• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Terjadinya Diskursus

5 PENGGUNAAN RUANG PUBLIK DALAM DISKURSUS TATA KELOLA SUMBER DAYA AIR

HASIL DAN PEMBAHASAN Terjadinya Diskursus

Diskursus tata kelola SDA di Indonesia yang diamati dalam penelitian ini adalah yang terjadi dalam kurun waktu 2002-2015. Diskursus tata kelola SDA jika mengacu pada arti kata diskurs dalam bahasa Jerman berarti perdebatan atas tata kelola SDA di Indonesia. Menggunakan rumusan Habermas terkait diskurus maka perdebatan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berdebat menuntut alasan yang rasional.

Jika mengacu pada dunia kehidupan (lebenswelt) yang menjadi latar belakang warga masyarakat dan organisasi sipil, maka air dan sumber daya air adalah milik bersama (common property). Air permukaan dianggap sebagai barang publik yang bisa digunakan siapa pun untuk kepentingan bersama. Tetapi kesepakatan bersama yang menjadi kesepahaman masyarakat tersebut diubah oleh UU SDA yang menyebutkan bahwa air adalah juga barang ekonomi yang memiliki nilai ekonomi. Pemahaman yang ada tentang air kemudian terusik dan menjadi perdebatan atau diskursus.

Untuk melawan makna baru yang disematkan oleh UU SDA maka warga melakukan perlawanan dalam bentuk argumen-argumen yang rasional. Warga ingin mengembalikan makna air tetap sebagai barang sosial yang dapat diakses oleh setiap manusia yang membutuhkannya. Tabel 5.1 menunjukkan -klaim kesahihan (validitas claim) yang didukung oleh penjelasan (Erklärung) dan pemberian alasan (Begründung) dalam diskursus pengelolaan SDA. Klaim yang

disertasi penjelasan dan alasan adalah bentuk argumentasi sebagaimana Habermas dipengaruhi evaluasi argumen-nya Stephen Toulmin.

Diskursus juga memerlukan penguasaan kompetensi komunikatif untuk menyampaikan argumentasi dengan benar, tepat, dan jujur untuk mencapai pemahaman bersama tanpa paksaan. Argumen yang disampaikan tidak menemui kesepakatan atau konsensus karena dilakukan di arena yang berbeda. Pemerintah dan DPR melakukan itu di gedung DPR dalam proses penyusunan undang-undang sedangkan opini warga ada di ruang-ruang publik. Mestinya kekuasaan komunikatif warga mampu untuk mempengaruhi keputusan yang diambil oleh pejabat negara di gedung parlemen maupun di gedung-gedung pemerintah, sayangnya hal itu tidak terjadi.

Tuntutan agar RUU SDA ditunda dalam berbagai bentuk juga tidak digubris para pembuat undang-undang. Padahal bahasa yang disampaikan lugas dan jelas. Hal ini bukan berarti para pembuat undang-undang tidak paham gramatikanya (sintak dan semantik) tetapi mereka masih menganggap suara penentang bukan suara masyarakat keseluruhan.

Tabel 5.1 Diskursus Tata kelola SDA di Indonesia

No Klaim Penjelasan dan Alasan

1 Air sebagai barang ekonomi

Pro Jumlah air terbatas, banyak yang membutuhkan, dan memerlukan biaya untuk mengolahnya agar aman digunakan

Kont ra

Air adalah hak asasi manusia yang harus dilindungi, dipenuhi, dan dihormati

2 Hak Guna Air

Pro Air adalah barang yang dapat dimiliki sebagaimana barang yang lain (property right)

Kont ra

Air dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar- besar untuk kemakmuran rakyat tidak boleh dikuasai oleh perorangan atau badan usaha swasta kecuali oleh negara

