• Tidak ada hasil yang ditemukan

HIJRAHKU MENUJU RIDHOMU

OLEH : MUHAMMAD TÖÖNTÖÖWI XII IPS 1

“Ah, memang kisah hidup yang berat. Aku

sebena-rnya tahu bahwa secara realita diriku banyak mempunyai kekurangan dari pada kelebihan, mulai dari rupa yang ala kadarnya, tak pandai dalam bergaul dan banyak hal lagi yang akan membosankan jika ku lanjutkan. Tapi walaupun begitu apakah mereka lupa akan kekuatan sebuah usaha?, apakah bapakku tak ingin melihat anaknya sendiri berjuang di luar sana untuk sekedar membantu perekonomian yang kian hari kian sulit?. Ah, inilah rasanya merasakan prob-lematika kehidupan yang tak pernah dipelajari di bangku sekolah. Ruwet, rasanya lebih sulit 10 kali lipat dari mata pelajaran Sosiologi tingkat SMA.

*****

Detik ini masih sama dengan detik-detik di hari kema-rin, rembulan masih sanggup menggantikan posisi mataha-ri sebagai penerang dunia, dan serangga-serangga malam tetap menjalankan rutinitasnya bernyanyi ria di tengah ke-sunyian malam, begitu pula dengan segenap rasa yang ma-sih hinggap dan enggan menghilangdari pikiran dan hatiku. Sampai pada akhirnya aku benar-benar memutuskan un-tuk pergi ke kota, dengan bekal hasil lukisan yang baru ku selesaikan tiga hari yang lalu aku sudah siap untuk menin-ggalkan kampungku, aku berharap lukisan ini dapat men-jadi modal awal hidup baruku jika bapak tak juga merubah pendiriannya untuk melarangku kembali pulang jika tetap pergi ke kota.

Ketika kakiku telah melangkah meningalkan pintu rumah, bapak tiba-tiba muncul dihadapanku dan

memaki-maki. Ternyata beliau tak main-main dengan kata-katanya, beliau benar-benar mengusir dan tak sudi melihat diriku menginjak rumah beliau lagi. Namun semua itu tak lagi sanggup menyurutkan nyaliku untuk tetap mengikuti kata hatiku. Aku pun pergi berlalu bersama angin yang meng-gandengkuberanjak dari kampung.

*****

Kuberjalan di sorot panasnya mentari siang ini, na-mun itu tak menyurutkan para manusia yang berlalu lal-ang memeriahkan jalanan kota. Begini rupanya kehidupan kota, para manusia sibuk bersaing dalam pekerjaan guna meninggikan reputasinya. Kucari-cari toko yang mungkin mau menampung hasil karya tanganku ini, sebuah lukisan sederhana yang bergambar tiga orang santri duduk ber-sila membentuk halaqoh yang sedang khidmah menyimak petuah-petuah ustadz, bukan tanpa makna, tapi aku melu-kis ini karena aku ingin sekali mendapatkan perlakuan dari bapakku yang ku lukiskan bagai ustadz yang dengan ikhlas mencurahkan ilmunya, dan tiga orang santri yang meru-pakan anggota keluarga yang senantiasa rukun dan patuh atas keadilan dan kebijakan pemimpinnya.

Alangkah indahnya hidup ini jika semua itu benar-benar terjadi, namun faktanya itu hanyalah gambaran khayal yang dapat dibuat oleh siapa saja, sebagai makhluk-Nya aku han-ya bisa berusaha dan berdoa kepada sang kuasa agar mena-kdirkan hidupku seperti mimpi konyol penuh harap itu.

*****

Hawa angin malam mulai hadir mendinginkan tubuh-ku. Angin yang berhembus sedemikian kencangnya mampu mengobrak-abrik jaket tebalku. Jalan demi jalan telah ku-susuri, namun sampai sekarang pun tak kunjung kutemui satu toko pun yang mau membeli karyaku ini. Aku semakin bingung harus bagaimana, ditambah kondisi tubuh yang sudah tak dapat dibohongi lagi kelesuannya.

Lalu mataku disajikan dengan pandangan yang seper-tinya mampu membantuku melewati semua ini, memang saat itu aku tak menemukan toko lukisan, museum budaya ataupun rumah seniman yang dapat kutawari untuk mem-beli lukisanku, namun aku menemukan sebuah surau kecil yang mungkin dapat ku gunakan untuk mengistirahatkan sejenak tubuhku di serambinya.

Aku terbawa oleh mimpi-mimpi indah bersama gerombolan angin yang masih saja beradu dingin di larut-nya malam. Sampai diriku terbangun oleh sejuklarut-nya kuman-dang adzan shubuh surau kecil ini. Ku ambil air wudhu dan melaksanakan sholat bersama para jamaah. Setelah itu aku duduk di serambi masjid melamunkan nasib lukisanku yang belum terjual juga. Di tengah lamunanku datang seorang pemuda duduk menyandingku.

