• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunikasi Lingkungan Ruang Publik Sumber Daya Air Di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Komunikasi Lingkungan Ruang Publik Sumber Daya Air Di Indonesia"

Copied!
214
0
0

Teks penuh

(1)

KOMUNIKASI LINGKUNGAN: RUANG PUBLIK

SUMBER DAYA AIR DI INDONESIA

DWI AGUS SUSILO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Komunikasi Lingkungan: Ruang Publik Sumber Daya Air di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari peneliti lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

RINGKASAN

DWI AGUS SUSILO. Komunikasi Lingkungan: Ruang Publik Sumber Daya Air di Indonesia. Dibimbing oleh SARWITITI SARWOPRASODJO, MUSA HUBEIS, dan BASITA GINTING.

Keterbatasan air akibat pertumbuhan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi serta diperparah oleh adanya pencemaran air membuat persoalan air menjadi masalah global. Kompetisi antara pertanian, industri, dan kota dalam keterbatasan pasokan air telah membatasi pembangunan di banyak negara. Kesulitan warga dalam memperoleh air telah menjadikan air sebagai barang ekonomi agar masyarakat dapat dilakukan efisiensi pemakaian air. Akibatnya komodifikasi air tidak terelakkan dan terjadi privatisasi pengelolaan air di banyak negara termasuk di Indonesia. Munculnya UU Sumber Daya Alam beserta PP Pengembangan SPAM telah membuat privatisasi di Indonesia menjadi terbuka. Warga dan organisasi masyarakat sipil melakukan penolakan terhadap privatisasi air sejak pembahasan RUU SDA. Penelitian ini berupaya melihat bagaimana diskursus privatisasi SDA di Indonesia terjadi. Hasil yang didapatkan memperlihatkan bahwa identitas para pendukung UU SDA adalah liberalis sedangkan penolak UU SDA adalah nasionalis-pembela hak asasi manusia. Privatisasi SDA di Indonesia tidak terlepas dari agenda privatisasi global untuk membuat pasar air dunia yang dilakukan melalui kampanye organisasi internasional dan bantuan asing yang memiliki syarat perubahan struktural.

Perdebatan tata kelola sumber daya air di Indonesia tahun 2002-2015 menjadi fenomena komunikasi. Kajian ruang publik dan diskursus digunakan untuk meneropong fenomena yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Penelitian menggunakan teori kritis Habermas sebagai paradigma dan metodologi. Pendekatan metode DHA Wodak melengkapi analisis terhadap diskursus yang terjadi.

Analisis mikro dilakukan dengan melakukan analisis linguistik kritis dengan fokus pada intertekstualitas, interdiskursivitas, dan metafora. Analisis tingkat meso dilakukan dengan analisa diskursus kritis dan analisa argumentasi yang terkiat dengan konteks tuturan. Analisis tingkat makro dilakukan dengan analisis diakronis historis dengan metode hermeneutika kritis untuk mengetahui makna dalam pengelolaan SDA. Metode analisis mengikuti metode discourse-historical approach- DHA Wodak dengan alasan Habermas‟ Language-Philosophy menjadi dasar bagi penyusunan metode DHA.

Korpus yang diteliti sebanyak 160 teks yang dipilah dalam tiga sub korpus, yaitu berita, opini, persidangan di Mahkamah Konstitusi. Alat bantu perangkat lunak AntConc 3.3.4w untuk analisis analisis corpus linguistic yang menghasilkan KWIC (keyword-in-context) konkordan, penjumlahan dan penghitungan frekuensi kemunculan.

(6)

Sistem telah menekan dunia-kehidupan yang menyebabkan menguatnya kuasa dan pasar dalam mengatur kehidupan warga. Sumber daya air yang awalnya milik bersama kemudian menjadi barang ekonomi yang sulit di akses dan mahal.

Ruang publik sebagai jaringan warga yang menyuarakan kepentingan publik memainkan peran penting dalam pembuatan kebijakan publik pada negara hukum demokratis. Diskursus tata kelola SDA dalam ruang publik memberikan kesempatan warga sipil untuk menggunakan kekuasaan komunikatif. Diskursus yang plural, tanpa tekanan, dan rasional dapat terjadi dan ikut mampu mempengaruhi meski belum mampu melakukan perubahan. Diskursus ruang publik yang diteruskan pada level peradilan melalui pengujian undang-undang di MK memberikan harapan bagi perubahan kebijakan karena pengadilan memberikan kesempatan untuk argumen yang terbaik untuk menang. Argumen terbaik sebagai hasil dari diskursus dapat memberikan rasa keadilan sehingga dapat mewujudkan keadilan sosial.

Strategi komunikasi dengan pendekatan komunikasi partisipatif menggunakan dialog-reflektif ditawarkan oleh peneliti untuk melibatkan warga dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi lingkungan dan sumber daya air. Melalui bantuan teknologi informasi dibangun aplikasi Forum Suara Warga Online sehingga warga dapat berpartisipasi dengan mudah, murah, dan fleksibel.

(7)

SUMMARY

DWI AGUS SUSILO. Environmental Communication: Public Sphere of Water Resources in Indonesia. Supervised by SARWITITI SARWOPRASODJO, MUSA HUBEIS, and BASITA GINTING.

Limitations of water due to population growth and economic growth ans water pollution become global problem. Competition between agriculture, industry and cities within the limitations of water supply has constrained the development in many countries. Difficulties in obtaining water residents have made water as an economic good that people do efficiency of water use. Consequently inevitable commodification and privatization of water management occurred in many countries, including Indonesia. The advent of Natural Resources Law and its Regulation Development SPAM has made privatization in Indonesia to be open. Citizens and civil society organizations to the rejection of water privatization since the discussion draft SDA. This study seeks to see how the discourse of privatization of natural resources in Indonesia occurred. The results obtained show that the identity of the Act SDA supporters are liberals, while repellent Law-nationalist SDA are human rights defenders. The privatization of natural resources in Indonesia can not be separated from global privatization agenda to create water markets worldwide campaign carried out through international organizations and foreign aid conditional structural changes.

The debate over the governance of water resources in Indonesia in 2002-2015 became a phenomenon of communication. Study of public space and the discourse used to observe phenomena concerning lives of many people. Research using critical theory of Habermas as a paradigm and methodology. Wodak DHA method approach complements the analysis of the discourse that occurs.

Micro analysis done by performing a critical linguistic analysis with a focus on intertextuality, interdiskursivitas, and metaphors. Meso-level analysis performed by the analysis of critical discourse analysis and argumentation terkiat the context of the speech. Macro-level analysis performed by analysis of a historical diachronic hermeneutic methods critical to know the meaning in natural resource management. The method of analysis followed the method of discourse-historical approach- DHA Wodak by reason of Habermas' Language-Philosophy is the basis for the preparation method of DHA.

The corpus studied as many as 160 text divided into three sub-corpus, ie news, opinion, judgment in the Constitutional Court. Software tools for analysis AntConc 3.3.4w corpus linguistic analysis that produces KWIC (keyword-in-context) concordance, summing and counting the frequency of occurrence.

This study has revealed the results of the power structure and ideology behind the Law on Management of Water Resources No. 7, 2004. Supporters of the Act SDA has a liberal ideology-capitalists, environmentalists. While repellent Act SDA is nationalist defenders, environmentalists.

(8)

Public space as a network of citizens who voiced public interest plays an important role in public policy-making in a democratic legal state. The discourse of the governance of natural resources in the public provide an opportunity for civilian use communicative power. Plural discourse, without pressure, and rational can occur and participate capable of affecting, although not yet able to make changes. The discourse of public space is forwarded to the levels of the judiciary through judicial review in the Court gives hope for change in policy because the court provides the opportunity to best argument for winning.The better argument as result of the discourse can provide equity soa as to realize social justice for all memberf of society.

Communication strategies with participatory communication approaches using reflective dialogue offered by the researchers to involve citizens in the planning, implementation, and evaluation of environmental and water resources. Through the help of information technology applications built Suara Warga Online Forum so that citizens can participate easily, inexpensively and flexibly.

(9)

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

KOMUNIKASI LINGKUNGAN: RUANG PUBLIK

SUMBER DAYA AIR DI INDONESIA

DWI AGUS SUSILO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Penguji Luar Komisi

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr Ir Djuara P. Lubis, MS

(Ketua Program Studi Pascasarjana Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IPB)

2. Dr Ir Rilus A. Kinseng, MS

(dosen pada Program Studi Sosiologi Pedesaan FEMA IPB)

Penguji pada Sidang Terbuka :

1. Dr. Ir Soeryo Adi Wibowo, M.Si

(dosen pada Program Studi Sosiologi Pedesaan FEMA IPB)

2. Dr. Amar Ahmad, M.Si

(13)
(14)

PRAKATA

Studi doktoral merupakan jenjang pendidikan tertinggi yang membutuhkan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran untuk menelusuri dan memahami pemikiran-pemikiran para ahli di bidangnya. Penulisan disertasi merupakan bentuk nyata dari proses tersebut seperti yang diprosedurkan oleh IPB. Alhamdulillah, peneliti telah melewati semua tahapan tersebut.

