TENTANG PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA
A. Perkembangan Pemikiran Tentang Corporate Social Responsibility (CSR) CSR merupakan konsep yang terus berkembang CSR belum memiliki sebuah
definisi standard maupun seperangkat kriteria spesifik yang diakui secara penuh oleh pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Secara konseptual, CSR juga bersinggungan dan bahkan sering dipertukarkan dengan frasa lain, seperti corporate responsibility,
corporate sustainability, corporate accountability, corporate citizenship, dan
corporate stewardship. CSR diterapkan kepada perusahaan-perusahaan yang beroperasi dalam konteks ekonomi global, nasional maupun lokal. Komitmen dan aktivitas CSR pada intinya merujuk pada aspek-aspek perilaku perusahaan (firm’s
73 AF. Elly Erawaty, “Persoalan Hukum Seputar Tanggung Jawab Sosial Perseroan Dalam Perundang-Undangan Ekonomi Indonesia”, (Jakarta : Kementerian Hukum & HAM RI, Direktorat Jenderal Peraturan Perundangan-Undangan, Media Publikasi Peraturan Perundang-Undangan dan Informasi Hukum, 28 Oktober 2010), hal. 1.
behaviour), termasuk kebijakan dan program perusahaan yang menyangkut dua elemen kunci74
1. “Good Corporate Governance : etika bisnis, manajemen sumber daya manusia, jaminan sosial bagi pegawai, serta kesehatan dan keselamatan kerja;
:
2. Good Corporate Responsibility : pelestarian lingkungan, pengembangan masyarakat (community development), perlindungan hak azasi manusia, perlindungan konsumen, relasi dengan pemasok, dan penghormatan terhadap hak-hak pemangku kepentingan lainnya”.
Dengan begitu, perilaku atau cara perusahaan memperhatikan dan melibatkan
shareholder, pekerja, pelanggan, pemasok, pemerintah, LSM, lembaga internasional dan stakeholder lainnya merupakan konsep utama CSR. Kepatuhan perusahaan terhadap hukum dan peraturan-peraturan yang menyangkut formal dalam mengukur kinerja CSR suatu perusahaan. Namun, CSR seringkali dimaknai sebagai komitmen dan kegiatan-kegiatan sektor swasta yang lebih dari sekedar kepatuhan terhadap hukum. CSR adalah operasi bisnis yang berkomitmen tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara finansial, melainkan pula untuk pembangunan sosial ekonomi kawasan secara holistik, melembaga dan berkelanjutan. Pengertian CSR yang relatif lebih mudah dipahami dan dioperasionalkan adalah dengan mengembangkan konsep Tripple Bottom Lines (profit, planet dan people) yang digagas Elkington pada tahun 1998.75
74
Edi Suharto, “Corporate Social Responsibility : Konsep dan Perkembangan Pemikiran”, makalah pembicara disampaikan pada Workshop Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Yogyakarta, Kerjasama Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia & Norwegian Centre for Human Rights, diselenggarakan pada 06-08 Mei 2008, hal. 1.
75
Edi Suharto menambahan satu line sebagai tambahan, yaitu procedure. Dengan demikian, CSR adalah “Kepedulian perusahaan yang menyisihkan sebagian keuntungannya (profit) bagi kepentingan pembangunan manusia (people) dan lingkungan (planet) secara berkelanjutan berdasarkan
Diskusi yang pertama tentang apakah perusahaan mempunyai tanggung jawab sosial terjadi pada tahun 1930-an di Amerika Serikat. Saat itulah istilah tanggung jawab perusahaan atau CSR lahir. Merrick Dodd menyatakan bahwa : “Perusahaan- perusahaan besar mempunyai tanggung jawab kepada masyarakat karena perusahaan- perusahaan tersebut mempunyai kekuatan atau kekuasaan yang besar”. Sebaliknya Adolf Berle menyatakan bahwa : “Perusahaan itu adalah milik para pemegang sahamnya dan oleh karena itu harus mengikuti kebutuhan-kebutuhan mereka saja”. Posisi yang dominan pada waktu itu menolak CSR tercermin dalam undang-undang perusahaan di Amerika Serikat : kepentingan utama para pemegang saham. Setiap keputusan perusahaan ada di tangan para pemegang saham.76
Para akademisi Amerika pada waktu itu percaya bahwa kepentingan- kepentingan lain tidak menjadi perhitungan. Keutamaan shareholder ditentang oleh pandangan yang menganut stakeholder theory. Teori pemangku kepentingan tersebut mendorong ide bahwa perusahaan juga harus memperhitungkan kepentingan- kepentingan dari stakeholder lainnya disamping pemegang saham. Konsep ini berkembang di Jepang sebagaimana juga disebagian besar negara-negara Eropa. Bertahun-tahun kemudian terjadi berbagai gelombang diskusi mengenai tanggung jawab perusahaan, namun konsep tersebut masih menunggu terobosan terakhir. Dapat dikatakan pandangan yang lebih terbuka terhadap tanggung jawab sosial lebih besar
prosedur (procedure) yang tepat dan profesional”. Sumber : Edi Suharto, “Audit CSR”, Majalah Bisnis dan CSR, Vol. 1, No. 5, hal. 188-215.
