• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 SEJARAH PENGATURAN SDA DI INDONESIA

HASIL DAN PEMBAHASAN

Petani di Nusantara telah mengenal teknik pengelolaan sumber daya air dan irigasi semenjak jaman Hindu. Petani telah membangun, mengoperasikan, dan memelihara sendiri sistem irigasinya, termasuk membangun bangunan

pengambilan dari sumbernya. Pengaturan air secara tradisional telah dilakukan di Bali, Sumatera Barat, dan Aceh. Masyarakat Bali mengatur air pertanian dengan sistem Subak, masyarakat Sumatera Barat memakai sistem Tuo Banda dengan irigasi yang disebut takuo, sedangan masyarakat Aceh ada Kejereung beulang. Masyarakat yang mengelola sumber daya air mereka sendiri (Mahdi dalam Sidang MK 2005). Nababan ahli kelembagaan sumber daya alam dalam kesaksiannya di MK tahun 2005 menyatakan, ―Kelembagaan-kelembagaan lokal secara adat yang mengurus air di Aceh ada Kejereung beulang yang mengatur air untuk sawah, air hulu sungai dan segala macam, yang menjamin ketersediaan air untuk seluruh warga itu sudah ada yang paling terkenal kalau di Bali, yaitu Subak kalau di kampung saya (Batak -pen) si Raja Bondar, raja yang mengatur, rajanya sungai, rajanya kali yang mengatur semua orang, supaya bisa layak‖.

Jika melihat dari data kronologis maka pengaturan sumber daya air di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) periode yaitu : periode pertama, penggunaan Algemeen Water yang di buat pemerintahan Hindia Belanda. Periode kedua masa pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan (selanjutnya disebut UU Pengairan). Periode ketiga masa pelaksanaan UU Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air (selanjutnya disebut UU SDA) dan periode keempat yaitu masa penggunaan kembali UU Pengairan akibat UU SDA dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Periodisasi sejarah tata kelola SDA dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Periodisasi Diskursus Pengaturt6y6an SDA

No Undang-undang Tahun

1 Algemeen Water Reglement Voor Java en Madoera 1930

1930 – 1974 Algemeen Water Reglement (AWR) 1936 1936 – 1974 Algemeen Water Beheer Vecordening (AWBV) 1937 1937 – 1974 2 UU Pengairan (UU Nomor 11 Tahun 1974) 1974 – 2004 3 UU SDA (UU Nomor 7 Tahun 2004) 2004 – 2015 4 UU Pengairan (Paska pembatalan UU SDA) 2015 – sekarang

Sebelum memiliki undang-undang sendiri tentang sumber daya air, Indonesia menggunakan peraturan buatan pemerintah kolonial Belanda, yaitu Algemeen Water Reglement Voor Java en Madoera 1930 untuk mengatur penggunaan air di wilayah Jawa dan Madura, di luar untuk Keresidenan Yogyakarta dan Surakarta, Algemeen Water Reglement (AWR) 1936 untuk mengatur pengelolaan sumber daya air khususnya irigasi di seluruh wilayah Hindia Belanda, dan Algemeen Water Beheer Vecordening (AWBV) 1937 untuk mengatur mengenai lembaga yang berwenang mengelola sumber daya air. AWBV 1937 merupakan implementasi dari AWR 1936. Penggunaan air irigasi yang dibangun oleh Belanda sejak awal abad ke-19 sampai dengan tahun 1830 itu membebankan pengguna air irigasi harus membayar pajak tanah sebesar 8 sampai dengan 20% dari hasil pertanian ditambah dengan biaya operasi dan pemeliharaan prasarana sumber daya air yang dihitung berdasarkan kebutuhan nyata (Mahdi 2005). Hal ini berlagsung sejak masa tanam paksa (cultuur stelsel) hingga masa politik etis atau (ethische politic).