“Dari mana mas kok shubuh-shubuh gini sudah sam-pek sini?”. Tanya pemuda tersebut memulai pembicaraan.

“Oh. . ini mau jual lukisan saya mas (sambil ku sodor-kan lukisanku), tapi dari kemarin saya belum menemusodor-kan yang mau membeli lukisan ini, barang kali mas tahu

dima-na tempat yang mau menerima lukisan ini?”

“maaf mas kalau soal itu saya kurang tahu!, di daerah sini itu memang jarang ada penjual lukisan mas!, maaf ya mas!”

“waduhhh, terus bagaimana ya mas, saya dari desa itu memang telah berniat menjual lukisan ini untuk peng-hidupan saya esok hari, karena barang berharga yang saya miliki sekarang hanya itu, kalau gak terjual besok saya mau makan apa yha?”. Aku mulai cemas.

“hmm. . . tapi mbok yha jangan terlalu putus asa gitu to mas!”. Tegur pemuda itu kalem.

“Iya juga, tapi bagaimana lagi yha. . ”. Tanyaku heran “hehehe. . . kita kan masih punya gusti Allah yang maha memberi rezeki kepada seluruh makhluknya, dan rezeki itu sudah diatur secara tepat dan tak akan tertukar dengan orang lain. Masak kita bisa-bisanya meragukan Dzatiyah Gusti itu, bukannya janji Gusti Allah selalu benar?”.

Dari dalam pintu masjid keluar orang tua yang beran-jak meninggalkan masjid.

“mas, sampek di sini dulu yha!, bapak saya sudah se-lesai wiridannya, bapak saya itu sudah tua dan tak bisa pu-lang kalau tidak dituntun”

“oh. . ya mas terima kasih”

Perbicangan singkat yang sarat akan hikmah, aku tak sempat memberi komentar apa-apa atas argumen

nya, namun aku masih memiliki waktu yang banyak untuk merenungkan kata-kata yang keluar dari mulutnya.

Setelah melakukan perbincangan itu diriku terasa masih enggan untuk beranjak dari surau. Aku berencana untuk sowan menemui ta’mir masjid yang kuketahui na-manya dari papan rekapitulasi keuangan yang tertempel di tembok surau, Yai Fazafi Kaunain, nama yang sangat arab menurutku, mungkin beliau adalah keturunan seorang habib atau nenek moyangnya adalah blasteran Indonesia dengan negara timur tengah yang pernah singgah dan me-nyebarkan agama Islam pada masa sebelum merdeka dulu.

Dengan menanyakan lokasi rumah Yai Faza kepada masyarakat sekitar surau akhirnya aku dapat menemukan kediaman beliau. Pertama kali bertemu beliau itu sudah menampik persepsiku bahwa beliau adalah keturunan Arab, ternyata beliau orang asli Jawa, nama itu memang sengaja diberikan oleh bapaknya karena Yai Faza memang hidup di tengah-tengah keluarga yang agamis. Tutur kata beliau kalem dan santun, membuatku betah menceritakan keseluruhan kisahku awal hingga akhir.

Setelah menyimak lika-liku kisah hidupku, mungkin Yai Faza menjadi iba denganku. Beliau lalu mengizinkanku untuk sementara menginap di masjid, tak hanya itu beliau juga memberikanku pekerjaan dengan menyuruhku men-jaga toko busana milik beliau.

Tiga tahun telah berlalu, sekarang aku tak lagi meng-gunakan masjid sebagai tempat penginapanku, dari upah hasil menjaga toko Yai Faza aku jadi bisa menyewa sebuah kos yang terletak dekat masjid, lukisanku dulu pun kuu-rungkan untuk ku jual dan sekarang telah terpampang di salah satu sudut surau. Tak hanya itu, Yai Faza juga ikh-las mengajariku ilmu agama setiap hari, dan dari itu pula aku sekarang dipilih menjadi guru TPQ di surau. Sungguh sangat beruntung diriku karena dapat bertemu dengan orang sedermawan dan sebijak beliau, memang benar kata pemuda yang 3 tahun lalu pernah berbincang denganku, Rezeki memang sudah diatur oleh Allah dan tak akan per-nah tertukar dengan orang lain.

Hari itu entah mengapa tiba-tiba Yai Faza memang-gilku untuk ke rumahnya.

“Nak, sudah tiga tahun kamu hidup disini, dan sampai sekarang apakah kamu tak ingin pulang menemui keluar-gamu?”.

“bagaimana yha yai?”.

Aku terdiam sejenak, memori masa silam ketika bapak mengusirku kembali berputar merubunganganku.

“begini nak, kamu sekarang itu sudah tidak seperti dulu lagi, kamu sekarang sudah lebih baik, pasti bapakmu akan menerima kamu untuk kembali, aku merestui jika kamu kembali pulang, ingat nak ridho Allah tergantung pada ridho orang tuamu”.