76
Erman Rajagukguk, “Konsep dan Perkembangan Pemikiran Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan”,
di Eropa dari pada di Amerika Serikat, tetapi ada kesadaran yang terus berkembang tentang perlunya tanggung jawab sosial perusahaan tersebut di Amerika Serikat.77
Perdebatan sekarang ini dimulai dengan terbukanya skandal bangkrutnya Enron dan perusahaan-perusahaan lainnya di Amerika. Dalam konteks tingkah laku yang menyimpang dari perusahaan dan berakhir dengan jatuhnya perusahaan- perusahaan tersebut, seluruh sistem dari pengelolaan perusahaan, dari kerangka pengaturan sampai dengan dasar-dasar moral, menjadi suatu pertanyaan besar dalam proses tersebut. Adanya tanggung jawab sosial perusahaan mendapat dukungan. Amerika Serikat mulai menyadari bahwa sistem yang sekarang ini tidak sempurna. Peraturan-peraturan baru dikeluarkan yang intinya pengaturan yang ketat untuk mencegah skandal yang sama terulang lagi di masa yang akan datang. Namun demikian Amerika Serikat tetap pada prinsipnya dan tidak melaksanakan peraturan- peraturan apapun juga yang berkenaan dengan masalah-masalah sosial.78
Konsensus hukum yang predominan mengenai tanggung jawab sosial perusahaan di Amerika sekarang ini tidak berubah dari pandangan Adolf Berle beberapa tahun yang lalu. Perusahaan tidak mempunyai tanggung jawab sosial yang spesifik melebihi maksimalisasi keuntungan. Sebaliknya negara yang harus mempunyai perhatian mengenai kesejahteraan sosial dari rakyatnya. Namun, bagaimanapun juga seseorang berpihak kepada pendekatan masa lalu atau tidak,
77
Ibid., hal. 1-2.
78
dapat dikatakan dengan pasti : solusi ini tidak lagi berlaku dalam konteks ekonomi pada abad 21 ini, dimana globalisasi telah merubah fokus.79
Berdasarkan premisis, negara dapat membiayai proyek-proyek kemasyarakatan dengan menggunakan sumber-sumber keuangan yang dibayar oleh perusahaan-perusahaan melalui pajak. Pendekatan ini dapat digunakan sepanjang perusahaan tersebut hanya berhubungan dengan negara-negara yang sama dimana mereka membayar pajak. Hal itu mensyaratkan bahwa negara yang sama mengatasi kelemahan sosial dan mendapatkan pemasukan dari pajak. Namun, dalam gambaran ekonomi abad 21 ini, batas-batas nasional suatu negara hilang pentingnya. Perusahaan-perusahaan multinasional bergerak didalam pasar-pasar yang berbeda, sebagian besar mempunyai anak-anak perusahaan diberbagai negara yang berbeda. Akibatnya, uang yang diperoleh perusahaan tersebut dibeberapa negara tertentu tidak selalu tinggal di negara tersebut dan dengan demikian tidak ada penerimaan pajak oleh negara yang dapat dipergunakan untuk menolong kelemahan sosial. Lagi pula, peraturan pajak yang modern dan teknik akuntansi yang “progessif” memungkinkan perusahaan-perusahaan mengurangi hutang pajak mereka dengan akuntansi silang antara negara-negara dan anak-anak perusahaan. Sebagai akibatnya banyak perusahaan-perusahaan yang mempunyai pendapatan kotor triliunan dollar dalam kenyataannya dalam membayar pajak sangat kecil. Oleh karenanya pendapat yang mengatakan bahwa bekerja dengan baik yaitu artinya, semata-mata memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham harus dirubah dalam era globalisasi ini.80
79
Ibid.
