PANDANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI TERHADAP PENORMAAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) DALAM UNDANG-
A. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan ( Corporate Social Responsibility – CSR) Merupakan Tanggung Jawab Hukum
CSR/TJSL dapat mendorong terwujudnya kesejahteraan rakyat karena adanya alokasi dana dari perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Pelaku usaha harus bekerja sama dengan Pemerintah dalam upaya mensejahterakan rakyat.148 Sistem Pemerintahan Indonesia menganut sistem demokrasi, yaitu pemerintahan yang berasal dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Dengan demikian, pembangunan kesejahteraan rakyat berasal dari rakyat melalui pajak, untuk rakyat melalui pembangunan infrastruktur daerah-daerah, dan oleh rakyat melalui perwakilan rakyat (lembaga legislatif – DPR) yang menyusun program pembangunan bangsa melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).149
148
Kesejahteraan rakyat tersirat sebagai tugas Pemerintah melalui Alinea-IV Pembukaan UUD 1945, yang menyatakan bahwa : “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang berbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
149
Apabila Pemerintah di Amerika Serikat ditanya dari mana dana pembangunan negara didapat maka jawabannya adalah dari pajak. Sedangkan di Indonesia, apabila ditanya pertanyaan yang sama maka jawabnya adalah dari APBN.
Kedua jawaban yang berbeda di atas mencerminkan perbedaan paradigma pengetahuan Pemerintah mengenai asal pembangunan dilakukan. Itulah makna dari demokrasi (berasal dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat). Maka jawaban yang paling benar, bahwa pembangunan berasal dari pajak masyarakat.
CSR/TJSL perusahaan merupakan tanggung jawab hukum yang berasal dari Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dalil pemohon yaitu150
“Bahwa perubahan sifat CSR dari tanggung jawab moral menjadi kewajiban hukum dalam peraturan perundang-undangan, sama halnya telah meniadakan konsep demokrasi ekonomi sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 khususnya frasa efisiensi berkeadilan. Menurut Pemohon, parameter keberhasilan suatu perusahaan dalam sudut pandang TJSL adalah mengedepankan prinsip moral dan etis, yakni menggapai suatu hasil terbaik, tanpa merugikan kelompok masyarakat lainnya. Oleh karen aitu berubahnya TJSL sebagai tindakan yang berlandaskan tanggung jawab etik menjadi tanggung jawab hukum akan mengarahkan program CSR hanya pada formalitas pemenuhan kewajiban belaka dan dapat mengarahkan kepada bentuk korupsi baru”.
:
Terhadap dalil pelaku usaha tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut di bawah ini151
“Bahwa sistem perekonomian Indonesia sebagaimana yang tertera dalam Pasal 33 UUD 1945 adalah sistem perekonomian yang diselenggarakan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan Iingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Sebagai suatu perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, sistem ekonomi Indonesia bukanlah sistem ekonomi individual liberal. Bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya adalah untuk kemakmuran rakyat, oleh karena itu negara yang mengusai sepenuhnya atas bumi, air, dan kekayaan alam tidak hanya mempunyai kewenangan memungut pajak semata, tetapi harus pula diberikan kewenangan untuk mengatur mengenai bagaimana pengusaha mempunyai kepedulian terhadap lingkungan;
:
Bahwa paham individualisme dan liberalisme dalam bidang ekonomi sangat tidak sesuai bahkan bertentangan dengan demokrasi ekonomi yang dianut oleh bangsa Indonesia. Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya tidak hanya untuk kemakmuran segelintir pengusaha yang bermodal, tetapi justru untuk kemakmuran rakyat. Perekonomian sebagai usaha bersama, tidak 150
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Putusan Nomor 53/PUU-VI/2008”, hal. 97. 151
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Putusan Nomor 53/PUU-VI/2008”, hal. 97- 99.