Atas keberhasilan ini, peneliti mengucapkan terima kasih kepada pembimbing sekaligus promotor yang telah mengarahkan peneliti sedemikian rupa sehingga tersusunlah disertasi ini. Kepada Dr Ir Sarwititi, MS., Prof Dr Ir Musa Hubeis, Dipl. Ing, DEA, dan Dr Ir Basita Ginting, MA peneliti haturkan terima kasih atas bimbingannya, transfer ilmu dan pengalamannya, serta didikannya dalam proses pembentukan karakter seorang akademisi. Tidak lupa diucapkan banyak terima kasih kepada Dr Ir Djuara P. Lubis, MS selaku Ketua Program Studi KMP yang selalu mendorong, mendukung, dan membantu peneliti. Juga kepada para penguji luar komisi pada ujian tertutup, Dr. Djuara dan Dr. Rilus A. Kinseng, MS diucapkan banyak terima kasih atas masukannya. Juga kepada Dr Suryo Adi Wibowo, MS dan Dr. Amar Ahmad, M.Si yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi sidang promosi doktoral.

Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada Prof Dr Djohar Arifin Husein, Prof Dr Amran Razak, M.Sc Dr Jana T. Anggadiredja, MS., Apt., dan Prof Dr Ir. Marimin, M.Sc yang telah memberikan rekomendasi untuk mengikuti program doktor di IPB. Juga kepada ibu Dra Adiati Nurdin, MA (Deputi Pemberdayaan Pemuda Kemenpora), Bapak Dr. Sakhyan Asmara (Deputi Pengembangan Pemuda dan Plt. Sesmenpora), Dr Eny B. Hartati (Asdep 1.5), dan semua pejabat dan pegawai di Kementerian Pemuda dan Olahraga khususnya di Asdep 1.5 yang telah membantu studi peneliti selama ini.

Kepada kawan-kawan seperjuangan di KMP 2011, Dr. Budi, Dr. Iman, Dr. Firda, Dr Sri, Dr Dame, Dr Aty, mbak Nilam, dan bu Rahma, terima kasih atas saling-dukungnya. Semoga kekompakan selama kuliah terus berlanjut di luar kampus. Juga ucapan terima kasih kepada mbak Hetty, mbak Lia, dan mbak Desi di sekretariat yang banyak membantu proses administrasi selama perkuliahan.

Doa dan semangat dari keluarga, khususnya dari istri, EN Ningrum dan anak Putrizuhra telah menguatkan peneliti untuk tanpa mengeluh menyelesaikan disertasi siang malam. Juga kepada kedua orang tua, H. Sunardi dan Hj. Siti Djuwariyah yang selalu mendoakan tiada henti untuk kesuksesan peneliti telah memberikan energi luar biasa juga kepada seluruh saudara-saudara di Semarang dan Boyolali (mas Agus, Tri & Yanto, Eva & Anam, Yuni & Chamid, Wowok & Lisa, dan Huri juga Pakde Djamal dkg) terima kasih atas dukungannya selama ini.

(15)

milik peneliti sedangkan kelebihan adalah hasil bimbingan dari para pembimbing/promotor, dosen penguji, dan masukan dari rekan-rekan peneliti.

Semoga karya ini bermanfaat.

Ciputat, 18 Agustus 2016 Dwi Agus Susilo I362110081

DAFTAR SINGKATAN

AGSAL : Agricultural Structural Adjustment Loan AMDK : Air Minum Dalam Kemasan

BAPPENAS : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional BPS : Badan Pusat Statistik

BPUPKI : Badan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BUMD : Badan Usaha Milik Daerah

BUMN : Badan Usaha Milik Negara CAS : Country Assistance Strategy

CGIAR : Consultative Group for International Agricultural Research CSO : Civil Society Organizations

DAS : Daerah Aliran Sungai

FAO : Food and Agricultural Organization FORSAL : Forestry Structural Adjustment Loan GATS : General Agreement on Trade in Services GATT : General Agreement on Trade and Tariffs GDP : Gross Domestic Product

GWP : Global Water Partnership

IBRD : International Bank for Reconstruction and Development (Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan) ICSID : International Centre for Settlement of Investment Disputes IDA : International Development Association (Asosiasi

Pembangunan Internasional) IFC : International Finance Corporation IFI : International Finance Institutions IMF : International Monetary Fund

IWRM : Integrated Water Resources Management JR : Judicial Review

Kemenkumham : Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia PJL : Pembayaran Jasa Lingkungan

PU : Kementerian Pekerjaan Umum

PUPR : Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat KLH : Kementerian Lingkungan Hidup

KruHA : Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air LoI : Letter of Intent

LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

MIGA : Multilateral Investment Guarantee Agency

MK : Mahkamah Konstitusi

NATSAL : Natural Resources Structural Adjustment Loan NGO : Non Governmental Organization

(16)

PAD : Project Appraisal Document PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa PDAM : Perusahaan Daerah Air Minum Permen : Peraturan Menteri

PJL : pembayaran jasa lingkungan

PP : Peraturan Pemerintah

PRSP : Poverty Reduction Strategy Paper

RUU SDA : Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air SAL : Structural Adjustment Loans

SAP : Structural Adjustment Programs

SDA : Sumber Daya Air

SIWI : Stockholm International Water Institute

UICN : International Union for Conservation of Nature UN : United Nations

UNEP : United Nations Environment Programme

UU : Undang-Undang

UU Pengairan : Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan UU SDA : Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber

Daya Air

UUD 1945 : Undang-Undang Dasar 1945 WALHI : Wahana Lingkungan Hidup

WATSAL : Water Resources Sector Adjusment Loan

WB : Word Bank

WCD : World Commission on Dams WTO : World Trade Organisation WUA : Water User Association

WWAP : World Water Assesment Programme WWC : World Water Council

WWDR : World Water Development Report WWF : World Water Forum

(17)

DAFTAR ISI

DAFTAR PENGESAHAN iii

DAFTAR ISI v

DAFTAR TABEL iv

DAFTAR GAMBAR iv

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

Kebaruan Penelitian (Novelty) 6

TINJAUAN PUSTAKA 8

Paradigma Pengelolaan Sumber Daya Air 8

Demokrasi Deliberatif 10

Kolonisasi Dunia-Kehidupan 13

Ruang Publik antara Sistem dan Dunia-Kehidupan 14

Teori Diskursus 22

Pragmatika Universal 24

Logika Diskursus Teoritis (Kebenaran) 27

Logika Diskursus Praktis (Moralitas) 29

Representasi 30

Kerangka Pemikiran 32

Hipotesis Pengarah 34

Kedudukan Penelitian 34

Penelitian Terdahulu 35

Perbandingan dengan Penelitian Terdahulu 53

METODOLOGI PENELITIAN 58

Rancangan Penelitian 58

Paradigma Penelitian 58

Lokasi Penelitian 59

Metode Penelitian 59

Teknik Pengumpulan Data 60

Metode Analisis Data 64

SEJARAH PENGATURAN SDA DI INDONESIA 66

Pendahuluan 66

Metode Penelitian 67

Hasil dan Pembahasan 68

Periode UU Pengairan 71

Periode UU SDA 76

Periode Paska Pembatalan UU SDA 87

(18)

Implikasi Praktis dalam Komunikasi Pembangunan 89

Simpulan 89

PENGGUNAAN RUANG PUBLIK DALAM DISKURSUS TATA KELOLA SDA

90

Pendahuluan 90

Metode Penelitian 91

Hasil dan Pembahasan 93

Terjadinya Diskursus 93

Ruang Publik Warga dalam Diskursus SDA di Indonesia 95

Legitimasi 100

Kesempatan Politik dalam Memperkeras Suara Warga 101

Kolonisasi Dunia-Kehidupan oleh Sistem 102

Simpulan 107

DISKURSUS TATA KELOLA SUMBER DAYA AIR 108

Pendahuluan 108

Metode Penelitian 110

Hasil dan Pembahasan 111

Diskursus Pengelolaan Sumber Daya Air di Indonesia 2002-2015 111 Argumentasi Penolakan Privatisasi Pengelolaan Sumber Daya Air 117 Kritik Atas Pengelolaan Sumber Daya Air di Indonesia 119

