• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL BERAWAL DARI USAHA

OLEH : MUHAMMAD TÖÖNTÖÖWI XII IPS 1

bak digondol wewe gombel setelah kuhaturkan maksud kami menemuinya. Raut mukanya menjadi emosional. Bisa ku tebak bahwaia tak suka dengankedatangan kami.

Akudan Kang Kadir sempat bentrok kata-kata akan perkara ini, sampai Kang Kadir mungkin sudah muak dan mulai mengantarkan kami menuju luar kamarnya.

“Keluarlah saja..., untuk perkara ini aku masih enggan membantu..!”.

“Sebentar kang, apakah perbuatan njenengan sudah mencerminkan diri njenengan sebagai pemimpin yang baik?, ingat kang pemimpin adalah pembantu, pemban-tu bagi para anggotanjenengan demi keberhasilan suapemban-tu usaha. Itu semboyan yang diamalakan oleh ‘Ulama Sala-funasssholih. Kalau tak ikut semboyan itu njenengan mau ikut siapa?”.

“Tahu apa kau soal itu?, kau itu masih amatiran, aku lebih mengerti dari pada kau?”.

“Ya, aku tahu kalau njenengan lebih mahir, tapi bu-kankah kita sebagai makhluk Allah diperintah untuk me-nyebarkan ilmunya..!”.

“Alah, terserah kowe mau apa, pokoknya aku akan tetap teguh dengan pendirianku”.Jawabnya terakhir kali sambil menutup pintu yang lapuk itu.Tenyata ia masih mantap dengan dirinya sendiri.

Dalam hatiku tetap tak bisa berhenti menghujat kebi-jakannya. Aku berfikir tentang apalah salahku jika

menan-yakan problem itu padanya, jika ku pertimbangkan malah-malah aku lebih benar darinya, walaupun tak semua yang keluar dari diriku bersifat benar dan sebagai manusia aku tak pantas untuk merasa benar. Lalu bagaimana nasib seorang alim yang enggan membagikan ilmunya untuk orang lain, padahal ia sudah dalam tingkatan yang mum-puni akan hal itu.

Aku dan Barun terus melangkahkan kaki meniti jalan dengan rasa putus asa di depan mata. Aku sudah pasrah, kuserahkan semuanya kepada Gusti yang Maha Bijaksana. Sampai pada akhirnya pertolongan-Nya pun datang. Se-buah telapak tangan menyentuh bahu kananku, kumenoleh ke belakang dan ternyata ada seseorang yang rasanya me-mang tak asing lagi dengan indra penglihatanku. Itu Mbah Beng, penjaga warung di pinggir pesantren langganan para santri. Sebenarnya ia memiliki nama asli Ibrahim, namun seiring perkembangan zaman dan kawan kini namanya leb-ih masyhur dikenal dengan Mbah Beng. Ia ternyata paham betul seluk-beluk dunia literasi di pesantren Ar-Royan ini. Ia menceritakan pada kami tentang masa kejayaan team Ar-Royan era Kang Kadir, sampai pada suatu waktu ketika pesantren Ar-Royan akan mengikuti lomba tingkat Nasi-onal di Jombang,para santri tak memiliki dana yang cu-kup, akhirnya Yai Rois mengajak pemuda-pemuda sekitar pesantren untuk patungan. Namun hasil berkata lain, Ar-Royan tak mendapatkan gelar juara apapun seperti biasan-ya, ditambah lagikondisi pesantren yang masih mengalami paceklikkalaitu. Sampai akhirnya para pemuda sekitar pesantren itu mendatangi NdalemYai Rois untuk menagih

hutang, Yai pun kelabakan. Merasa tak sabar, akhirnya para pemuda itu masuk ke pondok dengan menyita semua per-alatan sertaatributteam dan memaksa Yai untuk memva-kumkanteam itu karena dianggap merugikan. “Sekarang hanya sebuah papan mading di gudang itu yang menjadi saksi bisu kejayaan Ar-Royan”. Imbuhnya.

Sinar sang rembulan dan desiran angin malam tak bosannya menyelimuti kami bertiga dalam obrolan nik-mat penggugah semangat, malam yang kian larut mengi-syaratkan bahwa sudah saatnya kami mengakhiri obrolan. Tapi diskusi kami dengan MbahBeng tak berakhir begitu saja, Mbah beng menyuruh kami untuk berkunjung ke wa-rungnya esok hari.

