A. Kesimpulan
Setelah melakukan penelitian mengenai “Analisis Yuridis Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (Corporate Social Responsibility – CSR) Berdasarkan Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas”, maka kesimpulan yang didapat, sebagai berikut :
1. CSR/TJSL sebagai kewajiban hukum dari perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam. Pelaksanaan kewajiban CSR/TJSL ditetapkan sebagai beban biaya perusahaan yang pelaksanaannya dilakukan oleh perusahaan berdasarkan kepatutan dan kewajaran. CSR/TJSL berdasarkan Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas berbeda dengan CSR pada umumnya yang bersifat “after profit”. Dalam Pasal 74 tidak dijelaskan ukuran kepatuhan dan kewajaran dalam pelaksanaan CSR/TJSL.
Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengancam sanksi kepada perusahaan yang tidak melaksanakan CSR/TJSL. Namun demikian, kekosongan soal ketentuan sanksi tersebut, dapat menimbulkan persoalan yang cukup rumit. Bagaimana sanksi akan diterapkan apabila tidak ada Peraturan Pemerintah yang mengatur soal sanksi. Kewajiban adalah suatu keharusan, keharusan memiliki konsekuensi/sanksi apabila tidak dilakukan.
CSR/TJSL sebagai kewajiban hukum sudah tepat sebagaimana disebutkan Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, namun perlu Peraturan Pelaksanaan tentang CSR/TJSL. Hal ini dilakukan untuk menyeragamkan peraturan-peraturan yang berlaku. Selama ini peraturan turunan tentang CSR/TJSL baik itu Permen, maupun Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Menteri terkait berbeda antara satu sama lain. Apabila Peraturan Pelaksanaannya sudah ada maka Kementerian-Kementerian terkait dapat mengeluarkan peraturan turunannya berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut.
Pada Pasal 74 ayat (2) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyatakan bahwa “...pelaksanaan TJSL dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran”. Dalam kepatutan dan kewajaran tidak diatur standarisasi mengenai hal yang patut dan wajar dilakukan oleh perusahaan dalam melaksanakan CSR/TJSL. Perusahaan bisa saja melaksanakan CSR/TJSL secara seadanya dan tidak mencerminkan pelaksanaan CSR/TJSL sesungguhnya. Karena dapat berkilah melalui kata “kepatutan dan kewajaran” tersebut yang tidak ada standarisasinya. Oleh karena itu, patut dan wajar tersebut distandarisasikan berdasarkan interpretasi perusahaan itu sendiri. Apabila hal ini terjadi, maka perusahaan yang mengeksploitasi suatu daerah dengan mengurangi daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, meraup keuntungan besar dari situ (contohnya : PT. Freeport Indonesia di daerah Papua) dan hanya melaksanakan CSR/TJSL
sepatut dan sewajarnya saja maka akan terjadi keributan besar yang tidak ada habisnya. Hal ini dapat dilihat sampai sekarang antara PT. Freeport Indonesia dengan masyarakat sekitar di Papua.
2. Konsep CSR/TJSL berdasarkan Pasal 74 dan Penjelasan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas apabila dilihat dari aspek efisien dan keadilan hanya menyatakan pelaksanaan CSR/TJSL bagi perusahaan tetapi tidak memberikan standar yang jelas tentang pelaksanaan CSR/TJSL, sehingga ketidakjelasan ini dapat mengakibatkan ketidakadilan bagi sebagian perusahaan. Perusahaan yang mengalami kerugian atau kesulitan keuangan misalnya tetap wajib dibebani biaya CSR/TJSL berdasarkan Pasal 74, sehingga akan berpengaruh terhadap daya saing perusahaan tersebut. Mengenai tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan ditetapkan sebagai TJSL dalam Pasal 74 oleh Pemerintah, dalam hal ini, Pemerintah tidak memberikan hak yang sesungguhnya dapat dituntut oleh pelaku usaha yang melakukan CSR/TJSL. Hak tersebut adalah hak untuk mendapatkan situasi dan kondisi berusaha yang kondusif, seperti tidak adanya pungutan liar yang dilakukan oleh oknum Pemerintah itu sendiri, infrastruktur yang memadai bagi perusahaan, dan perizinan yang satu pintu. Keseluruhan hak dari Perusahaan yang melakukan CSR/TJSL terkesan dikesampingkan oleh Pemerintah. Oleh karena itu, apabila sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang sumber daya alam melakukan CSR/TJSL maka perusahaan tersebut
sesungguhnya sudah melakukan hal yang baik demi kemaslahatan rakyat banyak yang notabene adalah tugas dari Pemerintah.
Tidak efisiennya CSR/TJSL diterapkan karena terdapat tumpang tindih peraturan perundangan antara satu sama lain. Contohnya : Pasal 15 huruf b. Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal; Pasal 65 ayat (4), Pasal 67, dan Pasal 68 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; Pasal 66 Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Pada prinsipnya CSR/TJSL merupakan sesuatu yang pada kenyataannya sudah diatur cukup dalam peraturan perundang-undangan sektoral terkait, sesuai dengan bidangnya masing-masing dan memiliki aturan sanksi yang cukup.