Simpulan 120

DISKURSUS PRIVATISASI SUMBER DAYA AIR DI INDONESIA 121

Pendahuluan 121

Metode Penelitian 122

Hasil dan Pembahasan 124

Konteks Makro Privatisasi SDA 124

Konteks Meso Privatisasi SDA 130

Konteks Mikro Privatisasi SDA 133

Diskursus Privatisasi SDA di Indonesia 134

Kritik atas Privatisasi SDA di Indonesia 137

Simpulan 139

DISKURSUS UNTUK PENCAPAIAN KEADILAN SOSIAL 140

Pendahuluan 140

Metode Penelitian 141

Hasil dan Pembahasan 142

Sistem dan Dunia Kehidupan 142

Persaingan antara Kolektivisme dan Liberalisme 143

Pencapaian Keadilan Sosial Melalui Diskursus 147

Simpulan 150

PEMBAHASAN UMUM 152

Diskursus Pengelolaan Sumber Daya Air 152

Suara Warga di Ruang Publik 154

Relasi Kekuasaan antara Pendukung dan Penolak UU SDA 156

Kekuasaan Komunikasi dan Keadilan Sosial 157

Strategi Komunikasi 159

SIMPULAN DAN SARAN 163

Simpulan 163

(19)

Implikasi Teoritis 165

Implikasi Kebijakan 166

DAFTAR PUSTAKA 168

Lampiran 1 Korpus Teks 176

Lampiran 2 Antarmuka Situs Forum Suara Warga Online 191

RIWAYAT HIDUP 194

DAFTAR TABEL

2.1 Jumlah Air Tawar di Bumi (di luar kutub, es lainnya, dan salju) 8

2.2 Perbedaan Perspektif Terhadap Air 9

2.3 Perbedaan Ruang Privat dan Ruang Publik 15

2.4 Jejaring kekuasaan di dalam ruang publik 19

2.5 Tiga Jenis Tindak Tutur dan Tuntutan Validitas 26

2.6 Perkembangan Pemikiran terkait Demokrasi Deliberatif, Ruang Publik, dan Pengelolaan Sumber Daya Air

38

3.1 Pengumpulan Data 61

3.2 Data Korpus Penelitian 62

3.3 Pokok Penelitian, Metode, dan Analisis Data 63

4.1 Periodisasi Diskursus Pengaturan SDA 69

4.2 Pengaturan air dalam UU sebelum lahirnya UU Pengairan 70 4.3 Substansi UU Nomor 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan 71 4.4 Substansi PP Nomor 22/1982 tentang Tata Pengaturan Air 73

4.5 Kronologi pembahasan RUU SDA 77

4.6 Substansi bahasan UU SDA 79

4.7 Persandingan UU No.11 Tahun 1974 dan UU No.7 Tahun 2004 80 4.8 Ketentuan Penguasaan SDA menurut UU Pengairan dan UU SDA 82 4.9 Jenis-jenis Hak Air (water right) menurut UU SDA 83

4.10 Peraturan Pemerintah turunan UU SDA 84

4.11 Kronologi Pengujian UU SDA terhadap UUD 1945 85

5.1 Diskursus Tata kelola SDA di Indonesia 94

5.2 Jejaring kekuasaan di dalam ruang publik 96

5.3 Para Pemohon dalam Judicial Review 1 UU SDA tahun 2004 97 5.4 Para Pemohon Judicial Review 2 UU SDA tahun 2013 98

5.5 Tipologi Organisasi Gerakan Sosial 98

5.6 Topik Opini Diskursus Pengelolaan SDA 99

5.7 Media Publisitas Opini Warga 100

5.8 Kolonisasi dunia-kehidupan sumber daya air di Indonesia 102 6.1 Strategi Diskursif dalam Diskursus Tata kelola SDA di Indonesia 113 6.2 Argumentasi diskursus tata kelola SDA di Indonesia 117 7.1 Topik diskursus terpilih dari diskursus UU SDA di Indonesia 135 7.2 Strategi Diskursif dalam Diskursus Pengelolaan SDA 135 7.3 Argumentasi diskursus privatisasi SDA di Indonesia 136 7.4 Elemen Argumen dalam Argumentasi Menolak Privatisasi Air 138 8.2 Badan usaha terkait dengan model cabang produksi 144

8.3 Kemungkinan privatisasi perusahaan negara 145

(20)

DAFTAR GAMBAR

2.1 Skema Ruang Publik Borjuis (warga) Abad ke-18 17 2.2 Model Bendungan: Transformasi Pengaruh Ruang Publik dalam

Pengambilan Kebijakan Publik

22

2.3 Kerangka Pemikiran 32

2.4 Concept Map‟s State of The Art 36

2.5 Posisi Novelty Penelitian 37

3.1 Kerangka Kerja Penelitian 65

4.1 Keterkaitan Antara Negara Kesejahteraan, Sistem Perekonomian Nasional, Politik Hukum HMN, dan Tiga Pilar Tata kelola SDA

81 5.1 Skema Ruang Publik dalam Diskursus SDA di Indonesia 95 6.1 Arena tindakan, genre, dan topik diskursus terpilih dalam

diskursus tata kelola SDA di Indonesia

112 6.2 Jaringan kebijakan global di belakang IWRM, aktor utama (oval),

produk pengetahuan bersama (persegi panjang), dan fora (heksagonal) untuk pertemuan dan interaksi, dan garis merupakan kerjasama institusional

115

7.1 Model Argumen Toulmin 136

8.1 Sistem (system) yang menekan dunia-kehidupan (lebenswelt) dalam pengeloaan SDA

(21)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Air merupakan kebutuhan dasar (a fundamental right) bagi manusia untuk menjaga kelangsungan hidup. Akibat pertumbuhan penduduk, meningkatnya kebutuhan air penduduk, kebutuhan industri, dan kebutuhan kota telah menyebabkan kelangkaan air (FAO 2012).

Keterbatasan dan kelangkaan air (limited and scarcity) serta dibutuhkannya investasi atau penyediaan air bersih mendorong munculnya paradigma pengelolaan air modern yang mendasarkan pada nilai ekonomi intrinsik (intrinsic value) dari air. Pandangan tersebut melawan pandangan tradisional, yang melihat air sebagai barang publik (public goods) yang tidak dimiliki siapapun, air adalah milik bersama (global commons atau sebagai common resources) yang dikelola secara kolektif dan bukan untuk dijual atau diperdagangkan (Sanim 2011). Perdebatan kedua paradigma ini tidak lepas dari rejim hak (regimes of property rights) terhadap sumber daya alam, di mana dikenal tiga hak, yaitu sumber daya alam yang dikuasai negara (state property), diatur bersama di dalam suatu kelompok masyarakat atau komunitas tertentu (community property), atau berupa hak individu (private property) (Kartodihardjo & Jhamtani 2006; Fauzi 2006).

Pengelolaan air modern yang memperlakukan air sebagai komoditas yang bernilai ekonomis menginspirasi lahirnya Prinsip Dublin pada 1992 Earth Summit – International Conference on Water and the Environment di Dublin, Irlandia. Momentum ini yang menjadi alasan munculnya privatisasi air di seluruh dunia (Manar). Akibatnya, Lembaga internasional seperti Bank Dunia kemudian mengambil peran sentral dalam mengembangkan dan mempromosikan pendekatan-pendekatan baru yang konsisten dengan Dublin Principles terutama memberlakukan air sebagai barang ekonomi (Santono).

Hak privat terhadap sumber daya alam ini dikuatkan oleh Lembaga Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dalam kertas kerjanya yang dikeluarkan pada bulan Maret 2004 yang menyebutkan adanya suatu kesejajaran antara Hak atas Tanah dan Hak atas Air. Negara memiliki kewajiban untuk melindungi para pemegang hak atas air sebagaimana negara telah melindungi pemegang hak atas tanah. Maka kegiatan untuk menguasai sumber air dan memanfaatkannya demi kepentingan pribadi menjadi sah atas nama hukum. Kepemilikan air (water rights) mendukung terjadinya komodifikasi air (KRuHA 2005). Kepemilikan air (water rights) merujuk kepada proses kepemilikan seseorang atas benda tertentu (property right). Water rights memberikan kebebasan dan kewenangan kepada orang yang telah dianggap secara sah memiliki air.

(22)

peraturan telah disetujui dan pengesahan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (selanjutnya disebut UU SDA) menggantikan UU Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (selanjutnya disebut UU Pengairan). Hak guna usaha air pun akhirnya memiliki landasan hukumnya.

Suteki (2010) menyimpulkan bahwa lahirnya UU SDA membuktikan politik hukum hak menguasai negara dalam pengelolaan sumber daya air mengingkari nilai keadilan sosial sesuai amanat Pasal 33 UUD NRI 1945 bila makna hak menguasai negara adalah negara sebagai provider (penyedia) dan sekaligus regulator atas pengelolaan sumber daya air. Suteki menyatakan privatisasi tata kelola SDA bertentangan dengan keadilan sosial dan membahayakan akses rakyat terhadap air.

Privatisasi yang didukung oleh UU SDA mengakibatkan pemberian ijin terhadap eksploitasi sumber daya air meningkat cepat. Peningkatan jumlah produksi perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) yang pada awal keberadaannya di tahun 1973 hanya 6 juta liter per tahun menjadi 19,8 miliar liter per tahun pada 2012. Tahun 2013, konsumsi air minum kemasan diprediksi mencapai 22 miliar liter, tumbuh 11,11% dibandingkan tahun sebelumnya, diproduksi oleh 500 industri AMDK dengan ribuan merk lokal dan asing yang beredar.

