• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONTEKS MAKRO PRIVATISASI SDA Konteks Sosial Politik Global

7 DISKURSUS PRIVATISASI SUMBER DAYA AIR DI INDONESIA

KONTEKS MAKRO PRIVATISASI SDA Konteks Sosial Politik Global

Privatisasi air tidak bisa dilepaskan dari paradigma baru yang memandang air sebagai barang ekonomi. Paradigma ini ditegaskan dalam kesepakatan Konferensi Internasional tentang Air dan Lingkungan di Dublin pada 1992 yang dikenal dengan Prinsip Dublin, yang terdiri dair 4 (empat) butir. Butir pertama

menyebutkan bahwa, ―Air tawar (fresh water) merupakan sumber daya alam yang bersifat terbatas (finite) dan rawan atau mudah tercemari (vulnerable), yang

amat pokok bagi keberlangsungan kehidupan, pembangunan dan lingkungan‖. Butir keempat menyebutkan, ―Air mempunyai nilai ekonomis bagi semua

penggunanya yang bersaing dan selayaknya diperlakukan sebagai benda ekonomi (economic goods)‖.

Paradigma air sebagai barang ekonomi mendorong lahirnya komodifikasi air. Air mulai diperdagangkan sesuai harga keekonomiannya. Lewat GATT (General Agreement on Trade and Tariffs) yang dibentuk oleh Bank Dunia dan IMF dan pendirian WTO (World Trade Organisation) pada tahun 1995 perdagangan barang internasional diatur. WTO kemudian melakukan pengaturan layanan/jasa internasional lewat kesepakatan perdagangan jasa GATS (General

Agreement on Trade in Services) dengan menginstitusionalisasi privatisasi. GATS memromsikan perdagangan bebas dalam sektor layanan, termasuk air, bahan pangan, lingkungan, kesehatan, pendidikan, riset, komunikasi, dan transportasi (Shiva 2002).

Privatisasi berawal dari kebijakan Partai Konservatif Inggris tahun 1979 yang melakukan pengendalian persediaan uang, mengurangi pengeluaran publik dan memotong pajak. Meskipun tidak secara jelas menggambarkan tentang privatisasi, tetapi manifesto tersebut berjanji menjual kembali kepada swasta (privat) yang sebelumnya dinasionalisasi seperti perusahaan pesawat luar angkasa dan pembuatan kapal, dan memberikan kesempatan kepada para karyawannya untuk membeli saham perusahaan, serta menjual saham perusahaan angkutan nasional untuk masyarakat umum. Kebijakan inilah yang disebut dengan privatisasi.

Antara tahun 1980 hingga 1988 lebih dari 40 persen perusahaan negara Inggris dialihkan menjadi perusahaan swasta. Salah satunya adalah perusahaan telekomunikasi milik negara Britih Telecom (BT) diprivatisasi pada November 1984. Sebanyak lebih dari 50,2 persen saham BT terjual ke publik dengan total penjualan 3.196 juta poundsterling dan dengan 96 persen saham dimiliki oleh karyawan BT. Meskipun dilakukan privatisasi, tetapi melalui mekanisme golden share masih memberikan pemerintah kewenangan dengan dimilikinya hak veto terhadap suatu keputusan yang diambil oleh suatu perusahaan negara yang sudah diprivatisasi bila dipandang justru akan menimbulkan kerugian rakyat.

Kebijakan partai konservatif dengan ketua partainya Margaret Thatcher merupakan kebijakan ekonomi neo-liberal. Sebagai Perdana Menteri Inggris sejak 1979, Thatcher mengurangi peran negara, dan mengurangi pinjaman untuk sektor publik serendah mungkin Lobina dan Hall (2001). Partai Konservatif Inggris saat itu dapat disebut sebagai golongan The New Right yang meyakini pasar sebagai jalan terbaik untuk mengatur aktivitas ekonomi sejak itu menyediakan batasan finansial dan insentif yang mengurangi kemubaziran dan ketidakefisienan.

