• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Pemerintahan Federal

Dalam dokumen Staff Site Universitas Negeri Yogyakarta (Halaman 183-187)

PEMERINTAHAN DAERAH DI INDONESIA

C. Sistem Pemerintahan Federal

Dalam membicarakan mengenai bentuk pemerintahan dari suatu negara sangat dipengaruhi oleh latar belakang sejarah pembentukan negara itu, atau lebih spesifik lagi oleh kesepakatan dari para pendiri negara.

Dalam teori pemerintahan, secara garis besar dikenal adanya dua model dalam formasi negara, yaitu model negara federal dan model negara kesatuan. Model negara federal berangkat dari satu asumsi dasar bahwa ia dibentuk oleh sejumlah negara atau wilayah yang independen, yang sejak awal memiliki kedaulatan atau semacam kedaulatan pada dirinya masing-masing. Negara-negara atau wilayah-wilayah itu yang kemudian bersepakat membentuk sebuah federasi. Negara dan wilayah pendiri federasi itu kemudian berganti status menjadi negara bagian atau wilayah administratif dengan nama tertentu dalam wilayah federasi.

Dengan kata lain, negara atau wilayah yang menjadi anggota federasi itulah yang pada dasarnya memiliki semua kekuasaan yang kemudian diserahkan sebagian kepada pemerintah federal. Biasanya pemerintah federal diberi kekuasaan penuh di bidang moneter, pertahanan, peradilan dan hubungan luar negeri. Kekuasaan lainnya cenderung

tetap dipertahankan oleh negara bagian atau wilayah administrasi. Kekuasaan negara bagian biasanya sangat menonjol dalam urusan-urusan domestik, seperti pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, dan keamanan masyarakat. Ringkasnya, pembentukan suatu negara federasi melalui dua tahap, yaitu tahap pengakuan atas keberadaan negara- negara dan wilayah independen dan tahap kedua adalah kesepakatan mereka membentuk negara federal. Ini bisa dilihat dalam sistem federalisme di Amerika Serikat dan Malaysia.

Dalam model negara kesatuan, asumsi dasarnya berbeda secara diametrik dari negara federal. Formasi negara kesatuan dideklarasikan saat kemerdekaan oleh para pendiri negara dengan mengklaim seluruh wilayahnya sebagai bagian dari satu negara. Tidak ada kesepakatan para penguasa daerah, apalagi negara-negara, karena diasumsikan bahwa semua wilayah yang termasuk di dalamnya bukanlah bagian-bagian wilayah yang bersifat independen. Dengan dasar itu, maka negara membentuk daerah-daerah atau wilayah- wilayah yang kemudian diberi kekuasaan atau kewenangan oleh pemerintah pusat untuk mengurus berbagai kepentingan masyarakatnya. Di sini diasumsikan bahwa negaralah yang menjadi sumber kekuasaan. Kekuasaan daerah pada dasarnya adalah kekuasaan pusat yang didesentralisasikan, dan selanjutnya terbentuklah daerah-daerah otonom. Jadi sangat jelas bahwa otonomi daerah adalah wujud pemberian kekuasaan oleh pemerintah pusat. Ini bisa kita amati dari sistem Indonesia dan RRC.

Untuk kasus Indonesia, gagasan federalisme ini cukup menarik untuk dikaji, karena membawa implikasi yang sangat jauh, ke belakang dan ke depan. Ke belakang, bisa kita telusuri dari sejak pemerintahan Belanda, lahirnya wacana kemerdekaan, dan perjalanan sejarah pemerintahan kita hingga saat ini. Ke depan, kita bisa menduga-duga implikasinya terhadap Negara Proklamasi 1945.

Pemerintah Hindia Belanda di wilayah Nusantara menemukan bentuknya yang bersifat sentralistis sejak tahun 1905. Bentuk pemerintahan ini telah secara final mematikan independensi daerah-daerah, baik dalam konteks kehadiran raja-raja lokal yang sangat tergantung kepada pemerintahan Belanda, mulai dari gaji yang mereka terima sampai kepada keputusan-keputusan yang mereka ambil maupun dalam konteks administrasi pemerintahan mereka. Format ini yang terpelihara hingga kita memproklamasikan kemerdekaan.