Padahal menurut data KLH (Kementerian Lingkungan Hidup) hanya 42% dari penduduk Indonesia yang mempunyai akses pada air bersih sedangkan data BPS dan Kementerian Pekerjaan Umum menunjukkan hanya 58,05% penduduk yang memiliki akses terhadap air minum layak. Demikian pula Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) hanya mampu melayani kebutuhan air bersih bagi 35-40% masyarakat (Ardhianie 2004 dalam Sanim 2011).

Keberadaan perusahaan air minum telah menimbulkan kerusakan alam sekaligus dampak sosial. Warga yang menggantungkan hidup pada lahan pertanian yang secara langsung bergantung pada sumber mata air akan kehilangan mata pencaharian. Privatisasi air juga berakibat pada aksi rebutan antara perusahaan dan warga, serta warga dengan warga sendiri. Menurunnya kualitas dan kuantitas air memaksa warga mengeluarkan uang untuk menyewa pompa bahkan membeli air untuk kebutuhan rumah tangga.

Komodifikasi dan privatisasi air telah menimbulkan bencana bagi orang miskin dalam hal keterbatasan akses terhadap air serta memicu konflik ekonomi di antara rakyat, negara dan perusahaan swasta (Shiva 2002). Water Wars/Perang Air tak dapat dihindari, konflik air yang terjadi karena permintaan untuk sumber daya air (selanjutnya disingkat SDA) dan air minum jauh melampaui jumlah air yang benar-benar tersedia. Kepentingan swasta berhadapan dengan hak masyarakat untuk melestarikan dan melindungi ekologi, sosial dan budaya mereka melalui air sebagai sumber daya bersama (Shiva 2002; FAO 2012;. Mcclinton 2012).

(23)

daya air akhirnya melakukan demonstrasi menolak pengeboran sumur artesis oleh sebuah pabrik AMDK yang berlokasi di Kecamatan Cijeruk Kabupaten Bogor.

Karena adanya kecenderungan overuse atau penggunaan yang berlebih (Redjekiningrum 2011; Sutopo 2011, Mangoting & Surono 2006) menyebabkan terjadinya krisis air sehingga terjadi kerusakan alam sejak sepuluh tahun terakhir. Mangoting dan Surono (2006) mendapati eksploitasi air oleh perusahaan air minum telah menimbulkan masalah dalam aspek lingkungan, aspek sosial-ekonomi, dan aspek sosial-politik.

Redjekiningrum (2011) menyarankan adanya water sharing dalam pengalokasian air di kawasan DAS Cicatih-Cimandiri melalui penerapan optimal water sharing yang sering diistilahkan sebagai scientific water sharing untuk memecahkan kasus konflik kepentingan penggunaan air. Sedangkan Sutopo (2011) menyarankan diberlakukannya pembayaran jasa lingkungan (PJL) terhadap pemanfaatan sumber daya air dengan mekanisme kelembagaan PJL. Raharja (2008) menyarankan dilakukannya penataan organisasi pengelola DAS Citarum dalam suatu bentuk instrumen-aransemen kerjasama dan tata kelola terpadu (collaborative governance).

Pendekatan ekonomi dengan menggunakan instrumen teknologi dalam mengatasi masalah konflik sumber daya air mendominasi dalam studi pengelolaan sumber daya air seperti yang dilakukan oleh Redjekiningrum (2011), Sutopo (2011), dan pendekatan manajemen kelembagaan menggunakan tindakan strategis oleh Raharja (2008), dan Sunartopo (2006). Pendekatan rasio-instrumental seperti yang digunakan dalam penelitian tersebut dalam prakteknya menemui hambatan seperti studi yang dilakukan Hidayat (2011) di mana pembayaran jasa lingkungan menjadi alat kontrol kekuatan supralokal terhadap aktivitas agroforestry komunitas melalui prosedur dan mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang tidak partisipatif dan tidak demokratis (Hidayat 2011). Hal ini menunjukkan semua tindakan yang diorientasikan pada kesuksesan yang diarahkan pada suatu tujuan (tindakan instrumental maupun tindakan strategis), haruslah dan tidak boleh tidak, dikoordinasikan secara sosial melalui media bahasa (Pusey 2011).

Penelitian tentang konflik sumber daya air secara khusus belum ada yang melihat dari sudut pertarungan kepentingan warga, swasta dan pemerintah. Padahal penyelesaian masalah bersama tidak mungkin hanya mengandalkan pendekatan instrumental dan strategis saja tetapi membutuhkan pendekatan komunikatif. Tindakan komunikasi dapat menjadi jembatan bagi tercapainya kesepakatan melalui apa yang disebut Habermas (1996) dengan diskursus praktis yang mengandaikan adanya situasi bicara ideal (ideal speech situation).

(24)

sosial atau communication and social change (CSC) memasukkan konsep partisipasi, akses, pemberdayaan, dan suara warga.

Dengan latar belakang tersebut maka penelitian komunikasi pembangunan ini mencoba untuk mengeksplorasi terjadinya konflik pengelolaan sumber daya air dan kemungkinan penyelesaiannya melalui tindakan komunikatif.

Perumusan Masalah

Masalah inefisiensi dan alokasi air yang tidak merata diantara pengguna air telah mengubah keberadaan air yang awalnya merupakan barang publik (public goods) bergeser menjadi komoditas ekonomi, bahkan alat politik yang memicu terjadinya konflik. Konflik pengelolaan sumber daya air telah menjadi masalah di berbagai daerah di Indonesia, baik persaiangan antara individu dan kelompok pengguna, persaingan spasial seperti antara desa dan kota atau antara hulu dan hilir. Konflik ini melibatkan masyarakat, swasta, dan pemerintah/pemerintah daerah. Khususnya di daerah yang memiliki sumber-sumber air.

Kontestasi argumen di dalam ruang publik terlihat dalam proses penyusunan UU Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air dan paska pembatalan UU SDA. Perdebatan antara kelompok yang mewakili tiga rejim hak, yaitu penguasaan sumber daya oleh negara (state property), diatur bersama di dalam suatu kelompok masyarakat atau komunitas tertentu (community property), dan hak individu (private property), yang akhirnya dimenangkan oleh kelompok hak individu yang meyakini bahwa air adalah barang komoditas (private goods).

Dari uraian di atas mengacu pada ruang publik diajukan tiga pertanyaan, yaitu : Pertanyaan pertama, Mengapa terjadi (konflik) diskursus pengelolaan sumber daya air?

Masyarakat melalui pembicaraan-pembicaraan di ruang-ruang publik menegaskan opini-opini mereka. Pembicaraan bersama untuk memperjuangkan kepentingan bersama ini terjadi dalam ruang-ruang fisik atau non fisik (internet). Pembicaraan publik melibatkan budaya, masyarakat, dan pribadi memiliki kapasitas untuk menghasilkan kesepakatan-kesepakatan, aturan, nilai-nilai, simbol-simbol yang berasal dari dalam, atau bahkan adat-istiadat sehingga orang tunduk kepadanya. Ruang publik menurut Cox (2009) dapat muncul dalam berbagai bentuk tidak hanya kata-kata, tetapi juga lewat gambar dan aksi simbolik nonverbal, seperti aksi duduk-duduk, spanduk, fotografi, film, dan juga diskusi, debat, dan mempertanyakan kebijakan lingkungan juga seperti editorial, pidato, dan siaran berita televisi. Yang kesemuanya itu memberikan pengaruh pada masyarakat luas. Menurut Sutarto (1999) dialog kritis yang dibawakan lewat ruang sosial semi-otonom (ruang publik) membuat setiap orang dari berbagai golongan sosial berkesempatan untuk melakukan refleksi-diri.

(25)

Secara eksternal, tekanan politik mereka mengarah kepada pemegang kekuasaan untuk mempengaruhi kebijakan.

Berkaitan dengan itu, diajukan Pertanyaan kedua yaitu, Bagaimana diskursus pengelolaan sumber daya air yang terjadi dalam negara demokratis yang memanfaatkan ruang publik?

Teori keadilan Habermas menekankan penataan bangsa pluralistik modern agar bersatu, stabil dan langgeng, tidak boleh didasarkan atas suatu pandangan hidup atau doktrin tertentu, melainkan harus didasarkan atas prinsip yang mendukung dan mengekspresikan kepentingan bersama (konsensus). Prinsip itu adalah keadilan sosial Habermas melalui diskursus praktis intersubyektif sebagai prosedur pengambil putusan untuk menentukan apa yang disebut adil. Dalam praktek perlu dilakukan analisis. Untuk itu diajukan Pertanyaan ketiga yaitu, Bagaimana diskursus tata kelola SDA dapat menghasilkan rasa keadilan bagi seluruh pihak?

