• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: LANDASAN TEORI

2.3 Fenomena-fenomena Pragmatik

Deiksis adalah bentuk bahasa baik berupa kata maupun lainnya yang berfungsi sebagai penunjuk hal atau fungsi tertentu di luar bahasa (Putrayasa, 2015: 38). Kata-kata yang dimaksud oleh pengertian tersebut mengacu pada suatu fungsi penunjuk suatu referen-referen yang tidak tetap, karena hanya penutur dan mitra tutur yang dapat memahami maksud tuturan yang mengandung deiksis. Sejalan dengan Nadar (2009:55) yang mengungkapkan bahwa kata-kata yang lazim disebut dengan deiksis tersebut berfungsi menunjukkan sesuatu, sehingga keberhasilan suatu interaksi antara penutur dan lawan tutur akan tergantung pada pemahaman deiksis yang dipergunakan oleh penutur. Deiksis terdiri atas tiga jenis, yakni (1) deiksis persona, (2) deiksis

tempat, dan (3) deiksis waktu. Deiksis persona menerapkan tiga pembagian dasar, yang dicontohkan dengan kata ganti orang pertama (saya), orang kedua (kamu), dan orang ketiga (“dia” laki-laki atau perempuan, atau “dia” barang). Maka dari itu, ketika suatu tuturan mengandung beberapa kata penunjuk seseorang atau sesuatu persona dengan penanda kata ganti seperti penjelasan tersebut, dapat dipastikan bahwa itu adalah deiksis persona. Contoh dari penerapan deiksis persona adalah;

Tuturan

Guru : “Saya mulai bicara, kamu juga mulai bicara, siapa dulu yang ngomong?” (3/2/SMA)

konteks: situasi yang terasa dalam tuturan tersebut adalah suasana yang tegang dan sedikit marah dari sang guru. Keadaan kelas sangat ribut, padahal guru sedang menjelaskan materi. Maksud guru menuturkan pertanyaan tersebut adalah meminta atau memerintah para siswa untuk memperhatikan guru yang sedang menjelaskan materi. Kemudian brntuk tuturan berupa pertanyaan kepada para murid. Nada bicara guru terdengar meninggi.

Jenis deiksis kedua yakni deiksis tempat. Deiksis tempat menunjukkan pronomina penunjuk tempat yang akan digunakan. Pronomina penunjuk tempat dalam bahasa Indonesia ialah sini, situ, atau sana (Putrayasa, 2015: 48). Putrayasa menambahkan, bahwa deiksis tempat dan deiksis ruang berkaitan dengan spesifikasi tempat relatif ke titik labuh dalam peristiwa tutur. Maka dari itulah, sebagai pronomina penunjuk arah menghasilkan di/ke/dari sebagai pronomina yang mengacu pada arah, sehingga akan menghasilkan ujaran-ujaran di sini, ke situ, dari sana yang menunjukkan suatu tempat ataupun arah yang diujarkan oleh penutur. Kembali pada keterangan awal deiksis yang mengacu referen-referen yang terikat atau tergantung pada konteks, maka dalam melihat pronomina- pronomina tersebut perlu diketahui konteks atau situasi ujaran

tersebut dilakukan. Contoh dari deiksis tempat, yakni; Tuturan

Guru : “Bagaimana yang sana, diam tahu ndak?” (3/3/SMA)

Konteks: Situasi yang terasa dalam tuturan tersebut terkesan tegang. Maksud dari tuturan tersebut adalah memerintah beberapa murid yang tidak aktif untuk ikut berpartisipasi dalam pembelajaran. Bentuk ujaran dalam implikatur tersebut berupa pertanyaan. Nada bicara terdengar meninggi.

Setelah mengulas mengenai deiksis persona dan tempat, selanjutnya adalah jenis deiksis waktu. Putrayasa (2015: 50) mengungkapkan bahwa deiksis waktu yaitu pengungkapan kepada titik atau jarak waktu dipandang dari saat suatu ujaran terjadi, atau pada saat seseorang berujar. Sama seperti sifat deiksis yang memiliki jenis kata yang tidak memiliki ketetapan dan harus terikat dengan konteks, maka dalam deiksis waktu ini menunjuk pada kata-kata seperti besok, lusa, kelak, nanti yang digunakan oleh penutur untuk menunjukkan waktu sebelum peristiwa terjadi. Kemudian juga ada kata-kata seperti tadi, kemarin, minggu lalu, ketika itu, dahulu kala, barusan menunjukkan waktu setelah peristiwa terjadi. Selain itu juga terdapat kata-kata sekarang, saat ini, kini yang menunjukkan waktu ketika peristiwa tuturan sedang berlangsung.

