• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Kerapatan Relatif (KR)

Dalam dokumen Prosiding pagi 2019 (Halaman 53-59)

Kerapatan merupakan jumlah individu suatu jenis tumbuhan dalam suatu luasan tertentu. Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan didapatkan nilai KR pada pola tanam monokultur dan tumpangsari dengan waktu pencabutan gulma 2, 4, dan 6 MST. Nilai KR tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Berdasarkan Tabel 1 diatas nilai KR tertinggi pada waktu pencabutan gulma 2, 4 dan 6 MST dengan pola tanam monokultur yaitu Ageratum conyzoides dengan nilai berturut-turut 20,01, 20,36 dan 28,48.

Tabel 1. Kerapatan relatif (KR).

No Spesies Monokultur Tumpangsari

2 MST 4 MST 6 MST 2 MST 4 MST 6 MST 1 Ageratum conyzoides* 20,01 20,36 28,48 29,13 17,84 14,71 2 Amaranthus spinosus* 4,54 10,51 4,71 11,14 6,64 4,09 3 Eleusine indica** 17,70 13,58 13,53 23,32 16,49 24,25 4 Euphorbia hirta* 8,40 7,76 10,66 1,96 10,37 11,17 5 Mimosa pudica* 22,94 19,13 22,34 17,75 26,86 19,62 6 Asytasia gangetica* 15,43 19,72 17,01 8,87 12,03 15,80 7 Cyperus rotundus*** 10,98 6,36 - 7,83 8,51 10,35 8 Physalis angulata* - 2,59 3,28 - 1,24 -

Hera et.al .Perbandingan Struktur Vegetasi Gulma pada Penanaman dan Pencabutan yang Berbeda

P r o s i d i n g S e m l o k n a s V P A G I - F A P E R T A U N A N D 2 0 1 9 | 37 Sedangkan nilai KR terendah dengan pola tanam

monokultur pada waktu pencabutan 2 MST adalah spesies Amaranthus spinosus dengan nilai 4,54. Sedangkan waktu pencabutan 4 dan 6 MST adalah spesies Physalis angulata dengan nilai 2,59 dan 3,28.

Nilai KR tertinggi dengan pola tanam tumpangsari berbeda-beda pada setiap waktu pencabutan. Pada waktu pencabutan 2 MST adalah spesies Ageratum conyzoides dengan nilai 29,13. Waktu pencabutan 4 MST adalah spesies Mimosa pudica dengan nilai 26,86. Sedangkan pada waktu pencabutan 6 MST adalah spesies Eleusine indica dengan nilai 24,25. Untuk nilai KR terendah dengan pola tanam tumpangsari pada waktu pencabutan 2 MST adalah spesies Euphorbia hirta dengan nilai 1,96. Waktu pencabutan 4 MST adalah spesies Physalis angulata dengan nilai 1,24. Sedangkan pada waktu pencabutan 6 MST nilai KR terendah adalah spesies Amaranthus spinosus dengan nilai 4,09. Hal ini sesuai pernyataan Arrijani et al (2006) bahwa rendahnya nilai kerapatan relatif dikarenakan rendahnya jumlah individu spesies di satuan luas tertentu.

Dari hasil keseluruhan nilai KR tertinggi pada pola tanam tumpangsari adalah spesies Ageratum conyzoides, Mimosa pudica dan Eleusine indica. Sedangkan pada pola tanam monokultur Ageratum conyzoides mendominasi, hal ini dikarenakan Ageratum conyzoides sangat mudah tumbuh dan menyebar, yang memiliki tekstur biji ringan dengan jumlah biji yang banyak, dapat tersebar dengan bantuan angin dan cukup mengganggu perkebunan. Tumbuhan ini memiliki daya saing yang tinggi, sehingga dengan mudah tumbuh dimana-mana dan sering menjadi gulma yang merugikan para petani (Okunade, 2002).

3.2. Frekuensi Relatif (FR)

Frekuensi merupakan nilai yang menyatakan jumlah kehadiran spesies dalam suatu habitat. Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan didapatkan nilai FR pada pola tanam monokultur dan tumpangsari dengan waktu pencabutan gulma 2, 4, dan 6 MST. Nilai FR dapat dilihat pada Tabel 2.