3 Pemilikan dan pelayanan SPAM

Pro Memerlukan peran serta badan usaha swasta untuk meningkatkan pelayanan SPAM

Perusahaan publik tidak efisien dalam penyelenggaran SPAM

Kont ra

Penyelenggaraan SPAM oleh badan usaha swasta akan membuat harga air semakin mahal dan belum tentu kualitas pelayanan akan meningkat

Penguasaan sumber air oleh swasta menutup akses bagi masyarakat atas air

Ruang Publik Warga dalam Diskursus SDA di Indonesia Praktik Perlawanan Warga dan Organisasi Masyarakat Sipil

Civil society adalah suatu masyarakat atau kelompok yang otonom, mandiri, dan lepas dari pengaruh pasar dan negara. Dia memiliki hak dan ruang yang boleh menentukan nasibnya sendiri.

Habermas (1996) melihat masyarakat warga atau masyrakat sipil (civil society) terdiri dari atas perhimpunan-perhimpunan, organisasi-organisasi dan

gerakan-gerakan yang kurang lebih bersifat spontan yang menyimak, memadatkan dan secara nyaring meneruskan resonansi keadaan persoalan kemasyarakatan di dalam wilayah-wilayah privat ke ruang publik politis. Masyarakat warga membedakan dirinya dari pasar dan negara dan otonom dari kedua kekuatan itu. Jika para warga negara secara bebas mencapai kesepakatan untuk meraih tujuan- tujuan sosial politis mereka dan membentuk sebuah asosiasi otonom yang lepas dari kepentingan-kepentingan birokrasi dan pasar, terbentuklah kelompok- kelompok masyarakat warga

Dalam ruang publik, ada dua kategori tindakan kolektif, yaitu gerakan massa dan gerakan masyarakat sipil itu sendiri. Dalam penelitian ini akan difokuskan pada masyarakat sipil. Ruang publik yang terbentuk dalam diskursus tata kelola SDA dapat dilihat pada Gambar 5.1.

Tindakan masyarakat sipil dalam konteks diskursus dapat disebut dengan fields of action atau arena tindakan dimana masing-masing arena tindakan memiliki genre masing-masing. Menurut Habermas ada dua jenis ruang publik yaitu ruang publik yang dikooptasi dan tidak dikooptasi kekuasaan. Dalam ruang publik diskursus tata kelola SDA ditemukan dua jenis ruang publik tersebut. Ruang publik yang terkooptasi kekuasaan adalah ruang publik yang memiliki keanggotaan sebagian warga dan sebagian pemerintah. Ruang publik jenis ini dibentuk oleh pemerintahah ataua gabungan dengan swasta seperti Dewan Sumber Daya Air baik tingkat Nasional atau Wilayah.

Gambar 5.1 Skema Ruang Publik dalam Diskursus SDA di Indonesia Ruang publik yang tidak terkooptasi seperti Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA) dibentuk oleh lembaga dan individu pada tahun 2002 untuk merespon pinjaman Indonesia pada Bank Dunia dalam skema WATSAL (Water Resources Sector Adjusment Loan). KruHA adalah pemohon judicial review pertama untuk menguji UU SDA terhadap UUD 1945. Sampai saat ini anggotanya telah mencapai 45 lembaga dan 70 individu dan memilki situs yang aktif melakukan publikasi, kampanye, advokasi, juga penelitaian terkaiat sumber daya air. KruHA bisa disebut ruang publik juga ruang publik politis otentik dimana terjadi proses komunikasi yang diselenggarakan oleh institusi non formal yang mengorganisasikan dirinya sendiri. Komunikasi di sini terjalin secara horisontal, inklusif, dan diskursif karena beranggotakan banyak lembaga dan banyak individu

Wilayah Privat

Rumah Tangga yang membutuhkan air bersih (air minum)

Petani yang membutuhkan air pertanian

Keluarga yg mbutuhkan ketersediaan air secara lestari

Ruang Otoritas Publik (sistem)

Penyusunan UU di DPR oleh presiden dan DPR

Pembuatan Peraturan Pemerintah oleh pemerintah

Ruang Publik

Opini warga di media massa

Sikap, Pendapat, opini di situs organisasi

Protes petani

Protes mahasiswa

Pendapat ilmiah di forum ilmiah

yang pluralis, multikultur, dan memiliki toleransi. Tabel 5.2 memperlihatkan dua jenis ruang publik yang tercita pada diskursus tata kelola SDA di Indonesia.