Tujuan Penelitian

Penelitian kualitatif adalah penelitian untuk mendapatkan pemahaman (verstehen) melalui pengamatan mendalam terhadap interaksi ruang publik dalam kontestasi pengelolaan sumber daya air. Adapun tujuan penelitian ini adalah : 1. Mendeskripsikan ruang publik diskursus pengelolaan sumber daya air. 2. Memetakan dan menganalisis argumentasi pihak-pihak yang berkonflik di

ruang publik dalam pengelolaan sumber daya air dan menelusuri ideologi masing-masing pihak.

3. Menganalisis diskursus dalam proses pencapaian konsensus pada pengambilan kebijakan pengelolaan sumber daya air.

4. Menganalisis keadilan yang diperoleh dari konsensus lewat diskursus yang rasional.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian secara teoretis adalah untuk menambah khasanah pengetahuan yang berkaitan dengan kajian kritis terhadap realitas dalam representasi masyarakat dalam ruang publik, yang diwarnai oleh dominasi dan hegemoni penguasa dan pasar. Dengan memahami penggunaan ruang publik dalam pengambilan kebijakan publik diharapkan dapat membantu merumuskan kebijakan publik yang adil bagi semua dengan mengedepankan tindakan komunikatif yang memenuhi klaim kebenaran, kejujuran, dan ketulusan demi lahirnya kebijakan yang memiliki legitimasi. Hal ini tentunya memberikan konstribusi bagi ilmu komunikasi pembangunan di tanah air.

(26)

Kebaruan Penelitian (Novelty)

Ruang publik dalam penelitian ini adalah ruang publik warga yang bebas dari intervensi hegemonis dan dominasi dari negara dan pasar yang dibedakan dengan ruang publik yang masih mencampurkan antara pembicaraan warga dan negara/pasar. Peneliti melihat ruang publik sebagai pertemuan komunikasi antarwarga yang terjadi di berbagai tempat baik fisik maupun non fisik, di dunia nyata maupun di dunia maya (online). Bentuk ruang publik diperluas dari sekedar pertemuan fisik warga menjadi jaringan komunikasi antarwarga di berbagai tempat seperti di (1) organisasi seperti di Muhammadiyah, WALHI, dll, atau forum organisasi seperti KruHA yang dapat berupa keputusan organisasi, sikap organisasi yang diwujudkan dalam siaran pers dan konferensi pers; (2) ruang publik media massa baik media massa cetak maupun media massa elektronik (online) termasuk di dalamnya media sosial dan situs organisasi di internet dalam bentuk berita, wawancara, pernyataan sikap, opini, atau percakapan; (3) ruang publik akademik seperti diskusi, seminar, konferensi atau tulisan di jurnal ilmiah; dan (4) ruang publik dramaturgi dan retorika seperti demonstrasi massa, seni teatrikal dalam bentuk protes, tuntutan, kritik, atau sindiran.

Modifikasi konsep ruang publik dilakukan peneliti dengan memperluas bentuk-bentuk dan jenis tindakan dalam ruang publik, dan skala ruang publik yang dibedakan antara lain ruang publik mikro yang lokal, ruang publik meso yang regional, dan ruang publik makro yang nasional bahkan internasional. Sehingga ruang publik memiliki skala yang berbeda dan memerlukan analisa yang berbeda bila skala yang diteliti berbeda.

Bentuk-bentuk ruang publik yang ditemukan dalam penelitian ini disebut dengan field of action dan jenis tindakan yang disebut dengan genre merujuk pada Fairclough dan Wodak. Sehingga dalam penelitian ini juga menggunakan metode discourse-historical approach- DHA Wodak untuk mengoperasionalkan teori tindakan komunikatif, teori diskursus, dan konsep ruang publik yang dibangun oleh Habermas. Analisis diskursus DHA Wodak selain mampu menganalisa secara historis dan sosio-politik juga mampu melihat strategi diskursif dan identitas para aktor sehingga ideologi yang tersebunyi dapat disingkap.

(27)

(termasuk di dalamnya kepentingan kapitalis atau pasar) menjadi kepentingan yang menang dalam pembahasan di DPR dengan disahkannya UU No 7/2004 tentang SDA.

Warga yang mengalami kebuntuan dalam menyuarakan suara warga (ruang publik) di ruang/sistem politik meneruskannya ke ruang kekuasaan kehakiman dengan mengajukan tuntutan hukum ke Mahkamah Konstitusi untuk menguji UU SDA. Indentitas warga/organisasi warga sipil yang pembela dan HAM, nasionalis, dan environmentalis melawan kepentingan para pendukung SDA yang liberalis-kapitalis dan environmentalis. Pengadilan (kekuasaan kehakiman) menjadi pilihan untuk mendapatkan keadilan sosial karena menjadi arena perdebatan rasional, bebas tekanan dan terbuka. Proses peradilan di MK yang adil dan tanpa tekanan menghasilkan keputusan yang memenuhi rasa keadilan sosial warga negara Indonesia. Keputusan MK tersebut dapat disebut dengan konsensus karena telah mempertimbangkan secara adil semua argumentasi para pihak yang berkepentingan yang dikemukakan secara bebas di muka hakim.

Cox (2009) memasukkan suara warga, penyelesaian konflik, dan suara perubahan (voice for change) gerakan lingkungan untuk keadilan sosial (social justice) sebagai bagian dari komunikasi lingkungan. Wilkins (2014) menyatakan, keadilan sosial sebagai trend yang berkembang dalam komunikasi perubahan sosial, membangun perhatian pada keadilan distribusi sumber daya, modal, dan hak. Dengan memperhatikan metode rekonstruksi Seran (2010) dalam diskursus UUD 1945 dan Rasuanto (2005) dalam penelitian ini telah dilakukan rekonstruksi perdebatan dalam dikursus tata kelola sumber daya air di Indonesia dan sumbangannya dalam mewujudkan keadilan sosial.

Komunikasi pembangunan dan komunikasi lingkungan yang mengarah pada pemberdayaan suara warga baik melalui diskursus dan pemberdayaan ruang publik sangat penting untuk meraih keadilan sosial. Pembangunan fisik, pembangunan manusia maupun pembangunan lingkungan tidak boleh hanya mengandalkan kepentingan teknokratis semata tetapi juga harus mencerminkan kepentingan moral. Ketepatan sebuah kebijakan sangat penting mengingat kebijakan berpengaruh terhadap manusia yang diperintahnya. Suara warga yang terpengaruh oleh kebijakan tersebut harus didengar untuk mencapai legitimasi dan mendapatkan keadilan sosial.

Aplikasi berbasis web internet yang memiliki fungsi forum suara warga (e-citizen voice forum) memiliki kemampuan untuk menjaring warga berpartisipasi dalam suatu topik pembahasan peraturan perundang-undangan. Partisipasi warga secara elektronik ini dapat mengurangi biaya penyelenggara dan partisipan.

(28)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Paradigma Pengelolaan Sumber Daya Air

Jumlah air di bumi menurut UNESCO (1978 dalam Kodoatie dan Roestam 2010) sebanyak 1.385.984.610 km3 dengan komposisi air laut sebanyak 1.338.000.000 km3 (96,54%) sedangkan air tawar hanya sebanyak 35.029.210 km3 (2,53%) sisanya sebanyak 0,93% adalah asin di luar laut sejumlah 12.955.400 km3. Dari air tawar yang ada sebagian besar dalam bentuk es yang ada di kutub maupaun es lainnya dan salju sebanyak hampir 70% sisanya air tawar sebanyak 30% berada di air tanah tawar, air tanah dangkal, danau air tawar, rawa/payau, sungai, air biologi dan air udara. Air tawar yang ada di air tanah merupakan sumber air terbesar mencapai 98,9%, seperti terlihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Jumlah Air Tawar di Bumi (di luar kutub, es lainnya, dan salju)

No Tempat

sumber : UNESCO 1978 dalam Kodoatie dan Roestam 2010.

Jumlah air tawar yang tersedia di semua tempat hampir konstan tetapi karena pertimbangan teknis maupun ekonomis maka hanya sebagian saja dari total air yang ada yang dapat digunakan dalam pemenuhan air bersih. Jumlah suplai air berbanding terbalik dengan peningkatan populasi dan pencarian sumber baru serta eksploitasi air akan lebih mahal di masa akan datang. Polusi juga menyebabkan kontaminasi air yang menurunkan kualitas air.

Sebagai bagian dari sumber daya alam, air dapat menjadi manfaat atau merugikan bagi masyarakat (public benefit/cost). Sebagai karunia Tuhan saat ini air dipandang berbeda oleh masyarakat. Sebagian besar meyakini air sebagai barang sosial sedangkan sebagian yang lain menganggap air sebagai barang ekonomi. Perdebatan kedua kubu tersebut terpusat pada persoalan kepemilikan sumber daya air. Perdebatan lainnya menyangkut masalah pengelolaan dan prinsip kebijakan penetapan harga air, dan pertanyaan etis mengenai pengambilan keuntungan dari pelayanan publik.

