorbiditas d. Neutropeni berlangsung 3-7 hari

e. Didapatkan/tidak didapatkan infeksi klinis

f. Ada/tidak didapatkan tanda-tanda sepsis atau syok 3. Risiko tinggi

a. Keganasan hematologi

b. Kemoterapi agresif/PBSCT/BMT c. Ada/ tidak ada komorbiditas d. Neutropeni berlangsung > 7 hari

e. Didapatkan/tidak didapatkan infeksi klinis

f. Ada/tidak didapatkan tanda-tanda sepsis atau syok 2.3.4. Pemeriksaan Penunjang

Dilaporkan hanya sekitar 10-20% infeksi pada pasien neutropenia disebabkan oleh bakteri dan fungi. Perlu dilakukan pemeriksaan pewarnaan apus darah dan biakan terhadap bakteri anaerob, fungi, dan virus. Sampel tinja perlu diambil untuk pasien yang menderita diare. Pemeriksaan foto toraks harus segera dilakukan pada

7

Universitas Indonesia

pasien demam neutropenia, sedangkan pemeriksaan USG atau CT-scan kadang-kadang diperlukan (Hadinegoro, 2002). Pemeriksaan fisik dilakukan setiap hari pada tempat keluar kateter sentral dan perifer, serta tempat batas suntikan, saluran pernapasan atas dan bawah, traktus urogenitalis, abdomen dan regio peranal, serta monitoring tekanan darah, nadi, frekuensi pernapasan, suhu dan kesadaran. Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan ada dua yaitu pemeriksaan khusus kultur mikrobiologi dan pemeriksaan umum yang meliputi hematologi rutin (dilakukan setiap hari) dan kimia darah (dilakukan satu kali per minggu) (BAKORNAS HOMPEDIN, 2005).

2.3.5. Strategi Pengobatan

Strategi Pengobatan Masalah infeksi sangat penting dan berbahaya untuk pasien keganasan terutama keadaan neutropenia pada 72 jam pertama, pada saat kuman penyebab infeksi belum dapat ditentukan. Umumnya 60-70% pasien mengalami neutropenia dengan demam yang tidak diketahui penyebabnya (fever of

unknown origin). Oleh karena itu, sejak tahun 1971 dianjurkan memberikan

pengobatan antibiotik secara empiris segera setelah dicurigai adanya infeksi, misalnya segera setelah timbul gejala demam. Pengobatan empirik adalah pemberian antibiotik pada 72 jam pertama neutropenia dengan obat terpilih berdasarkan perkiraan kuman penyebab yang tersering. Kriteria demam yaitu apabila dalam satu hari terjadi 2–3 kali suhu >38˚C atau sekali suhu >38.5˚C. Selain itu harus ditetapkan bahwa demam bukan disebabkan oleh proses keganasan, reaksi transfusi, atau reaksi obat (Hadinegoro, 2002).

Masalah yang sering timbul bila pengobatan empirik dihentikan adalah timbulnya demam rekuren atau timbul infeksi bakteri lain. Oleh karena itu, berbagai petunjuk tentang lama pengobatan empiris selalu mengacu pada hitung jenis neutrofil sebagai berikut (Hadinegoro, 2002) :

 Neutrofil lebih atau sama dengan 500/μL, apabila tidak ditemukan kuman dalam biakan, antibiotik dihentikan setelah 7 hari pengobatan

 Neutrofil <500 μL dan klinis baik, antibiotik dihentikan setelah 5-7 hari bebas demam.

 Neutrofil <100/μL, tanda vital stabil, namun terdapat lesi mukosa, antibiotik dilanjutkan sampai hitung neutrofil sama atau lebih dari 500/μL atau sampai keadaan klinis membaik dan stabil.

Dianjurkan pengobatan antibiotik dihentikan apabila tidak terdapat demam dan stabil dalam 72-96 jam (risiko rendah) atau 7 hari tanpa demam, setelah granulosit lebih dari 1000sel/mm3 tanpa demam 2 hari (risiko tinggi). Beberapa peneliti masih tetap menganjurkan untuk meneruskan pemberian antibiotik sampai terjadi pemulihan jumlah neutrofil (BAKORNAS HOMPEDIN, 2005).

