• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelayanan farmasi klinik umum dan spesialis, mencakup pelayanan langsung pada pasien dan pelayanan klinik yang merupakan program rumah sakit secara

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA (Halaman 27-46)

keseluruhan.

IFRS dipimpin oleh seorang apoteker dengan dibantu oleh beberapa orang apoteker yang memenuhi persyaratan peraturan perundang- undangan yang berlaku dan kompeten secara profesional (Siregar & Amalia, 2004).

13

Universitas Indonesia

2.2.2 Tujuan IFRS

IFRS harus mempunyai sasaran jangka panjang yang merupakan arah dari kegiatan harian yang dilakukan, yakni berupa visi-misi, sasaran, dan tujuan. Adapun tujuan kegiatan IFRS antara lain (Siregar dan Amalia, 2004):

1. Memberi manfaat pada penderita, rumah sakit, sejawat profesi kesehatan dan kepada profesi farmasi oleh apoteker rumah sakit yang kompeten dan memenuhi syarat,

2. Membantu dalam penyediaan perbekalan yang memadai oleh apoteker rumah sakit yang memenuhi syarat,

3. Menjamin praktek profesional yang bermutu tinggi melalui penetapan dan pemeliharaan standar etika profesional, pendidikan dan pencapaian, dan melalui peningkatan kesejahteraan ekonomi,

4. Meningkatkan penelitian dalam praktek farmasi rumah sakit dan dalam ilmu farmasetik pada umumnya,

5. Menyebarkan pengetahuan farmasi dengan mengadakan pertukaran informasi antara apoteker rumah sakit, anggota profesi dan spesialis yang serumpun, 6. Memperluas dan memperkuat kemampuan apoteker rumah sakit untuk:

a. Secara efektif mengelola suatu pelayanan farmasi yang terorganisasi, b. Mengembangkan dan memberikan pelayanan klinik,

c. Melakukan dan berpartisipasi dalam penelitian klinik dan farmasi dan dalam program edukasi untuk praktisi kesehatan, penderita, mahasiswa dan masyarakat.

7. Meningkatkan pengetahuan dan pengertian praktik farmasi rumah sakit kontemporer bagi masyarakat, pemerintah, industri farmasi dan profesional kesehatan lainnya

8. Membantu menyediakan personal pendukung yang bermutu untuk IFRS 9. Membantu dalam pengembangan dan kemajuan profesi kefarmasian. 2.2.3 Tugas dan Tanggung Jawab IFRS

Tugas utama IFRS adalah pengelolaan perbekalan farmasi, yang meliputi perencanaan, pengadaan, penyimpanan, penyiapan, peracikan, pelayanan langsung kepada pasien, sampai dengan pengendalian semua perbekalan kesehatan yang beredar dan digunakan dalam rumah sakit. Jadi, IFRS merupakan

satu-satunya unit di rumah sakit yang bertugas dan bertanggung jawab

sepenuhnya pada pengelolaan semua aspek yang berkaitan dengan

obat/perbekalan kesehatan yang beredar dan digunakan di rumah sakit tersebut. Selain itu, IFRS harus menyediakan terapi obat yang optimal bagi semua penderita dan menjamin pelayanan bermutu tertinggi dan yang paling bermanfaat dengan biaya minimal. IFRS juga bertanggung jawab untuk mengembangkan pelayanan farmasi yang luas dan terkoordinasi dengan baik dan tepat untuk kepentingan pelayanan pasien yang lebih baik (Siregar dan Amalia, 2004).

2.2.4. Fungsi Dasar IFRS (Siregar & Amalia, 2004)

Fungsi dasar secara umum dari berbagai bagian (departemen) yang terdapat di rumah sakit, termasuk IFRS adalah:

1. Memberikan dan mengevaluasi pelayanan dalam mendukung pelayanan medis yang mengikuti dan sesuai dengan tujuan dan kebijakan rumah sakit. 2. Menerapkan dalam pelayanan departemental, filosofi, tujuan, kebijakan, dan

standar dari rumah sakit.

