• Tidak ada hasil yang ditemukan

Guru pada Masa Dinasti Umayyah dan Abasiyah

Profesi Guru dalam Lintasan Sejarah

C. Guru pada Masa Dinasti Umayyah dan Abasiyah

Kekuasaan Bani Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun. Ibu kota negara dipindahkan Muawiyyah dari Madinah ke Damaskus, tempat ia berkuasa sebagai gubernur sebelumnya. Muawwiyah Ibn Abi Sofyan adalah pendiri Dinasti Umayyah yang berasal dari suku Quraisy keturunan Bani Umayyah yang merupakan khalifah pertama dari tahun 661-750 M, nama lengkapnya ialah Muawwiyah bin Abi Harb bin Umayyah bin Abdi Syam bin Manaf. (Yatim, 2002: 43).

Setelah Muawwiyah diangkat jadi khalifah ia menukar sistem pemerintahan dari Theo Demikrasi menjadi Monarci (Kerajaan/ Dinasti) dan sekaligus memindahkan Ibu Kota Negara dari Kota Madinah ke Kota Damaskus. Muawwiyah lahir 4 tahun menjelang Nabi Muhammad saw. menjalankan Dakwah Islam di Kota Makkah, ia beriman dalam usia muda dan ikut hijrah bersama Nabi ke Yastrib. Disamping itu termasuk salah seorang pencatat wahyu, dan ambil bagian dalam beberapa peperangan bersama Nabi.

Pada dinasti Umayyah perluasan daerah Islam sangat luas sampai ke timur dan barat. Begitu juga dengan daerah Selatan yang merupakan tambahan dari daerah Islam di zaman khulafaarrasyidin yaitu: Hijaz, Syiria, Iraq, Persia dan Mesir. Seiring dengan itu pendidikan pada priode Danasti Umayyah telah ada beberapa lembaga seperti: Kuttab, Masjid dan Majelis Sastra. (Lihat Daulay, 2014: 61-63) Materi yang diajarkan bertingkat-tingkat dan bermacam-macam. Metode pengajarannya pun tidak sama. Sehingga melahirkan beberapa pakar ilmuan dalam berbagai bidang tertentu.

Pola pendidikan Islam pada periode Dinasti Umayyah bersifat desentrasi. Desentrasi artinya pendidikan tidak hanya terpusat di ibu kota Negara saja tetapi sudah dikembangkan secara otonom di daerah yang telah dikuasai seiring dengan ekspansi teritorial. Sistem pendidikan ketika itu belum

39 memiliki tingkatan dan standar umur. Kajian ilmu yang ada pada periode ini berpusat di Damaskus, Kufah, Mekkah, Madinah, Mesir, Cordova dan beberapa kota lainnya, seperti: Basrah dan Kuffah (Irak), Damsyik dan Palestina (Syam), Fistat (Mesir). Diantara ilmu-ilmu yang dikembangkannya, yaitu: kedokteran, filsafat, astronomi atau perbintangan, ilmu pasti, sastra, seni baik itu seni bangunan, seni rupa, maupun seni suara.

Menurut Al-Qosqosamdi dalam Nur Uhbiyati (1997:83) bahwa syarat untuk bisa menjadi seorang guru pada masa kekhalifahan bani Umayyah secara umum dapat digolongkan ke dalam 2 syarat:

1. Syarat Fisik: bentuk badannya bagus, manis muka (selalu berseri-seri), lebar dahinya dan bermuka bersih.

2. Syarat Psikis: berakal sehat, hatinya beradab, tajam pemahamannya, adil terhadap siswa, bersifat perwira, sabar dan tidak mudah marah, bila berbicara menggambarkan keluasan ilmunya, perkataannya jelas dan mudah dipahami, dapat memilih perkataan yang baik dan mulia, serta menjauhi perbuatan yang tidak terpuji.

