• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA

B. Mekanisme Penjualan Objek Jaminan Kredit di Bawah

Berdasarkan hasil penelitian terhadap pelaksanaan penjualan objek jaminan secara di bawah tangan dalam penyelesaian kredit macet pada Bank J Trust, maka melalui langkah-langkah harus dilakukan oleh debitur adalah sebagai berikut:115

1. Debitur mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bank, bahwa debitur bersedia dan akan menjual objek jaminan dan harga penjualan objek tersebut akan digunakan untuk membayar utang debitur pada bank;

2. Debitur melampirkan surat pernyataan penawaran dari calon pembeli bahwa yang bersangkutan bersedia membeli objek jaminan yang ada pada bank.

3. Calon pembeli membuka rekening atas nama calon pembeli pada Bank J Trust dan memasukkan jumlah uang harga jual beli objek jaminan yang telah disepakati antara debitur dengan calon pembeli. Hal ini merupakan komitmen apakah memang benar calon pembeli hendak membeli objek jaminan tersebut.

114Hasil wawancara dengan Dina, Legal Officer Bank J Trust Regional 1, Tanggal 28 Februari 2020.

115Hasil wawancara dengan Dina, Legal Officer Bank J Trust Regional 1, Tanggal 28 Februari 2020.

Selanjutnya setelah langkah-langkah tersebut di atas dilakukan oleh pihak debitur, maka pihak bank akan memproses permohonan tersebut sesuai dengan mekanisme dan prosedur standar yang ada pada bank (standard operating prosedure). Pihak Bank J Trust Cabang Medan sesuai dengan prosedur yang ada melakukan Nota Analisis Kredit (NAK) yang dilanjutkan mengajukan kembali kepada Bank J Trust Kantor Pusat yang ada di Jakarta, karena kewenangan tersebut ada Direksi Bank.116

Direksi bank sebelum memutuskan akan meminta pertimbangan terlebih dahulu pada beberapa Divisi yang terkait, diantaranya Divisi Bisnis, Divisi Risk, Divisi Credit Reviewer, Divisi Legal, dan Divisi Audit Internal. Setelah mendapat pertimbangan dan masukan dari divisi-divisi tersebut, Direksi akan memutus persetujuan penjualan objek jaminan yang ada pada bank dan mengirimkan kembali pada Cabang J Trust yang ada di Medan untuk dapat dilaksanakan.

Adapun waktu proses persetujuan Direksi ini sampai kembali pada Cabang Bank yang mengajukan permohonan tersebut adalah 14 (empat belas) hari kerja, akan tetapi dalam keadaan dan kondisi tertentu dapat dipercepat persetujuannya dalam 5 (lima) hari kerja.117

Setelah dilakukan pemberitahuan persetujuan permohonan penjualan objek jaminan bank tersebut kepada debitur/pemilik jaminan serta calon pembeli objek jaminan tersebut, maka akan dilakukan jual beli antara debitur/pemilik jaminan dengan calon pembeli.

116Hasil wawancara dengan Dina, Legal Officer Bank J Trust Regional 1, Tanggal 28 Februari 2020.

117Hasil wawancara dengan Dina, Legal Officer Bank J Trust Regional 1, Tanggal 28 Februari 2020.

Dalam praktiknya pelunasan kredit debitur pada bank dilakukan sekaligus dengan dilakukannya jual beli di hadapan Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Hanya saja jual beli tersebut dilakukan dengan akta Pengikatan Jual Beli (PJB) yang dibuat di hadapan Notaris, karena sertifikat tersebut masih terpasang Hak Tanggungan, sehingga harus dilakukan roya sertifikat terlebih dahulu. Akta Jual Beli yang dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) akan dilanjutkan setelah roya sertifikat dari kantor pertanahan setempat. Dalam penandatanganan Akta Jual Beli ini pemilik tidak diperlukan lagi tanda tangannya karena telah ada kuasa di dalam akta Pengikatan Jual Beli (PJB), sehingga cukup pembeli saja yang menandatangani akta jual beli tersebut di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan sekaligus dilakukan pendaftaran pada kantor pertanahan untuk dilakukan balik nama ke atas nama pembeli.

Di samping akta pengikatan jual beli di atas juga dibuatkan akta pernyataan dari debitur/pemilik jaminan yang berisi bahwa harga jual beli atas penjualan objek jaminan tersebut telah diterima seluruhnya oleh debitur/pemilik jaminan dan selanjutnya sebagian atau seluruhnya akan digunakan untuk pembayaran utang/kredit dari debitur pada Bank J Trust Cabang Medan dan untuk itu Bank akan memberikan surat lunas pada debitur. Jika diperlukan juga dapat dibuatkan akta perjanjian pengosongan atas objek jaminan tersebut apabila objek jaminan belum dapat dikosong atau diserahkan pada saat itu juga.