3. Mengadakan dan menerapkan suatu rencana kewenangan administrasi departemen yang secara jelas menetapkan tanggung jawab dan tugas untuk tiap kategori personel.

4. Berpartisipasi dalam mengkoordinasikan berbagai fungsi departemen dengan berbagai fungsi dari semua departemen dari berbagai pelayanan lain di rumah sakit.

5. Menilai persyaratan bagi departemen dan membuat rekomendasi serta menerapkan kebijakan dan prosedur untuk memelihara staf yang cukup dan kompeten.

6. Menyediakan cara dan metode yang personelnya dapat bekerja dengan kelompok lain dalam mengartikan tujuan rumah dan departemen untuk pasien dan komunitas.

7. Mengembangkan dan memelihara suatu sistem yang efektif dari rekaman dan laporan klinik dan atau administratif.

8. Menilai kebutuhan fasilitas perbekalan dan peralatan, serta menerapkan suatu sistem untuk evaluasi, pengendalian, dan pemeliharaan.

15

Universitas Indonesia

9. Berpartisipasi dalam dan taat pada rencana pengoperasian keuangan untuk rumah sakit.

10. Memprakarsai, menggunakan dan atau berpartisipasi dalam proyek studi atau penelitian yang ditujukan untuk peningkatan pelayanan pasien dan peningkatan pelayanan administratif dan pelayanan rumah sakit lainnya. 11. Mengadakan dan menerapkan suatu program pendidikan berkelanjutan bagi

semua personel.

12. Berpartisipasi dalam dan atau memberikan kemudahan kepada semua program pendidikan termasuk pengalaman praktik mahasiswa dalam departemen. 13. Berpartisipasi dalam dan taat pada program keselamatan atau keamanan

rumah sakit.

2.2.5. Ruang Lingkup Fungsi IFRS 2.2.5.1 Fungsi Klinik

Fungsi klinik adalah fungsi yang secara langsung dilakukan sebagai bagian terpadu dari perawatan pasien atau memerlukan interaksi dengan professional kesehatan lain yang secara langsung terlibat dalam pelayanan pasien. Berdasarkan SK Menkes No.1197/Menkes/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, kegiatan pelayanan kefarmasian di rumah sakit meliputi pengkajian resep, dispensing, pemantauan dan pelaporan efek samping obat, pelayanan informasi obat, konseling, pemeriksaan kadar obat dalam darah, ronde/visite pasien, pengkajian penggunaan obat. Farmasi klinik ini memerlukan pengumpulan data dan interpretasi data penderita serta keterlibatan penderita dan interaksi langsung antarprofesional.

Fungsi farmasi klinik yang berkaitan secara langsung dengan penderita yaitu fungsi dalam proses penggunaan obat, mencakup wawancara sejarah penggunaan obat pasien, diskusi dengan dokter dan perawat mengenai pemilihan regimen obat pada pasien tertentu, interpretasi resep/order obat; pembuatan Profil Pengobatan Penderita (P3); pemantauan efek obat pada pasien; edukasi pasien; konseling dengan pasien yang akan pulang; pelayanan farmakokinetika klinik; pelayanan pencampuran sediaan intravena; dan pelayanan pencampuran nutrisi parenteral. Sesuai dengan karakteristik dan defenisi pelayanan farmasi klinik ada tiga komponen utama yang mendasari peranan klinik dalam pelayanan farmasi di

rumah sakit yaitu komunikasi, konseling dan konsultasi. Menurut Siregar (2004), pada prinsipnya aktivitas farmasi klinik meliputi:

1. Pemantauan pengobatan. Hal ini dilakukan dengan menganalisis terapi, memberikan masukan kepada praktisi kesehatan tentang kebenaran pengobatan, dan memberikan pelayanan kefarmasian pada pasien secara langsung.,

2. Seleksi obat. Aktivitas ini dilakukan dengan bekerja sama dengan dokter dan pemegang kebijakan di bidang obat dalam penyusunan formularium obat atau daftar obat yang digunakan,