Pada masa kemerdekaan pengaturan tata guna air masih menggunakan Peraturan Perairan Umum atau AWR 136 sesuai dengan aturan peralihan UUD 1945. AWR 1936 (Staatsblad 1936 Nomor 489, juncto Staatsblad 1949 Nomor 98) sebagai dasar peraturan perundang-undangan tentang pengaturan masalah air lebih menitik beratkan pada kegiatan-kegiatan untuk mengatur dan mengurus salah satu bidang penggunaan air saja. Menurut tim UI (DPR 2005) yang menanggapi substansi RUU SDA, AWR 1936 tidak memberikan dasar yang kuat untuk usaha-usaha pengembangan penggunaan/pemanfaatan air dan atau sumber- sumber air untuk meningkatkan taraf hidup rakyat.

Pengaturan air secara tidak langsung tercantum dalam beberapa undang- undang, seperti UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, UU Nomor 11 Tahun 1962 tentang Hygiene Untuk Usaha Umum, dan UU Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kesehatan dan Peternakan Hewan. Setelah hampir tiga puluh tahun merdeka, barulah pada 26 Desember 1974 disahkan UU Nomor 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan yang memiliki 17 pasal itu didasarkan pada azas dan landasan peraturan yaitu memandang air dalam fungsi sosial yang ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Tabel 4.2 Pengaturan air dalam UU sebelum lahirnya UU Pengairan No. Peraturan mengenai

Sumber Daya Air Ketentuan

1 UU No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria

Pasal 2

Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam

pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

2 UU No.11 Tahun 1962 tentang Hygiene Untuk Usaha Umum

Pasal 5

Usaha-usaha Pemerintah/Pemerintah Daerah dalam rangka pelaksanaan Undang-undang ini ialah : d. Pengawasan dan pemeriksaan hasil produksi dan proses- produksi air,

3 UU No.6 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kesehatan dan Peternakan Hewan *tidak berlaku lagi

Pasal 4

Untuk menjamin persediaan makanan ternak dalam jumlah yang cukup dan mutu yang baik, maka: bagi peternakan-peternakan dan perusahaan- perusahaan peternakan harus tersedia tanah dan air untuk menyelenggarakan padang rumput atau penanaman tanaman-tanaman yang menghasilkan hijau-hijauan makanan ternak;

diadakan kebun-kebun pembenihan bibit untuk tanaman hijau-hijauan dan makanan ternak;

mengusahakan bahan makanan ternak, termasuk makanan penguat.

Pemakaian tanah dan air untuk keperluan usaha peternakan disesuaikan dengan rencana penggunaan tanah, yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Periode UU Nomor 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan

UU Nomor 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan selanjutnya disebut UU Pengairan lahir seiring dengan munculnya revolusi hijau (perubahan cara bercocok tanam tradisional ke cara modern dengan menggunakan iptek pertanian untuk peningkatan produksi pangan) di mana bibit-bibit unggul pertanian khususnya varietas padi unggul banyak diciptakan oleh berbagai lembaga riset yang mampu melipatgandakan produksi pertanian. Varietas ini selain banyak mengonsumsi pupuk juga membutuhkan banyak air yang memerlukan dukungan jaringan irigasi. Kepentingan pemerintah saat itu untuk mencapai swasembada beras menjadi salah satu pemicu lahirnya UU Pengairan.

UU Pengairan secara substansi mendasarkan pembentukannya pada pasal 33

ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi ―Bumi dan air dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-

besar kemakmuran rakyat.‖ Konsideran lainnya adalah Tap MPR Nomor IV/MPR/1973 tentang GBHN, UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, UU Nomor 9 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan, UU Nomor 11 Tahun 1962 tentang Hygiene Untuk Usaha Umum, dan UU Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kesehatan dan Peternakan Hewan, UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan, UU Nomor 6 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan, UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan, dan UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah.

