• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

9 PEMBAHASAN UMUM Diskursus Pengelolaan Sumber Daya Air

10 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

1. Ruang publik tata kelola SDA dapat dikatagorisasikan menjadi katagori ruang publik makro, ruang publik meso, dan ruang publik mikro. Ruang publik makro meliputi suara warga di tingkat nasional terkait isu-isu nasional, ruang publik meso di tingkat daerah menyangkut isu-isu daerah seperti privatisasi PDAM, pemberian ijin pengusahaan air oleh swasta, dan ruang publik mikro yang meliputi suara warga di kelompok/organsiasi atau tingkat desa atau kecamatan yang meliputi isu-isu kepentingan kelompok, air irigasi, air perikanan, pembagian keuntungan pengusahaan air oleh swasta.

2. Pelibatan masyarakat sipil dalam penyusunan RUU SDA sudah dilakukan tapi masih sebatas konsultatif yang belum mencerminkan demokrasi deliberatif. Ruang publik yang terbuka menjadi kesempatan bagi warga untuk berpartispasi dalam pengambilan keputusan publik.

3. Diskursus tata kelola SDA yang terjadi memenuhi persyaratan diskursus ruang publik Habermas yang plural, tanpa tekanan, dan rasional. Tipologi organisasi gerakan sosial penentang UU SDA berkatagorikan sebagai professional pressure group yang bergerak secara horisontal melakukan tekanan terhadap penguasa. Suara dari ruang publik telah menjadi pengeras suara warga dan mampu mempengaruhi proses penyusunan meski belum mampu memberikan perubahan karena terhalang oleh kekuasaan.

4. Ruang publik diskursus pengelolaan sumber daya air memperlihatkan optimisme lahirnya kesempatan politik yang besar bagi warga untuk menyuarakan kepentingannya. Diskusi publik dan opini yang berkembang di ranah warga diperbesar dengan suara kepentingan bersama melalui berbagai saluran media. Meskipun kekuasaan komunikasi (communicative power) dari warga telah mempengaruhi para aktor pengambil kebijakan tetapi belum mampu merubah kebijakan publik. Jika mengacu pada ruang publik Habermas yang berguna untuk memperkeras suara warga sehingga mempengaruhi struktur politik, khususnya lembaga legislatif sebagai pembuat peraturan perundang-undangan maka hal ini sudah tercapai.

5. Identitas para pendukung UU SDA adalah liberalis, kapitalis, environmentalis. Liberalis karena mendukung pengurangan peran negara, kapitalis karena cenderung untuk melakukan komodifikasi air/ sumber daya air, dan environmentalis karena berupaya mengurangi penggunaan air yang boros dan ceroboh dengan intrumen harga air.

6. Identitas penolak UU SDA adalah nasionalis-pembela hak asasi manusia. Nasionalis karena tidak menginginkan sumber daya air dikuasai oleh swasta/asing, pembela hak asasi manusia karena memperjuangkan terpenuhinya akses atas air, dan environmentalis karena menjaga sumber daya air tetap lestari terhindarvdari upaya eksploitasi oleh swasta.

7. Privatisasi SDA di Indonesia tidak terlepas dari agenda global reformasi tata kelola air untuk membuat pasar air dunia yang dilakukan melalui kampanye jaringan organisasi internasional dan bantuan asing yang memiliki syarat perubahan struktural. UU SDA termasuk dalam perintah SAPs (Structural

Adjustment Program) sebagai persyaratan bantuan WATSAL yang ditawarkan Bank Dunia dan IMF.

8. Ruang publik tata kelola SDA masih terbatas pada didengar suaranya oleh struktur politik. Sebatas didengar karena keputusan akhir berada di tangan DPR atau pemerintah sehingga warga tetap tertinggal di belakang. Hasil ini seperti penelitian Sarwoprasodjo (2007) yang melihat ruang publik tandingan hanya mampu mencapai konsensus di kelompoknya sendiri tetapi di ruang publik rembuk warga tidak terjadi konsensus (terfragmentasi). Ruang publik warga tidak mampu membuat kekuasaan legislatif (DPR/DPRD dan pemerintah) membuat peraturan yang sesuai dengan kehendak publik (warga yang berkepentingan).

9. Suara warga di ruang publik yang terganjal oleh kekuasaan legislatif dan kekuasaan administratif dilawan dengan terobosan menuju kekuasaan yudikatif. Lewat pengadilan yang bebas dari kekuasaan inilah suara warga dari ruang publik menjadi lebih solid.

10.Pengadilan memberikan kesempatan perdebatan argumen yang rasional, tanpa tekanan dan setara (egaliter). Perdebatan di pengadilan yang rasional memberikan kesempatan untuk saling merefleksikan diri terhadap argumen masing-masing pihak. Argumen terbaik dapat menjadi pemenang dalam diskursus tata kelola SDA.