3. Pemberian informasi obat. Farmasis bertanggug jawab mencari informasi dan melakukan evaluasi literatur ilmiah secara kritis, dan kemudian mengatur pelayanan informasi obat untuk praktisi pelayanan kesehatan dan pasien, 4. Penyiapan dan peracikan obat. Farmasis bertugas menyiapkan dan meracik

obat sesuai dengan standar dan kebutuhan pasien,

5. Penelitian dan studi penggunaan obat. Kegiatan farmasi klinik antara lain meliputi studi penggunaan obat, farmakoepidemiologi, farmakovigilansi, dan farmakoekonomi,

6. Therapeutic drug monitoring (TDM). Farmasi klinik bertugas menjalankan pemantauan kadar obat dalam darah pada pasien dan melihat profil farmakokinetik untuk optimasi regimen dosis obat,

7. Uji klinik. Farmasis juga terlibat dalam perencanaan dan evaluasi obat, serta berpartisipasi dalam uji klinik,

8. Pendidikan dan pelatihan, terkait dengan pelayanan kefarmasian. 2.2.5.2 Fungsi Non-Klinik

Fungsi non klinik biasanya tidak secara langsung dilakukan sebagai bagian dari pelayanan pasien, seringkali merupakan tanggung jawab apoteker rumah sakit, serta tidak memerlukan interaksi dengan profesional kesehatan lain, meskipun semua pelayanan farmasi harus disetujui oleh staf medik melalui Panitia Farmasi dan Terapi (PFT). Lingkup fungsi farmasi non klinik meliputi perencanaan; penetapan spesifikasi produk dan pemasok; pengadaan; pembelian; produksi; penyimpanan; pengemasan dan pengemasan kembali; distribusi; dan pengendalian semua perbekalan kesehatan yang beredar dan digunakan di rumah

17

Universitas Indonesia

sakit secara keseluruhan. Fungsi non klinik juga meliputi pengelolaan perbekalan farmasi diantaranya (Quick, 1997):

1) Pemilihan

Merupakan proses kegiatan sejak dari meninjau masalah kesehatan yang terjadi di rumah sakit, identifikasi pemilihan terapi, bentuk dan dosis, menentukan kriteria pemilihan dengan memprioritaskan obat esensial, standarisasi sampai menjaga dan memperbaharui standar obat. Penentuan pemilihan obat merupakan peran aktif apoteker dalam Panitia Farmasi dan Terapi untuk menetapkan kualitas dan efektifitas, serta jaminan purna transaksi pembelian.

2) Perencanaan

Merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah, dan harga perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, untuk menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan dan dasar dasar perencanaan yang telah ditentukan antara lain metode konsumsi dan metode epidemiologi atau dapat pula dengan mengkombinasikan kedua metode konsumsi dan epidemiologi untuk mempertajam analisis perencanaan yang kemudian akan disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Pedoman perencanaan berdasarkan dari acuan buku– buku seperti Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN), Formularium Rumah Sakit, Standar Terapi Rumah Sakit, ketentuan setempat yang berlaku yang terdiri dari data catatan medik, anggaran yang tersedia, penetapan prioritas, siklus penyakit, sisa persediaan, data pemakaian periode yang lalu dan rencana pengembangan. Untuk dapat melakukan perencanaan perbekalan farmasi yang baik maka diperlukan suatu metode perencanaan. Ada dua metode perencanaan yang biasa digunakan, yaitu:

a. Metode konsumsi, dibuat berdasarkan data konsumsi periode sebelumnya, b. Metode epidemiologi, dibuat berdasarkan pola penyakit di rumah sakit

periode sebelumnya maupun pola penyakit di sekitar rumah sakit yang diperkirakan akan terjadi.