Pada pemberian antibiotik jangka panjang perlu diperhatikan kemungkinan timbulnya super-infeksi oleh jamur dan kuman yang resisten, disamping toksisitas obat. Prognosis demam pada pasien neutropenia tergantung dari respons klinis dan mikrobiologik; hal ini sangat tergantung dari penyembuhan pasien dari neutropenia. Respons klinis pada umumnya dapat terlihat dengan penurunan suhu setelah pengobatan empiris selama 4 hari (Hadinegoro, 2002).

Dockrell dan Lewis (2001) membuat pembagian pengobatan demam pada pasien neutropenia berdasarkan lini pertama, kedua, ketiga dan apabila pasien alergi terhadap penisilin seperti tertera pada Tabel 2.2

Tabel 2.2.Pembagian pengobatan demam pada pasien neutropenia

Pilihan Antibiotik awal Modifikasi antibiotik apabila demam menetap 3 hari Modifikasi antibiotik apabila demam menetap 5-7 hari

Lini pertama • Seftazidim 50mg/kg tiap 8jam iv+gentamisin/ tobramisin 2mg/kg loading dilanjut-kan 1.7 mg/kg tiap 8 jam. • Sefepim 50mg/ kg tiap 8-12 jam atau Amikasin 7.5 mg/kg iv, tiap 12 jam (5mg/kg tiap 8 jam) • Piperasilin 75 mg/kg tiap 6 jam iv + tobramycin dosis seperti di atas. • Seftazidim 100mg/kg Tambahkan vankomisin 10 mg/kg iv tiap 12 jam Amfoterisin B 0.5-0.6 mg/kg iv

Lini kedua •Imipenem-cilastin 12.5mg/kg iv tiap 6 jam • Meropenem 20-40mg/kg iv tiap 8 jam

9

Universitas Indonesia Alergi penisilin Aztreonam 30mg /kg

tiap 6 jam +

klindamisin 10mg /kg iv tiap 6jam, atau vankomisin 10mg/kg iv tiap 6jam.

[Sumber : Hadinegoro, 2002]

Berikut adalah terapi dalam penatalaksanaan Febrile Neutropenia/Demam

Neutropeni Pada Pasien Kanker pada risiko rendah, sedang, dan tinggi :

[Sumber : HOMPEDIN, 2006]

Gambar 2.1. Penatalaksanaan pengobatan antibiotik pada febril neutropenia risiko

rendah

Mampu terapi oral? Oral : Ciprofloxacin/ levofloxacin + Amoxicillin Clavulanic acid Klinis perburukan Demam setelah 72-96 jam Stop setelah 3 hari afebris

Tidak perlu modifikasi

1. Monoterapi : Cefpirom, cefepime, ceftazidime, carbapenem 2. Atau duoterapi: sefalosporin generasi III/IV + aminoglikosida atau aminopenisilin + aminoglikosida Reevaluasi : - pemeriksaan fisik - Ro thorax Demam setelah 72-96 jam Reevaluasi : - pemeriksaan fisik - Ro thorax Terbukti infeksi? Terapi definitif Y a Y a Y a Y a Ya Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak

[Sumber : HOMPEDIN, 2005]

Gambar 2.2. Penatalaksanaan pengobatan antibiotik pada febril neutropenia risiko

sedang

Klinis perburukan

Demam setelah 72-96 jam

Klinis stabil?

1. Monoterapi : Cefpirom, cefepime, ceftazidime, carbapenem

2. Atau duoterapi: sefalosporin generasi III/IV + aminoglikosida atau aminopenisilin/piperasilin + aminoglikosida

Reevaluasi :

- pemeriksaan fisik, Ro thorax, kultur darah, antigen jamur

Lama terapi: 7 hari tanpa demam, setelah granulosit lebih dari 1000sel/mm3 tanpa demam 2 hari Setelah: 1. +aminoglikosida atau +kuinolon+glikopeptida 2. +glikopeptida atau + carbapenem

Total lama terapi 10 hari

Bila mikrobiologi terbukti infeksi : Terapi definitif Ya Tidak Tidak Tidak Ya Ya Tidak perlu modifikasi Ya

Demam setelah 72-96 jam

+ antijamur amfoterisin B /itraconazole/voriconazole

Penambahan glikopeptida bila terdapat mukositis atau infeksi kateter

11

Universitas Indonesia [Sumber : HOMPEDIN, 2005]

Gambar 2.3. Penatalaksanaan pengobatan antibiotik pada febril neutropenia risiko

tinggi Klinis perburukan Demam setelah 72-96 jam Klinis stabil? Reevaluasi :