(29)

menegaskan bahwa ―Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.‖

Pandangan ini diakui oleh PBB. Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB dalam Komentar Umum (General Comment) No. 15 Tahun 2002 menegaskan bahwa air harus diperlakukan sebagai suatu barang sosial dan budaya, tidak hanya sebagai barang ekonomis. Pemenuhan hak atas air (right to water) juga harus bersifat berkelanjutan, menjamin bahwa hak tersebut dapat terus dipenuhi untuk generasi sekarang dan yang akan datang.

Céline Dubreuil (2006), ahli masalah air, pada forum WWF (World Water Forum) di Perancis menyatakan, bahwa hak atas air melekat pada manusia, pernyataannya:

“The human right to water entitles everyone to sufficient, safe,

acceptable, physically accessible and affordable water for personal and domestic uses. An adequate amount of safe water is necessary to prevent death from dehydration, reduce the risk of water-related disease and provide for

consumption, cooking, personal and domestic hygienic requirements”.

Tabel 2.2 Perbedaan Perspektif Terhadap Air

Perspektif Negara Privat / Swasta Masyarakat Politik State based Fasilitas regulasi

negara

Community based

Ekonomi Capital based (investasi/utang/ privatisasi)

Jaminan pembengkakan kapital/investasi (industri

air/komoditas)

Jaminan ketersediaan air

Sosial Rakyat sebagai objek (uniformitas)

Mementingkan diri sendiri

Kebersamaan/collectivity dan pluralisme

Budaya Perilaku eksploratif dan monopoli

Ekspansif dan monopoli

Etika lingkungan sebagai sistem lokal (local knowledge and wisdom)

Ekologi Eco-developmentalism Eco-proseduralism Eco-populism

Hak asasi manusia atas air (the human right to water) merupakan hal yang tidak bisa ditinggal dalam menjalani suatu kehidupan yang bermartabat. Hak ini merupakan kebutuhan awal bagi pemenuhan hak asasi manusia lainnya. Hak asasi manusia atas air memberikan hak kepada setiap orang atas air yang memadai, aman, bisa diterima, bisa diakses secara fisik dan mudah didapatkan untuk penggunaan personal dan domestik.

(30)

Hak atas air berisikan kebebasan-kebebasan dan hak-hak. Kebebasan ini termasuk hak untuk menjaga akses kepada suplai air yang ada yang dibutuhkan untuk terpenuhinya hak atas air, dan hak untuk bebas dari gangguan, seperti hak untuk bebas dari pemutusan sewenang-wenang atau kontaminasi suplai air. Sebaliknya, ―hak‖ termasuk hak atas sistem suplai dan manajemen air yang memungkinkan kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk menikmati hak atas air.

Kepemilikan atas air menjadi permasalahan. Sebagai bagian dari sumber daya alam, air dapat menjadi manfaat atau merugikan bagi masyarakat (public benefit/cost) atau dapat berupa komoditi (private goods) yang manfaatnya hanya dinikmati oleh perorangan. Hak atas air pun diperebutkan mulai dari kepemilikan oleh negara, komunitas, dan individu.

Perdebatan kedua paradigma di atas tidak lepas dari rejim hak (regimes of property rights) terhadap sumber daya alam, di mana dikenal tiga hak, yaitu sumber daya alam yang dikuasai negara (state property), diatur bersama di dalam suatu kelompok masyarakat atau komunitas tertentu (community property), atau berupa hak individu (private property) (Kartodihardjo dan Jhamtani 2006; Fauzi 2006).

Dalam pengelolaan sumber daya air menurut Tremblay (2011) ada dua paradigma yang saling bersaing. Dua paradigma tersebut adalah paradigma hak asasi manusia (human rights-based approach to developement -HRBA) dan paradigma pengelolaan sumber daya air terpadu (integrated water resources management -IWRM). HRBA sebagai sebuah standarisasi pendekatan antroposentris dan membutuhkan untuk kontekstualisasi ekosistem pada klaim pengelolaan sumber daya air. HRBA sebagai sebah alat untuk aspirasi pembangunan dan keterbatasan sumber daya air.

Hak privat terhadap sumber daya alam ini dikuatkan oleh Lembaga Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dalam kertas kerjanya yang dikeluarkan pada bulan Maret 2004 yang menyebutkan adanya suatu kesejajaran antara Hak atas Tanah dan Hak atas Air. Negara memiliki kewajiban untuk melindungi para pemegang hak atas air sebagaimana negara telah melindungi pemegang hak atas tanah. Maka kegiatan untuk menguasai sumber air dan memanfaatkannya demi kepentingan pribadi menjadi sah atas nama hukum. Water rights juga mendukung upaya-upaya untuk melihat nilai ekonomis dari air sehingga bisa dijadikan sebagai komoditi. Dengan kata lain, water right sangat mendukung terjadinya komodifikasi air (KRuHA 2005). Berbeda dari the right to water (hak atas air), kepemilikan air (water rights) merujuk kepada proses kepemilikan seseorang atas benda tertentu (property right). Water rights memberikan kebebasan dan kewenangan kepada orang yang telah dianggap secara sah memiliki air.

Paham neo liberalisme dan demokrasi yang mendominasi pembangunan ekonomi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, membuat konsep pemilikan individu (private property) terhadap sumber daya alam menjadi arus utama yang melandasi perumusan kebijakan ekonomi politik suatu negara (Kartodihardjo dan Jhamtani 2006).

Demokrasi Deliberatif

(31)

Meinungs-und Willenbildung), proseduralisme atau kedaulatan rakyat sebagai prosedur (Volksouveranitat als Verfahren). Teori demokrasi deliberatif memusatkan pada prosedur untuk menghasilkan aturan-aturan dan melontarkan pertanyaan, bagaimana keputusan-keputusan politis diambil dan dalam kondisi-kondisi manakah aturan-aturan tersebut dihasilkan sedemikian rupa sehingga para warga negara mematuhi aturan-aturan itu (Hardiman 2009b).

Demokrasi deliberatif tidak memberi tahu bagaimana dapat menghasilkan alasan-alasan yang bagus, melainkan hanya mengatakan bahwa alasan-alasan yang bagus untuk sebuah keputusan politis haruslah diuji secara publik sedemikian rupa sehingga alasan-alasan tersebut diterima secara intersubjektif oleh semua warga negara dan tidak menutup diri dari kritik-kritik dan revisi-revisi yang diperlukan. Rasionalitas hasil deliberasi politis ini berdasarkan pada arti normatif prosedur demokratis yang seharusnya menjamin bahwa semua persoalam yang relevan bagi masyarakat dijadikan tema. Di dalam demokrasi deliberatif semua tipe diskursus praktis beroperasi di dalam formasi opini dan aspirasi secara demokratis untuk secara publik menguji alasan-alasan bagi peraturan politis yang diusulkan itu (Hardiman 2009b).

Semakin diskursif proses itu, yakni semakin rasional dan terbuka terhadap pengujian publik, semakin legitim (diakui) pula hasilnya. Betapapun koheren, sistematis dan estetisnya sebuah kebijakan atau norma publik, jika tidak lebih dahulu diuji secara diskursif dalam terang publik atau diterapkan begitu saja oleh otoritas, kebijakan atau norma itu tidak mendapat legitimitas. Karena itu keterbukaan terhadap revisi justru menambah legitimitas sebuah kebijakan atau norma publik (Hardiman 2009b).

Teori demokrasi deliberatif Habermas memiliki konsep-konsep utama, yaitu negara hukum, radikalisasi demokrasi, ruang publik politik, legitimasi, opini publik, rasio komunikatif, rasio prosedural, etika diskursus, teori diskursus, dan masyarakat sipil. Teori demokrasi deliberatif mendapat dukungan dari Dahl, Mansbridge, Cohen, Elster, dan Hirst yang menganggap metode ini dianggap dapat mengatasi masalah yang dihadapi model demokrasi pada masyarakat yang kompleks, ketika pluralitas nilai-nilai membuat upaya membangun ―kebaikan bersama‖ menjadi sulit diwujudkan. Yankelovich, Dryzek, Gastil, Ackerman dan Fishkin, dan Leib menganggap keputusan yang dihasilkan dari proses deliberatif memiliki potensi untuk berkontribusi pada demokrasi representatif yang lebih luas dan lebih kuat legitimasinya, dengan cara menekan pejabat publik terpilih untuk merespon rekomendasi-rekomendasi dari proses deliberatif. Hicks, Janoski, dan Schwartz menyebutkan opini publik, deliberasi politik, dan partisipasi politik akan cukup berperan dalam analisis ilmu-ilmu sosial (Kusuma 2012).

(32)

logika pasar kapitalis yang menolak atau mengendalikan diskursus-diskursus rasional dalam ruang publik (Kusuma 2012).