Berdasarkan tabel 2. nilai FR tertinggi pada pola tanam monokultur dengan waktu pencabutan 2 MST adalah spesies Ageratum conyzoides, Eleusine indica, Mimosa pudica dan Asytasia gangetica dengan nilai 18,38. Sedangkan nilai FR terendah

dengan waktu pencabutan 2 MST adalah spesies Amaranthus spinosus dengan nilai 6,13.

Nilai FR tertinggi pada pola tanam monokultur dengan waktu pencabutan 4 MST adalah spesies Ageratum conyzoides, Mimosa pudica dan Asytasia gangetica dengan nilai 17,15. Sedangkan nilai FR terendah dengan waktu pencabutan 4 MST adalah spesies Amaranthus spinosus, Euphorbia hirta dan Physalis angulata dengan nilai 8,58. Nilai FR tertinggi pada pola tanam monokultur dengan waktu pencabutan 6 MST mencapai 17,64 yaitu spesies Ageratum conyzoides, Mimosa pudica dan Asytasia gangetica. Nilai FR terendah yaitu gulma Amaranthus spinosus, Eleusine indica, Physalis angulata dan Euphorbia hirta dengan nilai sama-sama sebesar 11,17.

Nilai FR tertinggi pada pola tanam tumpangsari dengan waktu pencabutan 2 MST mencapai 21,93 yaitu spesies Ageratum conyzoides, diikuti gulma Eleusine indica dan Mimosa pudica dengan nilai 19,49. Nilai FR terendah yaitu gulma Euphorbia hirta dengan nilai 4,87. Nilai FR tertinggi pada pola tanam tumpangsari dengan waktu pencabutan 4 MST mencapai 23,98 yaitu gulma Mimosa pudica, diikuti gulma Eleusine indica dengan nilai 19,98.

Nilai FR terendah yaitu gulma Physalis angulata dengan nilai 4,0. Nilai FR tertinggi pada pola tanam tumpangsari dengan waktu pencabutan 6 MST mencapai 21,41 yaitu gulma Eleusine indica dan Mimosa pudica. Nilai FR terendah yaitu gulma Amaranthus spinosus dan Euphorbia hirta dengan nilai 7,14.

Tidak adanya Cyperus rotundus pada pola tanam monokultur dengan waktu pencabutan 6 MST dikarenakan kegiatan pembubunan dan tingginya tanaman jagung serta panjang tajuk, yang menyebabkan kurangnya asupan sinar matahari, sehingga menurunnya aktivitas fotosintesis pada Cyperus rotundus. Menurut Iqbal et al (2012) menyatakan kegiatan pengolahan tanah serta penurunan kemampuan Cyperus rotundus dalam berfotosintesis menyebabkan umbi tidak mampu bertunas. Spesies Physalis angulata tidak muncul pada 2 MST dengan pola tanam monokultur dan tumpansari, akan tetapi muncul pada 4 MST. Hal ini dikarenakan spesies-spesies gulma memiliki masa dormansi biji yang berbeda-beda (Tjitrosoedirjo et al, 2010).

Tabel 2 Frekuensi relatif (FR).

No Spesies Monokultur Tumpangsari

2 MST 4 MST 6 MST 2 MST 4 MST 6 MST 1 Ageratum conyzoides* 18,38 17,15 17,64 21,93 11,99 14,28 2 Amaranthus spinosus* 6,13 8,58 11,76 9,75 7,99 7,14 3 Eleusine indica** 18,38 14,29 11,76 19,49 19,98 21,41 4 Euphorbia hirta* 10,21 8,58 11,76 4,87 7,99 7,14 5 Mimosa pudica* 18,38 17,15 17,64 19,49 23,98 21,41 6 Asytasia gangetica* 18,38 17,15 17,64 12,18 11,99 14,28 7 Cyperus rotundus*** 10,21 8,58 - 12,18 11,99 14,28 8 Physalis angulata* - 8,58 11,76 - 4,00 -

Hera et.al .Perbandingan Struktur Vegetasi Gulma pada Penanaman dan Pencabutan yang Berbeda

38 | P r o s i d i n g S e m l o k n a s V P A G I - F A P E R T A U N A N D 2 0 1 9

Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa gulma berdaun lebar menguasai nilai FR tertinggi. Gulma berdaun lebar banyak ditemukan karena pada umumnya memiliki perakaran tunggang. Izah (2009) menyatakan gulma yang memiliki perakaran tunggang membuat pertumbuhan sangat cepat dan dapat hidup pada berbagai tipe tanah. Gulma berdaun lebar juga dapat berkembangbiak dengan pembentukan daun dan pemanjangan batang yang cepat sehingga dalam pertumbuhannya gulma tersebut lebih cepat. Selain itu, gulma yangmemiliki waktu tumbuh lebih cepat mempunyai daya kompetisi yang tinggi (Yusnafi, 2007).