Perlawanan warga dapat dilacak dari pengajuan pengujian UU SDA terhadap UUD 1945. Hak konstititusional warga untuk menguji suatu produk undang-undang diberikan oleh UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang diperbaharui dengan Perpu Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK.

Tabel 5.2 Jejaring kekuasaan di dalam ruang publik

Ruang publik yang tidak dikooptasi oleh kekuasaan Ruang publik yang dikooptasi oleh kekuasaan

Autokhton/ aktor yang berasal dari publik itu sendiri dan berjuang penuh untuk mendapat pengakuan sosial-politis akan identitas kolektif mereka.

Aktor ruang publik yang telah dikooptasi kekuasaan.

Petani di sekitar sumber air yang dikuasai swasta (Klaten, Sukabumi, Bali, Serang)

Partai politik, asosiasi dagang, kelompok profesi. Warga miskin pelanggan air minum jaringan

perpipaan

Dewan Sumber Daya Air Nasional/Daerah

KruHA BPPSPAM

Kelompok pemohon JR I PERPAMSI

Kelompok pemohon JR II

Pemohon dalam permohonan pengujian UU SDA terhadap UUD 1945 dilakukan oleh warga perseorangan dan organisasi masyarakat sipil. Ada 5 (lima) kelompok Pemohon yang mengajukan judicial review pada tahun 2004 yang selanjutnya disebut JR 1. Kelima kelompok tersebut adalah:

1. Para Pemohon dalam Perkara Nomor 058/PUU-II/2004 adalah Tim Advokasi Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air yang meliputi beberapa LSM dan perorangan sebanyak 53 orang;

2. Para Pemohon dalam Perkara Nomor 059/PUU-II/2004 adalah 16 organisasi yang menamakan diri Rakyat Menggugat, antara lain WALHI, PBHI, UPC, Somasi NTB;

3. Para Pemohon dalam Perkara Nomor 060/PUU-II/2004 adalah 868 perorangan WNI;

4. Pemohon dalam Perkara Nomor 063/PUU-II/2004, Suta Widya, perorangan WNI;

5. Para Pemohon dalam Perkara Nomor 008/PUU-III/2005 adalah 2063 orang WNI yang memberi kuasa kepada Bambang Widjojanto, S.H., LLM., dkk,

dari ―Tim Advokasi Keadilan Sumber daya Alam‖.

Organisasi yang tergabung dalam Tim Advokasi Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air sebagai Pemohon I adalah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) sedangkan perorangannya adalah Ahmad Frantagore. Pemohon III adalah perorangan sebanyak 868 orang WNI. Pemohon IV adalah Komunitas Pelanggan Air Minum Jakarta (KOMPARTA). Sedangkan Pemohon V yang diajukan pada tahun 2005 menyebut dirinya Tim Advokasi Keadilan Sumber daya Alam terdiri dari 2063 orang petani, petambak, dan petani garam. Rakyat

Menggugat sebagai Pemohon II terdiri dari 16 organisasi badan hukum privat/ormas dapat dilihat pada Tabel 5.3.

Tabel 5.3 Para Pemohon dalam Judicial Review 1 UU SDA tahun 2004

No Nama Pemohon Wakil Pemohon

1 LBH (Lembaga Bantuan Hukum) bagian dari KruHA

(Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air) Munarman 2 Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia

(WALHI) Longgena Ginting

3 Pusat Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Hendardi

4 (SOMASI NTB) Gatot Sulistoni

5 (Yayasan GP) Rossana Dewi R

6 (KALi) Jimmy Panjaitan

7 Urban Poor Center (UPC) : Wardah Hafidz

8 (Djayengkoesoemo Center) Muh. Abdullah Fatah M.