C. Hambatan-Hambatan Yang Dapat Terjadi Terhadap Pelaksanaan Penjualan Objek Jaminan Di bawah Tangan Pada Bank J Trust Cabang Medan

Penjualan objek jaminan kredit berkaitan dengan kredit macet yang dilakukan secara di bawah tangan tersebut dapat berjalan dengan baik, apabila seluruh pihak yang terlibat kooperatif dan berkomitmen secara bersama-sama, baik dari pihak debitur/pemilik jaminan, pihak bank maupun pihak calon pembeli objek jaminan yang terikat hak tanggungan pada bank.

Proses penjualan objek jaminan terkait dengan kredit macet tersebut tidak selalu dapat berjalan dengan lancar, karena beberapa faktor yang mengakibatkan penjualan objek jaminan tersebut gagal dilaksanakan. Faktor-faktor yang menjadi hambatan proses penjualan objek jaminan tersebut di antaranya:

1. Objek yang menjadi jaminan tersebut bukan milik debitur, melainkan milik pihak ketiga, sehingga memerlukan persetujuan dari pemilik jaminan.

2. Bank tidak dapat memastikan jumlah utang/kredit debitur, karena bunga atas utang/kredit masih tetap berjalan sampai terjadinya realisasi penjualan objek jaminan tersebut.

3. Debitur mengajukan pengurangan tunggakan pokok, tunggakan bunga, denda dan biaya-biaya lain yang harus dibayarkan debitur pada bank.

4. Birokrasi perbankan yang memerlukan waktu yang lama, sehingga dapat membuat debitur/pemilik jaminan atau calon pembeli objek jaminan berubah pikiran.

5. Calon pembeli keberatan untuk mengajukan penawaran karena menjadi komitmen yang mengikat.

6. Calon pembeli keberatan untuk membuka rekening atas nama calon pembeli serta menyetorkan harga penjualan yang telah disepakati, walaupun dalam hal ini bank tidak akan mendebit uang tersebut sampai dilakukannya transaksi jual beli objek jaminan tersebut.

7. Calon pembeli mengambil uang yang ada di dalam rekeningnya dan untuk itu bank tidak dapat menahannya atau alasan memblokirnya.

Untuk itulah dalam penjualan objek jaminan dibawah tangan oleh debitur yang terkait dengan kredit macet ini kesungguhan dan itikad baik dari semua pihak sangat dibutuhkan agar transaksi jual beli objek jaminan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik.

D. Jaminan Perlindungan Hukum Kepada Para Pihak yang Melakukan Penjualan Objek Jaminan Kredit di Bawah Tangan Pada Bank J Trust Cabang Medan

1. Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Bank

Proses penjualan objek jaminan di bawah tangan terkait dengan kredit macet, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, pengaturannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, sebagaimana di atur dalam Pasal 20 yang mengatur kemungkinan adanya eksekusi di bawah tangan, yaitu eksekusi sendiri atas dasar kesepakatan antara kreditur (pemegang hak tanggungan) dengan pemberi hak tanggungan (pemilik jaminan). Tujuannya dimaksudkan bahwa penjualan jaminan tersebut dapat memperoleh harga yang

lebih baik dibandingkan dengan penjualan melalui lelang. Sedangkan cara dan syarat dari eksekusi di bawah tangan tersebut adalah:

1. Diberitahukan secara tertulis oleh kreditur/pemegang hak tanggungan kepada pihak yang berkepentingan, misalnya pemegang hak tanggungan kedua, ketiga dan seterusnya atau diumumkan sedikit-dikitnya melalui surat kabar yang beredar di daerah dan/atau media masa setempat.

2. Dilakukan setelah 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis kepada pihak yang berkepentingan atau sejak diumumkan melalui surat kabar tersebut.

3. Tidak ada pihak-pihak yang menyatakan keberatan.

Dalam undang-undang hanya menjelaskan bahwa penjualan objek jaminan yang terkait dengan kredit macet dapat dilakukan atas kesepakatan kedua belah pihak untuk memperoleh harga yang lebih baik untuk kepentingan kedua belah pihak. Tetapi cara dan mekanismenya masih memerlukan birokrasi internal dari bank yang bersangkutan sesuai dengan Standard Operating Prosedure (SOP).