11.Komunikasi tanpa distorsi, seperti yang terjadi di persidangan MK, menjamin lahirnya rasionalitas, argumentasi terbaik dapat diandalkan untuk menantang kekuasaan yang menindas dan ideologi yang hegemonik.

12.Diskursus tata kelola SDA telah berhasil meraih konsensus (lewat putusan Mahkamah) dan mampu memberikan keadilan sosial. Meskipun konsensus bukan merupakan kesepakatan kedua beah pihak yang bertentangan tetapi diputuskan oleh mejelis hakim tetapi keputusan ditimbang berdasarkan argumentasi-argumentasi kedua belah pihak yang berlandaskan pada kebenaran dan fakta.

13.Keterlibatan warga pada wilayah negara yang langsung memiliki peran dalam proses pengambilan keputusan kebijakan adalah melalui jalur persidangan seperti di Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung dalam pengujian peraturan perundang-undangan.

14.Keadilan sosial dapat diraih melalui komunikasi yang egaliter, terbuka, bebas dan tanpa tekanan dalam hal ini diskursus yang rasional dalam pemberdayaan warga dapat menjadi harapan bagi partisipasi warga di bidang komunikasi pembangunan dan komunikasi lingkungan.

Saran

1. Ruang publik demokratis yang memenuhi aspek situasi pembicaraan ideal (ideal speech situation) dapat terjadi pada ruang publik mikro khususnya di organisasi/kelompok. Rung publik meso dan makro akan sulit mendapatkan situasi pembicaraan ideal karena banyak batasan terkait masalah akses, otoritas, dan hal teknis. Untuk itu perlu ada ruang publik online yang memberikan kesempatan terbuka bagi siapa saja untuk terlibat tanpa hambatan.

2. Kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam suatu diskursus sering tidak menemukan konsensus, khususnya pada pengambilan kebijakan publik di

lembaga legislatif karena unsur kompromis. Untuk itu kepentingan warga yang terganjal oleh kompromi politik para elit penguasa dan pengusaha harus diteruskan dengan tuntutan hukum di pengadilan.

3. Adanya legitimasi dari warga akan meningkatan kekuatan negara untuk membangun karena rakyat mau diperintah oleh aturan yang mereka inginkan dan setujui bersama. Untuk mencapai hal itu, kebebasan memperoleh informasi yang dijamin oleh undang-undang harus didukung pula oleh kebebasan untuk menyampaikan opini publik langsung ke lembaga kekuasaan negara. Media massa mungkin sudah menjadi pengeras suara bagi publik tetapi model saringan seperti itu kurang efektif. Mengingat banyak sekali isu- isu yang beredar di publik yang multikultural dan komplek ini maka perlu dibuat kanalisasi semacam sistem opini publik online yang dikelola oleh masing-masing cabang kekuasaan itu. Khusus untuk kekuasaan eksekutif/administratif perlu dibuat di masing-masing departemen atau dinas. Sehingga suara publik dapat diarahkan langsung pada pemegang kekuasaan yang dituju sehinga mendapat respon lebih cepat. Situs online semacam ini kemungkinan akan membantu proses deliberasi di negara Indonesia.

4. Prasyarat dalam melakukan deliberasi baik langsung maupun online adalah kedewasaan dalam berkomunikasi, istilah yang digunakan Habermas adalah kompetensi komunikasi. Kompetensi komunikasi berarti kemampuan untuk menggunakan bahasa sesuai dengan tempat dan konteksnya serta menggunakan dan memahami bahasa untuk mendapatkan pemahaman intersubjektif. Hal ini penting mengingat komunikasi dalam ruang publik demokratis harus membawa kepada pemahaman bersama untuk mendapatkan konsensus yang terbaik dan adil bagi kehidupan mereka sendiri.

5. Peneliti menyarankan adanya komunikasi dialogis-reflektif sebagai bentuk komunikasi bebas distorsi agar dapat menghasilkan konsensus bersama. komunikasi dialogis-reflektif adalah komunikasi partisipasi dengan variasi khusus. Yaitu komunikasi dua arah dengan saling menggunakan argumentasi rasional. Dialogis-Reflektif disini berarti saling berusaha untuk memberikan pemahaman tetapi tidak memaksa bahkan mencoba memahami argumentasi pihak lain dengan rasional dan tulus. Komunikasi dialogis-reflektif ini kemungkinan mampu membuat konsensus dalam diskursus menjadi lebih mudah tercapai sehingga aspek keadilan sosial dapat terwujud.

6. Penelitian lebih lanjut terkait dengan diskursus ruang publik dapat dilakukan pada skala mikro dengan memperhtikan pada tipe gerakan organisasi warga daam kaitannya dengan kebijakan publik, khususnya pada aspek gugatan di pengadilan.

Implikasi Teoritis

Penelitian ini secara teoritis memperlihatkan bahwa kemampuan komunikasi warga, khususnya para penolak UU SDA, sudah tinggi. Kemampuan komunikasi ini dibuktikan dengan banyaknya argumentasi yang tersebar di berbagai media komunikasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia memiliki kemampuan yang baik dalam komunikasi publik.