9 (Yayasan ICDHRE), A. Samsul Rijal.

10 (HARMONI), dkk Dra. Liliek Sunarsih

11 (PAMA), dkk Mulyani

12 (PADI Indonesia) Sarmiah

13 Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Emilianus Ola Kleden

14 (Yayasan Madani), Priyadi Kartodiharjo

15 (LP3M AL_AZHAR), Drs.H.Joni Arifin. Amk.

16 (Yayasan Cakrawala Timur), Karyono

17 (Sekjen SPI) Henry Saragih

PP Muhammadiyah dengan tekadnya untuk melakukan jihad konstitusi telah banyak melakukan pengajuan pengujian undang-undang ke MK. Pada tahun 2013, PP Muhammadiyah bersama-sama dengan 4 (empat) organisasi masyarakat sipil dan 7 (tujuh) orang warga perseorangan mengajukan gugatan dengan nomor pendaftaran dengan nomor akta penerimaan berkas perkara 478/PAN.MK/2013 dan dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi dengan nomor 85/PUU- XI/2013 pada tanggal 16 Oktober 2013. Kesebelas organisasi dan perorangan tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.4

Melihat yang dilakukan KruHA di online lewat situs www.kruha.org yang memiliki banyak artikel ilmiah populer menolak privatisasi dan komodifikasi air dan konsistensi dalam melakukan advokasi hak atas air maka KruHA dapat dikelompokkan sebagai beridentitas publik tandingan (counter-publics). Berdasarkan rumusan Dahlberg (2011) pengelompokan publik tandingan (counter-publics) memiliki ciri subjek yang diskursif-antagonistis dan masuk dalam katagori demokrasi persaingan. Hal ini dibuktikan dengan pengajuan JR 1 ke MK dan pengajuan gugatan privatisasi PAM Jaya bersama KMMSAJ (Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta) ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Tabel 5.4 Para Pemohon Judicial Review 2 UU SDA tahun 2013 No Nama Pemohon Jenis Pemohon Wakil Pemohon Sebutan

Pemohon 1 PP Muhammadiyah badan hukum

privat/ ormas Dr. HM. Din Syamsuddin, MA Pemohon I 2 Al Jami'yatul Washliyah badan hukum privat/ ormas Drs. H. A. Aris Banadji Pemohon II

3 SOJUPEK badan hukum

privat/ ormas

Lieus

Sungkharisma Pemohon III 4 Perkumpulan Vanaprasta badan hukum privat/ ormas Gembong Tawangalun Pemohon IV 5 Drs. H. Amidhan perseorangan

WNI sendiri Pemohon V

6 Marwan Batubara perseorangan

WNI sendiri Pemohon VI

7 Adhyaksa Dault perseorangan

WNI sendiri Pemohon VII

8 Laode Ida perseorangan

WNI sendiri

Pemohon VIII 9 M. Hatta Taliwang perseorangan

WNI sendiri Pemohon IX

10 Rachmawati Soekarnoputri

perseorangan

WNI sendiri Pemohon X

11 Drs. H. Fahmi Idris, MH.

perseorangan

WNI sendiri Pemohon XI

KMMSAJ terdiri dari LBH Jakarta, KruHA, ICW, KIARA, Solidaritas Perempuan, Koalisi Anti Utang, WALHI Jakarta, dan beberapa LSM lain menggugat Presiden, Wapres, Menteri Keuangan, Menteri PU, Pemprov DKI Jakarta, DPRD DKI Jakarta, PT PAM Jaya, PT PAM Lyonnaise Jaya, dan PT Aetra Air Jakarta karena telah melakukan privatisasi air minum. Gugatan yang diajukan pada 22 November 2012 dikabulkan oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 25 Maret 2015. Hakim memutuskan memerintahkan pihak tergugat menghentikan kebijakan swastanisasi air minum di DKI Jakarta.