Tabel 4.3 Substansi UU Nomor 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan

Bab Uraian Pasal Uraian

I Pengertian 1 Definisi

II Fungsi 2 Air sebagai fungsi sosial

III Hak penguasaan dan wewenang

3 Hak menguasai oleh Negara 4 Wewenang pemerintah 5 Menteri yang ditugasi

6 Wewenang pemerintah bila terjadi bencana 7 Wewenang dalam Pasal 4,5,6 diatur oleh

PP IV Perencanaan dan

Perencanaan Teknis

8 Perencanaan dan Perencanaan Teknis dan Prioritas Pemakaian

9 Penelitian dan Inventarisasi V Pembinaan 10 Tata cara pembinaan

VI Pengusahaan 11 Pengusahaan oleh pemerintah VII Eksploitasi dan

Pemeliharaan 12 Eksploitasi dan Pemeliharaan VIII Perlindungan 13 Perlindungan air

IX Pembiayaan 14 Pembiayaan X Ketentuan Pidana 15 Ketentuan Pidana XI Ketentuan Peralihan 16 Peralihan

XII Ketentuan Penutup 17 Masa berlakunya UU Jumlah Pasal 17

Fungsi air dalam UU Pengairan ini memiliki fungsi sosial, seperti yang

termuat dalam Pasal 2 yang berbunyi ―Air beserta sumber-sumbernya, temasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, seperti Pasal 1 angka 3, 4 dan 5 Undang-undang ini mempunyai fungsi sosial serta digunakan untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat‖. ―Air‖ yang dimaksud di sini adalah semua air yang terdapat di dalam dan atau berasal dari sumber-sumber air, baik yang terdapat di atas maupun di bawah permukaan tanah, tidak termasuk dalam pengertian ini air yang terdapat di laut. ―Sumber-sumber Air― dimaksud di sini adalah tempat-tempat dan wadah-wadah air, baik yang terdapat di atas, maupun di bawah permukaan tanah. Sedangkan yang dimaksud "Pengairan" di sini adalah suatu bidang pembinaan atas air, sumber-sumber air, termasuk kekayaan alam bukan hewani yang terkandung di dalamnya, baik yang alamiah maupun yang telah diusahakan oleh manusia.

Materi muatan UU Pengairan yang berjumlah 17 pasal itu didasarkan pada azas dan landasan peraturan yaitu memandang air dalam fungsi sosial yang ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Substansi pengaturannya antara lain meliputi penguasaan negara atas air, konsep hak atas air dan pengelolaan sumber daya air yang dapat dijelaskan sebagai berikut.

Substansi pengaturannya antara lain meliputi penguasaan negara atas air, konsep hak atas air dan pengelolaan sumber daya air yang dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, penguasaan negara atas air didasarkan pada pandangan bahwa air beserta sumber-sumbernya merupakan kekayaan alam yang mutlak dibutuhkan untuk hajat hidup manusia sehingga air beserta sumber-sumbernya dikuasai oleh negara. Kedua, hak atas air dipandang sebagai milik bersama yaitu untuk mencapai fungsi sosial bagi kepentingan rakyat. Ketiga, pengelolaan sumber daya air yang tidak terlepas dari konsep penguasaan negara dan hak atas air tersebut diatur berdasarkan prioritas penggunaannya untuk keperluan rakyat di segala bidang. Izin mutlak diperlukan apabila pemanfaatan air disertai dengan usaha mencari keuntungan. Izin dapat dimohonkan oleh perseorangan dan badan hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Hak menguasai negara dilaksanakan oleh pemerintah salah satunya adalah wewenang mengatur, mengesahkan dan atau memberi izin peruntukan, penggunaan, penyediaan air, dan atau sumber-sumber air seperti tercantum pada Pasal 3 ayat (2). Pasal ini menyiratkan air tidak daipandang sebagai barang publik (public goods) tetapi sudah dianggap sebagai barang ekonomi (economic goods) karena ada pengusahaan air untuk kepentingan ekonomi meskipun kepemilikan air masih dikuasai oleh negara. Pasal 3 ayat (2) UU Pengairan menyatakan bahwa:

