• Tidak ada hasil yang ditemukan

3 METODOLOGI PENELITIAN Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunkan paradigma kritis dengan menggunakan teori

kritis Jürgen Habermas. Habermas mengemukakan perubahan dari ―paradigma kesadaran‖, yang menyetujui dualitas Barat atas subjek dan objek, ke ―paradigma komunikasi‖. Paradigma komunikasi ini mengkonseptualisasikan pengetahuan

dan praktik sosial bukan dalam hal dualitas antara subjek dan objek namun melalui satu rekonseptualisasi subjek sebagai intersubjektif yang inheren. Subjek intersubjektif ini memiliki kapasitas primer bagi komunikasi, bukan hanya kerja (Agger 2003). Penelitian berparadigma kritis sebagai ilmu empiris yang bersifat filosofis kritis, historis dan juga bersifat praktis emansipatoris (McCharty 2006; Hardt 2007).

Paradigma Penelitian

Paradigma adalah suatu sistem kepercayaan dasar atau pandangan dunia (worldviews) yang membimbing peneliti, tidak hanya dalam memilih metode namun juga dalam menentukan cara-cara fundamental secara ontologis dan epistemologi. Paradigma juga sering disebut dengan epistemologi dan ontologi atau metodologi penelitian yang telah diterima secara luas atau orientasi umum terhadap dunia dan sifat penelitian yang dipegang kukuh oleh peneliti. Suatu paradigma meliputi tiga elemen: epistemologi, ontologi, dan metodologi. Epistemologi mengajukan pertanyaan, Bagaimana kita mengetahui dunia? Hubungan apa yang muncul antara peneliti dengan yang diketahui? Ontologi memunculkan pertanyaan-pertanyaan dasar tentang hakikat realitas. Metodologi memfokuskan diri pada cara kita meraih pengetahuan tentang dunia.

Penelitian ini menggunakan paradigam kritis. Menurut Guba dan Lincoln (2009) dalam paradigma kritis, ontologi adalah realisme historis. Sebuah realitas dianggap bisa dipahami pernah suatu ketika berciri lentur, namun, dari waktu ke waktu, dibentuk oleh serangkaian faktor sosial, politik, budaya, ekonomi, etnik, dan gender, yang kemudian mengkristal (membatu) ke dalam serangkaian struktur

yang saat ini (secara tidak tepat) dipandang sebagai yang ―nyata,‖ yakni, alamiah

dan abadi. Teori kritis Habermas memandang kebenaran (truth) dalam realitas adalah tidak ada, karena setiap pihak meyakini truth-nya sebagai kebenaran mutlak masing-masing. Epistemologi dalam paradigma kritis adalah transaksional dan subjektivis. Peneliti dan objek yang diteliti terhubung secara interaktif, dengan nilai-nilai peneliti (dan nilai ―orang-orang lain‖ yang terposisikan) memengaruhi penelitian secara tak terhindarkan. Oleh karenanya, temuan-temuan penelitian diperantarai oleh nilai. Sikap ini menentang pembedaan tradisional antara ontologi dan epistemologi; sesuatu yang dapat diketahui ternyata terjalin secara erat dengan interaksi antara seorang peneliti tertentu dengan objek atau kelompok tertentu.

Metodologi dalam paradigma kritis dilakukan dengan dialogis dan dialektis. Sifat transaksional penelitian membutuhkan dialog antara peneliti dengan subjek- subjek penelitian; dialog tersebut haruslah berciri dialektis agar dapat mengubah ketidaktahuan dan kesalahpahaman (yakni, menerima struktur-struktur yang diperantarai secara historis sebagai yang tidak dapat diubah) menjadi kesadaran

yang lebih mendalam/matang (yang menyadari bagaimana struktur-struktur dapat diubah dan memahami tindakan apa saja yang diperlukan untuk menghasilkan perubahan. Kesadaran palsu (false conciousness) disadarkan melalui emansipasi yang dalam konteks teori kritis Habermas dilakukan melalui komunikasi.

Teori Kritis melakukan dua macam kritik, pertama, melakukan kritik transendental dengan menemukan syarat-syarat yang memungkinkan pengetahuan dalam diri subjek. Kedua, melakukan kritik imanen dengan menemukan kondisi sosiohistoris dalam konteks tertentu yang memberi pengetahuan manusia. Teori Kritis merupakan Ideologiekritik (kritik ideologi), yaitu suatu refleksi-diri untuk membebaskan pengetahuan manusia bila pengetahuan itu jatuh dan membeku pada salah satu kutub, entah transendental entah empiris. Dalam konteks masyarakat industri maju atau kapitalis lanjut ini Teori Kritis sebagai kritik ideologi mengemban tugas untuk membuka kedok ideologis dari positivisme. Sehingga Teori Kritis membawa misi emansipatoris untuk mengarahkan masyarakat menuju masyarakat yang lebih rasional melalui refleksi diri. Di sini Teori Kritis mendorong praksis hidup politis manusia.