KruHA jika diteropong menggunakan tipologi organisasi gerakan sosial Heijden (2011) dapat dikatagorikan sebagai professional pressure group. Karena terdiri dari lembaga-lembaga yang memiliki sumber daya pengetahuan tetapi bergerak secara horisontal melalui tekanan terhadap penguasa. Tabel tipologi organisasi gerakan sosial dapat dilihat pada Tabel 5.5.

Tabel 5.5 Tipologi Organisasi Gerakan Sosial

Hierarchical Structure Horizontal Structure Professional

Resources

Public Interest Lobby Proffesional pressure Group Participatory Resources Participatory pressure Group Grassroot Group

Opini WargadanMedia Publisitas Opini Warga

Tujuan ruang publik bagi Habermas adalah untuk membentuk opini dan kehendak (opinion and will formation) yang mengandung kemungkinan generalisasi, yaitu mewakili kepentingan umum. Opini-opini yang muncul di seputar diskursus tata kelola SDA dapat dilihat pada Tabel 5.6.

Tabel 5.6 Topik Opini Diskursus Pengelolaan SDA

No Topik Opini No Topik Opini

1 Alasan pengajuan RUU SDA 11 Modifikasi cuaca 2 Formil pengesahan UU SDA 12 Partisipasi Masyarakat 3 Hak menguasai negara 13 Penyediaan air minum 4 Hak Guna Air 14 Kesulitan memperoleh air 5 Privatisasi 15 Komersialisasi air (sumber

daya, pengelolaan,

6 Intervensi asing 16 Tafsir Pasal 33 UUD 1945 7 Hak asasi atas air (right to water) 17 Kembali ke UUD 1945 8 Penyelenggaraan SPAM 18 Perijinan pengusahaan air 9 Irigasi pertanian 19 Air Tanah (sumber,

ketersediaan, penyedotan, pengeboran, eksplorasi) 10 Air laut di darat

Topik yang disampaikan lewat beragam media didengar oleh pembuat undang-undang. Terbukti dengan alotnya pembahasan RUU SDA. Rencana pengesahan pada tahun 2003 molor hingga tahun 2004. Pembahasan di tingkat Panitia Kerja penambahan akibat Komisi IV banyaknya tanggapan dan masukan masyarakat, antara lain dari Mabes Polri, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Dalam Negeri, Perkumpulan Pemakai Air, Masyarakat Peduli Air dan lainnya. Bahkan RUU SDA yang dibahas oleh Komisi IV DPR harus menerima surat dari Komisi VIII mengajukan meminta penundaan Rapat Paripurna pembicaraan tingkat II RUU SDA yang intinya agar Komisi VIII dapat mendalami lebih lanjut RUU SDA. Hingga klimaksnya pada rapat paripurna pengesahan UU SDA terjadi lima orang anggota DPR mengajukan Minderheidsnota(catatan keberatan) atas persetujuan tersebut. Tiga di antaranya adalah anggota DPR dari Fraksi Reformasi yang tetap menghendaki paripurna menunda persetujuannya. Sedangkan, dua nota lainnya diajukan oleh anggota DPR dari Fraksi KKI. Keberatan ini menjadi argumentasi bagi para pemohon JR bahwa pengesahan UU SDA secara formil tidak sah.

Suara dari ruang publik telah menjadi pengeras suara warga dan mampu mempengaruhi proses penyusunan meski belum mampu memberikan perubahan karena terhalang oleh kekuasaan. Tetapi perjuangan para organisasi masyarakat sipil di peradilan dengan mengajukan gugatan JR ternnyata memberikan hasil. Pengadilan merupakan media yang menyediakan kesempatan bagi didengarnya opini dalam bentuk argumen-argumen yang rasional dan tidak ada tekanan dan setara (egaliter). Perdebatan di pengadilan yang rasional memberikan kesempatan untuk saling merefleksikan diri terhadap argumen masing-masing pihak. Argumen terbaik dapat menjadi pemenang dalam diskursus pengelolaan SDA. Kemenanganan argumen terbaik dalam pengadilan memiliki prasyarat hakim dan

perangkat pengadilan yang jujur sehingga mampu menjalankan peradilan dengan adil.

