• Tidak ada hasil yang ditemukan

Filosofis Yuridis

Dalam dokumen Staff Site Universitas Negeri Yogyakarta (Halaman 122-126)

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA A Letak Keistimewaan Yogyakarta

2. Filosofis Yuridis

Secara formal predikat keistimewaan Yogyakarta dapat dilihat dalam maklumat tanggal 5 September 1945 yang dikeluarkan oleh Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII yang pada intinya menyatakan bahwa Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman merupakan daerah istimewa dan merupakan bagian dari wilayah Republik Indonesia. Selanjutnya pengakuan terhadap keistimewaan ini dituangkan dalam konstitusi NKRI pada pasl 18 B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 telah mengakui dan menghormati adanya satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Dengan demikian Predikat Istimewa yang disandang Yogyakarta memiliki landasan ghukum yang sangat kuat. Dengan diaturnya keistimewaan di dalam konstitusi artinya para pendiri negeri ini sadar dan menjunjung tinggi adanya status keistimewaansuatu derah. Untuk selanjutnya,pengaturan mengenai keistimewaan Yogyakarta tertuang di dalam beberapa ketentuan Undang-Undang.

Status keistimewaan Yogyakarta tidak tidak diatur lagi dalam UU pembentukan karena telah diatur dalam UU 22/1948. Daerah-daerah yang mempunyai hak-hak asal- usul dan di Zaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat istimewa, dengan undang-undang pembentukan yang termaksuddalam ayat (3) dapat ditetapkan sebagai daerah istimewa yang setingkat dengan Provinsi, Kabupaten, atau desa yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.(Pasal 1 ayat (2) UU No. 22/1948). Sedangkan mengenai pengangkatan kepala daerah dan wakil kepala dearth tertuang dalam Pasal 18 ayat (5) dan (6) UU No. 22/1948 yang berbunyi: Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan, dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu. Ayat (6) Untuk daerah Istimewa dapat diangkat seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa dengan mengingat syarat-syarat tersebut dalam ayat (5). Wakil kepala Daerah Istimewa adalah anggota Dewan Pemerintah Daerah.

Pengaturan mengenai keistimewaan Yogyakarta sebenarnya sudah ada sejak tahun 1950 yang ditungkan di dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 1950 tentang pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta yang ditetapkan pada tanggal 4 Maret 1950. Lima bulan kemudian, tepatnya tanggal 14 Agustus 1950, dikeluarkan Undang-Undang

No.19 tahun1950 yang mengubah Undang-Undang No. 3 tahun 1950 juncto UU No. 19 tahun 1950 merupakan Undang-Undang yang berlandaskan pada Undang-Undang Dasar Sementara. Sehingga dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali menggunakan UUD 1945 maka perlu adanya peraturan yang baru yang mengatur mengenai keistimewaan Yogyakarta. Selain ketentuan Undang-Undang di atas, dari hasil penelusuran terhadap Undang-undang yang penulis lakukan, penulis dapatkan ketentuanpasal-pasal dalam beberapa Undang-Undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah di Indonesia pasca UU No. 22 tahun1948, yaitu: UU No. 01 tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, UU No. 18 tahun 1965 tentang Pokok- poko Pemerintahan Daerah, UU No. 05 tahun1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah, UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, secara eksplisit tetap mengakui dan memberikan pengakuan mengenai status keistimewaan Yogyakarta.

Uniknya dalam aturan peralihan beberapa Undang-Undang yang mengatur mengenai pemerintahan daerah di Indonesia tersebut, tidak sedikitpun ada pengurangan mengenai status keistimewaan. Bahkan, tidak pula membatalkan ketentuan yang berkaitan dengan keistimewaan tersebut. Sehingga menurut hemat penulis, perundang- undangan tersebut tetap berlaku hingga saat ini, dan dapt dijadikan acuan dalam menyusun regulasi keistimewaan Yogyakarta. Meskipun statuskeistimewaan telah diatur dalam Undang-Undang No. 3 tahun 1950 yang telah diubah dalam UU No. 19 tahun 1950 serta tetap diakui oleh Undfang-Undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah di Indonesia, akan tetapi peraturan perundang-undangan tersebut tidak mampu menjelaskan substantif keistimewaan yang dimiliki oleh DIY yang membedakan dengan daerah- daerah yang lain di Indonesia. Sehingga menimbulkan multi-interpretasi dalam memahami keistimewaan Yogyakarta. Dengan demikian, jelas bahwa perlu adanya regulasi yang mampu menjelaskan mengenai substansi yang dimiliki oleh DIY.