Privatisasi di Inggris yang juga dilakukan Amerika diperkuat dengan adanya Konsensus Washington (Washington Consensus). Istilah yang dimunculkan ekonom Amerika John Wiliamson pada tahun 1989. Konsensus Washington ini didasarkan pada upaya stabilisasi ekonomi lewat jalur kebijakan penyesuaian struktural (structural adjustment) yang direkomendasikan oleh organisasi Bretton Woods (IMF dan Bank Dunia) dan pengambil kebijakan ekonomi pemerintah AS. Konsensus Washington menekankan kepada pembuatan kebijakan finansial dan makro ekonomi yang hati-hati (prudent), nilai tukar mata uang yang kompetitif, liberalisasi sektor keuangan dan perdagangan, privatisasi, dan deregulasi. Kebijakan-kebijakan ini secara implisit mengajak pemerintah/negara ―menahan

diri‖ untuk tidak turut campur langsung dalam kegiatan ekonomi, melainkan justru lebih memfokuskan kepada kebijakan moneter, menjamin hak kepemilikan (property rights), dan menyiapkan infrastruktur pendidikan dasar dan kesehatan (Yustika, 2004).

Keinginan pemerintah Thatcher untuk memprivatisasi air sejak 1984 baru berhasil setelah kemenangan pemilu 1987 dan segera setelah itu mengesahkan Water Act pada 1989. Dengan alasan untuk untuk memenuhi standar kualitas air minum dan pengolahan limbah sesuai standar mutu masyarakat Eropa (EU) kebijakan tentang pengaturan air dimasukkan dalam Water Act 1989. Dalam UU

ini kewajiban pemeteran air dilakukan untuk menghitung biaya dan keuntungan dari pengenaan unit beban untuk pemakai air domestik yang sebelumnya tidak dilakukan pemeteran dan hanya dilihat dari hak milik kena-pajak bukan berdasarkan kuantitas pemakaian.

Dengan Water Act 1989 dibentuk badan pengatur industri air privat, yaitu Drinking Water Inspectorate untuk regulasi air minum, National Rivers Authority untuk mengatur regulasi pembuangan air limbah, dan Office of Water Service (OFWAT) untuk regulasi ekonomi. Melalui OFWAT ijin diberikan kepada perusahaan privat air untuk melakukan bisnis pasokan air dan pengolahan limbah selama 25 tahun. Privatisasi air di Inggris sebenarnya bukan yang pertama karena di Perancis sudah dilakukan pada 1980.

Melalui Water Act 1989 ini perusahaan swasta yang baru berdiri menjadi pemilik baru sistem air dan barang-bangunan milik regional water authorities (RWAs – semacam PDAM). Sejak UU Air ada, sebanyak 10 RWA dijual sahamnya melalui pasar modal dengan harga diskon. Cara ini menjadi mungkin karena industri air terkonsentrasi di dalam tangan RWA. Undang-undang ini memberikan konsesi untuk sanitasi dan penyediaan air selama 25 tahun. 10 (sepuluh) perusahaan air dan pengolahan limbah regional yang dibentuk pada 1989 adalah Anglian Water, Dwr Cymru (Welsh Water), North West Water, Northumbrian Water, Severn Trent Water, Southern Water, South West Water, Thames Water, Wessex Water, dan Yorkshire Water.

Reformasi tata kelola air yang dianjurkan oleh Bank Dunia tidak terlepas dari agenda global tersebut. Menurut perkiraan Bank Dunia potensi pasar air mencapai 1 triliun dollar AS. Pasar air terkait dengan kedudukan air sebagai private goods dan toll goods. Savas membedakan private goods dengan common- pool goods, dan toll goods dengan collective goods. Air yang sebelumnya adalah common-pool goods yang dimiliki bersama (community property) dapat diakses dan dinikmati bersama oleh semua orang ketika diprivatisasi menjadi private goods karena air dan sumber airnya telah dimiliki oleh seseorang atau perusahaan swasta saja (private property right) seperti sumber air yang dimiliki perusahaan AMDK. Mereka yang akan menikmati air tersebut harus mengeluarkan biaya karena pemilik air mengeluarkan biaya untuk proses dan distribusinya. PDAM yang menyediakan air minum jaringan perpipaan untuk warga masyarakat adalah penyedia toll goods air minum. Setelah diprivatisasi saja (private property) maka harga air minum jaringan perpipaan menjadi lebih mahal. Masyarakat akan terbatasi penggunaan air minumnya ketika harga air naik lebih tinggi yang tidak terjangkau dengan pendapatannya.