3.3. Dominansi Relatif (DR)

Dominansi Relatif merupakan nilai yang menggambarkan pemusatan dan penyebaran suatu jenis yang dominan. Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan didapatkan nilai DR pada pola tanam monokultur dan tumpangsari dengan waktu pencabutan gulma 2, 4, dan 6 MST. Nilai DR tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

Berdasarkan tabel 3. nilai DR tertinggi pada pola tanam monokultur dengan waktu pencabutan 2 MST adalah spesies Ageratum conyzoides dengan nilai 21,05, diikuti spesies Asytasia gangetica dengan nilai 20,29. Sedangkan nilai DR terendah yaitu spesies Euphorbia hirta dengan nilai 6.01. Nilai DR tertinggi pada pola tanam monokultur dengan waktu pencabutan 4 MST adalah spesies Ageratum conyzoides dengan nilai 20,97, diikuti spesies Asytasia gangetica dengan nilai 20,62. Sedangkan nilai DR terendah yaitu spesies Physalis angulata dengan nilai 4,99. Nilai DR tertinggi pada pola tanam monokultur dengan waktu pencabutan 6 MST adalah spesies Ageratum conyzoides dengan nilai 28,98, diikuti gulma Mimosa pudica dengan nilai 15,64. Sedangkan nilai DR terendah yaitu gulma Physalis angulata dengan nilai 8,21.

Nilai DR tertinggi pada pola tanam tumpangsari dengan waktu pencabutan 2 MST adalah spesies Ageratum conyzoides dengan nilai 28,32, diikuti spesies Amaranthus spinosus dengan nilai 22,64. Sedangkan nilai DR terendah yaitu spesies Euphorbia hirta dengan nilai 1,97. Nilai DR tertinggi pada pola tanam tumpangsari dengan waktu pencabutan 4 MST adalah spesies Amaranthus spinosus dengan nilai 18,88, diikuti spesies Ageratum conyzoides dengan nilai 16,29.

Sedangkan nilai DR terendah yaitu spesies Physalis angulata dengan nilai 2,55. Nilai DR tertinggi pada pola tanam tumpangsari dengan waktu pencabutan 6 MST adalah spesies Eleusine indica dengan nilai 23,67, diikuti spesies Mimosa pudica dengan nilai 17,69. Sedangkan nilai DR terendah yaitu spesies Amaranthus spinosus dengan nilai 7,10.

Menurut Erida dan Safmaneli (2012), mengatakan bahwa spesies yang berbeda mempunyai kemampuan bersaing yang berbeda hal ini dikarenakan memiliki karateristik morfologi dan fisiologi yang berbeda. Sehingga nilai dominansi suatu spesies akan berbeda, berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa nilai dominansi relatif gulma tidak terjadi perbedaan yang signifikan. Menurut Heddy (2012) jika dominansi lebih terkonsentrasi pada suatu jenis, nilai indeks akan meningkat dan sebaliknya jika beberapa jenis mendominansi secara bersama-sama maka nilai indeks akan rendah.

3.4. Indeks Nilai Penting (INP)

Indeks Nilai penting merupakan penjumlahan dari kerapatan relatif, frekuensi relatif dan dominansi relative yang berguna dalam menentukan dominansi suatu jenis terhadap jenis lainnya. Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan didapatkan nilai INP pada pola tanam monokultur dan tumpangsari dengan waktu pencabutan gulma 2, 4, dan 6 MST. Nilai INP tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.

