• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan Sistem Pemerintahan pada Era Reformas

Dalam dokumen Staff Site Universitas Negeri Yogyakarta (Halaman 34-38)

SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA

C. Sistem Pemerintahan Indonesia

6. Pelaksanaan Sistem Pemerintahan pada Era Reformas

Pelaksanaan sistem pemerintahan dan politik pada era reformasi merupakan transisi dari sistem politik otoriter ke demokrasi. Samuel Huntington, mengajukan empat model transisi atau perubahan politik. Pertama, model transformasi yaitu demokratisasi datang dari atas (pemerintah). Transisi ini terjadi ketika negara kuat dan masyarakat sipil (civil society) lemah. Negara yang mengalami transisi melalui model ini contohnya adalah Taiwan. Pemerintahan Kuomintang di Taiwan di awal 1990-an menyelenggarakan pemilu demokratis untuk menghadirkan demokrasi di negara tersebut.

Kedua, model penggantian (transplacement) yaitu pemerintah menyerahkan kekuasaannya dan digantikan oleh kekuatan-kekuatan oposisi. Demokratisasi muncul dari bawah. Transisi model ini terjadi ketika negara lemah dan masyarakat sipil kuat. Contoh transisi model ini adalah di Filipina ketika Presiden Marcos dipaksa meninggalkan negerinya dan digantikan Corry Aquino.

Ketiga, model campuran antara transformasi dan penggantian yang disebut transplasi. Transisi terjadi sebagai hasil negoisasi antara elit pemerintah dengan elit masyarakat sipil untuk melakukan perubahan politik kearah yang lebih demokratis. Transisi ini terjadi karena pemerintah masih kuat dan kekuatan-kekuatan oposisi tidak cukup kuat untuk menggulingkan penguasa yang ada. Contohnya adalah Polandia, di mana Serikat Buruh Solidaritas yang dipimpin Lech Walesa berunding dengan militer untuk mencapai demokrasi.

Keempat, model intervensi. Transisi menurut model ini terjadi karena dipaksakan oleh kekuatan luar. Contohnya, adalah Panama, di mana tentara Amerika Serikat menahan presiden dari pemerintahan militer dengan tuduhan terlibat dalam perdagangan obat terlarang. Selanjutnya sebuah pemilu demokratis diselenggarakan untuk memilih pemerintahan baru.

Setelah 32 tahun berkuasa, Presiden Soeharto yang kuat tiba-tiba secara resmi menyatakan diri berhenti sebagai Presiden RI pada 21 Mei 1998 di tengah krisis ekonomi Asia. Soeharto sebagai mandataris MPR, meletakkan jabatannya tanpa melalui pertanggungjawaban kepada MPR. Mundurnya Soeharto diawali oleh serentetan kerusuhan sosial sepekan sebelumnya dan gelombang demonstrasi mahasiswa yang memuncak dengan menduduki gedung MPR/DPR. Soeharto kemudian digantikan oleh BJ. Habibie yang menjabat wakil presiden. Habibie diambil sumpah sebagai presiden di Istana Negara di hadapan Mahkamah Agung, dengan dihadiri oleh pimpinan MPR. Hal ini dikarenakan gedung DPR dan MPR diduduki oleh para pendemo khususnya mahasiswa yang menuntut Soeharto lengser. Hal ini sempat mengundang pro dan kontra mengenai sah tidaknya suksesi tersebut secara konstitusional. Ketetapan MPR No. 3 Tahun 1999 memperjelas bahwa BJ. Habibie dinyatakan telah menjabat Presiden sejak mengucapkan sumpah jabatan pada tanggal 21 Mei 1998. Namun melalui ketetapan tersebut juga BJ. Habibie ditolak pertanggungjawabannya, yang mengakhiri masa jabatannya sebagai presiden pada 19 Oktober 1999 atau menjabat presiden selama kurun waktu 17 bulan (21 Mei 1998 ā€“ 19 Oktober 1999).

Pada tanggal 20 Oktober 1999 BJ. Habibie kemudian digantikan oleh KH.Abdurrahman Wahid, sebagai presiden terpilih melalui Sidang Umum MPR hasil Pemilu 1999. Presiden Abdurrahman Wahid dipilih melalui proses pemungutan suara (voting). Ia memperoleh 373 suara dari 691 anggota MPR yang menggunakan hak pilih. Terpilihnya Abdurrahman Wahid ini menunjukkan bahwa partai politik yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilu tidak serta merta menduduki kursi presiden. Karena wewenang untuk memilih presiden dan wakil presiden menurut UUD 1945 sebelum amandemen berada di tangan MPR. Sehingga yang menentukan bagaimana melakukan upaya mendapat dukungan partai lain untuk memperoleh suara mayoritas di MPR. Melihat kelemahan ini, maka UUD 1945 setelah amandemen, menetapkan

pemilihan presiden dan wakil presiden merupakan paket dalam suatu pemilihan langsung oleh rakyat.