Keterkaitan pasar air atau perdagangan air dengan hak kepemilikan (property right) sangat kental. Tidak mungkin ada perdagangan air jika air masih dianggap sebagai miliki bersama (common resources) dan dapat dimanfaatkan sebagai common-pool goods yang bebas diakses dan gratis. Air yang dibuat menjadi barang ekonomi (economic goods) adalah jalan bagi lahirnya hak atas air (water rights) yaitu kepemilikan air atau sumber daya air oleh swasta. Maka air sebagai barang ekonomi dapat diperjualbelikan (komodifikasi) pada mereka yang bersedia membayar dengan harga tertinggi.

Bank Dunia menyebut tradeable water rights dan water management policy untuk melancarkan perdagangan air dunia. Untuk itu diperlukan legalitas perdagangan air di suatu negara yang memberikan kewenangan penetapan harga

air atas dasar keekonomiannya. Adanya legalitas ini juga akan memberikan rasa aman bagi pengusaha yang akan berinvestasi pada sektor sumber daya air. Seperti juga keyakinan Panel Camdessus (WWC 2003) bahwa kerangka hukum dan kebijakan adalah prakondisi yang dibutuhkan untuk menarik pembiayaan komersial atau investasi swasta lebih banyak. Dalam dokumen Panel Camdessus juga dinyataakan bahwa kerangka hukum menjadi syarat dalam hak dan kewajiban untuk mendapatkan pinjaman.

Pilihan strategi dibuat oleh Bank Dunia (2004) bagi negara-negara yang ingin bermitra dengannya dalam membangun dan mengelola sumber daya air untuk meningatkan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Beberapa strategi yang ditawarkan antara lain: (1) untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan SDA, memastikan peningkatan manfaat lintas sektor dengan memperhitungkan kepentingan beragam pemangku kepentingan (termasuk warga miskin); (2) untuk menambah perhatian pada alokasi air, manajemen kebutuhan, hak air dan menggunakan harga dan instrumen ekonomi lainnya; (3) untuk meningkatkan keuntungan dari infrastruktur yang ada dan membangun institusi dan mengatur pembiayaaan untuk perbaikan dan perawatan berkelanjutan.

Panel Camdessus dibentuk pada 2000 oleh GWP (Global Water Partnership), WWC (World Water Council), dan pertemuan WWF (World Water Forum) ketiga di Kyoto untuk mencari jalan baru bagi pembiayaan sumber daya air. Panel semacam ini pada 2014 juga dibentuk oleh WWC dan OECD dengan nama High Level Panel on Financing Water Infrastructure for a Water Secure World. Mereka percaya air adalah salah satu isu penting di dunia saat ini. Infrastruktur air harus dibiayai oleh tiga pihak yaitu pegguna air lewat pejabat penyedia jasa air, pembayar pajak, atau bantuan lembaga donor seperti perusahaan swasta, NGO atau komunitas lokal, bank lokal, bank Internasional, bantuan internasional dari lembaga bantuan multilateral dan bilateral, dana jasa lingkungan dan pajak air, atau dari APBN dan APBD (WWC 2003).

Menurut Nasution (2009) keberhasilan Bank Dunia dalam kasus privatisasi di Indonesia karena dimilikinya dua struktur kekuasaan dan sekaligus menjadi instrument penting. Dua instrumen itu adalah pertama, struktur pengetahuan (knowledge structure) dan kedua, struktur keuangan (finance structure). Struktur pengetahuan diimplementasikan dalam water supply project sedangkan struktur keuangan diimplementasikan dalam bentuk WATSAL.