- pemeriksaan fisik, Ro thorax, kultur darah, antigen jamur

Lama terapi: 7 hari tanpa demam, setelah granulosit lebih dari 1000sel/mm3 tanpa demam 2 hari - carbapenem + fluconazol/ampho B/ voriconzole/itraconazole - kuinolon + glikopeptida +fluconazole/ ampho B/voriconzole/itraconazole

Total lama terapi 10 hari

Bila mikrobiologi terbukti infeksi : Terapi definitif Y a Tidak Tidak Tidak Y a Y a Tidak perlu modifikasi Y a Demam setelah 72-96 jam

Bila dengan fluconazole demam 72 jam, ganti dengan ampho B/

voriconzole/itraconazole Penambahan glikopeptida bila terdapat mukositis atau infeksi kateter

1. Monoterapi : Cefpirom, cefepime, ceftazidime, carbapenem

2. Atau duoterapi: sefalosporin generasi III/IV + aminoglikosida atau

aminopenisilin/piperasilin + aminoglikosida

2.4. Antibiotik

2.4.1. Definisi

Antibiotik adalah substansi yang dihasilkan oleh satu macam mikroorganisme yang dapat menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme lain. Antibiotik tidak bekerja sendiri dalam menghancurkan antibiotik. Pertahanan tubuh alami, prosedur pembedahan jaringan yang terinfeksi, dan penggantian pembalut luka mungkin diperlukan seiring dengan pemakaian obat antibiotik untuk melenyapkan antibiotik. Meskipun pada awalnya diperoleh secara alami, kini kebanyakan antibiotik diproduksi secara semisintetik atau sintetik.

2.4.2 Jenis-jenis Antibiotik

Berikut ini adalah jenis-jenis antibiotik (Katzung, 2006) :

1. Beta laktam, penisilin (contohnya: penisilin, isoksazolil penisilin, ampisilin), sefalosporin (contohnya: sefadroksil, sefaklor), monobaktam (contohnya: azteonam), dan karbapenem (contohnya: imipenem);

2. Tetrasiklin, contohnya tetrasiklin dan doksisiklin; 3. Makrolida, contohnya eritromisin dan klaritromisin; 4. Linkomisin, contohnya linkomisin dan klindamisin; 5. Kloramfenikol, contohnya kloramfenikol, tiamfenikol;

6. Aminoglikosida, contohnya streptomisin, neomisin, gentamisin;

7. Sulfonamid (contohnya: sulfadiazin, sulfisoksazol) dan kotrimoksazol (kombinasi trimetoprim dan sulfametoksazol);

8. Kuinolon (contohnya: asam nalidiksat) dan fluorokuinolon (contohnya: siprofloksasin, levofloksasin);

9. Glikopeptida, contohnya vankomisin, telkoplanin; 10. Antimikobakterium, isoniazid, rifampisin, pirazinamid;

11. Golongan lain-lain, contohnya polimiksin B, basitrasin, oksazolidindion Berdasarkan daya kerjanya, antibiotik dapat dibedakan menjadi dua. Pertama adalah bakteriostatik atau antibiotik yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri, contohnya adalah tetrasiklin dan sulfonamid. Kedua adalah bakterisid atau antibiotik yang dapat membunuh bakteri, contohnya adalah penisilin dan sefalosporin. Efek bakteriostatik dan bakterisid dapat tergantung dari

13

Universitas Indonesia

dosis dan kadar dalam serum. Berdasarkan spektrumnya, antibiotik dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu antibiotik aktivitas spektrum luas (broad

spectrum) dan aktivitas spektrum sempit (narrow spectrum) (Lulman, Mohr, Hein

& Bieger, 2005).

1. Antibiotik spektrum luas (broad spectrum)

Antibiotik spektrum luas, bekerja terhadap lebih banyak bakteri, baik gram negatif maupun gram positif serta jamur. Contohnya adalah tetrasiklin dan sefalosporin.

2. Antibiotik spektrum sempit (narrow spectrum)

Antibiotik spektrum sempit, bekerja terhadap beberapa jenis bakteri saja. Contohnya adalah penisilin dan eritromisin (Kee & Hayes, 1996).

Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotik dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu (Lulman, Mohr, Hein & Bieger, 2005) :

1. Antibiotik yang menginhibisi sintesis dinding sel bakteri; 2. Antibiotik yang menginhibisi sintesis tetrahidrofolat;

3. Antibiotik yang menginhibisi fungsi Deoxyribonucleic Acid (DNA); 4. Antibiotik yang menginhibisi sintesis protein.

Antibiotik yang ideal harus memenuhi syarat berikut ini (Jawelz, 1995) : 1. Mempunyai kemampuan untuk mematikan atau menghambat pertumbuhan

mikroorganisme yang luas;

2. Tidak menimbulkan terjadinya resistensi dan mikroorganisme patogen; 3. Tidak menimbulkan pengaruh efek samping yang buruk pada host, seperti :

reaksi alergi, kerusakan syaraf, iritasi lambung dan sebagainya;

4. Tidak mengganggu keseimbangan flora normal dari host seperti flora usus atau flora kulit.

2.4.3. Golongan Antibiotik Senyawa Beta Laktam

Senyawa golongan β-Laktam memiliki persamaan kimiawi, mekanisme kerja, farmakologi, dan karakteristik imunologi. Golongan tersebut yaitu, penisilin, sefalosporin, monobaktam, dan karbapenem. Semua obat tersebut merupakan senyawa β-laktam yang dinamakan demikian karena mempunyai cincin laktam yang khas. Semua antibiotik β-laktam menghambat pertumbuhan bakteri dengan mengganggu reaksi transpeptidasi dalam sintesis dinding sel

bakteri. Dinding sel adalah suatu lapisan luar yang kaku dan khas untuk spesies bakteri, dan sepenuhnya membungkus membran sitoplasma, mempertahankan bentuk integritas sel dan mencegah lisis sel akibat tekanan osmotik tinggi. Dinsing sel tersusun dari suatu polimer polisakarida dan polipeptida berikatan silang yang kompleks yakni peptidoglikan.

Polisakarida mengandung gula amino yang berselang-seling, yakni N-asetilglukosamin dan asam N-asetilmuramat. Suatu peptida yang mengandung lima asam amino dikaitkan dengan gula asam N-asetilmuramat. Peptida ini berakhir di D-alanil-alanin. Penicilin-binding protein (PBP, suatu enzim) memotong alanin terminal tersebut pada proses pembentukan suatu ikatan-silang dengan peptide didekatnya. Ikatan silang tersebut membuat struktur dinding sel menjadi kaku.

Antibiotik β-laktam yang secara struktural merupakan analog substrat PBP, berikatan secara kovalen dengan tempat aktif di PBP. Ikatan ini menghambat reaksi transpeptidase, menghentikan sintesa peptidoglikan sehingga sel akan mati. Mekanisme pasti kematian sel tidak sepenuhnya dimengerti, tetapi autolisin dan gangguan morfogenesis dinding sel diduga terlibat. Penisilin dan sefalosporin membunuh sel bakteri hanya jika sel bakteri tersebut aktif bertumbuh dan menyintesis dinding sel.

2.4.3.1. Amoksisilin (Penisilin Berspektrum Luas) a. Aktivitas Antimikroba & Penggunaan Klinis :

Memiliki aktivitas yang lebih besar daripada penisilin G terhadap bakteri gram negatif karena kemampuannya menembus membran luar organisme gram negatif lebih besar. Seperti penilin G, obat ini diinaktifkan oleh β-laktamase. Amoksisilin bermanfaat mengobati infeksi berat yang disebabkan oleh organisme yang rentan-penisilin, termasuk organisme anaerob, enterokokus, Listeria monocytogenes, dan galur kokus dan basil gram negatif yang tidak menghasilkan β-laktamase seperti, E.coli, dan spesies salmonella. Galur H.influenza yang tidak menghasilkan β-laktamase umumnya rentan tapi saat ini mulai muncul galur spesies resisten karena adanya perubahan PBP. Amoksisilin tidak aktif pada Pseudomonas aeruginosa, sitobakter, seratia,

15

Universitas Indonesia

dan spesien proteus postif-indol, dan bakteri gram negatif lain yang umum dijumpai pada infeksi nosokomial.

b. Efek Samping :

Amoksisilin secara umum tidak bersifat toksik. Kebanyakan reaksi simpangnya terjadi karena hipersensitivitas. Pada pasien gagal ginjal amoksisilin dalam dosis tinggi dapat menyebabkan kejang. Amoksisilin dalam dosis besar dapat menyebabkan mual, muntah, dan diare. Serta dapat menimbulkan ruam kulit yang tidak disebabkan oleh alergi.