―Hak menguasai oleh negara tersebut dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang kepada Pemerintah untuk:(a) Mengelola serta mengembangkan kemanfaatan air dan atau sumber-sumber air; (b) Menyusun mengesahkan, dan atau memberi izin berdasarkan perencanaan dan perencanaan teknis tata pengaturan air dan tata pengairan; (c) Mengatur, mengesahkan dan atau memberi izin peruntukan, penggunaan, penyediaan air, dan atau sumber- sumber air; (d) Menentukan dan mengatur perbuatan-perbuatan hukum dan hubungan-hubungan hukum antara orang dan atau badan hukum dalam persoalan air dan atau sumber-sumber air.‖

UU Pengairan memiliki 7 (tujuh) peraturan pelaksanaan yang diterbitkan dari tahun 1981 hingga 1991. Ketujuh peraturan pemerintah tersebut adalah : 1. PP No. 6 tahun 1981 tentang Iuran Pembiayaan Eksploitasi dan Pemeliharaan

Prasarana Pengairan.

2. PP No. 22 tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air. 3. PP No. 23 tahun 1982 tentang Irigasi dan Drainase.

4. PP No. 5 tahun 1990 tentang Perusahaan umum (Perum) Jasa Tirta. 5. PP No. 20 tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air.

6. PP No. 42 tahun 1990 tentang Perusahaan Umum (Perum) ―Otorita Jatiluhur‖. 7. PP No. 35 tahun 1991 tentang Sungai.

Bila ditelusuri lebih lanjut terhadap ketentuan UU Pengairan tersebut, pembuat undang-undang seakan-akan tidak lagi memandang air sebagai public goods sebagaimana diutarakan dalam Pasal 33 UUD 1945 dan Pasal 2 UU Pokok Agraria, walaupun masih dinyatakan dalam ayat (1) bahwa air dikuasai oleh negara.

Dalam prakteknya, menurut Atmanto (1998) dalam Abiyoso (2012) pelaksanaan Undang-undang ini bersifat hegemonik. Dalam arti, pelibatan masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya air hanya sebatas wacana normatif. Atmanto menyimpulkan bahwa UU Pengairan 1974 mengandung beberapa masalah, seperti tidak jelasnya peran masyarakat dalam pengelolaan air. Hal ini semakin terlihat pada aturan teknisnya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air. "Tata Pengaturan Air" yang dimaksud dalam PP Nomor 22/1982 adalah segala usaha untuk mengatur pembinaan seperti pemilikan, penguasaan, pengelolaan, penggunaan, pengusahaan, dan pengawasan atas air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan alam bukan hewani yang terkandung di dalamnya, guna mencapai manfaat yang sebesar-besarnya dalam memenuhi hajat hidup dan peri kehidupan Rakyat

Tabel 4.4 Substansi PP Nomor 22/1982 tentang Tata Pengaturan Air

Bab Uraian Jumlah

Pasal

Nomer Pasal Dari Ps. Sampai Ps.

I Ketentuan Umum 1 1 -

II Asas dan Landasan Hak Atas Air 1 2 -

III Pola Tata Pengaturan Air 5 3 7

IV Koordinasi Tata Pengaturan Air 5 8 12

V Penggunaan Air dan/atau Sumber Air 8 13 29

VI Perlindungan 17 30 35

VII Eksploitasi dan Pemeliharaan

Bangunan Pengairan 4 36 39

VIII Pembiayaan 2 40 41

IX Pengawasan 1 42 -

X Ketentuan Pidana 1 43 -

XI Ketentuan lain-lain 1 44 -

XII Ketentuan Peralihan 2 45 46

XIII Ketentuan Penutup 2 47 48

PP Tata Pengaturan Air mengintrodusir terma ―hak guna‖ dalam tata kelola SDA yang tidak membedakan antara hak atas air dan hak guna air karena di Pasal

