• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: LANDASAN TEORI

2.5 Konteks dalam Pragmatik

Pemahaman mendasar perihal pragmatik telah diulas pada subbab di atas, sesuai dengan berbagai pemahaman mengenai pragmatik yang erat kaitannya dengan unsur kondisi atau keadaan suatu komunikasi, maka muncullah konteks. Konteks dalam pragmatik memiliki spesifikasi khusus atau berbeda daripada konteks linguistik. Dalam artikel seminar Pranowo (2015) menyatakan bahwa konteks linguistik bersifat tekstual, artinya kalimat yang mengawali atau mengikuti suatu teks sudah dapat disebut konteks. Konteks pragmatik bersifat di luar teks atau ekstralingual tidak tampak pada tuturan penutur. Oleh karena itu, maka hubungan antara bahasa dengan konteks inilah yang akan menjadi embrio dari kajian pragmatik.

Rahardi (2008:17) menyatakan bahwa konteks pada hakikatnya adalah latar belakang pengetahuan yang dapat dipahami penutur dan mitra tutur, sehingga hubungan atau keterkaitan itu sendri terdapat pada masing-masing ujaran. Hal tersebut mengacu pada kesepahaman pada suatu maksud atau tujuan yang dipahami antara penutur dan mitra tutur. Hal ini tentu memberikan

pandangan bahwa maksud yang diinginkan penutur tidak diungkapkan secara fisik, tetapi berdasarkan pada pengetahuan dan pemahaman yang sama dengan mitra tutur. Konteks sendiri menurut Putrayasa (2014:5) merupakan sesuatu yang ada sebelum dan atau sesudah sebuah kata, frasa, atau bahkan ujaran yang lebih panjang (dari frasa, klausa, kalimat), atau teks. Jadi konteks sendiri bisa berarti suatu keadaan atau situasi yang melingkungi suatu ujaran atau teks yang diproduksi oleh penutur kepada mitra tutur. Dari pendapat awal tersebut, dapat dipahami bahwa konteks memiliki peranan sebagai unsur eksternal dari linguistik. Hal ini dilihat dari luar struktur gramatikal yang digunakan oleh penutur, namun juga diperhatikan dari segi keadaan atau kondisi yang mengiringi suatu bahasa yang digunakan. Putrayasa (2014:6) menambahkan bahwa konteks verbal atau situasi dapat mempengaruhi makna sebenarnya dari sebuah kata, frasa, kalimat atau ujaran. Semakin jelas keterkaitan antara unsur gramatikal dengan konteks guna membentuk suatu bidang kajian pragmatik. Hal ini memberikan gambaran bahwa unsur gramatikal yang memiliki makna memiliki maksud yang berbeda karena dipengaruhi oleh konteks yang membawanya baik dari keadaan atau penuturnya. Maka dari itu, dalam memahami suatu kajian pragmatik haruslah memahami juga mengenai konteks.

Song (2010) dalam artikelnya yang berjudul The Role of Context in Discourse Analysis mengungkapkan bahwa konteks adalah lingkungan (keadaan atau faktor-faktor oleh beberapa ahli lain) di mana wacana terjadi. Maka dari itulah, Song memberikan gagasan atau perspektif secara umum perihal pengertian dari konteks dalam ranahnya, yakni pragmatik. Apabila merunut dari

berbagai pendapat seperti di awal, juga ditemukan bahwa pengertian konteks sendiri adalah hal-hal baik keadaan sosial, budaya, pengetahuan, dll di luar aspek kebahasaan tuturan itu sendiri. Perihal pembagian konteks, Song membedakan atas 4 jenis, yakni:

1) Konteks linguistik

Song (2010) memaparkan bahwa konteks linguistik mengacu pada konteks di wacana, yaitu hubungan antara kata-kata, frasa, kalimat, dan paragraf. Konteks linguistik ini dapat dianalisis melalui tiga cara, yakni dengan deictic, ko- teks, dan kolokasi. Aspek deictic mengacu pada unsur ruang dan waktu dari wacana yang dituturkan. Hal ini mengacu pada keadaan lokasi, waktu, ekspresi, dll. Aspek co-teks menilik perihal keterhubungan dari interpretasi wacana yang ada dalam tuturan, sehingga pemahaman makna dan maksud suatu tuturan merupakan hasil dari interpretasi secara langsung dalam teks itu baik teks yang sebelumnya maupun saat dipahami. Maka dari itu bahwa konteks dapat diacu pada teks berupa kata, frasa, kalimat, hingga paragraf. Hal ini juga merujuk pada pemahaman mengenai ko-teks yang memiliki sifat tekstual. Paranowo (2015) menyatakan bahwa sebuah kalimat yang mengawali atau mengikuti suatu teks dinamakan ko-teks. Selanjutnya pada aspek kolokasi merujuk pada asosiasi pemikiran pada suatu teks yang dipahami. Hal ini lebih mengacu pada ilmu sintagmatik, yakni keterhubungan secara linear terhadap unsur-unsur bahasa yang dituturkan oleh penutur. Misalnya pada kasus, kata “anjing” dan “digigit”, lalu kata “tentara” dengan “perang”. Dari bahasan perihal konteks linguistik tersebut, diperoleh gagasan bahwa konteks linguistik mengacu pada proses

memahami makna dan maksud berdasarkan teks atau tuturan yang diungkapkan secara langsung.