Chambers membumikan teori demokrasi deliberatif dari tatanan ―theoritical statement‖ menjadi ―working theory.‖ Morrel (merumuskan karakteristik demokrasi deliberatif yaitu adanya dialog warga (civic dialogue), diskusi deliberatif (deliberative discussion), dan pengambilan keputusan deliberatif (deliberative decision making). Abelson et al. menjelaskan ada beragam bentuk demokrasi deliberatif, seperti citizen juries, citizen panels, consensus conference, deliberative polling, citizen advisory committee, public hearing, town hall, dan lainnya. Fishkin, Bohman, Fishkin dan Laslett menyatakan teori deliberasi politik banyak digunakan dalam analisis mengenai demokrasi di kelompok-kelompok kecil, deliberative polling, dan pertemuan kota (town hall) berbasis teknologi (Kusuma 2012).

Dalam demokrasi deliberatif, rakyat dimungkinkan terlibat saat proses pembuatan hukum dan kebijakan-kebijakan politik. Demokrasi deliberatif menjamin masyarakat sipil terlibat penuh dalam pembuatan hukum melalui diskursus-diskursus. Di sini terjadi apa yang disebut proseduralisasi kedaulatan rakyat. Kata prosedur yang dipakai Habermas, berarti proses. Proseduralisasi kedaulatan rakyat artinya adalah membuat kedaulatan rakyat sebagai proses komunikasi. Menurut teori deliberasi, kedaulatan terjadi bukan karena orang berkumpul di suatu tempat sebagaimana diyakini JJ. Rousseau, tetapi juga harus ada komunikasi publik. Sebab jika kedaulatan rakyat (volonte generale) terjadi hanya ketika rakyat berkumpul, hal ini berbahaya, sebab ini merupakan konsep demagog. Seorang demagog bisa mengumpulkan orang dan mengatakan inilah kedaulatan rakyat (Darmawan 2009).

Menurut Habermas, proseduralisasi dari kedaulatan rakyat juga tidak cukup dengan peran media, tetapi juga sebuah diskusi di antara warga negara yang peduli, misalnya terhadap pencemaran lingkungan, itu juga kedaulatan rakyat. Begitu juga obrolan yang kritis di warung-warung yang bersifat politis dan sangat peduli dengan problem sekitarnya juga disebut kedaulatan rakyat. Jadi, kedaulatan rakyat itu tidak dilihat sebagai substansi melainkan sebagai proses nasional, bahkan internasional, yang bergerak terus melalui aliran komunikasi.

(33)

dan ini hanya mungkin melalui reformasi, tidak lewat revolusi (Suseno 2004 dalam Darmawan 2009).

Dalam negara hukum, civil society dan negara ada batas-batasnya. Demokrasi yang diperankan bukan demokrasi langsung, melainkan kontrol diskursif atas pemerintah. Artinya, produk UU dikontrol seluruhnya oleh suara publik, namun bukan berarti publik mendikte pemerintah. Kalau batas-batas antara pemerintah dan masyarakat jebol, maka akan terjadi tirani kelompok, kemudian ada otonomi publik dan otonomi privat warga negara. Artinya, bahwa dewasa ini, kalau diamati, media massa dimasuki belalai-belalai pemerintah. Pemerintah misalnya mengatur agar media massa itu jangan melaporkan hal ini dan itu. Sebenarnya, hal semacam ini menyalahi prinsip negara hukum. Media memiliki otonomi, dan oleh karena itu tidak boleh dikendalikan oleh modal dan birokrasi. Kalau mereka masih dikendalikan, tugas forum warga mendeteksi proses semacam itu dan menentang keras-keras sehingga mereka merasa tidak nyaman.

Karena itu demokrasi deliberatif tidak hanya menuntut penyebaran hak-hak partisipasi, melainkan juga interaksi dinamis antara institusi-institusi resmi untuk formasi opini dan aspirasi politis yang tidak terinstitusionalisasi, namun berciri inklusif di dalam ruang publik. Gambaran politik yang disebut oleh Habermas ―proses belajar‖ (Lernprozesß) itu memiliki keuntungan stabilisasi sistem politik dan dinamisasi sistem politik. Formasi opini dan aspirasi secara diskursif berfungsi sebagai proses pendidikan politis bagi warga negara sekaligus pemberdayaan mereka secara politis. Dalam demokrasi deliberatif, negara bukanlah kerangka pasif untuk seluruh masyarakat dan juga bukan sebuah pusat yang merangkum segalanya, melainkan sebuah instrumen sosial sensitif untuk kehidupan bersama secara politis dan suatu tempat untuk memprogramkan kebutuhan-kebutuhan akan perubahan (Hardiman 2009b).

Kolonisasi Dunia-Kehidupan

Konsep identitas secara sosiologis setara dengan konsep ego. ―Identitas‖ sebagai struktur simbolis yang memberikan ruang kepada sistem kepribadian untuk menjalankan keberlanjutan dan konsistensi dalam perubahan kondisi biografis dan melalui posisi yang berlainan dalam ruang sosial. Seseorang menyatakan identitasnya kepada dirinya sendiri dan pada saat yang sama kepada orang lain ---identifikasi diri, membedakan diri sendiri dari orang lain, juga harus diakui oleh orang lain. Relasi refleksif individu yang melekatkan dirinya kepada dirinya sendiri tergantung pada hubungan intersubjektif yang dimasukinya dengan orang lain yang dia lekati. Secara keseluruhan dia seharusnya melanggengkan identitasnya dalam dimensi vertikal sejarah kehidupan—yaitu dalam tahap kehidupan yang berbeda, dan kadang-kadang saling bertentangan—maupun dalam dimensi horisontal –yaitu, dalam reaksi simultan terhadap struktur harapan yang berbeda dan seringkali saling bersaing. Habermas mengajukan suatu pembagian ―sementara‖ ke dalam tiga tahap pembentukan identitas: identitas alami, identitas peran atau konvensional, dan identitas ego.

(34)

pembahasan tentang korelasi proses-proses pencapaian pemahaman. Lebenswelt membantu pencapaian konsensus karena berlaku sebagai basis bersama para pelaku tindakan komunikatif.

Hebermas berbicara tentang Lebenswelt sosial dan kultural sebagai ―gudang‖. Dari gudang itu para peserta komunikasi mengambil dan memakai interpretasi-interpretasi tertentu yang diyakini bersama. Lebenswelt dapat dipelihara, diteruskan dan diproduksi lewat tindakan komunikatif.

Orang dapat membayangkan komponen-komponen Lebenswelt, yaitu pola-pola budaya, tatanan-tatanan legitim dan struktur-struktur kepribadian sebagai pemadatan dan endapan proses-proses pemahaman, koordinasi tindakan dan sosialisasi yang berlangsung melalui tindakan komunikatif.

Jika dipahami secara dialektis, pembicara dan pendengar selama proses pencapaian konsensus selalu berdiri di dalam tradisi-tradisi kultural yang mereka pakai sekaligus mereka perbarui. Sebagai anggota-anggota masyarakat mereka menyokong solidaritas sosial yang ada dan sekaligus menghasilkan solidaritas sosial yang baru.

Jika dilihat dari perspektif-para peserta, masyarakat tampak sebagai ―jaringan kerjasama-kerjasama yang dimungkinkan lewat komunikasi. Kerjasama-kerjasama inilah yang memungkinkan integritas dan stabilitas sebuah masyarakat. Jika dilihat dari perspektif-para pengamat, masyarakat memperlihatkan dirinya sebagai ―jaringan fungsional dari rentetan tindakan‖. Tindakan-tindakan terakhir ini seolah-olah terjadi secara mekanis, yakni di luar intensi para aktor. Di sinilah masyarakat muncul sebagai sistem. Di dalam masyarakat-masyarakat modern sistem tampak secara mencolok pada ekonomi dan kekuasaan negara. Habermas menyebut ―solidaritas‖ (Lebenswelt), ―uang‖ dan ―kuasa‖ (sistem) sebagai tiga komponen integritas masyarakat (Hardiman 2009b).

Sayangnya, Habermas dianggap tidak memikirkan secara serius konsep industri budaya sehingga tidak menawarkan satu versi cultural studies yang tepat untuk memahami berbagai wacana dan praktik budaya hari ini (Agger 2003). Habermas benar-benar peduli dengan upaya melindungi berbagai budaya sehari-hari yang muncul dari dunia kehidupan melawan penjajahan oleh sistem (kolonisasi dunia kehidupan). Namun konsepsi penjajahan ini menyatakan bahwa upaya manusia untuk memproduksi budaya sipil yang membantu membentuk wilayah publik hanya dikecewakan oleh ―penjajahan‖ kehidupan sehari-hari dari berbagai pihak. Untuk masalah ini Habermas ―hanya‖ memberikan solusi melalui komunikasi –pembentukan konsensus melalui pembicaraan ideal. Bagi Agger (2003) ini jauh dari konsepsi budaya dan hegemoni budaya yang tepat.

Dunia kehidupan (lebenswelt) yang menjadi latar belakang warga masyarakat dan organisasi sipil, maka air dan sumber daya air adalah milik bersama (common property). Air permukaan dianggap sebagai barang publik yang bisa digunakan siapa pun untuk kepentingan bersama. Tetapi kesepakatan bersama yang menjadi kesepahaman masyarakat tersebut diubah oleh UU SDA yang menyebutkan bahwa air adalah juga barang ekonomi. Pemahaman yang ada tentang air kemudian terusik dan menjadi perdebatan atau diskursus.