c. Dosis lazim yang digunakan :

Tabel 2.3. Dosis lazim amoksisilin

Antibiotik (Rute Pemberian)

Dosis Dewasa Dosis Anak* Dosis

Neonatus Amoksisilin (PO) 0,25-0,5 g 20-40 mg/kg/hari dalam 3 dosis - Amoksisilin- kalium klavulanat (PO) 500/125 mg 20-40 mg/kg/hari dalam 4-6 dosis -

* : dosis total tidak boleh melebih dosis dewasa

d. Penyesuaian dosis berdasarkan bersihan klirens kreatinin (persentase dibandingkan dengan dosis orang normal) :

Tabel 2.4. Penyesuaian dosis amoksisilin berdasarkan fungsi ginjal

Antibiotik Cl cr sekitar 50 ml/menit Cl cr sekitar 10 ml/menit Amoksisilin (PO) 66% 33% Amoksisilin- kalium klavulanat (PO) 66% 33%

2.4.3.2. Sefotaksim, Sefiksim, Seftriakson Seftizoksim, Seftazidim (Sefalosporin Generasi- ketiga)

Dibandingkan dengan agen generasi kedua, obat ini memiliki cakupan gram negatif yang lebih luas dan beberapa obat mampu melintasi sawar darah otak.

a. Aktivitas Antimikroba & Penggunaan Klinis:

Obat generasi ketiga aktif terhadap sitrobakter, S.marscescens, dan providensia. Sefalosporin generasi ketiga juga efektif terhadap galur hemofilius dan neisseria yang menghasilkan β-laktamase, P. aeruginosa

hanya dapat diatasi oleh seftazidim dan sefoperazon, Seperti obat generasi kedua golongan ini juga dapat dihdrolisis oleh AmpC β-laktamase yang diproduksi secara konstan dan juga tidak dapat diandalkan untuk mengatasi spesies enterobakter. Seftizoksim dan sefiksim (PO) aktif terhadap B.fragilis. Namun sefiksim lebih tidak aktif terhadap peneumokokus serta kurang efektif mengatasi S.aureus. sefalosporin generasi ketiga digunakan untuk mengobati berbagai macam infeksi berat yang disebabkan oleh organisme yang resisten terhadap kebanyak obat lain.Akan tetapi, galur yang mengekspresikan β-laktamase berspektrum luas tidak mempan terhadap obat ini. Seftriakson dan sefotaksim disetujui penggunaannya untuk terapi meningitis. Seftriakson dan sefotaksim adalah yang paling aktif terhadap galur penunomokokus yang resisten terhadap pensilin dan direkomendasikan untuk terapi empiris untuk infeksi berat yang disebabkan oleh galur tersebut. Pada pasien yang mengalami demam dan neutropenik, sefalosporin generasi ketiga sering digunakan dalam kombinasi dengan aminoglikosida.

b. Dosis lazim yang digunakan :

Tabel 2.5. Dosis lazim Sefotaksim, Sefiksim, Seftriakson, Seftizoksim,

Seftazidim Antibiotik

(Rute Pemberian)

Dosis Dewasa Dosis Anak* Dosis Neonatus

Sefotaksim (IV) 1,2 g dalam 2-4 dosis 50-200 mg/kg/hari dalam 4-6 dosis 100 mg/kg/hari dalam 2 dosis Seftriakson (IV) 1,2 g dalam 2-3 dosis 75-150 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis 100-150 mg/kg.hari dalam 2-3 dosis Sefiksim (PO) 400 mg dalam

2-4 dosis 8 mg/kg.hari dibagi dalam 1-2 dosis - Seftizoksim (IV) 2 g setiap 4 jam atau 4 g setiap 8 jam 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis -

Seftazidim (IV) 1-4 g dalam 1 dosis 75-150 mg/kg/hari dalam 3 dosis 100-150 mg/kg/hari dalam 2 / 3 dosis

17

Universitas Indonesia

c. Penyesuaian dosis berdasarkan bersihan klirens kreatinin (persentase dibandingkan dengan dosis orang normal) :

Tabel 2.6. Penyesuaian dosis Sefotaksim, Sefiksim, Seftriakson Seftizoksim

berdasarkan fungsi ginjal

Antibiotik Cl cr sekitar 50 ml/menit Cl cr sekitar 10 ml/menit Sefotaksim (IV) 50% 25% Seftriakson (IV) 50% 25% Sefiksim (PO) 75% 50% Seftizoksim (IV) 500-1500 mg setiap 8 jam 250-1000 mg setiap 12 jam Seftazidim (IV) 50% 25%