Ketidakadilan pelaksanaan CSR/TJSL adalah mengkhususkan pembebanan kewajiban hanya pada pelaku usaha yang tunduk pada Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas serta kegiatan di bidang yang berkaitan dengan sumber daya alam saja, telah cukup menggambarkan bahwa ketentuan ini sangat diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Demikian halnya dengan pemberian norma pada prinsip CSR/TJSL dengan sifat wajib di dalam Pasal 74 dan Penjelasannya pada Undang-Undang tersebut juga telah menimbulkan perlakuan yang tidak sama di mata hukum dan mempunyai tendensi sebagai tindakan yang dapat dikualifikasi bersifat diskrimintif, karena perusahaan yang berbadan hukum yang tunduk pada Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 adalah Perseroan
Terbatas (PT) saja yang diwajibkan, sedangkan perusahaan-perusahaan lain yang tidak tunduk pada ketentuan tersebut tidak wajib seperti Koperasi, CV, Firma, Usaha Dagang, dan sebagainya. Demikian juga dengan perusahaan- perusahaan yang tidak berkaitan dengan sumber daya alam.
3. Mahkamah Konstitusi RI menerima CSR/TJSL sebagai kewajiban hukum perusahaan karena untuk memaksa perusahaan agar mempunyai kepedulian terhadap lingkungan dan masyarakat tempat perusahaan beroperasi. Apabila CSR/TJSL tidak ditetapkan sebagai kewajiban hukum maka yang akan terjadi adalah pencemaran lingkungan dan ketimpangan sosial yang terjadi pada saat sebelum diundangkannya Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Ketimpangan sosial tersebut terjadi karena adanya perbedaan kesejahteraan antara masyarakat sekitar perusahaan dengan masyarakat yang bekerja pada perusahaan tersebut. Seperti yang dapat dilihat pada kasus PT. Timah, Tbk., dan PT. Freeport Indonesia, terjadi pengrusakan lingkungan besar-besaran dan perbedaan status sosial yang sangat jauh antara karyawan perusahaan dengan masyarakat sekitar. Berarti budaya hukum perusahaan di Indonesia berbeda dengan di luar negeri. Perusahaan di Amerika Serikat memberlakukan CSR dengan cara sukarela (voluntary) karena pengetahuan masyarakat dan perusahaan tentang tanggung jawab sosial perusahaan sudah tinggi. Sedangkan di Indonesia, apabila CSR/TJSL diterapkan secara sukarela, maka perusahaan-perusahaan tidak akan
melaksanakan CSR/TJSL dengan kemauan dari dalam diri perusahaan itu sendiri.
B. Saran
Berdasarkan analisis dari kesimpulan di atas, selanjutnya akan disarankan hal- hal sebagai berikut sebagai pemecahan masalah :
1. Mengenai tidak adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai sanksi dalam penerapan CSR/TJSL berdasarkan Pasal 74, maka sebaiknya Pemerintah mengeluarkan ketentuan pelaksana CSR/TJSL berdasarkan Pasal 74 ayat (4) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Hal ini untuk menjawab seluruh pertentangan di dunia akademisi maupun dunia usaha mengenai pro dan kontra pelaksanaan CSR/TJSL.
Mengenai kepatutan dan kewajaran juga harus dijawab dalam ketentuan pelaksana yang akan dikeluarkan Pemerintah dalam Peraturan Pemerintahnya. Keambiguan dan ketidakjelasan ketentuan sebaiknya diminimalisir agar lebih berkepastian hukum dan berkeadilan dengan memperhatikan kepentingan Pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat.
2. Mengenai konsep CSR/TJSL yang dilihat dari aspek efisien dan keadilan, seharusnya Pemerintah membenahi terlebih dahulu iklim investasi di Indonesia barulah menetapkan CSR/TJSL sebagai kewajiban hukum. Iklim investasi tersebut, antara lain mengenai perizinan, pungutan liar, dan infrastruktur. Setelah seluruh hal tersebut dibenahi barulah penerapan
CSR/TJSL sebagai kewajiban hukum mencerminkan keadilan. Karena kewajiban tidak terlepas dari hak, barulah hukum itu adil.
3. CSR/TJSL dijadikan sebagai kewajiban hukum perusahaan agar perusahaan lebih peduli terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar. Kepedulian tersebut dapat ditingkatkan dengan cara membuat program CSR/TJSL pada masing- masing perusahaan secara berkesinambungan. Contohnya dapat dilihat pada Bogasari dan Unilever. Bogasari dan Unilever sama-sama membeli bahan pokok produknya dari petani-petani sekitar lingkungan perusahaan. Sehingga secara langsung dapat meningkatkan perekonomian rakyat setempat.