2.3.2 Fenomena Kesantunan Berbahasa

Berbahasa merupakan aktivitas manusia untuk menunjukkan ekstistensinya dalam berkomunikasi. Kemampuan tersebut mencerminkan kepribadian, sifat, atau cara pikir seseorang dalam bersikap. Karena berbahasa juga menjadi langkah awal seseorang untuk menjalin relasi dengan orang lain. Berbahasa harus memiliki pada kaidah-kaidah yang baku dan harus memenuhi syarat isi dari setiap konten yang hendak dimasukkan dalam tuturan baik lisan maupun tertulis. Namun, hal tersebut belumlah cukup. Karena masih ada satu

kaidah lagi yang perlu diperhatikan yaitu kesantunan (Pranowo, 2009: 4-5). Pranowo (2009:14-15) menyatakan terdapat tiga alasan berbahasa secara santun dalam interaksi penutur dan mitra tutur. Pertama, mitra tutur diharapkan dapat memahami maksud penutur. Kedua, setelah mitra tutur memahami maksud penutur, mitra tutur akan mencari aspek tuturan yang lain. Ketiga, tuturan penutur kadang-kadang juga disimak oleh orang lain yang sebenarnya tidak berkaitan dengan komunikasi antara penutur dan mitra tutur. Berikut ini adalah contoh berkaitan dengan kesantunan berbahasa yang terjadi dalam proses pembelajaran.

Tuturan

Guru : “Yang tiduran atau yang sakit silahkan ke UKS saja!” (10/4/SMA)

Konteks: Situasi terasa santai dan terjadi di lapangan indoor. Maksud dari tuturan tersebut adalah memerintah siswa yang tidak memperhatikan tuturan guru dan tiduran untuk memperhatikan guru. Nada tuturan tersebut bernada rendah dan santai. Penggunaan “UKS” menjadi pengetahuan perihal siswa yang sakit akan ditempatkan di UKS.

2.3.3 Fenomena Ketidaksantunan Berbahasa

Pada kegiatan berbahasa penutur, terkadang tampak atau mengandung makna yang membuat lawan tutur merasa tidak dihormati atau tidak dihargai. Hal ini merujuk pada bahasa yang digunakan oleh penutur dalam mengkomunikasikan berbagai hal yang memiliki unsur negatif. Maka dari itu, ketidaksantunan tersebut muncul dalam tuturan dapat bersifat secara pragmatik dan secara gramatikal atau linguistik. Locher dan Watts (2008) berpendapat bahwa perilaku tidak santun adalah perilaku yang secara normatif dianggap negatif. Ketidaksantunan dalam berbahasa memiliki dampak untuk medegradasikan nilai-nilai kesantunan yang telah ada, sehingga dapat

memperburuk komunikasi antara penutur dengan mitra tutur.

Bousfield (2008) mengemukakan bahwa ketidaksantunan berbahasa adalah the issuing of intentionally gratuitous and conflictive face-threatening acts (FTA) that are purposefully performed. Pada pendapat tersebut ditekankan pada aspek “kesembronoan” dan aspek konfliktif pada aktivitas berbahasa yang tidak santun. Maka dari itu segala aktivitas kebahasaan yang mempermainkan perasaan dari mitra tutur, kemudian terdapat unsur kesembronoan dalam tuturannya, sehingga menyebabkan konflik terjadi itulah yang dapat dijadikan sebagai penanda bahwa kegiatan berbahasa tersebut tidak santun. Hal ini tampak pada contoh tuturan di bawah ini.

Tuturan

Murid 1 : Ambilin buku tow!

Murid 2 : Waduh, Enggak sampai je. Murid 1 : Halah! Ambilin tow! (10/5/SMA)

Konteks : percakapan terjadi pada dua murid. Murid satu memohon untuk mengambilkan buku yang jatuh di dekat meja murid 2. Akan tetapi murid 2 enggan untuk membantunya. Kemudian murid 1 mencoba merajuk paksa dengan kata “Halah”. Peristiwa tutur terjadi di dalam kelas. Dua murid berasal dari Jawa. Situasi kesal ditunjukkan oleh penutur murid 1.