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, di mana Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga yang mengatur dan mengawasi perbankan tidak mengaturnya secara khusus mengenai cara dan mekanisme penjualan objek jaminan di bawah tangan yang terkait dengan kredit macet, sehingga diperlukan pengaturan khusus dalam bentuk Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

Mengingat banyak persoalan-persoalan masalah kredit macet terkait dengan objek jaminan, maka diperlukan harmonisasi ketentuan mengenai eksekusi

jaminan kredit bank antara Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, termasuk cara dan mekanisme dan cara penjualan jaminan di bawah tangan terkait dengan kredit macet, karena tak jarang setelah bank di gugat oleh debitur atau pembeli objek jaminan bank yang berasal dari kredit macet.

2. Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Debitur/Pemilik Jaminan

Dalam filosofinya, tidak ada utang yang gratis dan dalam utang terikat janji, sedangkan janji sendiri adalah utang. Jadi utang memang harus dibayar.

Namun bagaimana jadinya jika ternyata si pengutang, ternyata tidak mempunyai kemampuan membayar. Tentu saja dia meminta penundaan pembayaran atau pemotongan bahkan permohonan penghapusan utang. Hal ini tentunya tergantung dari si pengutang jika si pengutang meminta dan si pemberi utang juga menyetujuinya.

Analogi di atas dapat diterapkan pada permasalahan penghapusan utang pada kredit bank, di mana tiap bank yang akan melakukan penghapusan utang terhadap debiturnya mempunyai kebijakan dan prosedur masing-masing. Adapun mekanisme yang dilakukan melalui mekanisme korporasi, yaitu Direksi dan Komisaris dengan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Bank sebagai lembaga keuangan dalam menjalankan kegiatan guna mendapatkan hasil usaha selalu dihadapkan pada risiko. Risiko yang mungkin terjadi dapat menimbulkan kerugian bagi bank jika tidak dideteksi serta dikelola sebagaimana mestinya. Untuk itu bank harus mengerti dan mengenal risiko-risiko yang mungkin timbul dalam melaksanakan kegiatan usahanya.

Risiko itu sendiri tidak harus selalu dihindari pada semua keadaan namun semestinya dikelola secara baik tanpa harus mengurangi hasil yang ingin dicapai. Risiko yang dikelola secara tepat dapat memberikan manfaat kepada bank dalam menghasilkan laba yang atraktif. Agar manfaat tersebut terwujud, para pengambil keputusan harus mengerti tentang risiko dan pengelolaannya. Terkait dengan pemahaman tentang risiko, terdapat 3 (tiga) aspek penting yang perlu dipahami, yaitu definisi risiko, peristiwa yang menyebabkan timbulnya risiko;

serta kerugian yang ditimbulkan akibat risiko.

Bagi kreditur harus mempertimbangkan beberapa hal yang mungkin timbul pada saat kebijakan receivable turn over (perputaran piutang) dilaksanakan, yaitu terjadinya kemacetan aliran pengembalian pinjaman yang dilakukan oleh pihak debitur. Bagi pihak kreditur kemacetan aliran pengembalian ini adalah sebuah risiko, maka risiko tersebut timbul tentu menimbulkan biaya (cost) atau beban yang harus ditanggung oleh pihak kreditur. Adapun pengertian dari biaya risiko (riskcost) adalah biaya yang harus ditanggung oleh pihak manajemen perusahaan terhadap risiko yang ditimbulkan dalam setiap keputusan yang diambil.

Penyisihan kerugian kredit merupakan pembentukan cadangan terhadap seluruh kredit yang diberikan. Besarnya penyisihan kerugian kredit ditentukan kualitas kredit berdasarkan kolektabilitasnya, yaitu kredit dengan kualitas lancar, kredit dengan kualitas dalam perhatian khusus, kredit dengan kualitas kurang lancar, kredit dengan kualitas diragukan maupun kredit macet.

Berkaitan dengan risiko kolektabilitas kredit Bank Indonesia melalui PBI Nomor: 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, telah menetapkan Bank wajib membentuk Penyisihan Penghapusan Aktiva (PPA), baik Aktiva Produktif maupun Aktiva Non Produktif. PPA sebagaimana dimaksud berupa: a) cadangan umum dan cadangan khusus untuk Aktiva Produktif dan b) cadangan khusus untuk Aktiva Non Produktif. Adapun ketentuan ini mengatur hal sebagai berikut:

1. Cadangan umum ditetapkan paling kurang sebesar 1 % (satu perseratus) dari aktiva produktif yang memiliki kualitas Lancar.