***

Satu bangku telah kami penuhi bertiga. Rencana kami kali ini adalah bagaimana membangun kembali dunia kepenulisan di pesantren Ar-Royan. Otakku berputar-putar mencari ide yang pas untuk melakukan hal itu, karena kondisi kami kali ini adalah ingin membangun budaya lit-erasi yang kami belum paham betul tentang litlit-erasi.Ba- literasi.Ba-run tetap menggerak-gerakkan pena di genggamannya sembari sesekali menyeruput kopi hangat di hadapannya. Mbah beng masih tetap tenang sambil mengulek sambal terasi di sebelahku. Sampai akhirya Barun menyela kehen-ingan kami, mungkin khasiat kopi khas buatan Mbah Beng cocok dengan diri sang Barun, “Ghosob bukunya kang Kadir

untuk belajar”, sebuah ide yang terdengar kontroversional,

bacaan milik kang Kadir kami yakin bisa mendapatkan ilmu yang kami cari, walaupun masih kontroversial juga cara kami mendapatkannya.

***

Kepergian Kang Kadir dari kamar adalah saat-saat ber-harga bagi kami. Kami bisa seenaknya masuk ke kamarnya dengan mengambil kunci yang selalu di tinggaldi bawah pot bunga depan kamarnya. Lebih untungnya lagi selain pintu kamar tadi, tak ada satu pun tempat didalam kamar yang memiliki keamanan ganda. Dua buku sampai empat-buku bisa kami habiskan dalam sehari, sebelum esoknya kami kembalikan dan mencari referensi yang lain.

Hari demi hari kulakukan aktivitas yang sama den-gan hari kemarin, sampai hal itu berjalan sekitar 3 Minggu. Setelah itu kami sudah merasa agak cukup dengan pembe-lajaran kami dari buku Kang Kadir. Tentunya kami tak mau mengikuti jejak Kang Kadir yang memprioritaskan ilmunya hanya untuk kalangan sendiri. Pertama kami mengajak pelanggan setia warung Mbah Beng untuk sekedar

nim-brung mendengarkan diskusi kami serta melihat catatan

pribadiku yang bersumber dari buku-buku Kang Kadir, den-gan ditemani secangkir kopi dan cemilan rinden-gan, penghuni warung Mbah Beng serasa lebih krasan dengan acara baru buatan kami. Tak hanya dari kalangan santri saja, lama kelamaan pemuda-pemuda sekitar pun ada yang ikut ko-munitas diskusi amatiran kami.

Pengunjung warung Mbah Beng dari hari ke hari

kin bertambah, kalau sehari hanya berkisar 10 pengunjung, kali ini pengunjung Mbah Beng bisa bertambah sampai tiga kali lipatnya. Tentunya dengan metode ngopi yang kami konsep berbeda, yakni dengan diimbuhi sarana pra sara-na yang nyaman untuk membaca, mengarang tulisan dan berdiskusi. Juga buku bacaan ala kadarnya yang kami beli dari hasil laba Mbah Beng. Itulahidentitasunik kami yang kembali menegaskan bahwa warung kopi ini memang

nyl-eneh dari warung-warung kopi lainnya.

Lurah Pondok dan pengurus yang pernah kudatangi untuk mencari pendapat dulu pun sudah akrab kembali dengan kami, bahkan mereka mendukung penuh usaha kami untuk membangun literasi di pesantren Ar-Royan, tak jarang aku melihat keberadaannya di warung Mbah Beng. Begitu pula dengan Kang Kadir, walaupun aku belum per-nah melihat sosoknya di sebelah kami, kami yakin ia sudah tak bermusuhan lagi dengan kami, itu dibuktikan dengan ekspresinya yang tak lagi mirip singa ketika bertemu den-gan kami, kami pun sudah menceritakan semua kisah kami tentang tragedi penggosoban buku itu, mungkin Kang Ka-dir masih merasa berdosa karena sudah mengusir kami dari kamarnya dulu.