Penelitian ini mengikuti Kemmis dan Wilkinson (1998) dalam Creswell (2010) yang meringkaskan 4 (empat) karakteristik penelitian advokasi atau partisipatoris yang salah satunya adalah penelitian bersifat emansipatoris yang membantu membebaskan manusia dari ketidakadilan-ketidakadilan yang dapat membatasi perkembangan dan determinasi diri. Penelitian advokasi/partisipatoris ini bertujuan untuk menciptakan perdebatan dan diskusi politis untuk menciptakan perubahan.

Lokasi Penelitian

Penelitian ini melihat interaksi antar aktor dalam kaitannya dengan pertarungan opini di ruang publik. Lokasi penelitian studi kasus ini dilakukan di Jakarta khususnya mengamati dan menganalisa perdebatan yang terjadi di ruang sidang Mahkamah Konstitusi pada persidangan peninjauan UU SDA terhadap UUD 1945 yang pertama tahun 2004-2005 dan yang kedua tahun 2013-2015. Penelitian juga melakukan penjelajahan dunia maya internet (situs berita online) yang menyimpan data terkait pengaturan, pengelolaan, dan konflik dalam sumber daya air.

Penelitian juga diarahkan pada sumber-sumber berita dan pendapat di website resmi organisasi yang memiliki konsentrasi pada isu lingkungan khususnya sumber daya air seperti situs web KRuHA (Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, dan situs lainnya.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan strategi penelitian studi kasus. Studi kasus merupakan strategi penelitian di mana di dalamnya peneliti menyelidiki secara cermat suatu program, peristiwa, aktivitas, proses, atau sekelompok individu. Kasus-kasus dibatasi oleh waktu dan aktivitas, dan peneliti mengumpulkan informasi secara lengkap dengan menggunakan berbagai prosedur-prosedur pengumpulan data berdasarkan waktu yang telah ditentukan (Stake 1995 dalam Creswell 2010). Sedangkan Yin (1996) menyatakan definisi studi kasus adalah suatu inkuiri (penyelidikan) empiris yang menyelidiki fenomena di dalam konteks

kehidupan nyata, bilaman batas-batas antara fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas; dan di mana multisumber bukti dimanfaatkan.

Meskipun konsep kasus masih menjadi perdebatan di antara para ahli dan istilah studi masih bersifat ambigu (Kemmis 1980). Studi kasus bisa berarti

―proses mengkaji kasus‖ sekaligus ―hasil dari proses pengkajian‖ tersebut. Stenhouse (1984) mengistilahkan hasil tersebut dengan ―catatan kasus‖, seperti

yang sesekali digunakan, namun praktik penyebutan laporan akhir dengan ―studi

kasus‖ sudah mapan (Denzin dan Lincoln 2009). Peneliti kasus (case researcher) memberikan informasi tentang topik-topik seperti hakekat kasus, latar belakang historis, hubungannya dengan konteks dan kasus-kasus lain, serta informasi tentang para informan yang terlibat dalam penelitian.

Penelitian studi kasus ini menghimpun perhatian pada penelaahan di seputar kejadian pengelolaan sumber daya air di Indonesia (Adelman dalam Nisbet & Watt 1994) memperhatikan keterbingkaian (boundedness) dan pola-pola perilaku sistem (Denzin dan Lincoln 2009) selama kurun waktu tahun 2002 hingga 2015 (Stake 1995 dalam Creswell 2010).

Mendasarkan pada pemikiran Habermas, Wodak merumuskan analisis diskursus yang dikenal dengan discourse-historical approach (DHA). Konsep critique, power, dan ideology menjadi konsep kunci (Wodak 2001; Wodak and Meyer 2009; Reisigl and Wodak 2009; Fochtner 2011). DHA menggunakan pendekatan linguistik yang kuat, hermenutika, semiotika, dan teori argumentasi untuk mengamati lapangan politik dan membangun kerangka kerja konseptual untuk diskursus politik (Wodak and Meyer 2009).

