• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hambatan dalam Implementasi Otonomi Khusus

Dalam dokumen Staff Site Universitas Negeri Yogyakarta (Halaman 136-142)

OTONOMI KHUSUS PAPUA A Latar Belakang Masalah

F. Hambatan dalam Implementasi Otonomi Khusus

Berlakunya undang-undang ini secara normatif telah memasuki tahun kedua (sejak 21 November 2001) akan tetapi implementasinya baru memasuki bulan ke-15 (sejak Januari 2002). Refleksi terhadap implementasi undang-undang menunjukkan bahwa belum secara efektif, hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain:

1. Belum adanya perangkat peraturan yang menjadi landasan operasionalnya dalam bentuk Peraturan Daerah Provinsi (PERDASI) dan Peraturan Daerah Khusus (PERDASUS). Keterlambatan formulasi PERDASI dan PERDASUS disebabkan karena lembaga yang berwenang memproduk kedua peraturan ini belum lengkap. PERDASI dibuat oleh DPRP bersama-sama Gubernur, oleh karena sampai saat ini DPRD Provinsi Papua belum berubah menjadi DPRP, maka produk hokum daerah dalam bentuk PERDASI belum bias dibuat. Walaupun sesungguhnyadengan berlakunya Undang-undang No. 21 tahun 2001 lembaga legislative di Provinsi Papua dilaksanakan oleh DPRP. RAPERDASUS dibuat oleh DPRD bersama-sama dengan Gubernur dan ditetapkan sabagai PERDASUS setelah mendapat pertimbangan dan persetujuan dari Majelis Rakyat Papua (MRP). Oleh karena DPRP dan MRP belum ada, maka produk hokum dalam bentuk PERDASUS juga belum dapat dibuat.

2. Pembagian penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus selama 1 (satu) tahun pertama dipandang belum dilakukan secara berkeadilan, hal inidisebabkan karena belum adanya instrument hokum dalam bentuk PERDASUS yang memuat factor- faktor yang menjadi indicator dalam menentukan pembagian penerimaan tersebut. 3. Belum ditetapkannya Peraturan Pemerintah tentang MRP, tanpa alas an yang jelas. Padahal RPP tentang MRP telah diusulkan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD Provinsi Papua sejak tanggal 15 Juli 2002 dan seharusnya menurut pasal 72, selambat-lambatnya satu bulan setelah menerima usulan harus sudah ditetapkan.

Sebagai konsekuensi dari adanya kondisi ini, maka berbgai materi muatan yang termuat dalam Undang-Undang No. 21 tahun 2001 belum dapat dilaksanakan secara efektif. Bahkan dalam satu tahun pertama Pemerintah Daerah atau DPRD Provinsi Papua masih menggunakan model atau paradigma lama dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan. Dengan menggunakan format APBD sebagai indicator, sebagian komponen masyarakat menganggap bahwa Otonomi Khusus sebagai suatu kebijakan yang berpihak kepada kepentingan masyarakat di Provinsi Papua secara berkeadilan ternyata masih jauh dari harapan. Kondisi ini telah memunculkan “negative image” bahwa

Otonomi Khusus ternyata hanya sekedar mem,indahkan tradisi sentralistis Jakarta ke Jayapura. Berbagai pandangan dan penilaian terhadap implementasi Otonomi Khusus harus disikapi secara arif dan bijaksana. Dalam kaitan ini diperlukan adanya format strategi penyelenggaraan pemerintah dan pelaksanaan yang berlandaskan pada filosofi dan batang tubuh Undang-Undang No. 21 tahun 2001. Memasuki tahun kedua implementasi kebijakan Otonomi Khusus, dan sebagai respon terhadap “image” yang memberi penilaian negative dari berbagai kalangan terhadap implementasi kebijakan ini, maka Pemerintah Daerah dan komponen lainnya yang dianggap mampu memposisikan kebijakan Otonomi Khusus sebagai salah satu solusi penyelesaian berbagai permasalahan di Provinsi Papua.