2) Konteks situasional

Konteks situasional mengacu pada lingkungan, waktu, tempat, dll di mana wacana tersebut terjadi seiring dengan hubungan antara pengguna tuturan tersebut. Konteks ini merupakan konteks yang bersifat tradisional, tetapi membantu penutur dalam memperjelas keterkaitan bahasa dengan konteks situasi yang ada dalam lingkungan tuturan tersebut. Pranowo (2015) mengungkapkan bahwa konteks dalam pragmatik diartikan sebagai keseluruhan situasi yang melingkupi teks atau tuturan (konteks selalu berada di luar tuturan).

Konteks situasional dapat dikaji dalam tiga aspek, yakni aspek lapangan, tenor, dan modus. Pada aspek lapangan, suatu tuturan tentu sangat erat di mana proses komunikasi tersebut terjadi, sehingga dapat merepresentasikan situasi dan hubungan yang mempengaruhi makna dan maksud dalam suatu tuturan. Lalu aspek tenor, mengacu pada hubungan yang yang merujuk pada situasi social dalam suatu wacana. Aspek ini memberikan rambu-rambu bahwa dalam proses komunikasi tidak selalu berfokus pada aspek gramatikal linguistik, namun juga mempertimbangkan aspek sosial yang mengikutinya. Hal ini tentu akan membantu penutur dan mitra tutur untuk transfer informasi dengan baik dan lancar. Selanjutnya pada aspek modus, yakni perihal bagaimana suatu tuturan ditransferkan dengan media atau secara langsung. Hal ini mengacu pada sifat dan isi suatu tuturan yang akan ditransferkan pada mitra tutur, baik secara personal maupun secara masiv.

3) Konteks budaya

Song (2010) mengungkapkan bahwa konteks budaya mengacu pada budaya, adat istiadat, dan latar belakang dari zaman di masyarakat bahasa di mana penutur berpartisipasi. Dilihat dari sifat bahasa, fenomena sosial merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dengan bahasa. Maka dari itu, sangat penting untuk mempertimbangkan aspek-aspek yang mengikuti dari fungsi budaya seperti peran sosial, status sosial, jenis kelamin, usia, dll. Hal ini sangat penting untuk diketahui bahwa beberapa daerah khususnya Indonesia sangat menjunjung tinggi peran-peran sosial karena ada ikatan budaya di dalamnya. Misalnya saja pada percakapan dengan orang yang lebih tua usianya di budaya Jawa yang mana harus memiliki kemampuan untuk bertutur dengan sopan dan tidak terburu-buru untuk memulai pembicaraan, sebelum diijinkan. Selain usia, juga dipertimbangkan perihal status sosial yang dilingkupinya, sehingga tidak terjadi ketimpangan dalam berkomunikasi dengan mitra tuturnya. Jadi, pada konteks budaya ini menekankan pada aspek-aspek budaya yang melingkupi penutur dan mitra tutur yang saling berkomunikasi, selain itu juga mempertimbangkan aspek sosial yang erat kaitannya dengan budaya yang berlaku.

Dell Hymes (1978) dalam Pranowo (2009: 14) menyatakan bahwa ketika seseorang bertutur hendaknya memperhatikan beberapa komponen tutur yang diakronimkan dengan istilah SPEAKING yang masing-masing hurufnya merupakan inisial, yakni (S) Setting and Scene (latar), yakni mengklasifikasi tuturan dari dimensi tempat dan waktu saat tuturan tersebut terjadi. (P) Participants (pelaku), yakni mengklasifikasi dari orang yang terlibat dalam

komunikasi. (E) Ends (tujuan komunikasi), yakni berdasar pada tujuan yang diharapkan dalam percakapan atau komunikasi. (A) Act Sequence (pesan yang ingin disampaikan) klasifikasi ini berdasar pada bentuk dan pesan yang akan disampaikan. (K) Key (kunci) yakni berdasar pada cara penyampaian suatu tuturan terhadap mitra tutur. Hal ini mengacu pada pengemasan penutur dalam menyampaikan pesan yang dimaksudkan. (I) Instrument yakni media yang digunakan untuk mengutarakan maksud yang ingin diungkapkan. (N) Norms (norma) yakni mengacu pada norma perilaku dari pelaku dalam suatu komunikasi atau percakapan yang berlaku di wilayah tersebut. (G) Genre (ragam) yakni berdasarkan pada ragam bahasa yang digunakan, misalnya saja ragam formal, ragam santai, dsb.

2.6 Bahasa Guru dan bahasa Murid