Konteks Sosial Politik Privatisasi SDA di Indonesia

Komodifikasi dan privatisasi air dianggap sebagai solusi efektif mengatasi makin minimnya ketersediaan air, sehingga pemakaian air yang tidak terbatas dapat dikendalikan dengan hak air.

Privatisasi atau dalam bahasa Bank Dunia lebih sering disebut public-privat partnership (PPP) dalam bahasa Indonesia diartikan dengan Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) atau Kemitraan Publik-Swasta. Istilah lain yang digunakan seperti public-privat initiatives dan privat-sector participation. Menurut Shiva (2002) label itu menyembunyikan fakta bahwa kesepakatan kemitraan publik-swasta biasanya mendorong pembiayaan ongkos privatisasi barang publik (public goods) dengan dana-dana publik.

Sebagai pelayan publik pemerintah dianggap tidak dapat melayani kebutuhan suplai dan distribusi air bersih yang terus meningkat. Komodifikasi dan privatisasi air dianggap sebagai solusi efektif mengatasi makin minimnya ketersediaan air, sehingga pemakaian air yang tidak terbatas dapat dikendalikan dengan hak air. Kerjasama pemerintah/negara sebagai pemegang hak penguasaan atas air dengan sektor privat yang efisien dan efektif dipandang dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas suplai air bersih kepada masyarakat.

Saat Indonesia dilanda krisis keuangan 1998, Bank Dunia menawarkan Water Resources Sector Adjustment Loan (WATSAL) untuk reformasi tata kelola air di Indonesia dengan melakukan Water Resources Sector Adjustment Program (WATSAP) yang salah satu targetnya adalah mengganti UU Pengairan dengan UU tata kelola air baru yang lebih membuka peran masyarakat (swasta). Pendekatan structural adjustment programs (SAPs) ini dilakukan untuk melakukan penyesuaian struktural ekonomi untuk mereformasi ekonomi negara yang mengalami ketidakseimbangan. WATSAL didukung oleh IMF yang membantu Indonesia keluar dari krisis ekonomi yang menjerat kawasan Asia sejak 1997 melalui kesepakatan paket reformasi ekonomi yang ditetapkan melalui beberapa LoI (Letter of Intent).

SAP adalah program perubahan kebijakan yang diterapkan oleh IMF dan Bank Dunia di negara-negara berkembang. Menurut James Greenberg, perubahan kondisi ini adalah kondisi (persyaratan) untuk mendapatkan pinjaman baru dari IMF atau Bank Dunia, atau untuk memperoleh suku bunga yang lebih rendah atas pinjaman yang ada. Persyaratan ditetapkan untuk memastikan bahwa uang yang dipinjamkan akan digunakan sesuai dengan tujuan dari keseluruhan pinjaman. SAP dibuat dengan tujuan mengurangi ketidakseimbangan fiskal negara peminjam itu. Bank dari negara peminjam menerima besar pinjaman tergantung dari jenis kebutuhan. SAP membuat perekonomian negara-negara berkembang untuk menjadi lebih berorientasi pasar. Hal ini kemudian memaksa mereka untuk lebih berkonsentrasi pada perdagangan dan produksi sehingga dapat meningkatkan perekonomian mereka. Dengan persyaratannya, SAP umumnya menerapkan program pasar bebas. Program ini termasuk perubahan internal (terutama privatisasi dan deregulasi) maupun perubahan eksternal, terutama pengurangan hambatan dalam perdagangan. Negara-negara yang gagal untuk menetapkan program-program ini dapat dikenakan disiplin fiskal yang berat (Nugraha 2010).

Program penyesuaian struktural yang dilakukan oleh Bank Dunia dan didukung oleh IMF adalah untuk mereformasi ekonomi negara-negara yang dilanda krisis. Ada perbedaan tugas antara Bank Dunia dan IMF dalam menangani suatu negara. Menurut Joseph Stiglitz (2002) dalam Yustika (2011), fungsi IMF dibatasi pada urusan ekonomi makro yang diantaranya lebih banyak bersinggungan dengan aspek defisit anggaran pemerintah kebijakan moneter, inflasi, defisit perdagangan, dan utang luar negeri. Sedangkan Bank Dunia lebih banyak beruurusan dengan isu-isu struktural, seperti bagaimana pemerintah harus mengalokasikan anggarannya, kelembagaan keuangan negara, pasar tenaga kerja, dan kebijakan perdagangan. .