3. Sosiologis

Keraton dan Kadipaten Pakualaman mendapat posisi yang utama bagi masyarakat Yogyakarta. Kepemimpinan keraton dan kadipaten pakualaman tetap dijunjung tinggi oleh sebagian besar masyarakat Yogyakarta. Bahkan sabda Sultan mempunyai kekuatan hukum yang lebih dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di

negeri ini. Beberapa peristiwa yang terjadi di negeri ini, misalkan saja pada saat meletusnya Gunung Merapi. Mbah Marijan yang mendapat mandat dari HB IX untuk menjaga Gunung Merapi, tetap kukuh pendiriannya berada di lereng Gunung Merapi meskipun pemerintah telah menyatakan status gawat pada Merapi, sehingga masyarakat diharuskan untuk mengungsi. Himbauan pemerintah tersebut tidak cukup ampuh mengubah pendirian Mbah Marijan dan para pengikutnya. Mbah Marijan selaku juru kunci Merapi yang mendapat amanah dari HB IX tetap tinggal di sekitar merapi. Dari peristiwa tersebut, tampak bahwa kepemimpinan keraton masih diyakini dan dijunjung tinggi oleh masyarakat Yogyakarta. Selain itu, antusiasme masyarakat untuk hadir dan terlibat dalam acara-acara ritual di lereng Gunung Merapi, Sekatenan, ritual pantai laut selatan, dan ritual-ritual lainnya yang diadakan oleh Keraton dan Kadipaten Pakualaman masih cukup besar. Meskipun sebenarnya telah terjadi perubahan yang cukup mendasar, dari akulturasi budaya-sinkretisme agama Hindu-Jawa menjadi Islam-Jawa. Ini menunjukkan bahwa sangat besar penghormatan masyarakat Yogyakarta terhadap kepemimpinan Keraton dan Kadipaten Pakualaman.

Penghargaan masyarakat terhadap Kasultanan dan Kadipaten dapat dilihat juga dari penerimaan masyarakat terhadap konsep Dwi Tunggal. Pandangan masyarakat Yogyakarta bahwa mengubah, atau lebih-lebih menghapus konsep Dwi Tunggal sama halnya dengan menghapus keistimewaan Yogyakarta. Meskipun bila dirunut dasar juridis-formalnya maka tidak akan ditemukan konsep tersebut. Akan tetapi realitas sosiologis konsep tersebut diakui oleh masyarakat Yogyakarta. Kecintaan dan kedekatan masyarakat Yogyakarta pada Sultan dan Paku Alam pernah diekspresikan oleh masyarakat Yogyakarta secara demonstratif saat terjadi kemelut pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur masing-masing pada tahun 1998 dan 2001. Mereka yang menyuarakan pandangan tentang Dwi-Tunggal adalah Paguyuban lurah se-DIY (ISMAYA-Ing Sedya Memetri Aslining Ngayogyakarta). Selain ISMAYA, di masing- masing kabupaten juga dibentuk paguyuban-paguyuban lurah yang bisa disebutkan sebagai, BODRONOYO yang merupakan paguyuban lurah se kabupaten Kulon Progo, TUNGGAL JATI yang merupakan paguyuban lurah se Kabupaten Bantul, SEMAR yang merupakan paguyuban lurah se kabupaten Gunung Kidul, dan SURYO NDADARI yang merupakan paguyuban lurah se kabupaten Sleman. Hadirnya Paguyuban Lurah tersebut,

menunujukkan kuatnya keinginan masyarakat Yogyakarta untuk mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai sosial-budayanya.

Sesuatu yang menarik, gambaran keinginan yang kuat dari masyarakat Yogyakarta untuk mempertahankan status keistimewaan Yogyakarta tampak dalam antusiasme masyarakat Yogyakarta dalam pesta demokrasi untuk memilih kepala daerah pada tahun 1998. Saat proses pemilihan gubernur pada tahun 1998 diwarnai dengan pelantikan sultan sebagai Gubernur oleh rakyat melalui forum yang dikenal dengan nama Sidang Rakyat Yogyakarta. Hal yang sama juga terjadi pada proses pemilihan wakil gubernur pada tahun 2001. Dengan demikian semakin jelas bahwa sangat besar keinginan masyarakat Yogyakarta untuk mempertahankan status keistimewaan Yogyakarta sebagaimana telah diatur dalam UU No. 3 tahun 1950 tentang pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Selain itu kedekatan rakyat terhadap keraton dan kadipaten tampak pada antusiasme masyarakat yogyakarta menghadiri Pisowanan Agung yang berlangsung menjelang tumbangnya Orde Baru pada tahun 1998, yang berujung demonstrasi dengan difasilitasi oleh keraton dan kadipaten sebagai upaya menyuarakan kekecewaan terhadap rezim Orde Baru.

Antusiasme rakyat terhadap keraton dan kadipaten pun terjadi pada tanggal 18 April 2007 menjelang pernyataan Sultan HB X yang tidak bersedia lagi menjadi Gubernur DIY pasca selesai jabatannya tahun 2008. Melalui Pisowanan Agung tersebut, masyarakat yogyakarta berharap bisa secara langsung mendengarkan penjelasan dari sultannya. Dukungan masyarakat Yogyakarta terhadap status keistimewaan Yogyakarta juga tampak pada beberapa aksi massa yang digelar oleh masyarakat yogyakarta menjelang sabda sultan, 7 April 2007 lalu. Dengan demikian, semakin jelas bahwa antusiasme masyarakat Yogyakarta sangat besar untuk mempertahankan dan memperjuangkan status keistimewaan Yogyakarta.

Dalam dokumen Staff Site Universitas Negeri Yogyakarta (Halaman 122-126)