Penanda ketidaksantunan yang terdapat dalam tuturan di atas ditandai oleh kata “Halah”. Kesembronoan yang membuat tidak santun disebabkan oleh kata tersebut. hal ini sejalan dengan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Rahardi, dkk tahun 2014 yang berjudul “Kata Fatis Penanda Ketidaksantunan Pragmatik Dalam Ranah Keluarga” bahwa “kata halah memiliki makna menyepelekkan atau dapat juga digunakan untuk menyampaikan maksud „kesembronoan‟”. Hal ini tentu dapat memberikan kesan yang kurang santun dalam suatu tuturan, sehingga akan membuat komunikasi menjadi kurang

terlaksana maksud yang diinginkan oleh mitra tutur. 2.3.4 Fenomena Kefatisan Berbahasa

Fenomena kefatisan berbahasa atau basa basi merupakan suatu fenomena penggunaan bahasa yang sangat dekat dan hampir selalu terjadi di dalam bersosial dengan orang lain. Kefatisan berbahasa menurut Jacobson (1980) adalah sebagai tuturan yang digunakan untuk memulai, mempertahankan, atau memutuskan komunikasi, untuk memastikan berfungsinya saluran komunikasi dan untuk menarik perhatian lawan bicara atau menjaga agar lawan bicara tetap memperhatikan. Hal tersebut memberikan pemahaman bahwa kefatisan berbahasa dijadikan sebagai tanda dari penutur untuk memulai, mempertahankan, atau memutuskan sesuatu perbincangan dengan mitra tutur. Sejalan dengan Kridalaksana (1986: 111) yang menyatakan bahwa kefatisan atau basa-basi adalah tuturan yang digunakan untuk memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan antara pembicara dan lawan bicara. Kridalaksana (1986, 113-116) mengkategorikan kata-kata fatis menjadi berbagai macam, yakni (1) ah, (2) ayo,(3) deh, (4) dong, (5) ding, (6) halo, (7) kan, (8) kek, (9) kok, (10) –lah, (11) lho, (12) mari, (13) nah, (14) pun, (15) selamat, (16) sih, (17) toh, (18) ya, (19) yah. Kata-kata penujuk kefatisan tersebut dapat dilihat pada contoh tuturan di bawah ini.

Guru: Lho, kok mesti nganggo ngomong lho.

Konteks : penutur merupakan guru yang mennuturkan pada para muridnya. Situasi terasa kesal. Keadaan terlihat guru sedang menulis rumus elektron di papan tulis. Akan tetapi kondisi kelas ramai karena saling berbicara antarmurid. Guru menuturkan hal tersebut, bermaksud untuk menenangkan kondisi kelas yang ribut.

termasuk dalam kategori penanda kefatisan yang dicetuskan oleh Kridalaksana. Penggunaan kata tersebut memiliki makna interjeksi yang menunjukkan sebuah keterkejutan, karena terletak di awal kalimat. Namun, guru mengulangi kata lho di akhir kalimat, sehingga sebuah penegasan suatu perintah yang memiliki wujud sebuah pernyataan semakin kentara.

2.3.5 Fenomena Implikatur

Implikatur dicetuskan oleh Grice (1975) dalam artikel yang berjudul Logic and Conversation bahwa maksud tidak tampak dalam tuturan yang dilisankan atau dituliskan oleh penutur. Pada bagian inilah konteks akan membantu mitra tutur untuk mengetahui makna dan maksud dari penutur. Hal ini akan dibantu dengan latar belakang, keadaan, posisi, dan hal-hal yang mengelilingi situasi dari percakapan tersebut. Brown dan Yule (1996) mengungkapkan bahwa istilah implikatur dipakai untuk menerangkan apa yang mungkin diartikan, disarankan, atau dimaksudkan oleh penutur yang berbeda dengan apa yang sebenarnya yang dikatakan oleh penutur. Pendapat tersebut mengantarkan kita bahwa implikatur merupakan proses menemukan makna dan maksud dari suatu tuturan yang diungkapkan oleh penutur baik secara lisan maupun tertulis tanpa terlihat secara langsung dalam tuturan tersebut. Nababan (1987) menyatakan bahwa implikatur berkaitan erat dengan konvensi kebermaknaan yang terjadi di dalam proses komunikasi. Konsep itu kemudian dipajami untuk menerangkan perbedaan antara hal “yang diucapkan” dan hal “yang diimplikasikan”. Diperkuat dengan pendapat Gazdar (1979: 38) bahwa implikatur adalah proposisi yang tersirat oleh ucapan kalimat dalam konteks

meskipun itu proposisi bukan merupakan bagian dari atau sebuah entailment dari apa yang benar-benar berkata. Oleh karena itu, dapat diambil kesimpulan bahwa implikatur adalah kajian mengenai maksud dari suatu tuturan yang tidak tampak dalam tuturan penutur dan dapat diketahui melalui konteks yang melingkungi tuturan tersebut.