Media Publisitas Opini Warga

Media yang digunakan untuk memperbesar suarau dalam ruang publik dapat ditelusuri dari arena tindakan yang digunakan dan genrenya. Genre sebagai permainan bahasa memiliki medianya masing-masing. Genre pidato politik pastilah memiliki media komunikasi massa yang disampaikan pada forum kenegaraan atau partai atau organisasi. Begitu pula genre artikel ilmiah populer memiliki media di rubrik opini media massa.

Media yang digunakan dalam diskursus tata kelola SDA di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.7.

Tabel 5.7 Media Publisitas Opini Warga

No Genre Media

1 Demonstrasi massa Langsung ke publik/pejabat 2 Wawancara pers Media massa cetak/elektronik 3 Artikel opini populer Media massa cetak/elektronik 4 Artikel Ilmiah Jurnal ilmiah

5 Pendapat di forum ilmiah Mimbar akademik

6 Press release Situs internet, Media massa cetak/elektronik

7 Konferensi pers Media massa cetak/elektronik

8 Gugatan hukum Pengadilan

Legitimasi

UU SDA meski disahkan oleh DPR dan telah diundangkan oleh Presiden belumlah memiliki legitimasi. Penolakan UU SDA tidaklah harus seluruh warga negara Indonesia agar dinyatakan tidak legitim. Beberapa warga atau kelompok warga yang memiliki kepentingan dalam persoalan air dapat membuat UU SDA tidak legitim saat mereka melakukan penolakan. Hal ini ditegaskan oleh Habermas yang menyatakan bahwa hanya undang-undang yuridis yang dapat memperoleh persetujuan semua subjek hukum di dalam sebuah proses penetapan hukum yang bersifat diskursif dan pada gilirannya dirumuskan secara legal boleh dianggap memiliki legitimasi. Jika ada sebagian walau kecil yang menolak maka undang- undang tersebut belum memiliki legitimasi.

Dengan prinsip D dimana yang dapat dianggap sahih hanyalah norma- norma tindakan yang kiranya dapat disetujui oleh semua orang yang mungkin bersangkutan dengannya sebagai para peserta diskursus. Maka sebuah peraturan perundang-undangan harus melibatkan semua warga terutama yang memiliki kepentingan atas peraturan tersebut. Bila tidak bisa melibatkan semua harus diyakinkan bahwa mereka yang tidak turut secara langsung dalam diskursus harus diandaikan hak-hak dan kepentingannya.

Prinsip U menyaratkan norma yang disetujui sebagai norma hukum haruslah didapatkan melalui sebuah konsensus rasional. Konsensus rasional berarti pilihan yang dihasilkan tanpa tekanan dengan memilih resiko yang paling kecil bagi semua yang terlibat.

Dengan demikian, diskursus dalam negara hukum demokratis dapat menyatukan kepentingan ekonomi dan politik serta pribadi dalam kepentingan bersama yang rasional melalui media hukum. Asalkan sistem birokrasi negara dan pasar kapitalis yang menjaga batas-batas mereka.

Dengan demikian untuk mempertahankan ruang publik sebagai dinamika ruang privat yang diperluas diperlukan institusionalisasi dan revitalisasi organisasi-organisasi masyarakat bersama-sama dengan organisasi-organisasi pemerintah dan ekonomi untuk memikirkan dan mendefinisikan situasi sosial yang dihadapi bersama dalam bentuk opini publik sebelum sebuah keputusan diambil secara formal di ranah politik.