Berdasarkan Tabel 4. nilai INP tertinggi pada pola tanam monokultur dengan waktu pencabutan 2 MST adalah spesies Ageratum conyzoides dengan nilai 59,44, diikuti spesies Mimosa pudica dengan nilai 59,1. Sedangkan nilai INP terendah pada pola tanam monokultur yaitu gulma Amaranthus spinosus dengan nilai 20,86. Nilai INP tertinggi pada pola tanam monokultur dengan waktu pencabutan 4 MST adalah spesies Ageratum conyzoides dengan nilai 58,49, diikuti gulma Asytasia gangetica dengan nilai 57,49, sedangkan nilai INP terendah pada pola tanam monokultur yaitu gulma Physalis angulata dengan nilai 16,15. Nilai INP tertinggi pada pola tanam monokultur dengan waktu pencabutan 6 MST adalah

spesies Ageratum conyzoides dengan nilai 75,10, diikuti gulma Mimosa pudica dengan nilai 55,61. Sedangkan nilai INP terendah yaitu gulma Physalis angulata dengan nilai 23,24.

Tabel 3. Dominansi relatif (DR)

No Spesies Monokultur Tumpangsari

2 MST 4 MST 6 MST 2 MST 4 MST 6 MST 1 Ageratum conyzoides* 21,05 20,97 28,98 28,32 16,29 11,06 2 Amaranthus spinosus* 10,19 16,85 8,98 22,64 18,88 7,10 3 Eleusine indica** 12,97 10,43 13,95 15,21 16,22 23,67 4 Euphorbia hirta* 6,01 6,21 9,20 1,97 8,53 9,20 5 Mimosa pudica* 17,77 12,56 15,64 11,84 14,46 17,69 6 Asytasia gangetica* 20,29 20,62 15,07 10,84 11,05 16,09 7 Cyperus rotundus*** 11,71 7,36 - 9,2 12,01 15,18 8 Physalis angulata* - 4,99 8,21 - 2,55 -

Hera et.al .Perbandingan Struktur Vegetasi Gulma pada Penanaman dan Pencabutan yang Berbeda

P r o s i d i n g S e m l o k n a s V P A G I - F A P E R T A U N A N D 2 0 1 9 | 39 Nilai INP tertinggi pada pola tanam

tumpangsari dengan waktu pencabutan 2 MST adalah spesies Ageratum conyzoides dengan nilai 79,38, diikuti gulma Eleusine indica dengan nilai 58,02. Sedangkan nilai INP terendah yaitu gulma Euphorbia hirta dengan nilai 8,8. Nilai INP tertinggi pada pola tanam tumpangsari dengan waktu pencabutan 4 MST adalah spesies Mimosa pudica dengan nilai 65,31, diikuti gulma Eleusine indica dengan nilai 52,72. Sedangkan nilai INP terendah yaitu gulma Physalis angulata dengan nilai 7,79. Nilai INP tertinggi pada pola tanam tumpangsari dengan waktu pencabutan 6 MST adalah spesies Eleusine indica dengan nilai 69,33, diikuti gulma Mimosa pudica dengan nilai 58,72. Sedangkan nilai INP terendah yaitu gulma Amaranthus spinosus dengan nilai 18,32.

Dari hasil keseluruhan nilai INP tertinggi pada pola tanam monokultur adalah spesies Ageratum conyzoides. Sedangkan pada pola tanam tumpangsari adalah spesies Ageratum conyzoides, Mimosa pudica dan Eleusine indica. Hal ini dikarenakan Ageratum conyzoides dan Mimosa pudica merupakam gulma berdaun lebar yang memiliki perakaran tunggang. Sistem perakaran tunggang membuat gulma berdaun lebar lebih mendominasi (Suryaningsih et al, 2011). Hal ini didukung oleh pernyataan (Harsono 2011), gulma berdaun lebar tumbuh dengan habitus yang besar, sehingga kompetisi yang terjadi dengan tanaman dalam hal mendapatkan cahaya.

3.5. Perbandingan Nilai Penting (SDR)

Perbandingan nilai penting merupakan parameter yang identik dengan indeks nilai penting, oleh

karena itu perbandingan nilai penting juga dipakai untuk menentukan nilai dominansi spesies dalam suatu komunitas. Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan didapatkan nilai SDR pada pola tanam monokultur dan tumpangsari dengan waktu pencabutan gulma 2, 4, dan 6 MST. Nilai SDR tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.