Menurut Al-Jahiz dalam Yunus (1992; 128) guru dapat dklasifikasikan kedalam 3 golongan adalah:

1. Guru-guru yang mengajar sekolah kanak-kanak (mu‘allim al-kuttab), para mu‘allim kuttab (guru sekolah anak-anak) mempunyai status sosial yang rendah. Hal ini disebabkan oleh kualitas keilmuan mereka yang dangkal dan kurang berbobot. Namun tidak semua demikian, ada sebagian diantara mereka yang ahli di bidang sastra, ahli khat dan fuqaha. Mereka inilah golongan guru muallim al-kuttab yang dihormati dan dihargai seperti: Al-Hajaja, Al-Kumait, Abdil hamid Al-Katib, Atha bin Rabah dan lain-lain.

2. Para guru yang mengajar para putra mahkota (Muaddib), berbeda dengan muallim al-kuttab, para muaddib mempunyai status sosial yang tinggi, bahkan tidak sedikit para ulama yang mendapat kesempatan untuk menjadi muaddib. Hal ini disebabkan karena untuk menjadi muaddib diperlukan beberapa syarat, di antaranya adalah alim, berakhlak mulia, dan dikenal masyarakat.

3. Para guru yang memberikan pelajaran di masjid-masjid dan sekolah-sekolah, guru-guru dari golongan ini telah beruntung mendapat kehormatan dan penghargaan yang tinggi di hadapan masyarakat. Hal ini disebabkan penguasa mereka terhadap ilmu pengetahuan yang begit mendalam (rasikh) dan berbobot. Di antara mereka adalah guru ilmu syariat, ilmu bahasa, ilmu pasti dan sebagainya. Terdapat beberapa guru

40

p

dari golongan ini yang terkenal di kalangan masyarakat, diantaranya adalah Abul Aswad Ad-Duali, Hasan Al-Basri, Abu Wadaah, Syuraik Al-Qadhi, Muhamad ibn Al-Hasan, Ahmad ibnu Abi Dawud, dan lain sebagainya.

Guru-guru pada masa ini selalu dikelilingi oleh para siswa yang datang dari berbagai pelosok wilayah dunia yang bertujuan mendengarkan langsung kajian yang dibawakan gurunya. Sudah menjadi tradisi Islam pada masa klasik (Umayyah-Abbasiyah) bahwa guru tidak pernah kapan murid harus selesai belajar kepadanya, kecuali ia telah menyelesaikan kitab yang dikajinya (khatam). Murid diberi kebebasan untuk belajar kepada siapa saja dan kapan saja, bahkan guru tidak pernah menawarkan pelajaran secara khusus yang harus diselesaikan oleh murid pada waktu tertentu.

Guru pada masa bani Umayyah memegang peranan yang penting dalam proses pendidikan anak, mulai dari menentukan perencanaan sampai melaksanakannya. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila pada masa ini disebut dengan teacher oriented. Selain itu, guru pada masa ini secara teratur sudah melaksanakan tugas dan memberikan secara sungguh-sungguh dan memperlakukan murid secara adil tanpa ada diskriminasi.

Setelah runtuhnya dinasti Umayyah, maka kekuasaan dilanjutkan oleh dinasti Abbasiyah. Kekuasaan dinasti bani abbas, sebagaimana disebutkan melanjutkan kekuasaan dinasti bani Umayyah. Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad Saw, dinasti didirikan oleh Abdullah Alsaffah Ibnu Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn Al- Abbas. (Yatim, 2002: 49).

Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti Islam yang sempat membawa kejayaan umat Islam pada masanya. Zaman keemasan Islam dicapai pada masa dinasti-dinasti ini berkuasa. Pada masa ini pula umat Islam banyak melakukan kajian kritis terhadap ilmu pengetahuan. Akibatnya pada masa ini banyak para ilmuan dan cendikiawan bermunculan sehinngga membuat ilmu pengetahuan menjadi maju pesat.