Kesempatan Politik dalam Memperkeras Suara Warga

Reformasi 1998 telah merubah Indonesia menjadi negara demokratis. Demokrasi di Indonesia dibuktikan dengan lahirnya pers yang bebas, sistem multi partai politik sebagai agregrasi kepentingan rakyat yang majemuk, pemilu yang demokratis, dan kebebasan berpendapat. Terjadinya konsolidasi demokrasi terlihat dengan lahirnya TAP MPR RI No. X/MPR/1998 tetang Pokok-pokok reformasi pembangunan dalam rangka penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional, TAP MPR RI No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, TAP MPR RI No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, UU Nomor 3 tahun 1999 tentang Pemilu, dan PP Nomor 68 tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara. Struktur politik nasional yang menuju demokrasi ini merupakan syarat ideal bagi lahirnya ruang publik.

UUD 1945 menganut ajaran kedaulatan rakyat, seperti bunyi Pasal 2 ayat

(1), ―kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat‖. UUD 1945 juga menganut ajaran kedaulatan Tuhan sebagaimana bunyi Pasal 29 ayat (1) ―Negara berdasar atas Ketuhanan Yang

Maha Esa‖ . Selain itu UUD 1945 juga menganut kedaulatan hukum sebagimana

penjelasan Bab IX mengenai kekuasaan kehakiman (sebelum amandemen karena pasca amandemen UUD 1945 tidak memiliki penjelasan lagi), yang menegaskan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, terlepas dari pengaruh pemerintah.

Dari nilai-nilai UUD 1945 jelas bahwa Indonesia sebagai penganut negara hukum (rechstaat) yang demokratis dan berpegang pada ajaran Tuhan. Negara hukum demokratis yang disebut oleh Habermas hampir mirip dengan keadaan Indonesia meski demokrasi yang terjadi masih demokrasi perwakilan. Demokrasi perwakilan (representasi) perlu diperkuat dengan demokrasi deliberatif yang sumber legitimasinya berasal dari formasi deliberatif, argumentasi-diskursif suatu keputusan politis yang ditimbang-timbang bersama yang senantiasa bersifat sementara dan terbuka atas revisi.

Ruang publik diskursus pengelolaan sumber daya air memperlihatkan optimisme lahirnya kesempatan politik yang besar bagi warga untuk menyuarakan kepentingannya. Diskusi publik dan opini yang berkembang di ranah warga

diperbesar dengan suara kepentingan bersama melalui berbagai saluran media. Meskipun kekuasaan komunikasi (communicative power) dari warga telah mempengaruhi para aktor pengambil kebijakan tetapi belum mampu merubah kebijakan publik. Pengaruh sekedar memberi dampak pada sikap dan pernyataan yang oleh sebagian kecil anggota dewan sudah dilanjutkan dengan tindakan untuk menunda pengesahan RUU SDA. Tetapi secara keseluruhan pengambil kebijakan masih dipenuhi oleh kepentingan strategis mereka untuk memaksakan UU SDA sebagai produk hukum bersama.

Lahirnya UU Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan UU Nomor 8 tahun 2011 tentang Perubahan atas UU MK telah memberi kesempatan warga yang menolak suatu UU untuk mengujinya terhadap norma-norma yang terkandung dalam UUD 1945. Kesempatan ini merupakan jalan bagi berlanjutnya suara warga yang tadinya hanya berada di ruang publik untuk bisa masuk ke ruang politik formal negara khususnya di pengadilan.

Ruang publik hanya terbatas pada didengar suaranya yang mungkin bisa langsung berdialog dengan penyelenggara negara pembuat peraturan perundangan-undangan di parlemen maupun gedung pemerintah. Sebatas didengar karena keputusan akhir berada di tangan DPR atau pemerintah sehingga warga tetap tertinggal di belakang. Adanya MK membuat suara warga bisa menentukan kebijakan publik karena argumentasi warga dipersaingkan dengan