Tingginya nilai SDR Ageratum conyzoides pada pola tanam monokultur dikarenakan mudahnya beradaptasi membuat gulma spesies ini banyak ditemukan, hal ini didukung oleh pernyataan Reader dan Buck (2000), gulma famili Asteraceae dapat berkembangbiak melalui biji, mempunyai kemampuan beradaptasi dengan lingkungan, misalnya sedikit air sampai tempat basah. Kebutuhan akan cahaya, temperatur, air dan ruang tumbuh terpenuhi sesuai dengan kebutuhannya, sehingga gulma ini dapat berkembang cepat.

Berdasarkan Tabel 5. nilai SDR tertinggi pada pola tanam monokultur dengan waktu pencabutan 2, 4 dan 6 MST adalah spesies Ageratum conyzoides dengan nilai berturut-turut adalah 19,81, 19,50 dan 25,03. Sedangkan nilai SDR terendah dengan pola tanam monokultur pada waktu pencabutan 2 MST adalah spesies Amaranthus spinosus dengan nilai 6,95. Sedangkan waktu pencabutan 4 dan 6 MST adalah spesies Physalis angulata dengan nilai 5,38 dan 7,75. Sedangkan nilai SDR tertinggi pada pola tanam tumpangsari dengan waktu pencabutan 2 MST adalah spesies Ageratum conyzoides 26,46, diikuti gulma Eleusine indica dengan nilai 19,34.

Tabel 4. Indeks Nilai Penting (INP)

No Spesies Monokultur Tumpangsari

2 MST 4 MST 6 MST 2 MST 4 MST 6 MST 1 Ageratum conyzoides* 59,44 58,49 75,1 79,38 46,12 40,05 2 Amaranthus spinosus* 20,86 35,93 25,45 43,53 33,51 18,32 3 Eleusine indica** 49,05 38,30 39,23 58,02 52,70 69,33 4 Euphorbia hirta* 24,63 22,55 31,62 8,8 26,89 27,50 5 Mimosa pudica* 59,1 48,84 55,61 49,08 65,31 58,72 6 Asytasia gangetica* 54,1 57,49 49,72 31,89 35,08 46,17 7 Cyperus rotundus*** 32,91 22,29 - 29,22 32,50 39,81 8 Physalis angulata* - 16,15 23,24 - 7,79 -

Ket : *= Berdaun lebar, **= Rerumputan, ***= Teki-tekian, MST= Minggu Setelah Tanam Tabel 5 Perbandingan Nilai Penting (SDR).

No Spesies Monokultur Tumpangsari

2 MST 4 MST 6 MST 2 MST 4 MST 6 MST 1 Ageratum conyzoides* 19,81 19,50 25,03 26,46 15,37 13,35 2 Amaranthus spinosus* 6,95 11,98 8,48 14,51 11,17 6,11 3 Eleusine indica** 16,35 12,77 13,08 19,34 17,57 23,11 4 Euphorbia hirta* 8,21 7,52 10,54 2,93 8,96 9,17 5 Mimosa pudica* 19,70 16,28 18,54 16,36 21,77 19,57 6 Asytasia gangetica* 18,03 19,16 16,57 10,63 11,69 15,39 7 Cyperus rotundus*** 10,97 7,43 - 9,74 10,83 13,27 8 Physalis angulata* - 5,38 7,75 - 2,60 -

Hera et.al .Perbandingan Struktur Vegetasi Gulma pada Penanaman dan Pencabutan yang Berbeda

40 | P r o s i d i n g S e m l o k n a s V P A G I - F A P E R T A U N A N D 2 0 1 9

Sedangkan nilai SDR terendah yaitu gulma Euphorbia hirta dengan nilai 2,93. Nilai SDR tertinggi pada pola tanam tumpangsari dengan waktu pencabutan 4 MST adalah spesies Mimosa pudica dengan nilai 21,77, diikuti gulma Eleusine indica dengan nilai 17,57. Sedangkan nilai SDR terendah yaitu gulma Physalis angulata dengan nilai 2,60.

