TENTANG PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA
B. Corporate Social Responsibility (CSR) dalam Undang-Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas di Indonesia
4. Fleksibilitas Pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR)
Fleksibilitas disini dimaksudkan bahwa pelaksanaan TJSL/CSR didasarkan pada kepatutan dan kewajaran sehingga lebih fleksibel. Fleksibel maksudnya dapat diterapkan oleh berbagai perusahaan baik itu yang bergerak dalam bidang Sumber daya alam maupun tidak, atau perusahaan yang sedang berkembang maupun maju. Setiap perusahaan yang ada di Indonesia harus melaksanakan TJSL/CSR sesuai dengan azas kepatutan dan kewajaran. Patut dan wajar disini adalah bagaimana suatu perusahaan dapat melaksanakan TJSL/CSR sesuai dengan kemampuan finansial, sumber daya manusianya, dan lain sebagainya. Apabila perusahaan tersebut tidak mampu melaksanakan TJSL/CSR berarti dapat melaksanakan sesuai dengan kemampuannya yang ada. Kemampuan finansial tidak terlepas dari laba perusahaan. Jika perusahaan merugi atau defisit maka tidak wajib baginya untuk melaksanakan
TJSL/CSR. Karena sudah pasti perusahaan yang merugi tidak patut dan wajar untuk melaksanakan TJSL/CSR.100
Patut dan wajar dimaksud, masuk di dalam Pasal 74 ayat (2) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa : “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran”. Namun, apabila berbicara mengenai perusahaan yang bergerak dalam bidang tambang yang merugi maka tidak pantas bagi perusahaan tersebut untuk tidak melaksanakan TJSL/CSR dikarenakan kepatutan dan kewajaran. Karena perusahaan bidang pertambangan mengeruk keuntungan yang sangat besar di tahun-tahun sebelumnya dan perusahaan tersebut mengurangi daya dukung dan daya tampung lingkungan sekitar tempatnya beroperasi.
Dalam hal fleksibilitas pelaksanaan TJSL/CSR perusahaan dapat melakukannya dengan cara peduli terhadap lingkungan sekitar, seperti memberikan bea siswa kepada masyarakat sekitar, memberikan pinjaman untuk Usaha Kecil Menengah (UKM). Dengan begitu akan memutar perekonomian daerah sekitar. Jadi,
100 Contoh perusahaan yang gagal melakukan CSR, antara lain : a. Shell (Perusahaan pertambangan minyak dari Belanda), salah satu arsitek CSR, gagal untuk membersihkan tumpahan minyak di Delta Niger, Nigeria serta kegagalan mereka menjalankan program pengembangan masyarakat (community development) yang membuat masyarakat terpecah; b. Coca-Cola menghabiskan cadangan air dan mengancam kehidupan masyarakat di India; c. Freeport telah menghancurkan lingkungan serta mengancam kelestarian alam di Papua serta memecah belah masyarakat (antara Suku Amungme dan Suku Komoro) dengan program pengembangan masyarakatnya (community development); dan d. Riau Andalan Pulp & Paper melakukan illegal loging
(penebangan liar) dengan membabat hutan lindung di luar area yang seharusnya. Sumber : Corporate Watch Report dalam Agung Hermawan, “Mengenal Lebih Dekat Dengan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan”, Lembaga Bantuan Hukum Bandung dan Oxfam Community Aid Abroad (OCAA), Februari 2008, hal. 13.
bisa juga mengurangi pengangguran masyarakat sekitar. Jika pengangguran berkurang maka tindak kejahatan juga dapat ditekan. Masyarakat sekitar perusahaan akan melindungi perusahaan tersebut.
Keragaman kegiatan dan pengelolaan TJSL/CSR semakin bervariasi. Paling tidak ada 4 (empat) model atau pola TJSL/CSR yang umumnya diterapkan oleh perusahaan di Indonesia, yaitu101
1. “Keterlibatan Langsung; :
Perusahaan menjalankan program TJSL/CSR secara langsung dengan menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial atau menyerahkan sumbangan ke masyarakat tanpa perantara. Untuk menjalankan tugas ini, sebuah perusahaan biasanya menugaskan salah satu pejabat seperti corporate secretary atau public affair manager atau menjadi bagian dari tugas pejabat public relation.
2. Melalui Yayasan atau Organisasi Sosial Perusahaan;
Perusahaan mendirikan yayasan sendiri di bawah perusahaan atau grupnya. Model ini diadopsi dari negara maju. Biasanya perusahaan menyediakan dana awal, dana rutin yang ditempatkan secara teratur bagi kegiatan yayasan. Contohnya, Yayasan Coca-cola company, Yayasan Sahabat Aqua, Sampoerna Foundation, dan lain-lain.