2 ayat (2) dinyatakan bahwa ―Hak atas air ialah Hak Guna Air‖. Dalam pasal

pengertian, Pasal 1 huruf g, didefinisikan Hak Guna Air adalah hak untuk memperoleh dan menggunakan air untuk keperluan tertentu. Dalam penjelasan PP dikatakan, hal tersebut mengacu pada UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Pasal 16 ayat (2) huruf a jo Pasal 47, sehingga ditegaskan bahwa landasan hak atas air adalah hak guna air yakni hak memperoleh air untuk keperluan tertentu. Setiap pembayaran atau penggunaan air dan/atau sumber air bukan merupakan harga air atau sumber air itu sendiri tetapi sebagai ganti jasa pengelolaan dan pendayagunaan air dan/atau sumber air hanyalah dengan maksud agar air dan/atau sumber air dapat berfungsi secara lestari dan tidak ditujukan untuk mencari keuntungan keuangan.

Menurut Haryadi Kartodihardjo (2005) hak guna air tidak bisa dilepaskan dari stock resources-nya yang melekat pada tempat tertentu. Dalam konteks agraria berarti harus ada kejelasan hubungan kepemilikan tanah dengan kepemilikan sumber air. Dalam UU Pengairan maupun PP Tata Pengaturan Air tidak dijelaskan tentang hak kepemilikan karena dianggap milik negara dan pemberian penggunaan air dan/atau sumber air selain untuk keperluan sosial dilakukan dengan pemberian izin.

UU Pengairan dan PP Tata Pengaturan Air sama sekali tidak menyebutkan adanya kewenangan yang diberikan kepada masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya air. Malahan Pasal 5 ayat (1) PP tersebut menegaskan bahwa sebagai wujud implementasi hak menguasai negara, kewenangan pengelolaan dan pemanfaatan air dilimpahkan kepada pemerintah daerah sebagai bentuk tugas pembantuan (medebewind). Sementara itu, kewenangan pengelolaan dan pemanfaatan air yang bersifat lintas wilayah atau daerah berada di tangan Departemen Pekerjaan Umum.

UU Pengairan yang lebih banyak mengatur tentang penyediaan air untuk pertanian ternyata dianggap sudah tidak memadai dengan kondisi akhir abad ke- 20. Setelah berhasil mencapai swasembada beras pada 1984, pemerintah mulai menyadari biaya investasi di bidang pengelolaan sumber daya air dan untuk mempertahankannya semakin meningkat. Misalnya biaya pengendalian banjir secara riel meningkat sekitar 25 kali dan untuk rehabilitasi irigasi sebesar 15 kali dalam kurun waktu 20 tahun sejak Pelita dimulai (Kartodiharjo & Jhamtani 2006)

Menurut laporan PBB (1990) dalam Arsyad dan Rustiadi (2008), ada sekitar setengah dari sistem irigasi di Asia yang harus diperbaiki. Tingkat efisiensi pemakaian air irigasi di Indonesia diperkirakan hanya mencapai 45% dengan model pengairan irigasi kebanyakan melaksanakan secara berterusan dengan sistem limpasan (floading), di mana hanya sedikit pengendalian yang efektif dapat dilakukan di dalam saluran dan pemindahan air. Hal ini karena air irigasi masih dianggap sesuatu barang anugerah Tuhan yang bebas (free goods) dan sebagai sumber daya milik bersama (common property resources).