Setelah dilakukan perhitungan perencanaan kebutuhan perbekalan farmasi akan diperoleh jenis dan jumlah obat serta perbekalan kesehatan yang harus

diadakan oleh IFRS. Kemudian hasil tersebut idealnya diikuti dengan evaluasi untuk menentukan tingkat persediaan yang efisien, memberikan perhatian pada jenis persediaan tertentu, dan memanfaatkan modal kerja (working

capital) sebaik-baiknya. Terdapat dua metode analisis mekanisme evaluasi

perhitungan perencanaan, yaitu: a. Analisis ABC

Alokasi anggaran dapat didominasi hanya oleh sebagian kecil atau beberapa jenis perbekalan farmasi saja. Suatu jenis perbekalan farmasi dapat memakan anggaran besar karena penggunaannya banyak, atau harganya mahal. Dengan analisis ABC, jenis-jenis perbekalan farmasi ini dapat diidentifikasi, untuk kemudian dilakukan evaluasi lebih lanjut. Kriteria kelas dalam klasifikasi ABC adalah:

- Kelas A: persediaan yang memiliki volume rupiah yang tinggi. Kelas ini mewakili sekitar 75-80% dari total nilai penjualan, meskipun jumlahnya hanya sekitar 10-20% dari seluruh item. Memiliki dampak biaya yang tinggi. Pengendalian khusus dilakukan secara intensif. - Kelas B: persediaan yang memiliki volume rupiah yang menengah.

Kelas ini mewakili sekitar 10-20% dari total nilai persediaan, meskipun jumlahnya hanya sekitar 15-20% dari seluruh item. Pengendalian khusus dilakukan secara moderat.

- Kelas C: persediaan yang memiliki volume rupiah yang rendah. Kelas ini mewakili sekitar 60-8 % dari total nilai persediaan, tapi mewakili 5-10% dari total penjualan. Pengendalian khusus dilakukan secara sederhana.

b. Analisis VEN

Analisis VEN adalah suatu cara untuk mengelompokkan obat berdasarkan kepada dampak tiap jenis obat pada kesehatan. Semua jenis obat dalam daftar obat dapat dikelompokkan kedalam tiga kelompok yaitu:

- V (Vital)

Kelompok obat yang berpotensi untuk menyelamatkan kehidupan (life

19

Universitas Indonesia

penyebab kematian terbesar dan obat-obatan untuk pelayanan kesehatan dasar. Contoh: obat diabetes dan hipertensi.

- E (Esensial)

Kelompok obat yang efektif untuk menyembuhkan penyakit yang kurang parah atau secara signifikan dapat mengurangi penderitaan pasien, tetapi kelompok obat ini tidak benar-benar penting digunakan untuk pelayanan kesehatan dasar. Contoh: obat-obat fast-moving. - N (Non esensial)

Kelompok obat yang digunakan untuk penyakit ringan yang dapat sembuh sendiri (self limiting disease), perbekalan farmasi yang diragukan manfaatnya, perbekalan farmasi yang mahal namun tidak mempunyai kelebihan manfaat dibanding perbekalan farmasi lainnya. Contoh obat yang termasuk jenis obat Non-essensial adalah vitamin, suplemen dan lain-lain.

Pada praktiknya, dengan tujuan untuk mempertajam analisis maka dapat juga digunakan metode kombinasi Analisis ABC-VEN. Metode kombinasi ini digunakan untuk melakukan prioritas pengadaan obat sesuai dengan alokasi anggaran yang tersedia. Gabungan analisis ABC dan VEN dapat dituangkan melalui matriks ABC-VEN. Matriks ini dapat dijadikan dasar dalam menetapkan prioritas untuk menyesuaikan anggaran atau perhatian dalam pengelolaan persediaan. Semua obat vital dan esensial dalam kelompok A, B, dan C hendaknya disediakan, tetapi kuantitasnya disesuaikan dengan kebutuhan. Untuk obat nonesensial dalam kelompok A tidak diprioritaskan, sedangkan kelompok B dan C pengadaannya disesuaikan dengan kebutuhan.