Pemerintah Daerah dan berbagai komponen masyarakat di Provinsi Papua dikejutkan dengan dikeluarkannya INPRES No. 1 tahun 2003, pada tanggal 27 Januari 2003, isi INPRES ini antara lain: memerintahkan Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Gubernur Papua dan Para Bupati di Provinsi Papua untuk mengambil langkah-langkah percepatan pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah berdasarkan UU No. 45 tahun 1999 dan mengaktifkan pejabat gubernurnya. Dikeluarkannya INPRES ini dilatarbelakangi oleh beberapa alas an sebagaimana termuat dalam konsiderans menimbangnya, antara lain: (1) untuk pelaksanaan UU No. 45 tahun 1999 tentang pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Pncak Jaya, dan Kota Sorong dipandang perlu dilakukan percepatan penyiapan sarana dan prasarana, pembentukan organisasi perangkat Daerah, dan kegiatan penyelenggaraan Pemerintah Daerah; (2) sesuai tuntutan dan perkembangan aspirasi masyarakat serta kondisi politik nasional yang kondusif pada saat ini, maka penyelenggaraan pemerintahan daerah di Provinsi Irian Jaya Barat perlu derealisasikan secara terarah, terpadu, terkoordinasi, dan berkesinambungan.

Menindaqklanjuti INPRES ini, maka Menteri Dalam Negeri telah menerbitkan Radiogram yang ditujukan kepada Gubernur Provinsi Papua, Bupati/Walikota se Provinsi Papua, dan seluruh pejabat eselon I Departemen Dalam Negeri.Radiogram No. 134/221/SJ, tertanggal 3 Februari 2003, antara lain berisikan : (1) seluruh jajaran

Pemerintah dan Pemerintah Daerah Provinsi /Kabupaten/Kota agar segera mengambil langkah-langkah operasional yang relevan; (2) ditegaskan bahwa INPRES No. 1 tahun 2003 dilaksanakan sejalan dengan operasionalnya UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus di Provinsi Papua; (3) Pemerintah Daerah memberi dukungan penuh untuk pelaksanaan hal-hal tersebut; (4) Sekjen dan Gubernur/Bupati melapor kepada Menteri Dalam Negeri atas persiapan langkah-langkah tersebut dalam waktu selambatnya dua minggu.

Pada tanggal 21 November 2001, Presiden Megawati menandatangani UU Republik Indonesia No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Hingga sekarang sudah lebih dari enam tahun sejak ditetapkannya undang-undang tersebut, belum ada satupun peraturan pelaksanaan (Peraturan Pemerintah, Perdasi, Perdasus) yang diterapkan baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat. Berbagai hambatan telah menghadang implementasi Undang-Undang Otonomi Khusus di Papua, dalam pengamatan kami, hambatan-hambatan tersebut yaitu sebagai berikut:

1. Masalah ketidaksamaan dalam pemahaman dan persepsi tentang otonomi khusus di Papua. Sejak awal telah terbentuk persepsi, pemahaman dan pengertian yang berbeda-beda tentang otonomi khusus di kalangan masyarakat Papua itu sendiri. Bertolak dari konsepsi dan pemahaman yang berbeda-beda, respons yang diberikan oleh masyarakat Papua juga berbeda-beda. Ada sebagian rakyat Papua yang memberikan respon positif, dan ada pula yang memberikan respon negative bahkan ada pula yang bersifat netral. Mereka yang memberikan respon posituf, melihat status otonomi khusus sebagai satu jalan keluar yang bersifat win-win solution yang dapat mencegah konflik bahkan mencegah jatuhnya korban yang lebih banyak lagi. Ada pula sebagian kemedekaan penuh dalam artian lepas dari NKRI. Hal ini seperti yang dikemukakan diatas, bahwa yang lebih ironis lagi adalah bahwa pemahaman/konsepsi yang di kalangan pejabat pemerintah dan anggota-anggota lembaga legislative, baik di pusat maupun di daerah. Padahal mereka mempunyai tanggung jawab untuk menjelaskan tentang otonomi khusus secara benar, jelas dan tegas. Hal seperti itu akan sangat menghambat upaya sosialisasi tentang otonomi khusus ke tengah-tengah masyarakat Papua.