Biaya pembangunan proyek irigasi baru yang tinggi dengan menghindari perbaikan (operation and maintenance O&M) menyebabkan cara pembayaran kembali terhadap biaya yang telah dikeluarkan (cost recovery) tidak berjalan dengan efektif. Hal ini ternyata disebabkan karena sebagian kecil saja dari biaya operasi dan pemeliharaan O&M untuk sistem irigasi di Asia yang mampu dibayar

kembali melalui penghasilan yang dapat dikumpulkan dari para pengguna air (Arsyad & Rustiadi 2008). Oleh karena itu pada paruh ke dua era Orde Baru, pemerintah mulai merintis upaya untuk meringankan beban anggaran irigasi melalui pendekatan partisipasi yaitu introduksi jasa air irigasi untuk membiayai operasi dan pemeliharaan sistem irigasi (Kartodiharjo dan Jhamtani 2006).

Pada tahun 1987 pemerintah melakukan reformasi pengelolaan irigasi yang disebut dengan Irrigation Operation and Maintenance Policy (IOMP). Kebijakan tersebut merupakan hasil dari dialog kebijakan (policy dialogue) antara pemerintah Indonesia dan Bank Dunia serta ADB yang tidak lain adalah prakondisi untuk memperoleh dana pinjaman baru di sektor irigasi. Reformasi kebijakan sektor irigasi yang dibiayai oleh Bank Dunia melalui The First Irrigation Subsector Project (ISSP I), ISSP II, dan Java Irrigation and Water Resources Management Project (JIWMP), pada intinya memperkenalkan kebijakan baru di sektor irigasi yaitu turnover management, irrigation service fee dan efficient operational dan pemeliharaan. Sebagai bagian dari reformasi pengelolaan irigasi, petani dalam hal ini P3A (Perkumpulan Petani Pemakai Air) diharapkan dapat berperan aktif untuk ikut dalam pengelolaan irigasi. P3A merupakan sebuah organisasi pengelola irigasi yang dibentuk oleh pemerintah (top-down approach) sebagai penggganti organisasi pengelola irigasi tradisional seperti Ulu-Ulu, Raksa Bumi, Tudung Sipulung dan sebagainya.

Pada tahun 1993, disponsori oleh FAO dan UNDP dilakukan sebuah studi tentang kebijakan sumber daya air nasional yang menghasilkan draft Rencana Aksi Kebijakan Sumber daya Air Nasional (1994-2020). Kemudian pada tahun 1997 Bappenas menginisiasi berbagai diskusi dan seminar bertema Agenda for Water Resources Policy and Program Reform yang bertujuan untuk memberikan masukan bagi REPELITA VII. Dari beberapa diskusi dan seminar tersebut menghasilkan beberapa visi bagi pengelolaan sumber daya air yang terkait dengan perubahan pendekatan pengelolaan dari supply side approach menjadi demand side approach, kemudian cara pandang terhadap air dimana air tidak hanya dilihat sebagai barang publik tetapi juga barang ekonomi, dan pelaksanaan pengelolaan air dengan menerapkan kebijakan insentif dan disinsentif. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia menyebabkan upaya untuk melakukan reformasi di sektor sumber daya air menjadi terkendala.

Pada 1997, Bank Dunia menyampaikan laporan hasil studi tentang sumber daya air di Indonesia yang menyimpulkan bahwa Indonesia perlu segera mengadakan perubahan dalam pendekatan, cara pandang dan implementasi pengelolaan sumber daya air. Beberapa perubahan itu adalah dari penyediaan air untuk pertanian ke alokasi air yang lebih merata bagi sektor-sektor lain; dari fokus pada pendakatan pasokan (supply approach) ke pendekatan pengelolaan permintaan (demand management) dan pendekatan pasokan secara seimbang (World Bank 1999 dalam Kartodiharjo & Jhamtani 2006).