2. Cadangan khusus ditetapkan paling kurang sebesar:

a. 5% (lima perseratus) dari aktiva dengan kualitas dalam perhatian khusus setelah dikurangi nilai agunan;

b. 15% (lima belas perseratus) dari aktiva dengan kualitas kurang lancar setelahdikurangi nilai agunan;

c. 50 % (lima puluh perseratus) dari aktiva dengan kualitas diragukan setelah dikurangi nilai agunan;

d. 100% (seratus perseratus) dari aktiva dengan kualitas macet setelah dikurangi nilai agunan;

Kewajiban Bank dalam Pembentukan Penyisihan Aktiva Produktif (PPAP) ini merupakan Risiko Kepatutan (Compliance Risk) dalam manajemen risiko.

Risiko kepatutan merupakan risiko yang disebabkan bank tidak mematuhi atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku.

Dengan melihat ketentuan di atas, maka terhadap kredit macet bank telah mencadangkan risiko kredit macet yang disebabkan debitur tidak dapat membayar utang kreditnya pada bank dan ini merupakan bagian dari manajemen risiko dari bank yang menyalurkan kredit pada masyarakat sebagai lembaga intermediasi yang menghimpun dana dari masyarakat dan selanjutnya menyalurkannya kembali kepada masyarakat.

Terkait dengan penjualan jaminan di bawah tangan terkait kredit macet, ada kalanya hasil penjualan tidak mencukupi untuk pelunasan utang/kredit debitur pada bank, maka dalam rangka penyelesaian kredit bank, bank di harapkan dapat melakukan penghapusan utang debitur dengan persyaratan tertentu. Penghapusan utang ini hanya dapat diberikan kepada debitur yang tidak memiliki lagi kemampuan baik secara fisik maupun secara materi dan tentunya penghapusan utang ini diberikan secara selektif. Hal ini merupakan sikap baik bank dan penghapusan dengan persyaratan tersebut bank akan lebih leluasa untuk memperluas ekspansi dan dapat lebih fokus serta konsentrasi menjalankan bisnis dengan tujuan untuk menyejahterakan masyarakat di suatu negaranya sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam konsep negara kesejahteraan rakyat tidak hanya tanggung jawab negara tetapi juga pemerintah bersama-sama melalui badan-badan pemerintah, badan-badan swasta dalam hal ini adalah bank, lembaga-lembaga sosial dan masyarakat.

Kepercayaan masyarakat juga terbentuk kepada bank. Bank adalah bisnis.

Bisnis yang berdagang dalam kredit dan uang. Jadi bisnis utama dari suatu bank adalah kepercayaan, sehingga dapat dikatakan pula bahwa bank merupakan

lembaga kepercayaan. Dengan perkataan lain fungsi kredit itu ialah pemenuhan jasa untuk melayani kebutuhan masyarakat (to serve the society) dalam rangka mendorong dalam melancarkan perdagangan, mendorong dan melancarkan produksi, jasa-jasa dan bahkan konsumsi yang kesemuanya itu pada akhirnya ditujukan untuk menaikkan taraf hidup rakyat banyak.

3. Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Ketiga Sebagai Pembeli Objek Jaminan

Dalam penjualan objek jaminan di bawah tangan atas kredit macet sesuai dengan Pasal 20 ayat 2 Undang-Undang Hak Tanggungan, hal ini dimungkinkan jika dengan cara penjualan di bawah tangan ini dapat diperoleh harga yang lebih baik dan menguntungkan semua pihak. Oleh karena itu pembeli atas objek jaminan ini merupakan pembeli yang beritikad baik dan karenanya dilindungi undang-undang.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria, memang tidak mengatur secara tegas pembeli yang beritikad baik, tetapi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyebut istilah itikad baik dalam hubungannya dengan penguasaan fisik atas tanah dan pemegang sertifikat hak atas tanah.

Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

(1) Untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam

pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya.

(2) Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu pendahulunya, dengan syarat:

a. penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya.

b. penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya.

Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

(1) Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.

(2) Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa

mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.

Di samping itu ada beberapa yurisprudensi terkait pembeli yang beritikad baik yang harus mendapat perlindungan hukum, antara lain:

1. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1230 K/Sip/1980 tanggal 29 Maret 1982.

“Pembeli yang beritikad baik harus mendapat perlindungan hukum.”

2. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 210 K/Sip/1955 tanggal 10 Januari 1955.

“Pembeli sawah yang beritikad baik membeli sawah tersebut dari seorang ahli waris dari pemiliknya, harus dilindungi.”

3. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 251 K/Sip/1958 tanggal 26 Desember 1958.

“Pembeli yang telah bertindak dengan itikad baik harus dilindungi, dan Jual Beli yang bersangkutan haruslah dianggap sah.”

4. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 52 K/1975 tanggal 23 September 1975.