Ruang Publik antara Sistem dan Dunia-Kehidupan

(35)

adalah konsep Barat. Dalam bahasa Indonesia istilah publik ini bisa juga diganti ‗umum, ‗masyarakat‘, ‗masyarakat luas‘, ‗masyarakat umum‘, ‗khalayak ramai‘, dan sebagainya tergantung konteksnya.

Hannah Arendt dalam bukunya The Public and The Private Realm memperlihatkan evolusi historis kemunculan perbedaan antara sesuatu yang ‗privat‘ dan yang ‗publik‘. Menurutnya, di Yunanilah dimulai pertama kali adanya pembedaan ―organisasi politik‖ yang dikontraskan dengan ―organisasi natural/alamiah yang adalah keluarga‖. Munculnya polis memberikan kepada manusia ―selain hidup privat, sebuah hidup lain yang kedua, yaitu hidup politis. Dengan demikian, setiap warga negara memiliki dua macam eksistensi dalam hidupnya: apa yang miliknya pribadi (idion) dan apa yang menjadi milik bersama (koinon)‖ (Hardiman 2010a).

Di dalam negara-kota Yunani kuno yang sudah maju, ruang (sphere) dalam pengertian polis, yang terbuka (koine) bagi setiap warga negara yang merdeka, jauh berbeda dari ruang dalam pengertian oikos, karena di dalam ruang oikos setiap individu berada di dunianya sendiri-sendiri (idia). Kehidupan publik, bios politikos, berlangsung di tempat-tempat semacam pasar (agora), namun ini belum tentu berarti hanya di satu lokal tertentu saja. Sedangkan ruang publik di dalam diskusi-diskusi (lexis), yang dapat juga berarti konsultasi atau duduk di ruang pengadilan, atau bahkan di dalam tindakan-tindakan bersama (praxis) entah saat berperang atau berkompetisi di dalam pertandingan-pertandingan atletik. Status seseorang di dalam polis didasarkan kepada statusnya sebagai penguasa mutlak atas oikos. Ruang publik menjadi sebuah alam kebebasan dan kekekalan. Namun sejak awal dan di seluruh Abad Pertengahan, kategori-kategori mengenai yang-publik dan yang-privat dan ruang yang-publik yang dipahami sebagai res publica sebetulnya justru berasal dari definisi hukum Roma kuno (Habermas 2007b).

Tabel 2.3 Perbedaan Ruang Privat dan Ruang Publik

Pembeda Private Realm (oikos) Public Realm (polis) Ruangnya Household (family) Political realm Hukum dasarnya Wants + needs, law of

necessity, the driving force is life itself

Freedom

Cara mengaturnya Force + violence Speech (logos); persuasion

Relasi antar manusia Inequality Equality (isonomia) Sumber: Wibowo dalam Hardiman 2010.

Hannah Arendt memberikan skema pembedaan seperti dalam Tabel 2.1. Arendt mengatakan, ―beresnya urusan rumah tangga, ekonomi dan kebutuhan sehari-hari berkat adanya kaum ‗unequals‘ menjadi syarat bagi munculnya kebebasan dan kesetaraan kaum ‗equals‘ di polis.‖

(36)

menjadi terpisah dalam pengertian yang khas modern ketika masyarakat ingin memisahkan diri dari negara pada saat lahirnya negara-negara yang belandaskan ekonomi-niaga (commercial economy) (Habermas 2007b).

Kata Jerman ‗privat‘ yang dipinjam dari kata Latin ‗privatus‘, dapat ditemukan hanya sesudah pertengahan abad ke-16, yang memiliki makna sama seperti yang diasumsikan oleh kata Inggris ‗private‘, dan kata Prancis ‗prive‘. Kata-kata ini berarti ―tidak memegang jabatan publik atau mengemban tugas pemerintah.‖ Istilah ‗privat‘ menunjukkan pemisahan dari ruang aparatus negara, sementara ‗publik‘ mengacu pada kondisi yang dalam pada itu telah berkembang, di bawah absolutisme, menjadi sebuah entitas yang memiliki eksistensi objektif karena menentang pribadi penguasa. Publik (das Publikum, le public) diartikan sebagai ‗otoritas publik‘ (offentliche Gewalt) dalam oposisinya terhadap segala sesuatu yang privat (Privatwesen). Kekuasaan-kekuasaan feodal, gereja, para penguasa dan kaum bangsawan, yang menjadi perwakilan/representasi publik, pada akhir abad ke-18 terpecah-pecah di dalam sebuah polarisasi menjadi elemen-elemen privat di satu sisi dan elemen-elemen-elemen-elemen publik di sisi lain. Tanda pertama yang nampak jelas di dalam otoritas kepenguasaan, akibat polarisasi yang analog, adalah pemisahan anggaran publik dari bisnis-bisnis pribadi penguasa teritorial. Birokrasi, militer (dan di tataran tertentu, administrasi keadilan) menjadi institusi otoritas publik yang independen dari ruang istana, dan yang semakin terprivatisasi. Dan akhirnya, dari pihak kaum bangsawan, elemen-elemen prerogratif politik mereka lantas berkembang menjadi organ-organ otoritas publik: sebagian menjadi parlemen, dan sebagian lagi menjadi organ-organ peradilan. Elemen-elemen pengorganisasian kelompok status jabatan, pada tataran bahwa mereka sudah siap untuk terlibat di dalam korporasi-korporasi kota dan di dalam diferensiasi-diferensiasi tertentu dari kepemilikan tanah, berkembang menjadi sebuah ruang yang lalu disebut ‗masyarakat sipil‘, yang sebagai wilayah asli otonomi privat, sengaja dibentuk guna melawan negara (Habermas 2007b).

Arendt dan Habermas memiliki perbedaan dalam acuan penggalian makna ruang publik. Arendt mengidealisasi polis Yunani kuno sambil mencari dasar-dasar epistimologis untuk pemahaman mengenai ruang publik itu, sementara Habermas banyak mengacu secara sosiologis pada zaman Aufklarung Eropa abad ke-18. Polis Yunani tentu berbeda dari literary salon dan cafe di Paris abad ke-18, namun keduanya serupa dalam satu hal: baik polis maupun salon/cafe abad ke-18 merupakan tempat warga berkomunikasi mengenai kegelisahan-kegelisahan politis warga. Karena itu Arendt dan Habermas membicarakan tempat-tempat seperti itu sebagai ruang publik. Ruang publik bagi mereka bukanlah sekedar ‗tempat fisik‘, melainkan komunikasi warga itu sendiri yang mereproduksi ruang di antara mereka. Arendt (Hardiman 2010a:187)menyebut ruang itu ―ruang penampakan‖ (Erscheinungsraum):

―Suatu ruang penampakan terjadi di tempat orang-orang saling berinteraksi dengan bertindak dan berbicara; ruang itulah yang menjadi dasar semua pendirian dan bentuk negara...Ruang itu ada secara potensial pada setiap himpunan orang, memang hanya secara potensial; ia tidak secara niscaya diaktualisasi di dalam himpunan itu dan juga tidak dipastikan untuk selamanya atau untuk waktu tertentu...‖.

Gambar

Gambar 2.1 Skema Ruang Publik Borjuis (warga) Abad ke-18 (Habermas 2007b)
Tabel 2.4 Jejaring kekuasaan di dalam ruang publik
Gambar 2.2 Model Bendungan : Transformasi Pengaruh Ruang Publik dalam
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran
+7

Referensi

Dokumen terkait

thanks for My Lovely Kamaluddin Siregar,SE serta seluruh keluargaku tersayang yang memberikan semangat dan dorongan secara material dan moril dalam menyelesaikan pendidikan

Hasil penelitian menunjukkan: Preverensi medium dengan konsentrasi spora tertinggi terdapat pada medium serbuk kayu ubi yaitu sebesar 9.913,333 cfu spora B.. Medium

temperatur anil sampai temperatur 400°C tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada ukuran partikel pasta ZnO, dan performansi terbaik dihasilkan pada preparasi pasta dengan

Menurut Sudibyo (1989)dalam Rahmawati (2012), evaluasi pasca huni sebagai kegiatan peninjauan (pengkajian) kembali (evaluasi) terhadap bangunan- bangunan dan atau lingkungan

Subyek dalam penelitian ini adalah mahasiswi fakultas psikologi di lingkungan Universitas Islam Negeri Malang mulai dari angkatan 2011- 2014 yang pernah melakukan

Ditinjau dari segi materi, hasil penelitian menyatakan bahwa materi modul S1 PGPAUD sangat berkualitas dibuktikan dengan hasil angket yang menyatakan setuju dan sangat

Berdasarkan hal tersebut, mendorong penelitian pada usaha industri kerajinan kayu hitam “Krisna karya” di Kota Palu, dengan menggunakan alat analisis rentabilitas,