* : dosis total tidak boleh melebih dosis dewasa

2.4.3.3. Meropenem (Golongan Karbapenem)

Seperti antibiotik golongan beta laktam lainnya, aktivitas antibakterial yang dihasilkan merupakan hasil dari inhibisi sintesis dinding sel bakteri.

a. Aktivitas Antimikroba dan Penggunaan Klinis

Pengobatan imfeksi saluran intra-abdominal (dengan komplikasi appendicitis, peritonitis) yang disebabkan oleh , Escherichia coli, Klebsiella pneumonia,

Pseudomonas aeruginosa, Bacteroides fragilis, B. thetaiotaomicron, atau Peptostreptococcus. Pengobatan meningiitis bakterial yang disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae atau Neisseria meningitidis pada anak-anak usia ≥3 bulan. Juga dapat digunakan sebagai

pengobatan meningitis pada pasien dewasa.vPengobatan infeksi saluran pernapasan termasuk CAP dan pneumonia nosokomial.vPengobatan infeksi yang disebabkan oleh Bacillus cereus. Pengobatan infeksi yang disebabkan oleh Clostridium perfringens. Terapi empiris untuk infeksi bakterial pada

pasien febrile neutropenic. Digunakan secara tunggal atau dikombinasikan dengan antibakteri lainnya.

b. Dosis lazim yang digunakan :

Tabel 2.7. Dosis lazim Meropenem

Antibiotik (Rute Pemberian)

Dosis Dewasa Dosis Anak*

Meropenem (IV) Infeksi Intra-abdominal : 1 g setiap 8 jam. Meningitis : 6 g sehari. Dosis 40mg/kg setaip 4 jam (hingga 6 g sehari) dapat dikombinasikan dengan ceftriaxone atau cefotaxime. Infeksi Intra-abdominal: Usia ≥ 3 bulan dengan berat ≤ 50 kg: 20 mg/kg (hingga 1 g) setiap 8 jam. Usia ≥ 3 bulan dengan berat >50 kg: 1 g setiap 8 jam.

Meningitis :

Usia ≥ 3 bulan dengan berat ≤ 50 kg: 40 mg/kg (hingga 2 g) setiap 8 jam.Usia ≥ 3 bulan dengan berat >50 kg: 2 g setiap 8 jam

* : dosis total tidak boleh melebih dosis dewasa c. Penyesuaian Dosis

Tabel 2.8. Penyesuaian dosis meropenem berdasarkan klirens pasien

[Sumber : American Society of Health-System Pharmacists, 2011]

d. Efek Samping

Penggunaan meropenem menyebabkan efek samping seperti efek pada GI (diare, mual, muntah, konstipasi), reaksi lokal (nyeri dan nyeri pada tempat diinjeksikan, phlebitis/thrombophlebitis), sakit kepala, anemia, rash, pruritus, sepsis, apnea, shock, glossitis, oral candidiasis.

19

Universitas Indonesia

2.4.4. Antibiotik Golongan Linkosamid

Antibiotika golongan linkosamid yang secara reversibel berikatan dengan subunit 50S ribosomal mencegahan terbentuknya ikatan peptida, sehingga menghambat sistesis protein bakteri. Klindamisin dapat bersifat bakteriostatik maupun bakterisidal bergantung pada konsentrasi obat, bagian yang terinfeksi dan organisme (American Pharmacist Association, 2007).

2.4.4.1. Klindamisin (golongan linkosamid)

a. Aktivitas Antimikroba dan Penggunaan Klinis

Klindamisin memiliki aktivitas antibakteri serupa dengan eritromisin, yaitu bersifat bakteriostatik. Spektrum kerja dari klindamisin lebih kepada bakteri anaerob, seperti Bacteroides fragilis dan bakteri coccus non-enterococcal gram positif (Mycek, Mary Julia, et al., 2000). Klindamisin digunakan pada infeksi bakteri, khususnya disebabkan oleh bakteri anaerob, strptococci, pneumococci, dan staphylococci; bakteri vaginosis (cream dan suppositoria vagina); infalamasi pelvis (I.V.); secara topikal untuk pengobatan jerawat; pengobatan vagina akibat Gardnerella vaginalis. Unlabeled/Investigational