Bantuan Bank Dunia dalam skema WATSAL (Water Resources Sector Adjustment Loan) ditandatangani pada tanggal 28 Mei 1999. Dokumen Bappenas memperlihatkan surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/

Kepala BAPPENAS, Boediono kepada Presiden Bank Dunia, James D. Woltenson, tanggal 21 April 1999 menyebutkan WATSAL adalah bagian integral dari reformasi makro ekonomi dan upaya memperbaiki neraca pembayaran (Kartodiharjo dan Jhamtani 2006).

Dalam penilaian lingkungan (environmental assesment) sebelum bantuan WATSAL diberikan, World Bank (2000) memberikan agenda perbaikan mengikuti tipe masalah yang berhubungan dengan kinerja yang buruk di sektor air. Kinerja yang buruk itu adalah :

1. Kurangnya koordinasi antar badan pemerintah dan buruknya akuntabilitas, transparansi dan partisipasi pemangku kepentingan dalam pegelolaan sumber daya air;

2. Ketidakefisienan fiskal dam ketidakmampuan pembiayaan perbaikan; 3. Meningkatnya kekurangan air dan konfik air;

4. Meningkatnya dampak merugikan dari polusi air;

5. Sungai, waduk, dan tempat aliran air yang mengalami penurunan dan sendimentasi;

6. Kebutuhan untuk badan pengelola sungai dan danau dan kelembagaannya;

7. Perawatan yang tidak efektif dari sistem irigasi publik dan pembiayaan yang tidak berkelanjutan dari rehabilitasi berkala; dan

8. Kurangnya data hidrologi yang diapat dipercaya dan kurangny data kualitas air.

Dalam dokumen Operational Policy 4.01 Bank Dunia (2000), WATSAL mengajukan syarat perubahan terhadap 10 (sepuluh) isu kebijakan, yaitu:

1. Pendirian dewan air nasional atau badan koordinasi di level Menteri (badan tertinggi);

2. Sebuah kebijakan sumber daya air nasional dan perlunya undang- undang, peraturan pemerintah da instrumen administrasi lainnya yang dibutukan untuk implementasi kebijakan;

3. Memperbaiki Otorita Jatiluhur dan pendirian 4 (empat) badan pengelolan sungai dan danau baru yang mandiri secara keuangan;

4. Pendirian Komite Koordinasi air danau, Komite Koordinasi sumber daya air tingkat provinsi, dan unit hidrologi dalam aliran air danau dan sungai penting sekurangnya di 8 (delapan) provinsi

5. Perwakilan pemangku kepentingan di dalam Komite Koordinasi sumber daya air tingkat provinsi

6. Pembangunan kerangka kerja peraturan yang lebih baik dan penggunaan insentif fiskal untuk mengurangi polusi air dan reservoir dari limbah indutri pertambangan dan wilayah perkotaan;

7. Pembuatan sebuah sistem hak guna air (water use right) untuk alokasi air dan meningkatkan sistem perijinan penghentian air limbah untuk memudahkan pengelolaan kualitas air;

8. Pendirian institusionalisasi dam kerangka fiskal yang memampukan P3A (Perkumpulan Petani Pemakai Air – Water User Associations) untuk mengatur dirnya sendiri dan pendirian Federasi P3A (WUAs Federation) untuk menjalankan operasional dan perawatan saluran irigasi sekunder;

9. Memperbaiki administrasi irigasi nasional dan lokal untuk melayani P3A dan mendirikan sistem berbasis kebutuhan dan pembiayaan perbaikan saluran irigasi; dan

10.Membangun sebuah sistem informasi manajemen pengelolaan sumber daya air nasional dan data base sumber daya air.

KONTEKS MESO PRIVATISASI SDA