Tabel 2.1 Matriks VEN – ABC

Kategori A B C

V VA VB VC

E EA EB EC

3) Pengadaan

Merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang telah direncanakan dan disetujui, melalui pembelian yang dilakukan secara tender (oleh Panitia

Pembelian Barang Farmasi) dan secara langsung dari

pabrik/distributor/pedagang besar farmasi/rekanan; produksi/pembuatan sediaan farmasi yang terdiri dari produksi steril dan non steril serta pengadaan melalui sumbangan/droping/hibah. Metode untuk melakukan pengadaan yaitu: a. Open tender (tender terbuka), merupakan sistem terbuka bagi produsen dan distributor obat dan alat kesehatan untuk mengajukan penawaran, dengan persyaratan dan kriteria yang ditetapkan pihak rumah sakit, tender diumumkan di media massa.

b. Restricted tender (tender tertutup), merupakan sistem tender bagi produsen dan distributor tertentu yang telah memenuhi persyaratan dan kriteria yang ditetapkan, lebih menghemat biaya dan waktu.

c. Negotiated procurement (sistem kontrak), merupakan sistem pengadaan dengan menyusun perjanjian kontrak jual beli antara rumah sakit dan pemasok. Biasanya untuk barang-barang yang sulit didapatkan dan harus tersedia di rumah sakit dan pihak supplier dapat menjamin ketersediaan barang tersebut.

d. Direct procurement (pemesanan langsung), merupakan sistem pengadaan dengan membeli langsung barang yang dibutuhkan oleh rumah sakit kepada pemasok, biasanya untuk mengurangi resiko kerusakan barang selama penyimpanan dan untuk obat-obat yang harganya mahal, yang penggunaannya belum jelas.

4) Penerimaan

Merupakan kegiatan untuk menerima perbekalan farmasi yang telah diadakan sesuai dengan aturan kefarmasian, melalui pembelian langsung, tender, konsinyasi atau sumbangan. Pedoman dalam penerimaan perbekalan farmasi pabrik harus mempunyai Sertifikat Analisa, barang harus bersumber dari distributor utama, harus mempunyai Material Safety Data Sheet (MSDS), khusus untuk alat kesehatan/kedokteran harus mempunyai certificate of

21

Universitas Indonesia

5) Penyimpanan

Penyimpanan adalah suatu kegiatan menempatkan perbekalan farmasi yang diterima pada tempat yang dinilai aman dan memenuhi syarat. Penyediaan perbekalan farmasi harus disimpan oleh tenaga yang kompeten, terdidik, terlatih dan mempunyai izin untuk menangani yaitu apoteker. Tujuan dari penyimpanan perbekalan farmasi:

a. Memelihara mutu obat

b. Menghindari penggunaan yang tidak bertanggung jawab c. Menjaga kelangsungan persediaan

d. Memudahkan pencarian dan pengawasan

e. Memudahkan pengawasan persediaan (stok), kerusakan dan kadaluarsa f. Menjamin keamanan dari pencurian dan kebakaran

g. Menjamin pelayanan yang cepat dan cepat Syarat penyimpanan :

a. Accesibility: mudah diakses

b. Utilities: memiliki sumber listrik, air, AC dan sebagainya. c. Communicatio: memiliki alat komunikasi (misalkan: telepon)

d. Drainage: berada di lingkungan yang baik denga sistem pengairan yang baik

e. Size: harus cukup menampung barang yang ada

f. Security: aman dari pencurian, penyalahgunaan dan hewan pengganggu. Sistem penyimpanan perbekalan farmasi yang ada:

a. Berdasarkan bentuk sediaan, dipisahkan antara sediaan padat (misal: tablet) dan cair (misal: syrup) dan alat kesehatan,

b. Alphabetis, penyimpanan berdasarkan huruf depan dari nama obat dan disusun dari huruf A sampai Z,

c. Berdasarkan kelas terapi atau farmakoterapi, menyangkut tentang indikasi obat yang disimpan misalnya antibiotik, antidiabetes, antihipertensi, obat batuk,

d. Berdasarkan suhu, dibagi berdasarkan suhu kamar, sejuk, kering dan suhu < 0o C misalnya suppositoria, injeksi, vaksin,

e. Obat-obat yang mudah terbakar, seperti eter, anastetik lokal, gas medic (misalnya: CO2, nitrogen dan oksigen), dan obat sitostatik disimpan ditempat tersendiri,

f. Obat narkotika dan obat keras tertentu disimpan tersendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan,

g. Sistem FIFO dan FEFO atau kombinasi keduanya untuk menghindari terjadinya stok yang kadaluarsa.