80
Bumi tempat kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya, kini sedang dihadapkan pada semakin menurunnya kualitas lingkungan hidup. Hal ini berarti menyebabkan semakin menurunnya fungsi dan tatanan lingkungan hidup, sehingga kondisinya harus dipulihkan kembali. Kerusakan yang begitu besar terjadi di muka bumi ini dengan berbagai persoalan sosial yang menyertainya, memerlukan perhatian yang lebih serius. Bumi, manusia dan pembangunan, sama-sama harus diberi kesempatan yang seimbang bahkan pembangunan lingkungan hidup, bumi harus mendapat prioritas utama mengingat kondisinya sudah begitu memprihatinkan. Perlunya perpaduan antara pembangunan, lingkungan hidup dan kependudukan, disadari sejak diselenggarakannya Konferensi untuk Pembangunan dan Lingkungan di Rio de Janeiro-Brazil tahun 1992 yang dikenal dengan KTT Bumi. Program global yang dihasilkan KTT Bumi tertuang dalam Agenda 21 yang merupakan komitmen masyarakat dunia, Deklarasi Rio, Prinsip-prinsip Kehutanan, Konvensi tentang Perubahan Iklim, dan Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati.81
Bangsa Indonesia telah menyetujui dan menindaklanjuti kelima dokumen KTT Bumi. Agenda 21 Global yang oleh banyak pihak dinilai sebagai dokumen yang penting dari Konferensi Rio oleh Pemerintah Indonesia dijabarkan ke dalam Agenda 21 Nasional. Bahkan berkembang pula dokumen Agenda 21 Sektoral, Agenda 21 Daerah dan Agenda 21 Lokal.
82
81
Website Kementerian Lingkungan Hidup, “Berikan Kesempatan pada Bumi”, Op.cit., hal. 1.
Salah satu prinsip Agenda 21 yang dianut di dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas adalah prinsip
82
Corporate Social Responsibility (CSR) yang dilaksanakan berdasarkan tiga azas (John Elkington), yaitu : People, Profit, dan Planet.
Pelaksanaan Agenda 21 sedang dikaji ulang yaitu melalui Pertemuan Tingkat Menteri Komisi Persiapan Konferensi Tingkat Tinggi Dunia untuk Pembangunan Berkelanjutan (Preparatory Committee for World Summit on Sustainable Development – PrepCom) yang berlangsung di Denpasar, tanggal 27 Mei s/d 7 Juni 2002. Pertemuan ini merupakan pertemuan keempat sekaligus terakhir sebelum diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Dunia untuk Pembangunan Berkelanjutan pada bulan September 2002 di Johannesburg, Afrika Selatan, yang akan dihadiri oleh para Kepala Negara/Kepala Pemerintahan. KTT Dunia ini bertujuan untuk mengkaji ulang dan memperkuat komitmen masyarakat internasional atas pelaksanaan Agenda 21, yang disepakati pada KTT Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro, Brazil pada tahun 1992. Pada intinya, Agenda 21 berisi prinsip-prinsip pelaksanaan pembangunan ekonomi, sosial dan perlindungan lingkungan hidup secara berkelanjutan, yaitu tidak hanya mampu memenuhi aspirasi dan kebutuhan generasi sekarang, tetapi juga tanpa mengurangi potensi pemenuhan aspirasi dan kebutuhan generasi-generasi mendatang. Pemberian kesempatan pada bumi adalah sejalan dengan penerapan prinsip pembangunan berkelanjutan, yang mana pembangunan ekonomi tidak mengorbankan pembangunan sosial dan lingkungan hidup.83
Pelaksanaan kedua kegiatan yang mendunia ini, baik Hari lingkungan hidup Sedunia yang dianjurkan dengan KTT Dunia untuk Pembangunan Berkelanjutan pada
83