2. Pada sisi lain, dari pihak pemerintah pusat ada kalangan atau pejabat tertentu yang curiga atau khawatir bahwa undang-undang otonomi khusus bagi Papua akan lebih mendorong perjuangan rakyat Papua untuk merdeka. Lebih ironis lagi bahwa sejumlah pejabat orang asli Papua yang selama ini justru berperan sebagai penengah justru dicurigai tanpa bukti dan data yang akurat. Dengan demikian salah satu masalah implementasi UU Otonomi Khusus Papua karena terdapat rasa tidak saling mempercayai diri satu sama lain.

3. Sangat lambannya proses penyusunan peraturan-peraturan pelaksanaan (PP, Perdasi dan Perdasus). Hingga juni 2003 sudah lebih dari satu setengah tahun diterapkannya UU Otonomi Khusus Papua belum ada satupun peraturan pelaksanaan baik di tingkat pusat maupun daerah. Salah satu penyebab kelambatan tersebut adalah Tim Inti yang terdiri dari para intelektual Papua yang menyususn Konsep Rancangan Undang-Undang tersebut tidak dilibatkan secara utuh dan penuh dalam penyususnan draft rancangan peraturan pelaksanaan tersebut. Tanpa keterlibatan tim inti tersebut tidak saja menyebabkan prose situ menjadi lambat, tetapi bias terjadi missing link antara nilai-nilai dasar dan norma- norma dasar yang diatur dalam UU tersebut untuk kemudian dijabarkan kedalam peraturan-peraturan pelaksanaannya. Bahkan tidak mungkin terjadi misinterpretasi, misunderstanding, dan misperception terhadap UU tersebut. Dalam gilirannya konsep-konsep dalam peraturan-peraturan pelaksanaan akan menyimpang dari nilai-nilai dan norma-norma dasar yang tertuang dalam UU tersebut.

4. Masalah penyerahan kewenangan dan sumber daya yang konsisten dan setengah hati oelh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Kita nmemahami bahwa menyerahkan semua kewenangan dan sumber daya yang selama ini dikelola oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, bukanlah hal yang mudah walaupun atas perintah UU. Dalam banyak hal pemerintah pusat belum siap secara mental untukmenyerahkan semua kewenangan tertentu yang telah diserahkan tetapi ditarik kembali, sehingga terjadi kondisi tarik ulur antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal lain ialah persiapan secara administrative, structural dan fungsional dari pihak yang menyerahkan dan pihak yang menerima, belum diatur

secara jelas dalam pemerintah pusat sehingga memperlambat bahkan menghambat proses penyerahan itu sendiri. Dalam hal ini pemerintah pusat tidak konsisten untuk melaksanakan urusan-urusan penyerahan, sesuai dengan perintah undang- undang.

5. Masalah kesiapan pemerintah daerah untuk menerima dan mengambil alih kewenangan, sumber daya, tugas dan tanggung jawab dari pemerintah pusat. Kita semua memahami bahwa pemerintah daerah belum siap, dalam arti kapasitas dan kapabilitas kepemimpinan dan manajemen yang dimilikinya belum memadai untuk memikul dan mengemban kewenangan, tugas dan tanggung jawab yang diserahkan oleh pemerintah pusat. Akibat kekuasaan yang sangat sentralistik pada waktu yang lalu telah membantu pemerintah daerah yang kerdil dan sangat bergantung dari subsidi yang diberikan oleh pemerintah pusat, sehingga cenderung untuk mematikan inisiatif dan kretivitas pemerintah daerah. Hal-hal seperti itu telah ikut menghambat upaya-upaya pemberdayaan pemerintah daerah. Demikian juga intelectual resources yang sangat terbatas untuk menyusun/merumuskan konsep-konsep kebijakan, strategi dan program-program pembangunan daerah yang tepat dan berguna/bermanfaat bagi seluruh rakyat merupakan suatu masalah yang tersendiri.

6. Masalah lain yang tidak kalah penting adalah pengawasan, transparansi dan akuntabilitas, yang juga belum berjalan sebagaimana mestinya sehingga membuka peluang/kesempatan untuk terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme yang semakin berkembang di daerah-daerah. Hal-hal tersebut akan menghambat upaya-upaya untuk mengembangkan suatu pemerintah yang baik dan bersih (clean dan good governance) di daerah-daerah.

BAB IX

Dalam dokumen Staff Site Universitas Negeri Yogyakarta (Halaman 136-142)