Dalam periode antara 1905 hingga 1945, pulau-pulau Nusantara telah merupakan satu kesatuan politik di bawah kekuasaan Belanda, dan sebentar di bawah pendudukan Jepang. Begitu kuatnya hasil penyatuan pulau-pulau Nusantara itu, sehingga para pemuda Indonesia yang mendeklarasikan Sumpah Pemuda pada tahun 1928 pun meyakininya sebagai Satu Tanah Air, atau Satu Nusa yang tidak terbagi-bagi. Pidato Bung Karno dalam rapat-rapat Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) juga menjelaskan keyakinan ini. Ringkasnya, semua pendiri negara pada waktu itu sepakat untuk mendirikan sebuah negara kesatuan yang bukan merupakan penjumlahan dari beberapa negara bagian. Wacana para pendiri negara itu pun diyakini oleh sebagian besar rakyat Indonesia sebagai acuan nilai dalam upaya membangun semangat kebangsaan. Maka, strategi Belanda untuk medelegitimasi negara hasil proklamsi 17 Agustus 1945 itu adalah dengan mendorong lahirnya negara-negara di luar formasi UUD 1945.

Berdirinya Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Sumatera Timur, dan sebagainya adalah hasil jerih payah Belanda untuk menunjukkan kepada dunia bahwa republik yang kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 itu sudah runtuh. Ia tidak lagi memiliki kedaulatan. Ketika Belanda berkesempatan memainkan kartunya dalam perundingan-perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) untuk penyerahan kedaulatan kepada pemerintah bekas jajahannya ini, mereka bersikukuh mengakui keberadaan negara-negara itu sebagai satuan-satuan politik yang independen. Karena itu, hasilnya adalah pembentukan Negara Republik Indonesia Serikat. Negara Proklamasi telah direduksi menjadi salah satu negara dalam serikat itu. Inilah bentuk pemerintahan federal yang pernah kita miliki.

Akan tetapi, sejarah membuktikan bahwa umur dari proyek federalisme ini sangat pendek. Ia ditolak justru oleh para pemuda pejuang di negara-negara bagian bentukan Belanda tersebut. Kita kemudian sepakat kembali ke bentuk negara kesatuan. Contoh yang menarik adalah pembubaran Negara Indonesia Timur yang dilakukan oleh para pemuda Negara Indonesia Timur secara unilateral, dan sekaligus menyatakan bergabung kembali ke dalam Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta. Pernyataan pemuda- pemuda Negara Indonesia Timur tersebut kemudian diikuti oleh keputusan para

pemimpin Negara Indonesia Timur (NIT) untuk kembali ke bentuk kesatuan dan menolak kelangsungan NIT.

Dalam perjalanan selanjutnya, proyek negara kesatuan ternyata mengalami berbagai distorsi. Ia cenderung ditafsirkan identik dengan sentralisasi kekuasaan dan belakangan bahkan diberi nama uniformitas struktur pemerintahan. Kedua hal inilah yang kemudian menimbulkan berbagai masalah dalam hubungan pusat dan daerah. Otonomi daerah dikebiri dari waktu ke waktu, baik dalam artian politik, ekonomi, maupun administrasi. Keputusan tentang hajat hidup orang banyak tidak bisa tuntas di daerah. Hampir semua urusan harus diselesaikan di Jakarta. Kegagalan membangun sistem pemerintahan yang kewenangannya terdesntralisasikan secara lebih bermakna dari waktu ke waktu, menimbulkan keyakinan baru bagi masyarakat di daerah bahwa pusat bukan hanya mengeksploitisr mereka, tetapi juga mengambil hak mereka untuk mendapat pelayanan yang baik oleh sebuah pemerintahan yang baik. Kondisi ini berlangsung sangat lama, sehingga menimbulkan berbagai ketidakpuasan. Pada puncaknya, muncul gagasan untuk kembali ke bentuk pemerintahan federal.

Mudah-mudahan, gagasan federalisme itu lebih merupakan ledakan ketidakpuasan belaka daripada sebuah keinginan yang serius. Sebab, kalau akan terus bergerak kearah perwujudan negara dengan bentuk federalisme, maka hanya ada satu jalan yang bisa kita lalui, yaitu membubarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Jalan keluar yang moderat untuk mengatasi ketidakpuasan daerah selama ini adalah dengan kebijakan desentralisasi yang lebih besar kepada daerah-daerah. Pusat harus menghentikan secara drastis kebijakannya yang sangat sentralistis dan mengakhiri kebiasaan memaksakan keseragaman struktur administrasi kepada daerah. Lahirnya UU No 22 Tahun 1999 yang diperbarui dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagai pengganti UU No. 5 Tahun 1974 adalah jawabannya. Lahirnya UU baru ini membalikkan falsafah sentralisme pemerintahan Orde Baru ke arah falsafah desentralisasi seluas-luasnya untuk mewujudkan kedaulatan rakyat di daerah untuk mengurus urusan rumah tangganya sendiri, dapat menjadi jawaban terhadap substansi berbagai tuntutan yang terbungkus dalam isu federalisme.

Dalam dokumen Staff Site Universitas Negeri Yogyakarta (Halaman 183-187)