“Walaupun Tergugat asal I dan Tergugat asal II menjual lebih dari bagian warisan mereka, jual beli tanah itu tidak dapat dibatalkan untuk melindungi

pembeli yang jujur (beli warisan dari sebagian dari ahli waris), sedang Para Penggugat asal masih dapat menggugat Tergugat asal I dan II.”

Mahkamah Agung Republik Indonesia juga mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.7 Tahun 2012. Di dalam butir ke-IX dirumuskan bahwa:

a) “Perlindungan harus diberikan kepada pembeli yang beritikad baik sekalipun kemudian diketahui bahwa penjual adalah orang yang tidak berhak (Objek jual beli tanah).”

b) “Pemilik asal hanya dapat mengajukan gugatan ganti rugi kepada penjual yang tidak berhak.”

Ketentuan ini mensyaratkan bahwa seseorang bisa dikatakan pembeli yang beritikad baik, apabila ia membeli tanah sesuai prosedur/peraturan perundang-undangan dan sebelumnya telah memeriksa secara seksama fakta material (data fisik) dan keabsahan peralihan hak (data yuridis) atas tanah yang dibelinya, sebelum dan pada saat proses peralihan hak atas tanah. Jika kriteria pembeli yang beritikad baik ini telah terpenuhi, meskipun dikemudian hari diketahui tanah tersebut dibeli dari orang yang tidak berhak (penjual yang tidak berhak), maka tanah yang sudah dibeli oleh pembeli yang beritikad baik tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Pemilik tanah yang asli hanya dapat mengajukan gugatan ganti rugi kepada penjual yang tidak berhak, bukan kepada pembeli yang beritikad baik.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

1. Pengaturan Hukum atas penjualan objek kredit di bawahtangan pada Bank J Trust Cabang Medan berpedoman pada Pasal 20 ayat 2 Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) dengan maksud untuk memperoleh harga jual yang lebih baik bagi semua pihak dan pelaksanaan nya mengikuti mekanisme Standard Operating Procedure (SOP) pada Bank/kreditur.

2. Penyelesaian kredit macet debitur Bank J Trust Cabang Medan dikaitkan dengan penjualan objek jaminan di bawah tangan adalah melalui mekanisme SOP yaitu : Debitur mengajukan permohonan objek jaminan disertai dengan surat penawaran calon pembeli; calon pembeli diwajibkan membuka rekening dan menyetorkan pada Bank J Trust harga jual beli sebesar yang telah disepakati dan uang tersebut akan ditahan sampai dilaksanakannya transaksi jual beli; atas dokumen-dokumen tersebut diatas Kantor Cabang akan mengajukan permohonan tersebut melalui Nota Analisis Krediit (NAK) kepada direksi di Kantor Pusat untuk mengambil keputusan selanjutnya pelaksanaan keputusan tersebut oleh Kantor Cabang akan dilaksanakan transaksi jual beli bersamaan dengan pelunasan kredit debitur;

transaksi penjualan dilakukan dihadapan Notaris/PPAT dengan akta Pengikatan Untuk Jual Beli (PJB) dan akan dilanjutkan dengan akta Jual Beli (AJB) setelah dilakukan roya (penghapusan hak tanggungan) sertifikat.

3. Perlindungan hukum atas penjualan objek jaminan kredit di bawah tangan pada Bank J Trust Cabang Medan dijamin oleh Undang-Undang khususnya kepada pembeli yang beritikad baik, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, yaitu Pasal 24 dan Pasal 32 yang kemudian diperkuat dengan beberapa yurisprudensi dan Surat Edaran MahkamahAgung (SEMA) Republik Indonesia.

B. Saran

1. Pengaturan jaminan di bawah tangan kredit macet yang diatur dalam Undang-Undang Hak Tanggungan perlu diatur lebih rincidan tegas lagi dengan melakukan perubahan Undang-Undang Hak Tanggungan.

2. Mekanisme Standard Operating Procedure (SOP) penjualan jaminan di bawahtangan terkait kredit macet sebaiknya diatur secara khusus pada peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sehingga mekanisme SOP ini akan menjadi acuan atau panduan bagi semua Bank/kreditur.

3. Perlindungan hukum bagi para pihak berkaitan dengan pelaksanaan penjualan jaminan di bawah tangan pada bank belum diatur secara khusus baik dalam Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan kiranya pemerintah dapat membuat surat keputusan bersama Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Ketua Komisioner OJK terkait penjualan objek jaminan kredit di bawah tangan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Basuki, Sulitsyo, Metode Penelitian, (Jakarta: Wedatama Widya Sastra dan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006).

Basuki, Sulitsyo, Metode Penelitian, (Jakarta: Wedatama Widya Sastra dan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006).