Nilai SDR tertinggi pada pola tanam tumpangsari dengan waktu pencabutan 6 MST adalah spesies Eleusine indica dengan nilai 23,11, diikuti gulma Mimosa pudica dengan nilai 19,57. Sedangkan nilai SDR terendah yaitu gulma Amaranthus spinosus dengan nilai 6,11. Tingginya nilai SDR Eleusine indica karena jumlah populasi individu dari gulma tersebut tinggi, hal ini disebabkan Eleusine indica dapat menghasilkan hingga 50.000 benih. Menurut Purnomo (2011) Eleusine indica adalah gulma yang dapat tumbuh dengan cepat dan dapat menghasilkan biji dengan jumlah banyak, selain itu biji gulma juga memiliki masa dorman yang lebih lama sehingga dapat membantu keberangsungan hidupnya. Biji gulma yang mengalami dormansi selama didalam tanah akan terangkat kepermukaan tanah pada saat dilakukan pengolahan lahan. Masa berbunga gulma ini sepanjang tahun, memiliki biji yg kecil dan halus, sehingga penyebaran gulma ini sangat cepat (Lembaga Biologi Nasional 2009).

3.6. Indeks Keanekaragaman (H’)

Indeks keanekaragaman adalah suatu metode yang digunakan untuk mengetahui keanekaragaman hayati atau suatu komunitas tumbuhan pada area tertentu. Menurut Maguran (2004) menyatakan bahwa nilai indeks keanekaragaman dibagi dalam 3 kriteria yaitu, H’<1 menunjukan keanekaragaman rendah, 1>H’≥3 menunjukan keanekaragaman sedang, H’>3 menunjukan tinggi. Berdasarkan penelitian dilapangan dan olah data maka didapatkan nilai indeks keanekaragaman dari tanaman jagung dengan pola penanaman dan waktu pencabutan gulma yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 6.

Berdasarkan Tabel 6. diatas dapat dilihat bahwa semua nilai indeks keanekaragaman jenis gulma memiliki kriteria sedang. Indeks keanekaragaman jenis tertinggi berada pada 4 MST dengan nilai 1,94 untuk monokultur dan nilai 1,89 untuk tumpangsari. Hal ini dikarenakan jumlah spesies pada 4 MST lebih banyak dibandingkan 2 MST dan 6 MST. Menurut

Asmayannur et al (2012) menyatakan, semakin banyak jenis spesies yang terdapat pada area tertentu maka semakin tinggi nilai keanekaragaman jenis tersebut. Keanekaragaman jenis dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kestabilan vegetasi suatu area. Menurut Septiyani (2014) bahwa, semakin tinggi nilai keanekaragaman jenis maka vegetasi area tersebut semakin stabil.

SIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tanaman jagung (Zea mays L.) dengan pola penanaman dan waktu pencabutan gulma yang berbeda maka dapat disimpulkan bahwa struktur vegetasi gulma pada pola penanaman tumpangsari lebih rendah dibandingkan monokultur dimulai dari 4-6 MST, hal tersebut ditunjukan dari penurunan jumlah populasi, kerapatan, frekuensi, dominansi dan SDR.

DAFTAR PUSTAKA

Alfredo, N. (2012). Efikasi Herbisida Pratumbuh Metil Metsulfuron Tunggal dan Kombinasi dengan 2,4-D, Ametrin, atau Diuron terhadap Gulma Pada Pertanaman Tebu (Saccharum officinarum L.) Lahan Kering. Agrotek Tropika, 17(1): 29– 34. Anwar, S. (2012). Pola Tanam Tumpangsari. Jurnal

Agroekoteknologi. 7(2): 32-41.

Arrijani., Dede, E dan Ibnul, Q. (2006).Analisis Vegetasi Gulma DAS Cianjur Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango. Jurnal Biodiversitas. 7(3): 57-64.

Asmayannur, I., Chairul., dan Syam. (2012). Analisis Vegetasi Dasar di Bawah Tegakan Jati Emas (Tectona grandis L.) dan Jati Putih (Gmelina arborea Roxb.) di Kampus Universitas Andalas. Jurnal Biologi Universitas Andalas. 1(2): 173-178. Badan Pusat Statistik (BPS). (2018). Hasil Produksi Padi, Jagung, dan Kedelai di Indonesia. Berita Resmi Statistik. Indonesia. 25 hal.