Popularitas daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya Al-Ma‘mum (813-833 M). Kekayaan yang dimanfaatkan Harun Arrasyid untuk keperluan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan, dokter, dan farmasi didirikan, pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Disamping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada zaman khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan,

41 ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya.pada masa inilah Negara islam menempatkan dirinya sebagai Negara terkuat dan tak tertandingi.

Al-Ma‘mun pengganti Al-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakan, untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia mengkaji penerjemah-penerjemah dari golongan kristen dan penganut golongan lain yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait Al- Hikmah, pusat penerjemah yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar dan menjadi perpustakaan umum dan diberi nama ‖Darul Ilmi‖ yang berisi buku-buku yang tidak terdapat di perpustakaan lainnya. Pada masa Al-Ma‘mun inilah Bagdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan, kekota inilah para pencari datang berduyun-duyun, dan pada masa ini pula kota Bagdad dapat memancarkan sinar kebudayaan dan peradaban islam keberbagai penjuru dunia.

Diantara bangunan-bangunan atau sarana untuk penndidikan pada masa Abbasiyah yaitu:

1. Madrasah yang terkenal ketika itu adalah madrasah An-Nidzamiyah, yang didirikan oleh seorang perdana menteri bernama Nidzamul Muluk (456-486 M). Bangunan madrasah tersebut tersebar luas di kota Bagdad, Balkan, Muro, Tabaristan, Naisabur dan lain-lain.

2. Kuttab, yakni tempat belajar bagi para siswa sekolah dasar dan menengah.

3. Majlis Munadharah, tempat pertemuan para pujangga, ilmuan, para ulama, cendikiawan dan para filosof dalam menyeminarkan dan mengkaji ilmu yang mereka geluti.

4. Darul Hikmah, gedung perpustakaan pusat.

Kehidupan guru pada masa ini sangat diperhatikan oleh khalifah. Tinggi rendahnya penghormatan terhadap guru pada awal abad-abad pendidikan muslim tergantung atas dua faktor, yaitu:

1. Tempat dimana dia mengajar, di Persia: penghormatan kepada guru merupakan suatu tradisi lama dalam pendidikan zoroastrian, tradisi ini dilanjutkan kedalam periode islam.

2. Tingkatan dimana ia belajar. Biasanya, penghormatan kepada guru semakin tinggi terhadap guru sekolah menengah dan pendidikan tinggi. Guru-guru sekolah dasar kurang dihargai karena pengetahuannya yang

42

p

amat sederhana dan karena tingkat pendidikan tampaknya sudah menjadi daya tarik. (Nata, 2004: 152).

Ada enam tipe guru yaitu muallim, mu‟addib, mudarris, syaikh, ustadz, imam, belum lagi termasuk guru pribadi dan para muaiyyid atau asisten (guru-guru yunior). Muallim biasanya julukan bagi (guru-guru sekolah dasar, mu‟addib, arti harfiyahnya orang yang beradab atau guru adab, adalah julukan untuk guru-guru sekolah dasar dan menengah, mudarris adalah satu julukan propesional untuk seorang murid atau pembantu. Ia sama dengan asisten profesor dan membantu mahasiswa menjelaskan hal-hal yang sulit mengenai kuliah yang diberikan profesornya, syaikh atau guru besar adalah julukan khusus yang menggambarkan keunggulan akademis atau teologis, imam adalah guru agama tertinggi. Selama pemerintahan abbasiyah para guru mengikuti gaya Persia, mengenakan tutup kepala Persia, celana lebar, rok, rompi, dan jaket. Semuanya ditutup dengan jubah atau aba mantel luar dan taylasan diatas surban.

Keberadaan guru mempunyai pengaruh yang penting dalam suatu pemerintahan, bahkan kekuasaannya mempunyai andil yang besar dalam kekuasaan kholifah, karena guru terhimpun dalam suatu organisasi yang mempunyai fower yang dapat mengendalikan kepentingan kholifah, khususnya dalam hal pengangkatan dan pemberian izin untuk menjadi pengajar di masjid. (Nakosteen, 2003: 76-77).