• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Munculnya Perda Khusus Papua

Dalam dokumen Staff Site Universitas Negeri Yogyakarta (Halaman 130-133)

OTONOMI KHUSUS PAPUA A Latar Belakang Masalah

B. Sejarah Munculnya Perda Khusus Papua

Pada saat ini, Indonesia memiliki 4 daerah yang diprlakukan secara istimewa atau khusus, antara lain, Daerah Istimewa Aceh, Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dan Daerah Khusus Papua (Irian Jaya). Daerah Istimewa Yogyakarta secara khusus telah diakui pemerintahannya sejak Pemerintahan Hindia Belanda. Pengakuan negara terhadap Aceh sebagai daerah Istimewa disebabkan oleh salah satu karakter khas yang dialami dalam sejarah perjuangan rakyat Aceh yaitu daya juang yang bersumber karakter sosial dan kemasyarakatan dengan buddaya islam yang kuat, sehingga Daerah Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Sarundajang,2005).

Pada tahun 2001 Provinsi Papua resmi dijadikan provinsi dengan sistem otonomi khusus, hal ini sesuai dengan disahkannya Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 tentang pemberian otonomi khusus yang merupakan hasil dari produk politik dari penguasa untuk Provinsi Papua atau yang disebut juga dengan Perda Khusus. Sama halnya dengan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) yang telah ditetapkan dengan otonomi khusus

yang disebut juga dengan Syarikat Islam dimana Perda tersebut berlaku bagi umat muslim yang berada di daerah Aceh terkecuali umat yang beragama lain. Yang tetap diberlakukan dengan perda yang berlaku. Perda khusus Papua ini merupakan produk sejarah dimana produk ini dikeluarkan sebagai tindak lanjut untuk mengatasi gejolak Papua yang ingin memisahkan diri dari NKRI dengan dalil untuk mendirikan negara sendiri atau disintegrasi.

Pemberian otonomi khusus kepada provinsi-provinsi tertentu di Indonesia ini dimaksudkan untuk memberikan kekuasaan secara desenrtalistik dengan asas dekonsentrasi agar pemerintah daerah dapat mengelola daerahnya sendiri sesuai dengan kemampuan dan prakarsanya dengan tetap dilakukan pengawasan oleh pemerintah pusat. Kewenangan ini dimaksudkan agar pemerintah daerah dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri secara proporsional. Disamping itu daerah dalam menjalankan pemerintahannya diberikan hak seluas-luasnya sesuai dengan prinsip otonomi. Pada prinsipnya pemerintah daerah adalah penataan penyelenggaraan pemerintahan negara berdasarkan hierarhis dan kesatuan wilayah dalam rangka peningkatan efisiensi dan efektifitas pelaksanaan tugas pemerintahan maupun pembangunan, dimana pemerintah daerah harus menerima konsekuensi di dalamnya (Syaukani, 2002: 132).

Ia lahir sebagai suatu produk pollitik dan produk sejarah, yang melewati suatu proses sejarah yang panjang dengan segala suka dan dukanya. Ia lahir dalam konteks dinamika social politik dan keamanan dari negara kebangsaan (nation state) Indonesia. Ia lahir konteks penegakan hokum, HAM, dan demokrasi. Keputusan politik penggabungan tanah Papua (waktu itu dikenal dengan Netherlands Nieuw Gueinea) menjadi bagian dari NKRI sejak tahun 1963 namun belum menghasilkan kesejahteraan, kemakmuran, dan pengakuan negara terhada0p hak-hak dasar rakyat Pa[pua. Kondisi rakyat Papua di bidang pendidikan, ekonomi, kebudayaan, dan social politik terlihat masih jauh dibandingkan dengan kondisi masyarakat di provinsi-provinsi Indonesia. Persoalan- persoalan pelanggaran HAM juga sering terjadi dalam penyelenggaraan pembangunan di daerah Papua. Hal ini yang ingin menyebabkan rakyat Papua ingin melepaskan diri dari NKRI sebagai suatu alternatif untukn memperbaiki kesejahteraan hidup mereka.

UU ini lahir sebagai upaya penyelesaian konflik. Sebagai jalan keluar untuk menciptakan win-win solution antara rakyat Papua yang ingin merdeka dan melepaskan

diri dari NKRI dan pemerintah RI yang tetap kokoh mempertahankan integritas dan kedaulatan atas NKRI sehigga pemerintah membuat produk hokum tersebut yang kemudian disebut UU No 21 tahun 2001 yang dinamakan otonomi khusus Papua. Di satu pihak, sangatlah jealas bahwa keinginan banyak orang Papua adalah kemerdekaan penuh dari RI, sebagaimana disampaikan dalam konggresv Papua II di Jayapura (29 mei sampai 3 Juni 2000). Di lain pihak juga sangat jelas bahwa para penguasa Indonesia telah bereaksi negatif utuk menolak tuntutan tersebut. Kita semua menyadari bahwa kedua belah pihak dengan alasannya masing-masing jika tetap teguh mempertahankan sikapnya, pendiriannya, prinsip-prinsipnya serta berjuang dengan segala cara termasuk cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuannya, maka situasi konflik akan sulit dihindari dan konflik tersebut akan berkembang lebih luas dan lebih dalam segala implikasinya. Dalam setiap konflik, korban yang akan berjatuhan dari kedua belah pihak akan sulut dihindari, termasuk jatuhnya korban dari orang-orang yang tidak bersalah.

Otonomi khusus bagi daerah Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas kepada provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri didalam kerangka NKRI. Kewenangan yang lebih luas berarti pula tanggungjawab yang besar bagi provinsi dan rakyat papua untuk menyelenggarakan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di provinsi Papuauntuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua sebagai bagian dari rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk memperdayakan potensi sosial –budaya masyarakat Papua, termasuk memberikan peran yang memadaibagi orang-orang asli Papua melalui tokoh-tokoh adat, agama, dan kaum perempuan. Peran yang dilakukan adalah ikut melakukan perumusan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetep menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat Papua, melestarikan budaya serta lingkungan alam Papua. Yang tercermin melalui perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua, lambang daerah dalam bentuk daerah dan lagu daerah sebagai bentuk aktualisasi jati diri rakyat Papua dan pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat, adat, masyarakat adat, dan hukum adat.

Undang-undang tentang otonomi khusus juga sekaligus membuka ruang bagi perbaikan untuk masa depan yang lebih baik, belajar dari kesalahan masa lampau agar kita tidak boleh lagi mengulangi kesalahan yang sama di masa depan. Dengan demikian

undang-undang ini juga membuka ruang untuk perbaikan dalam rangka memperjuangkan perbaikan kesejahteraan, keadilan, perdamaian, persamaan hak, dan mengembangkan jati diri, harga diri serta harkat dan martabat sebagai manusia. Undang-undang ini juga membuka ruang untuk membangun kembali kepercayaan rakyat Papua yang sangat merosot, yang diakibatkan oleh kecewanya mereka yang sangat mendalam kepada RI. Undang-undang ini juga membuka kesempatan dan sekaligus sebagai tantangan untuk pengembangan kapasitas dan kapabilitas kepemimpinan dan manajemen daerah/lokal dalam rangka mengembangkan Good Governance, Demokrasi, dan Civil Society di Provinsi Papua.

Dalam dokumen Staff Site Universitas Negeri Yogyakarta (Halaman 130-133)