Penelitian ini juga memperlihatkan bahwa ruang publik hanya mampu memperkeras suara warga tetapi belum mampu mengubah keputusan pemegang kekuasaan publik. Memang peneliti menyadari bahwa ada kasus dimana suara

ruang publik mampu mempengaruhi dan mengubah kebijakan publik secara langsung. Tetapi kasus-kasus ini biasanya tidak terlalu banyak karena isu yang diangkat biasanya adalah isu anti korupsi yang memang hari ini menjadi perhatian utama rakyat Indonesia. Selain itu isu korupsi memang menjadi isu yang menguntungkan para pengusaha yang akan lebih mudah dan murah dalam menjalankan bisnisnya. Sehingga kepentingannya dalam isu korupsi adalah murni warga dan penguasa negara tanpa melibatkan kepentingan pengusaha secara langsung.

Peneliti menemukan terobosan bagi suara ruang publik yang terganjal oleh kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif dengan memasukkan suara warga langsung ke kekuasaan yudikatif. Kekuasaan kehakiman yang merdeka bebas dari kekuasaan eksekutif dan legislatif menjadi pilihan yang tepat karena pengadilan yang adil akan mempertimbangkan seluruh argumentasi secara rasional. Dengan demikian pengadilan akan mampu membuat keputusan (konsensus) yang terbaik yaitu adil bagi semuanya. Sehingga keadilan sosial dapat terwujud.

Dari hasil penelitian ini dapat disusun kontribusi untuk teori diskursus Habermas. Jika dalam teori diskursus Habermas dinyatakan konsensus dapat dihasilkan sebuah perdebatan rasional yang bebas dan tanpa tekanan tidak terjadi pada diskursus yang melibatkan warga dan pemerintah/swasta. Menurut penulis, diskursus yang mampu menghasilkan konsensus hanya pada komunitas yang seragam (memiliki latar belakang dunia-kehidupan yang sama). Diskursus para pihak yang memiliki latar belakang dunia-kehidupan berbeda sulit terjadi terlebih pada perbenturan kepentingan warga dan negara/swasta. Oleh karenanya peneliti melihat bahwa jalur hukum bisa menjadi jalan keluar dari diskursus Habermas jika mengalami kebuntuan pada wilayah politik. Sehingga diskursus tidak berhenti pada ruang publik tetapi diteruskan ke ruang pengadilan untuk mendapatkan keadilan sosial.

Implikasi Kebijakan

Masyarakat Indonesia yang semakin cerdas dan kehidupan politik yang semakin demokratis membutuhkan penanganan yang semakin dewasa terhadap persoalan-persoalan kewarganegaraan. Kepentingan warga yang beragam bahkan saling tumpang tindih memerlukan pengelolaan yang baik. Di level warga sendiri harus ditumbuhkan solidaritas yang berakar pada kehidupan budayanya sendiri. Warga yang memiliki kepentingan yang beragam tersebut harus memampukan diri untuk saling berbagi argumen sekaligus menerima argumen piak lain. Termasuk argumen dari kepentingan pasar atau swasta dan juga kepentingan negara.

Melalui pendekatan komunikasi partisipasi dengan varian dialogis-reflektif sebagai bentuk komunikasi bebas distorsi diharapkan dapat menghasilkan konsensus bersama. Komunikasi dialogis-reflektif sebagai komunikasi dua arah dengan saling menggunakan argumentasi rasional berusaha untuk memberikan pemahaman tetapi tidak memaksa bahkan mencoba memahami argumentasi pihak lain dengan rasional dan tulus. Komunikasi dialogis-reflektif ini kemungkinan mampu membuat konsensus dalam diskursus menjadi lebih mudah tercapai sehingga aspek keadilan sosial dapat terwujud melalui sarana teknologi informasi. Sebuah forum warga yang terbuka, bebas, dan non diskriminasi perlu dibangun secara bersama oleh warga sendiri dengan dukungan dari

negara/pemerintah. Forum warga dapat berupa pertemuan komunikasi secara fisik maupun secara virtual. Penggunaan forum warga virtual akan menjadi kelebihan saat ini dengan kemudahan teknologi informasi. Pemerintah dapat menginisiasi pembangunan forum warga online.

Aplikasi berbasis web internet yang memiliki fungsi forum suara warga (e- citizen voice forum) memiliki kemampuan untuk menjaring warga berpartisipasi dalam suatu topik pembahasan peraturan perundang-undangan. Partisipasi warga secara elektronik ini dapat mengurangi biaya penyelenggara dan partisipan. Seperti yang dikemukanan Carpini, Cook, & Jacobs (2004), kelebihan online adalah fleksibilitas bagi semua individu partisipan, banyak waktu untuk memusyawarahkan isu-isu baru, memiliki skala yang luas karena tidak tergantung wilayah.