September 2002 di Johannesburg, merupakan kesempatan maupun wahana untuk menggugah kesadaran masyarakat dunia mengenai pentingnya penanganan masalah lingkungan hidup secara bersama. Peran semua pihak (masyarakat, dunia usaha dan pemerintah) dalam pengelolaan lingkungan hidup sangat penting dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Sejalan dengan paradigma pembangunan berkelanjutan, efektivitas pelaksanaan peran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup, harus didukung oleh pengembangan kapasitas kelembagaan dan kualitas sumber daya manusia. Dengan demikian, hal itu pada gilirannya mampu mendorong terciptanya warga madani yang memiliki kemampuan dan kapasitas diri untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Hal itu tentu tidak mudah diwujudkan karena menuntut berbagai persyaratan, antara lain kondisi yang menjamin adanya keterbukaan, kesetaraan, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, dan akuntabilitas yang diimbangi dengan peningkatan kapasitas kelembagaan dan kualitas sumber daya manusia seluruh stakeholders dalam pengelolaan lingkungan hidup.84
Pemberian penghargaan lingkungan hidup berupa penghargaan Kalpataru, hanyalah salah satu upaya pemberdayaan masyarakat dalam peningkatan peran pengelolaan lingkungan hidup. Pemberian penghargaan Kalpataru atau insentif lainnya, diharapkan dapat mendorong peran masyarakat, dunia usaha dan pemerintah dalam pengelolaan lingkungan hidup. Melalui peran semua pihak dalam pelestarian fungsi lingkungan, kita telah memberi kesempatan kepada bumi, yaitu kesempatan untuk menata dan memulihkan fungsi lingkungan hidup.85
84
Ibid., hal. 1-2.
85
Maka dari itu, perkembangan pemikiran tentang CSR ini bermula dari rusaknya lingkungan hidup dan keengganan perusahaan-perusahaan besar untuk membayar pajak (penggelapan pajak). Bermunculanlah anggapan-anggapan untuk melestarikan lingkungan, didukung lagi dengan pemanasan global (global warming). CSR merupakan bentuk sikap atau komitmen perusahaan kepada stakeholder untuk peduli terhadap masyarakat, bumi, dan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan. CSR yang dituangkan di dalam Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menjadi TJSL adalah salah satu tindakan pemerintah sebagai pembuktian implementasi Agenda 21. TJSL dalam mengaplikasikan semangat Agenda 21 salah satunya dengan cara memperhatikan isu lingkungan yang pernah terjadi terhadap perusahaan-perusahaan pertambangan Indonesia mulai tahun 1997 sampai saat ini, antara lain : PT. Freeport Indonesia di Tembagapura sampai Timika, PT. Citra Palu Mineral di Poboya, PT. Kelian Equatorial Mining di Kelian, PT. Adaro Indonesia di Warukin, PT. Newmont Minahasa Raya di Minahasa, PT. Karimun Granite di Pulau Karimun, PT. Koba Tin di Pulau Bangka, PT. Dairy Mining, PT. Rio Tinto di Sulawesi, Perusahaan-perusahaan tambang batubara di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, Pertambangan Tanpa Izin (PETI) di Pulau Bangka dan Ombilin, Sumatera Barat serta di pulau-pulau lainnya.86
86
Irwandy Arif, “Perencanaan Tambang Total Sebagai Upaya Penyelesaian Persoalan Lingkungan Dunia Pertambangan Indonesia”, disampaikan pada Seminar : Pertambangan, Lingkungan dan Kesehatan Masyarakat, di Universitas Samratulangi – Manado, pada 06 Agustus 2007, hal. 5-6.
Kesemua perusahaan tersebut tidak menerapkan TJSL dengan baik sesuai dengan Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Pada tahun 2006 – 2007 telah terjadi penangkapan tujuh pimpinan perusahaan pertambangan dan beberapa pimpinan perusahaan menjadi tersangka karena diduga perusahaannya merusak lingkungan. Sampai saat ini sudah dua pimpinan perusahaan yang bebas dari tuduhan tersebut, yaitu : PT. Newmont Minahasa Raya dan PT. Koba Tin. Sedangkan lainnya masih dalam proses pengadilan.87
B. Corporate Social Responsibility (CSR) dalam Undang-Undang No. 40