Pada masa Abdurrahman Wahid terjadi konflik yang tajam antara presiden dengan DPR, MPR, dan Kepala Polri. Konflik dengan DPR, tampak ketika Abdurrahman Wahid menolak panggilan Pansus Bulog yang melaksanakan hak angket atas kasus Bulog. Konflik dengan MPR diawali ketika MPR menganggap Abdurrahman Wahid melalukan pelanggaran dalam menetapkan Pejabat Kapolri dengan mempercepat SI MPR. Abdurrahman Wahid menolak hadir dalam Sidang Istimewa MPR karena Sidang Istimewa dianggap melanggar tata tertib. Dua hari kemudian presiden mengeluarkan Dekrit Maklumat Presiden antara lain pembekuan MPR. MPR menolak dekrit dan mencabut Ketetapan MPR No. VII/MPR/1999 tentang pengangkatan Abdurrahman Wahid sebagai presiden.

Dengan Ketetapan MPR di atas, maka Abdurrahman Wahid diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden pada tanggal 21 Juli 2001 (menjabat selama 20 bulan). Kemudian tanpa melalui pemungutan suara dalam Sidang Istimewa MPR tahun 2001, Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri ditetapkan dan dilantik sebagai presiden ketiga sejak masa transisi atau merupakan presiden kelima, sejak Indonesia merdeka. Pengangkatan Megawati sebagai presiden disahkan dengan Ketetapan MPR No. II/MPR/2001 tanggal 23 Juli 2001.

Kemudian keesokan harinya Hamzah Haz terpilih sebagai wakil presiden melalui pemungutan suara. Pada Pemilu 2004 pemilihan paket presiden dan wakil presiden tidak lagi oleh MPR tetapi dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini merupakan perubahan yang akan memperkuat posisi jabatan presiden. Karena presiden akan bertanggung jawab kepada rakyat bukan kepada MPR. Amandemen UUD 1945 dan Undang-undang Susduk (MPR, DPR dan DPD), tampak DPR posisinya semakin menguat.

Menguatnya posisi DPR, karena kewenangan membuat undang-undang ada pada DPR. Sedangkan pihak pemerintah (eksekutif) hanya memiliki hak untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU). Namun penguatan DPR juga dibarengi dengan penguatan partai politik dengan diberlakukan kembali kewenangan penarikan (recalling) anggota DPR oleh partai politik. Sedangkan anggota DPD yang proses pemilihannya

lebih berat daripada anggota DPR, tampak hanya sebagai pelengkap. Karena kewenangan DPD terbatas pada pengajuan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah. Dengan demikian tampak ada tiga lembaga perwakilan rakyat yang fungsinya tampak lebih saling melengkapi daripada pengejawantahan dari suatu badan perwakilan ke yang lainnya. Oleh karena itu, pemerintahan di era reformasi ini tampak tidak menganut sistem satu atau dua kamar, tetapi tiga kamar.

Pelaksanaan sistem pemerintahan presidensial di Amerika Serikat dan sistem pemerintahan parlementer di Inggris telah menghasilkan pemerintahan yang demokratis dan stabil. Di negara kita pernah menerapkan sistem pemerintahan parlementer (1950 ā€“ 1959) yang menghasilkan pemerintahan yang tidak stabil. Begitu pula ketika kembali ke UUD 1945 yang menganut sistem pemerintahan presidensial ketika penerapannya pada era Soekarno (demokrasi terpimpin) dan era Soeharto (demokrasi Pancasila) menghasilkan pemerintahan yang otoriter.

Ketiga era tersebut juga memperlihatkan setiap terjadi pergantian kekuasaan (suksesi) berjalan tidak normal. Maksudnya peralihan dari sistem parlementer ke sistem presidensial era Soekarno, melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Kemudian peralihan dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto, lewat peristiwa tragedi nasional Gā€“30 S/PKI tahun 1965. Transisi demokrasi dari pemerintahan Soeharto (Orde Baru) ke BJ. Habibie karena desakan massa yang kuat terpaksa Soeharto menyatakan berhenti tanpa mempertang-gungjawabkannya kepada MPR yang telah memilih dan sebagai konsekuensi Presiden sebagai mandataris MPR. Peralihan Soeharto ke Habibie dilakukan di Istana Negara dan pelatikan dan sumpah jabatannya di depan Mahkamah Agung, bukan di MPR. Peristiwa peralihan ini menimbulkan permasalahan konstitusional atau bersifat inkonstitusional.

Peralihan BJ. Habibie ke Abdurrahman Wahid, juga mengandung kontroversi, karena ternyata partai politik yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilu tidak memperoleh dukungan mayoritas di MPR jadi partai pemenang pemilu harus rela peluangnya diisi oleh koalisi partai. Belum masa jabatannya habis Abdurrahman Wahid diberhentikan oleh MPR, karena dianggap melanggar ketika mengangkat Kepala Polri

juga karena menolak menghadiri Sidang Tahunan MPR serta hendak membekukan parlemen yang nyata-nyata telah bergeser dari sistem presidensial ke parlementer.

Dalam dokumen Staff Site Universitas Negeri Yogyakarta (Halaman 34-38)