Di Indonesia, Bank Dunia mengeluarkan pinjaman Policy Reform Support Loan (PRSL) sebesar US$ 1 milyar pada bulan Juni 1997 yang kemudian disusul dengan PRSL II sebesar US$ 500 juta di mana terdapat rencana untuk memperbaiki pengelolaan sumber daya air Indonesia. Rencana perbaikan pengelolaan sumber daya air tersebut muncul oleh karena pada akhir 1997 terdapat sebuah tim kerja sektoral Bank Dunia yang menyimpulkan bahwa Bank Dunia tidak dapat memberikan bantuan lebih lanjut bagi sektor sumber daya air

dan irigasi Indonesia jika tidak ada perombakan secara besar-besaran pada sektor tesebut (KruHA 2011).

Bank Dunia menawarkan pinjaman Structural Adjustment Loan (SAL) untuk mengatasi defisit neraca pembayaran (balance of payments) akibat krisis ekonomi tahun 1997 dengan syarat dilakukan perubahan struktural (kelembagaan, peraturan dan pengelolaan dari sektor tertentu). Awalnya dengan nama NATSAL (Natural Resources Structural Adjustment Loan) yang mencakup sektor kehutanan, pertanian dan sumber daya air. Dalam persiapannya NATSAL dipecah menjadi AGSAL (Agricultural Structural Adjustment Loan) dan FORSAL (Forestry Structural Adjustment Loan) yang didalamnya hanya yang berkaitan dengan sektor pertanian, kehutanan dan sumber daya air. Kemudian program AGSAL mengerucut lagi menjadi Water Resources Sector Adjusment Loan (WATSAL) yang hanya berkaitan dengan sektor sumber daya air. Loan Agreement sebesar US$ 300 juta akhirnya ditandatangani pada tanggal 28 Mei 1999. Pencairan pinjaman dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama dicairkan pada bulan Mei 1999 sebesar US$ 50 juta.

Program ini dikaitkan dengan pinjaman penyesuaian struktural bersifat quick disburse (cepat cair) untuk mengatasi neraca pembayaran Indonesia akibat krisis moneter pada 1997. Pemerintah dan Bank Dunia kemudian menyepakati pinjaman sebesar US$ 300 juta dengan jangka waktu pengembalian 15 tahun dengan grace period (masa tidak bayar bunga) tiga tahun (Kartodiharjo dan Jhamtani 2006).

Atas dasar itulah maka Presiden Habibie mengeluarkan Inpres No. 3 tahun 1999 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Pengelolaan Irigasi. Inpres ini berisi tentang instruksi kepada menteri pekerjaan umum Menteri Pekerjaan Umum sebagai Ketua Tim Koordinasi Kebijaksanaan Pendayagunaan Sungai dan Pemeliharaan Kelestarian Daerah Aliran Sungai untuk mengkoordinasikan penyiapan peraturan perundang-undangan serta langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan pembaharuan kebijaksanaan pengelolaan irigasi.

Langkah yang dilakukan adalah dengan menyusun peraturan pemerintah yang menggantikan PP Nomor 23 Tahun 1982 tentang Irigasi, yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan era otonomi daerah. Presiden Megawati menandatangani PP Nomor 77 tahun 2001 ini pada 5 Desember 2001 sebagai syarat bagi cairnya bantuan tahap kedua sebesar US$ 100 juta. PP 77/2001 ini mulai memperkenalkan tanggung jawab petani dalam pemeliharaan jaringan

seperti bunyi Pasal 31 ayat (1), ―Perkumpulan petani pemakai air memiliki wewenang, tugas, dan tanggung jawab dalam operasi dan pemeliharaan jaringan

irigasi di wilayah kerjanya.‖ Selain itu mereka juga memiliki tanggung jawab

pemeliharaan, seperti Pasal 35 ayat (1) yang berbunyi, ―Perkumpulan petani pemakai air memiliki wewenang, tugas dan tanggung jawab dalam rehabilitasi dan

peningkatan jaringan irigasi di wilayah kerjanya.‖ Bentuk tanggung jawab

Perkumpulan petani pemakai air dalam irigasi pertanian adalah upaya partisipasi dengan pelaksanaan skema pembiayaan oleh pemanfaat air yang disebut cost