6) Pendistribusian

Merupakan kegiatan mendistribusikan perbekalan farmasi di rumah sakit untuk pelayanan individu dalam proses terapi bagi pasien rawat inap dan rawat jalan serta untuk menunjang pelayanan medis. Sistem distribusi dirancang atas dasar kemudahan untuk dijangkau oleh pasien dengan mempertimbangkan efisiensi dan efektifitas sumber daya yang ada, metode sentralisasi atau desentralisasi, sistem floor stock, resep individu, dispensing dosis unit atau kombinasi. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197/Menkes/SK/X/2004 pendistribusian perbekalan farmasi dibagi menjadi tiga yaitu:

a. Pendistribusian Perbekalan Farmasi untuk Pasien Rawat Inap

Merupakan kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan pasien rawat inap di rumah sakit, yang diselenggarakan secara sentralisasi dan atau desentralisasi dengan sistem persediaan lengkap di ruangan, sistem resep perorangan, sistem unit dosis dan sistem kombinasi oleh Satelit Farmasi.

b. Pendistribusian Perbekalan Farmasi untuk Pasien Rawat Jalan

Merupakan kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan pasien rawat jalan di rumah sakit, yang diselenggarakan secara sentralisasi dan atau desentralisasi dengan sistem resep perorangan oleh Apotek Rumah Sakit.

c. Pendistribusian Perbekalan Farmasi di luar Jam Kerja

Merupakan kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan pasien di luar jam kerja yang diselenggarakan oleh apotek

23

Universitas Indonesia

rumah sakit/satelit farmasi yang dibuka 24 jam dan ruang rawat yang menyediakan perbekalan farmasi emergensi.

Secara umum ada empat sistem distribusi obat di rumah sakit, yaitu (Siregar dan Amalia, 2004):

a. Sistem Distribusi Obat Resep Individual (Individual Prescription)

Sistem distribusi obat resep individual sentralisasi adalah tatanan kegiatan penghantaran sediaan obat oleh IFRS sentral sesuai dengan yang ditulis pada order atau resep atas nama Pasien Rawat Tinggal (PRT) tertentu melalui perawat ke ruang penderita tersebut. Semua obat yang diperlukan untuk pengobatan di-dispensing dari IFRS. Resep oleh perawat di kirim ke IFRS, kemudian resep itu di proses sesuai dengan cara dispensing yang baik dan obat disiapkan untuk didistribusikan kepada pasien.

b. Sistem Distribusi Obat Persediaan Lengkap di Ruang (Floor Stock)

Sistem distribusi obat persediaan lengkap di ruang adalah tatanan kegiatan penghantaran sediaan obat sesuai dengan yang ditulis dokter pada order obat, yang disiapkan dari persediaan di ruang oleh perawat dan dengan mengambil dosis/unit obat dari wadah persediaan yang langsung diberikan kepada penderita di ruang itu. Dalam sistem ini semua persediaan obat di ruang di suplai oleh IFRS. Biasanya sekali seminggu personel IFRS memeriksa persediaan obat di ruang, lalu menambah obat, yang persediaannya sudah sampai tanda batas pengisian kembali.

c. Sistem Distribusi Obat Kombinasi Resep Individual dan Persediaan di Ruang

Sistem kombinasi biasanya diadakan untuk mengurangi beban kerja IFRS. Obat yang disediakan di ruangan adalah obat yang diperlukan oleh banyak penderita, setiap hari diperlukan, dan biasanya adalah obat yang harganya relatif murah, mencakup obat resep atau obat bebas.

d. Sistem Distribusi Obat Dosis Unit (Unit Dose Dispensing)

Sistem ini adalah metode dispensing dan pengendalian obat yang dikoordinasikan IFRS dalam rumah sakit. Sistem dosis unit dapat berbeda dalam bentuk, tergantung kepada kebutuhan khusus rumah sakit. Akan tetapi, unsur khusus berikut adalah dasar dari semua sistem dosis unit,

yaitu: obat dikemas dalam kemasan unit tunggal, di-dispensing dalam bentuk siap konsumsi, dan untuk kebanyakan obat tidak lebih dari 24 jam persediaan dosis, dihantarkan ke atau tersedia pada ruang perawatan penderita pada setiap waktu.