Karena dituntut keadaan yang semakin menguntung-kan, kami bertiga berencana untuk menyulap forum kami agar mudah diingat oleh khalayak ramai. Kali ini otak kami dituntut kembali untuk berfikir keras. Aha, satu nama mun-cul dari otakku “Cangkruk KOPI Ar-Royan, mengingat tem-pat ini dahulunya adalah temtem-pat cangkruk bagi para

pen-gunjung untuk bersantai ria dan sekarang ada tambahan tentang dunia literasi yang akan kita sematkan dalam kata KOPI yang merupakan singkatan dari Komunitas Penulis, dan terakhir nama Ar-Royan sebagai identitas bahwa kita muncul dari pesantren Ar-Royan?”. Tanpa berfikir panjang-tentang pendapat yang kuutarakan, parapenghunicangk-ruklangsung menyetujui usulanku.

Keesokan harinya dengan dibantu kawan-kawan wa-rung, plang bertuliskan Cangkruk KOPI Ar-Royan pun sudah bertengger mewah di depan warung Mbah Kadir, diimbuhi lukisan pena diatas kertas serta secangkir kopi di sebelah nama membuat kesan semakin menarik lagi bagi komuni-tas ini.

***

27 September 2017

Suasana depan ndalem telah dipadatai orang-orang, menunggu kedatangan Yai Rois yang dalam perjalanan pu-lang dari tanah suci, sepanjang jalan dekat ndalem telah dipasang obor-obor kecil oleh para santri demi menyam-but kedatangan Yai Rois, keakraban Pak Lurah Pondok dan Kang Kadir pun semakin membuat momentum ini kian ber-warna.

Tak berselang lama jeep berwarna putih tiba di de-pan ndalem, dibarengi Yai Rois yang beranjak turun dari kursi mobilnya. Para santri membacakan sholawat sebagai sambutan selamat datang bagi Yai Rois, para keluarga dan sanak saudara merasakan keharuan yang indah ketika

temu kembali dandapatbersalamandengan sosok Yai Rois. Sesudah itu giliran Barun yang membacakan sebuah puisi di hadapan Yai Rois dan para penyambutnya, para hadirin seketika diam termenung mendengar lantunan bait-bait indah yang dipersembahkan oleh Barun. Yai Rois menetes-kan air matanya lalu menghampiri Pak Lurah Pondok dan Kang Kadir.

“Apakah dunia literasi pesantren kita muncul kemba-li…?”.

“Nggeh Yai, mohon restunya”. Jawab Kang Kadir man-tab.

“Alhamdulillah, gusti Allah telah mengabulkan permo-honanku yang selama ini ku idam-idamkan”. Syukur Yai Rois sembari menengadahkan tangannya ke langit, lalu disusul do’a yang diamini dengan khidmah oleh para penyambut.

Hasil memang tak akan menghianati usaha, meskipun usahamu kali ini sudah dalam level terbaik dan hasil itu pun belum kelihatan keberadaanya, yakinlah yang Maha Bi-jaksana sudah mengatur kegemilangan hasilmu di waktu-waktu yang sudah ditentukan-Nya kepadamu.

Selesai

Bulan purnama telah berbinar di tempatnya sejak be-berapa menit yang lalu. Bintang gemintang satu persatu segera bermunculan ikut menghiasi langit yang semakin mengelam setelah kembalinya surya keperaduan bersama hilangnya corak jingga yang biasa disebut siluet senja. Hu-kum alam memang selalu mengagumkan, bergeser ber-gantian dengan rapi menjanjikan setiap mata yang terpe-sona pada keagungan tuhan.

Namaku Muhammad Fahmi, aku hidup di sebuah desa di daerah terpelosok, terpencil dan tak banyak dijangkau pendatang. Belum ada listrik didesaku, jalan aspal hanya ada di kota, minyak tanah saja harganya sangat mahal. Selain itu, kualitas pendidikan disini sungguh tak ada. Tak ada guru, tak ada juga muridnya. Teman-temanku tak per-nah tau apa gunanya sekolah, bahkan tak bisa menulis dan membaca.

Keluargaku sangat sederhana, hidup bersama ibu dan dua kaka laki-lak. Bapakku sudah meninggal sejak aku dikandungkan. Umur sepuluh tahun dan delapan tahun, kedua kakakku memilih mengembara di Pulau Jawa untuk menuntut ilmu. Setelah umurku dua belas, barulah