Catharina, S.T. (2009). Respon Tanaman Jagung Pada sistem Monokultur Dengan Tumpangsari Kacang-kacangan Terhadap Ketersediaan Unsur Hara Dan Nilai Kesetaraan Lahan Di Lahan Kering. Jurnal Pertanian Universitas Masaraswati Mataram, 5(3): 24-29.

Erida, H dan Safmaneli. (2012). Morfologi dan Fisiologi Gulma di Area Tanaman Jagung. Jurnal Serealia. 16(3): 123-131.

Tabel 6. Indeks Keanekaragaman.

No Waktu Pencabutan Pola Tanam Indeks Keanekaragaman (H') Kriteria

1 2 MST Monokultur 1.85 Sedang Tumpangsari 1.74 Sedang 2 4 MST Monokultur 1.94 Sedang Tumpangsari 1.89 Sedang 3 6 MST Monokultur 1.76 Sedang Tumpangsari 1.85 Sedang

Hera et.al .Perbandingan Struktur Vegetasi Gulma pada Penanaman dan Pencabutan yang Berbeda

P r o s i d i n g S e m l o k n a s V P A G I - F A P E R T A U N A N D 2 0 1 9 | 41 Hariana, A. (2013). Tumbuhan Obat dan Khasiatnya.

Sekolah Farmasi ITB. Bandung. Hal 418.

Harsono. (2011). Pengaruh Pertumbuhan Gulma Terhadap Hasil Kedelai Dilahan Gambut. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Jambi. Jambi. Hasanuddin, Eria, dan Gitoyo. (2012). Pengaruh

Persaingan Gulma Synedrella nodiflora L. pada Berbagai Densitas Terhadap Pertumbuhan Hasil Kedelai. Jurnal Agrista, 16(3): 146-152.

Heddy. (2012). Metode Analisis Vegetasi dan Komunitas. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Herawati, T. (2011). Respon Pertumbuhan dan Produksi

Kedelai (Glycine max L. Merill) terhadap Fungsi Mikoriza Arbuskula dan perbandingan Pupuk Anorganik dan Organik. Skripsi. Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Medan.

Izah. (2009). Pengaruh Ekstrak Beberapa Jenis Gulma Terhadap Perkecambahan Biji Jagung (Zea mays L.). Skripsi. Jurusan Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang.

Lembaga Biologi Nasional. (2009). Jenis Rumput Dataran Rendah. LIPI. Bandung. hal. 120

Magurran, A. (2004). Meansuring Biological Diversity. Blackwell Publishing. hal 132.

Nurmas, A. (2011). Pengaturan Pola Tanam Tumpangsari Terhadap Hasil Produksi Jagung Manis. Jurnal Agroteknos, 1(2): 89-95.

Okunade, A.L. (2002). Ageratum conyzoides L. Asteraceae. Fitoterapia. 73: 1-16.

Reader dan Buck. (2000). Pertumbahan Gulma. Jakarta.PT.Gramedia Press.

Sebayang, T., T. Islami., T. Hardiman. (2014). Pengaruh Waktu Penyiangan Gulma Pada Sistem Tanam Tumpangsari Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.) Dengan Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz.). Jurnal Produksi Tanaman, 2(2): 111-120.

Septiyani, U. (2014). Distribusi dan Kemelimpahan Vegetasi Lantai di Hutan Pegunungan Kamojang Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Biologi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Suryaningsih, M. Joni dan A. A. K. Darmadi. (2011). Inventarisasi Gulma Pada Tanaman Jagung (Zea mays L.) di Lahan Sawah Kelurahan Padang Galak Denpasar Timur Kodya Denpasar Provinsi Bali. Jurnal Simbiosis. 1(1): 1-8.

Tjitrosoedirjo, S., Is, Hidayat dan Joedojono. (2010). Pengolahan Gulma di Lahan Perkebunan. Jakarta : PT. Gramedia.

Fatmawaty et.al .Respon Viabilitas Benih Saga terhadap Skarifikasi dan Perendaman

42 | P r o s i d i n g S e m l o k n a s V P A G I - F A P E R T A U N A N D 2 0 1 9

Respons Viabilitas Benih Saga Pohon (Adenanthera pavonina) terhadap

Dalam dokumen Prosiding pagi 2019 (Halaman 53-59)