hanya antara pengusaha dan negara, tetapi juga kerjasama antara pengusaha dan masyarakat, terutama masyarakat sekitarnya. Kepedulian yang sungguh- sungguh dari pengusaha atas Iingkungan sosialnya akan memberikan iklim usaha yang aman karena masyarakat sekitarnya merasa diperhatikan oleh perusahaan, sehingga akan mempererat jalinan hubungan antara perusahaan dan masyarakat;
Bahwa pelaksanaan TJSL sebagaimana diatur dalam Pasal 74 UU 40/2007 tetap dilaksanakan oleh perseroan. Kekhawatiran para Pemohon bahwa berlakunya Pasal 74 UU 40/2007 dapat mengarah pada pelaksanaan TJSL hanya pemenuhan formalitas dan menimbulkan bentuk korupsi baru, menurut Mahkamah, pemikiran demikian karena tidak dipahaminya dengan benar ketentuan Pasal 74 ayat (2) UU 40/2007, yang berbunyi, “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran”. Pasal a quo mengandung makna bahwa perusahaan sendirilah yang melaksanakan TJSL sesuai dengan prinsip kepatutan dan kewajaran. Diserahkannya pelaksanaan TJSL kepada perusahaan masing- masing dapat menghindarkan adanya korupsi sekaligus memperlancar interaksi antara perusahaan dengan masyarakat, sedangkan peranan Pemerintah hanya sebagai pemantau apakah perusahaan dimaksud telah melaksanakan TJSL atau belum. Apabila tidak melaksanakan TJSL maka perusahaan yang bersangkutan akan dikenakan sanksi sesuai Undang-Undang sektoral, misalnya apabila mengabaikan tanggung jawab lingkungan maka perusahaan dimaksud akan dikenakan sanksi yang diatur sesuai dengan UU Lingkungan Hidup, dan apabila mengabaikan tanggung jawab sosial akan dikenakan sanksi yang diatur dalam Undang-Undang terkait;
Berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut di atas, Mahkamah berpendapat prinsip dasar perekonomian di Indonesia adalah bersifat kerakyatan. Pengaturan CSR dengan suatu kewajiban hukum merupakan suatu cara Pemerintah untuk mendorong perusahaan ikut serta dalam pembangunan ekonomi masyarakat. Dengan demikian penormaan CSR dengan kewajiban hukum telah sejalan dan tidak bertentangan dengan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 khususnya pada frasa efisiensi berkeadilan”.
Tanggung jawab perusahaan terhadap program CSR/TJSL yang dilaksanakan berdasarkan Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas adalah bersifat mandatory. Tetapi apabila ukuran kepatutan dan kewajaran dalam pelaksanaan program CSR/TJSL ditetapkan oleh perusahaan sebagai pelaksana
program CSR/TJSL, maka pelaksanaan CSR/TJSL tersebut akan lebih bersifat kedermawanan dan kesukarelaan dari pada sebuah kewajiban yang sifatnya
mandatory.152
Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengatur tentang CSR dalam bentuk TJSL, yang merupakan terobosan baru dalam upaya menciptakan kepastian hukum dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan, namun substansi Pasal 74 tersebut kurang memperhatikan rasa keadilan bagi perusahaan dan stakeholder. Hal ini dikarenakan beberapa hal, yaitu
153
1. “Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengenakan kewajiban bagi perusahaan yang usahanya di bidang sumber daya alam atau terkait dengan sumber daya alam. Dengan demikian CSR/TJSL tidak wajib bagi perusahaan yang tidak berbentuk Perseroan Terbatas (PT), seperti Comanditaire Venotschap (CV), Firma, Koperasi, dan lain-lain, atau perusahaan yang tidak memenuhi kriteria Pasal 74 ayat (1) meskipun secara etik dan moral perusahaan-perusahaan tersebut memiliki tanggung jawab sosial dan berkontribusi terhadap penurunan dan kerentanan daya dukung lingkungan;
:
2. Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas hanya menyatakan wajib pelaksanaan CSR/TJSL bagi perusahaan tetapi tidak memberikan standar yang jelas tentang pelaksanaan kewajiban CSR/TJSL, sehingga ketidak jelasan ini dapat mengakibat ketidakadilan bagi sebagian perusahaan. Perusahaan yang mengalami kerugian atau kesulitan keuangan misalnya, tetap wajib dibebani biaya CSR/TJSL berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, sehingga akan berpengaruh terhadap daya saing perusahaan tersebut. Demikian juga terhadap perusahaan dengan ukuran usaha kecil tetap dibebani biaya CSR/TJSL, sementara perusahaan non-badan hukum lain yang keuangannya lebih baik tidak dikenakan kewajiban CSR/TJSL. Keadaan yang sama juga terjadi pada
152
Kesimpulan mengenai pandangan pelaku usaha terhadap CSR/TJSL sebagai kewajiban hukum bagi perusahaan. Didapat dari tesis Anggusti Martono sebagai Anggota Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Sumatera Utara dengan demikian wawancara dapat diwakilkan dengan karya ilmiah yang dihasilkan. Sumber : Anggusti Martono, Op.cit.