7) Pengendalian Persediaan

Pengendalian persediaan obat dan perbekalan kesehatan di rumah sakit sepenuhnya merupakan tanggung jawab IFRS. Pengendalian persediaan obat dan perbekalan kesehatan yang efektif dan efisien memiliki pengaruh besar terhadap keberlangsungan kegiatan opersional di rumah sakit. Pengendalian persediaan sangat penting dalam pelayanan pasien di rumah sakit, di mana suatu rumah sakit harus mempunyai stok persediaan obat dan perbekalan kesehatan yang benar dan tepat sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien. Beberapa parameter – parameter Pengendalian Persediaan, yaitu:

a. Konsumsi rata-rata

Konsumsi rata-rata sering disebut juga permintaan (demand). Konsumsi rata-rata merupakan jumlah barang yang dipakai (dibeli) dalam satu waktu tertentu Perkiraan konsumsi rata-rata/ permintaan untuk pemesanan selanjutnya merupakan variabel kunci yang menentukan berapa banyak stok barang yang harus dipesan. Walaupun banyaknya permintaan mendatang dapat diprediksi dengan akurat, namun barang yang stockout tetap dapat terjadi apabila salah memperkirakan lead time dari barang tersebut.

b. Lead Time

Lead time merupakan rentang waktu yang dibutuhan mulai dari

pemesanan sampai dengan penerimaan barang di gudang dari supplier tertentu. Setiap supplier akan memiliki lead time yang berbeda-beda, sehingga harus juga diperhatikan rata-rata lead time untuk masing-masing supplier berdasarkan performance supplier sebelumnya. Yang perlu diukur dalam Lead time adalah jumlah produk yang disediakan. Lead time dapat diukur dengan:

25

Universitas Indonesia

LT = Konsumsi rata-rata x Waktu tunggu c. Safety Stock

Safety stock merupakan obat persediaan yang dicadangkan sebagai

pengaman untuk memenuhi kebutuhan pasien untuk mencegah terjadinya

stockout. Safety stock ini menjadi sangat penting ketika lead time maupun

jumlah permintaan tidak dapat diprediksi atau nilainya berubah-ubah, seperti dalam kasus keterlambatan barang pesanan atau terjadi perubahan jumlah permintaan karena terjadi suatu wabah penyakit tertentu. Untuk barang-barang yang fast moving, safety stock biasanya dihitung dari 20% dari jumlah konsumsi rata-rata, sedangkan untuk barang-barang slow

moving, nilai safety stock diperoleh dari 10% dari konsumsi rata-rata.

d. EOQ (Economic Order Quantity)

EOQ adalah suatu perhitungan untuk menentukan jumlah pesanan persediaan yang dapat meminimalkan biaya pemesanan dan biaya penyimpanan. EOQ dapat dihitung dengan rumus :

EOQ = 2𝑆𝐷

𝐻

Keterangan :

D = permintaan dalam periode waktu tertentu (unit/tahun) S = biaya pemesanan setiap kali pesan (Rp/pesan)

H = biaya penyimpanan per unit barang per tahun (Rp/unit.tahun) e. Re Order Point (ROP / Titik pemesanan)

Merupakan suatu titik dimana harus diadakan pemesanan kembali sedemikian rupa sehingga kedatangan atau penerimaan barang yang dipesan adalah tepat waktu. Reorder point ini dapat dihitung apabila lead

time dan permintaan atau rata-rata konsumsi diketahui dan konstan.

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA (Halaman 27-46)