Use, Klindamisin dapat digunakan pada pneumocystic pneumonia (PCP) atau

pengobatan alternatif untuk toksoplasmosis (American Pharmacist Association, 2007).

b. Dosis lazim yang digunakan :

Tabel 2.9. Dosis lazim klindamisin

Antibiotik Dosis Dewasa Dosis Anak*

Klindamisin Oral: 150-450 mg setiap 6-8 jam; maksimum dosis: 1,8 g/hari

I.M., I.V.: 1,2-2,7 g/ hari terbagi 2-4 dosis; dosis maksimum: 4,8 g/hari

Oral: bayi dan anak-anak: 8-20 mg/kg/hari (hidroklorida); 8-25 mg/kg/hari (palmitat) terbagi 3-4 dosis; dosis minimum (palmitat): 37,5 mg tiga kali sehari I.M., I.V.: < 1 bulan: 15-20 mg/kg/hari terbagi 3-4 dosis; > 1 bulan: 20-40

mg/kg/hari terbagi 3-4 dosis

c. Kontraindikasi

Klindamisin dikontraindikasikan untuk pasien yang hipersensitivitas terhadap klindamisin, lincomycin, atau komponen lain yang ada dalam formula (American Pharmacist Association, 2007).

d. Efek samping

Frekuensi terjadinya efek samping dari penggunaan klindamisin secara sistemik belum diketahui. Namun, efek samping yang mungkin terjadi dalam penggunaan clindamysin adalah nyeri abdomen, diare, esofagitis, mual, muntah, kolitis pseudomembran, vaginitis, agranulositosis, eosinofilia, neutropenia, trombositopenia, jaundice, trombophlebitis (I.V.), dan nyeri atau abses (I.M.) (American Pharmacist Association, 2007).

2.4.5. Antibiotik Golongan Aminoglikosida

Antibiotik golongan aminoglikosida. Mekanisme aksi dari amikasin sama seperti streptomisin, yaitu dengan menginhibisi sintesis protein dengan berikatan secara langsung dengan subunit 30S ribosomal. (American Pharmacist

Association, 2007).

2.4.5.1. Amikasin

Semua aminoglikosida bersifat bakterisidal dan terutama pada kuman gram negatif. Amikasin aktif terhadap Pseudomonas aeruginosa. Amikasin biasanya diberikan pada terapi infeksi serius yang disebabkan oleh bakteri basilus gram negatif yang resisten terhadap gentamisin (BPOM RI, 2008).

a. Aktivitas antimikroba dan Penggunaan Klinis

Amikasin digunakan pada infeksi bakteri serius (seperti, infeksi tulang, saluran pernapasan, endokarditis, dan septisemia) bergantung pada organisme yang resisten terhadap gentamisin dan tobramisin, seperti Pseudomonas, Proteus,

Serratia, dan bakteri basil gram negatif; dan infeksi dari mikobakteri Unlabeled/Investigational Use Amikasin digunakan pada endofalmitis

(American Pharmacist Association, 2007). b. Dosis

Rekomendasi dosis amikasin dihitung secara individual karena indeks terapi yang kecil. Dosis dihitung bersarkan Ideal Body Weight (IBW) untuk

21

Universitas Indonesia

menentukan dosis dalam mg/kg lebih akurat dibandingkan dengan dosis berdasarkan Total Body Weight (TBW). Dosis untuk pasien dengan obesitas lebih baik ditentukan berdasarkan IBW + 0,4 (TBW – IBW). Konsentrasi obat dalam plasma saat dosis diberikan (initial) dan puncak dan lembah dari kurva harus diketahui, khususnya untuk pasien dengan infeksi serius atau pada keadaan penyakit yang meningkatkan farmakokinetik dari aminoglikosida (seperti fibrosis sistik, terbakar, dan bedah mayor). Rentang dosis usual dewasa (I.M. dan I.V.) adalah 3-7,5 mg/kg/dosis setiap 8 jam. Namun, beberapa dokter merekomendasikan dosis harian sebesar 15-20 mg/kg untuk semua pasien dengan fungsi renal yang normal. Dosis geriatri sesuai dengan dosis dewasa. Sedangkan, untuk dosis pediatri dan anak-anak rentang dosis usual (I.M., I.V.) sebesar 5-7,5 mg/kg/dosis setiap 8 jam Rekomendasi dosis

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA (Halaman 167-185)