3. Bermitra dengan Pihak Lain;
Perusahaan menyelenggarakan CSR melalui kerjasama dengan lembaga sosial/organisasi non – pemerintah, instansi pemerintah, universitas atau media massa. Diantaranya adalah Palang Merah Indonesia (PMI), Dompet Dhuafa, Instansi Pemerintah (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia/ LIPI, Depdiknas, Depkes, Depsos) dan lain-lain.
4. Mendukung atau bergabung dalam suatu konsorsium.
Perusahaan turut mendirikan, menjadi anggota atau mendukung suatu lembaga sosial yang didirikan untuk tujuan sosial tertentu. Dibandingkan dengan model lainnya, pola ini lebih berorientasi pada pemberian hibah perusahaan yang bersifat hibah pembangunan. Pihak konsorsium atau lembaga semacam itu yang dipercayai oleh perusahaan – perusahaan yang mendukungnya secara pro aktif mencari mitra kerjasama di kalangan lembaga operasional dan kemudian mengembangkan program yang disepakati bersama”.
101
Edi Suharto, “Pekerjaan Sosial Industri : CSR dan Concept”, disampaikan pada workshop tentang CSR, Lembaga Studi Pembangunan (LPS) – STKS Bandung, tanggal 29 November 2006 di Bandung, hal. 6.
Jika diperhatikan hingga saat ini banyak perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam yang telah menerapkan TJSL/CSR sebagai bagian dari kegiatan bisnisnya. Penerapan TJSL/CSR memang membutuhkan biaya, waktu, sistem, skill, dan tidak bebas resiko. Namun biaya dan resiko tersebut juga diimbangi dengan hikmah dan manfaat yang sepadan. TJSL/CSR akan melindungi korporasi dari suprises yang tidak menyenangkan dan dapat menjadi wahana membangun saling kepercayaan antara masyarakat, perusahaan dan pemerintah.
Maka dari itu, Pasal 74 ayat (2) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang pada frase ”kepatutan dan kewajaran” adalah untuk menuju kepada fleksibilitas dari peraturan itu sendiri. Dengan kata lain, TJSL/CSR dinilai oleh masyarakat sekitar tempat perusahaan beroperasi apakah patut dan wajar untuk melakukan suatu program pelaksanaan TJSL/CSR.
5. Sanksi
Konsekuensi kewajiban melaksanakan TJSL/CSR menimbulkan sanksi bagi pelanggarnya. Pengenaan sanksi bagi perusahaan yang tidak melaksanakan TJSL/CSR tetap perlu memperhatikan kepada hukum positif yang sudah ada dan berkaitan dengan sumber daya alam seperti Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan maupun Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam artian bahwa pengaturan maupun sanksi yang akan diterapkan agar tidak menjadi overlapping dengan aturan-aturan yang sudah ada. Sanksi yang diterapkan
secara umum berupa sanksi adminstratif, pidana maupun perdata. Meskipun demikian, TJSL/CSR sebagai konsep kewajiban tidak dapat menetapkan eksekusi atau hukuman hingga diterbitkannya peraturan pelaksanaan yang dibuat oleh Pemerintah (PP) yang mengatur TJSL/CSR lebih lanjut.102
102
Yu Un Ompusunggu, “Mandatory Corporate Social and Environmental Responsibilities in the New Indonesia Limited Liability Law”, disampaikan pada 5th Asian Law Institute Conference, tanggal 22-23 Mei 2008 di Singapura, hal. 6. Lihat juga : Ibid., “Ini Dia Jeroannya : RPP CSR”, bahwa “Perusahaan yang mbalelo tak mau melaksanakan CSR, bakal dikenai sanksi. Namun RPP tidak merinci jenis dan besaran sanksinya. Tindakan itu terpulang pada sejumlah Undang-Undang, sesuai dengan jenisnya. Sederet Undang-Undang itu antara lain : Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan; Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; Undang-Undang No. 19 tahun 2004 tentang Kehutanan; Undang- Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia; Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; dan Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara”. Lihat juga : Ibid., “Klausul CSR Hanya Untuk Bidang Sumber Daya Alam : RUU Perseroan Terbatas”, bahwa : “Pengusaha tidak perlu risau soal sanksi. Sanksi sesuai peraturan perundang-undangan. Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal malah mengandung sanksi yang lebih berat. Coba lihat Pasal 15 dan 34, izin usaha investor bisa dicabut kalau tidak melakukan CSR. Jadi, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tidak perlu menimbulkan reaksi keras”.
BAB III
CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) BERDASARKAN PASAL 74