Aku kembali terdiam sejanak.

“kalau itu yang menurut Yai terbaik untuk saya, saya akan pulang menuruti keinginan Yai, doakan saya Yai semo-ga saya diterima oleh bapak saya”

“iya nak, pulanglah. . . !, aku akan selalu mendoakan-mu”.

Aku menyucup tangan sucinya dengan penuh rasa kh-idmah, tak terasa air mata ini tak dapat lagi dibendung dari sumber keluarnya. “Oh. . Yai bagaimana aku harus memba-las semua kebaikan yang pernah engkau berikan kepada-ku, bila aku sukses pun mungkin itu takkan bisa membayar keikhlasan jasamu, semoga engkau tetap dalam perlindun-gan Allah”. Do’aku di dalam hati.

*****

Pagi yang sangat indah, dengan suasana desa lama yang sekarang ini lebih baik dari dulu sebelum aku pergi ke kota, yang membuatku semakin rindu dengan bapak, ibu dan kakakku. Namun sesampaiku dirumah, aku terperan-jak ketika mendapati beberapa personil polisi yang berada di depan rumahku. Aku semakin heran ada apa gerangan dengan rumahku. Tak berselang lama mataku melihat pe-mandangan tak lazim yang tak pernah ku lihat sebelumnya, kedua tangan kakakku di borgol dan ia dikawal oleh 2 polisi disampingnya menuju mobil patroli.

Lalu aku bergegas menghampiri kakakku, namun poli-si yang lain menyegahku dengan mendekap tubuhku.

“ada apa ini pak, mengapa kakakku di perlakukan sep-erti itu?”

“tenang dulu saudara, kakak anda terbukti sebagai pengedar narkoba kelas Internasional yang sudah kami in-car selama empat tahun yang lalu”

Betapa kecewanya diriku ketika mendengar penjela-san dari polisi tersebut, hatiku terasa remuk menyaksikan kenyataan tersebut. bagaimana bisa kakakku yang dulu dibangga-banggakan oleh bapak ternyata adalah seorang pengedar narkoba yang sudah lama menjadi incaran polisi. Bapak dan ibuku menghampiriku, memelukku, me-nyesal, serta meminta maaf atas segala perlakuan tak adil yang pernah dilakukannya kepadaku. “Ya Allah, inilah co-banya hidup, namun aku paham bahwa engkau memberi cobaan seperti ini karena engkau yakin bahwa aku bisa me-lewatinya, karena cobaanmu pasti tak akan melewati batas kemampuan manusia”.

Rasa kesal dan sesal tentu masih berapi-api di hatiku, mulutku diam seribu kata menyaksikan tragedi itu. Namun takkan kubiarkan rasa itu tetap menyetani diriku, “kalau ku-biarakan dan pelihara terus menerus kekesalan dan keben-cian kepada orang yang telah meremehkanku, maka aku tak akan pernah berfikir positif kepada mereka, sekali pun pada saat mereka melakukan tindakan yang positif. Aku in-gin menjadi orang yang baik kepada siapa saja, karena itu ku buang semua rasa benci ini, sehingga aku benar-benar merasa berusaha menjadi orang baik yang sesungguhnya”.

Memang berat rasanya memaafkan kesalahan seseorang yang menurutku sangat keterlaluan, tetapi sekali lagi aku teringat pesan Yai Faza “ridho Allah tergantung pada ridho orang tua”.

Selesai

Waktu menunjukkan pukul 10.35. mentari menyerin-gai hari sekelompok pemuda yang berencana menghabis-kan liburan lulus kuliah sarjana S1 mereka di sebuah hutan perkemahan di wilayah Bogor. Dekan. Pemuda berparas tampan lagi menawan sedang serius mengemudikan mo-bil yg berisikan lima pemuda pemudi yang tak lain adalah sahatnya sendiri. Ada Fanda, Nandez, Vero, Dante, dan Azel kesemuanya telah menyatu dengan penuh suka cita den-gan irinden-gan lagu koplo di dalam mobilnya. mereka melu-apkan semua kegundahan dengan berjoget ria seakan stres dari skripsi kemarin itu hilang. Namun di tengah keriangan itu, Dekan tiba-tiba menarik rem sehingga membuat mer-eka spontan terdorong kedepan. Dmer-ekan merasa dia melihat seseorang yang melintas di depan mobilnya dan mungkin tak sengaja tertabrak. Dia pun turun untuk mengecek ke-adaan orang itu. Akan tetapi, setelah Dekan mengecek di kolong mobilnya dan di sekitarnya tak ditemukan apa-apa. Tak ada tang tertabrak, bahkan bercak darah pun tidak ada sama sekali. Dekan pun keheranan. Akhirnya Vero pun mengusulkan agar Dekan digantikan oleh Dante. Mungkin Dekan kecapean sehingga fikiran sedikit teralihkan atau bisa dikata hanya halusinasi belaka.