153
BUMN yang tetap dibebani biaya CSR berdasarkan Pasal 74 meskipun telah melaksanakan tanggungjawab sosial dan lingkungan berdasarkan perundang- undangan BUMN dan peraturan terkait lainnya;
3. Perusahaan di Indonesia pada dasarnya telah melaksanakan tanggungjawab sosial dan lingkungan berdasarkan peraturan perundang-undangan terkait, khususnya di bidang perpajakan, lingkungan hidup, ketenagakerjaan dan peraturan sektoral dan teknis sesuai bidang usaha, meskipun dalam peraturan- peraturan tersebut tidak disebutkan sebagai CSR/TJSL. Demikian pula perseroan terbatas yang melakukan investasi untuk inovasi-inovasi yang dapat mengurangi beban lingkungan dan konsumen serta memperbaiki kesejahteraan buruh. Dengan beban yang demikian, tidak adil jika perseroan terbatas di bebani kewajiban baru secara mandatory;
4. Kebanyakan perusahaan di Indonesia bertahan hidup di tengah iklim usaha dan iklim investasi yang tidak kondusif. Infrastrutktur yang tidak mendukung, banyaknya beban pungutan, stabilitas keamanan dan politik yang relatif kurang stabil, korupsi birokrasi dan judicial, lemahnya kepastian hukum, lemahnya kepercayaan internasional, merupakan permasalahan yang sehari- hari dihadapi perusahaan di Indonesia, sehingga kebanyakan dari perusahaan di Indonesia lebih berorientasi untuk bertahan hidup (survive) dan mengurangi kerugian dibandingkan fokus pada upaya-upaya peningkatan kualitas dan daya saing. Justru di tengah keadaan yang demikian, perusahaan dibebani kewajiban CSR/TJSL yang menambah beban biaya perusahaan;
5. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terkait CSR/TJSL tidak memperhitungkan sebagai CSR/TJSL biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan buruh/pekerja dan keluarganya, atau biaya investasi untuk inovasi teknologi yang ramah lingkungan atau yang meringankan beban konsumen. Padahal pada dasarnya penggunaan biaya tersebut adalah untuk kepentingan stakeholder;
6. Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mereduksi makna CSR/TJSL. Pasal 74 lebih cenderung memandang CSR/TJSL sebagai input financial yang dianggarkan perusahaan. Dengan pengaturan yang demikian, dan standar kepatutan dan kewajaran yang tidak tegas, maka dikhawatirkan banyak perusahaan memandang kewajiban CSR/TJSL dalam standar minimal. Artinya cukup dengan menganggarkan sejumlah dana berarti kewajiban CSR/TJSL berdasarkan hukum sudah terpenuhi, meskipun secara finansial perusahaan yang bersangkutan dapat berbuat lebih banyak untuk stakeholder dibandingkan dengan dana (biaya) yang dianggarkan untuk memenuhi kewajiban Pasal 74 tersebut. Keadaan ini justru akan menimbulkan ketidakadilan bagi stakeholder khususnya masyarakat sekitar dan lingkungan hidup;
7. CSR/TJSL yang ditetapkan sebagai kewajiban perusahaan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perusahaan sampai saat ini belum dikategorikan sebagai komponen biaya yang dapat mengurangi pendapatan tidak kena pajak. Dengan demikian, CSR/TJSL berdasarkan ketentuan perpajakan yang ada tidak memberikan insentif perpajakan kepada perusahaan, sekalipun perusahaan tersebut menganggarkan dana CSR/TJSL dalam jumlah cukup besar; dan
8. Pembebanan CSR/TJSL kepada perusahaan dalam suasana iklim usaha dan investasi yang kurang baik akan mendorong perusahaan untuk mengalihkan beban CSR/TJSL tersebut kepada konsumen melalui peningkatan harga produk barang atau jasa, sehingga konsumen dapat dirugikan”.
Harus dibedakan antara pungutan pajak oleh negara dan dana perusahaan untuk CSR/TJSL. Uang pungutan pajak digunakan untuk pembangunan secara nasional, sedangkan dana TJSL dipergunakan bagi masyarakat sekitar perusahaan dan pemulihan lingkungan dimana perusahaan berada, sehingga terhadap kedua hal tersebut tidak dapat digeneralisir.154
Hal yang menjadi permasalahan lanjutan apabila CSR/TJSL dijadikan sebagai tanggung jawab hukum bagi perusahaan adalah mengenai hak dan kewajiban perusahaan. Kewajiban perusahaan adalah melaksanakan CSR/TJSL sesuai dengan ketentuan yang berlaku baik itu Undang-Undang Sektoral maupun Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Selanjutnya, hak perusahaan inilah yang tidak diperhatikan oleh Pemerintah. Infrastruktur tetap saja tidak baik, pungutan liar tetap terjadi, dan birokrasi perizinan selalu mempersulit. Seharusnya infrastruktur Perusahaan menginginkan bahwa urusan kesejahteraan masyarakat sepenuhnya adalah urusan Pemerintah, sedangkan perusahaan hanya mencari keuntungan untuk membiayai perusahaan dan memberikan keuntungan kepada pemegang sahamnya.
154
dibenahi terlebih dahulu, pungutan liar ditiadakan, dan birokrasi perizinan dibuat satu pintu barulah CSR/TJSL dijadikan sebagai kewajiban hukum.
Di dalam hukum apabila berbicara tanggung jawab tidak terlepas berbicara mengenai kewajiban dan hak. CSR/TJSL menjadi kewajiban bagi perusahaan, namun Pemerintah tidak memberikan hak kepada perusahaan (infrastruktur yang baik, tidak adanya pungutan liar, dan perizinan yang satu pintu). Untuk mengatur permasalahan tersebut, Pemerintah perlu mengupayakan segala tindakan yang berpihak kepada pelaku usaha. Jangan hanya mengutip pajak yang semakin tahun semakin tinggi dari pelaku usaha.
B. Pemberlakuan Corporate Social Responsibility (CSR) Tidak Bersifat