Analisis mikro dilakukan dengan melakukan analisis linguistik kritis dengan fokus pada intertekstualitas, interdiskursivitas, dan metafora dengan unit analisis berupa kalimat yang mengandung tindak tutur. Analisis tingkat meso dilakukan dengan analisa diskursus kritis dan analisa argumentasi yang terkait dengan konteks tuturan. Analisis tingkat makro dilakukan dengan analisis diakronis historis dengan metode hermeneutika kritis untuk mengetahui makna dalam pengelolaan SDA. Metode analisis mengikuti metode discourse-historical approach- DHA Wodak yang menggunakan Habermas‟ Language-Philosophy dalam penyusunan metode DHA (Wodak and Meyer 2009; Forchtner and Tominc 2012). Wodak memandang diskursus (discourse) sebagai bentuk struktur dari pengetahuan dan memori praktik sosial dimana teks merujuk pada ungkapan ucapan langsung atau dokumen tertulis. Konsep critique, power, dan ideology menjadi konsep kunci dalam DHA (Fochtner 2011). DHA menggunakan pendekatan linguistik yang kuat, hermeneutika, semiotika, dan teori argumentasi untuk mengamati politik dan membangun kerangka kerja konseptual untuk diskursus politik (Wodak and Meyer 2009).

Teknik Pengumpulan Data

Data terbagi dalam dokumen dan fenomena. Untuk dokumen yang berisi tentang sejarah, pemikiran, tradisi, budaya, surat pribadi atau organisasi, pernyataan, hasil kesepakatan, keputusan, laporan, dan kebijakan serta peraturan yang telah dikeluarkan menjadi data sekunder dalam penelitian ini. Data sekunder berupa dokumen meliputi peraturan, hasil penelitian, buku, berita di media massa cetak maupun elektronik termasuk data di internet, dan dokumen lainnya. Dokumen-dokumen ini diperoleh dari tempat penyimpanan dokumen tersebut.

Tabel 3.1 Teknik Pengumpulan Data

Teknik Objek Pokok Penelitian Teknik Pengamatan

Observasi Lokasi dan aktor Sejarah dan peristiwa pengamatan Rekaman pernyataan Aktor yang terlibat dalam diskurus pengelolaan SDA persepsi, identitas, keyakinan, Argumentasi, opini, sikap, representasi Penelusuran pernyataan performatif dan konstantif Studi Pustaka/ Dokumen Dokumen, Instansi terkait (pemerintah, Swasta, LSM, lembaga internasional)

Penelusuran ide air sebagai barang publik dan barang privat (peristiwa), sejarah, pemikiran, tradisi, budaya, pernyataan, hasil kesepakatan, keputusan, laporan, hasi penelitian, dan

kebijakan, peraturan, perisitiwa konflik, opini publik, demonstrasi,

Penelusuran peraturan, hasil penelitian, buku, berita di media massa cetak maupun elektronik termasuk data di

internet, dan dokumen lainnya rekaman video, gambar, foto

Data dalam bentuk fenomena berada pada subyek/aktor atau institusi yang diamati merupakan data primer yang dikumpulkan peneliti. Data primer diperoleh melalui teknik observasi dan rekaman pernyataan.

Teknik pengumpulan data pada analisis teks dan diskursus dilakukan dengan mengumpulkan korpus teks berupa dokumen, pendapat, opini, percakapan, perdebatan dengan memperhatikan keterkaitan teks (Titscher et al. 2009; Wooffitt 2005; Goodman 2010) tentang pengelolaan sumber daya air yang terekam secara langsung atau di dalam berita dan opini di media massa dan opini di ruang publik selama kurun waktu 2002-2015. Korpus dalam penelitian ini sebanyak 160 teks yang dibagi menjadi 3 (tiga) sub korpora yaitu berita sebanyak 79 teks, opini berjumlah 30 teks, dan sidang MK sebanyak 51 teks, mengikuti pembagian Baker et al. (2008). Tabel 3.2 menunjukkan data yang digunakan dalam penelitian. Korpus teks ini selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1.

Data dilengkapi dengan dokumen, laporan, keputusan organisasi, hasil pertemuan/konferensi, buku, jurnal, risalah penyusunan RUU SDA, dan peraturan perundang-undangan. Sumber dari internet diutamakan mengingat internet telah memberikan harapan potensi rekonfigurasi debat publik menuju model partisipasi ruang publik (Gerhards and Scäfer 2009).

Penelitian studi kasus ini menghimpun perhatian pada penelaahan di seputar kejadian pengelolaan sumber daya air di Indonesia (Adelman dalam Nisbet & Watt 1994) memperhatikan keterbingkaian (boundedness) dan pola-pola perilaku sistem (Denzin dan Lincoln 2009) selama kurun waktu tahun 2002 hingga 2015 (Stake 1995 dalam Creswell 2010). Lokasi penelitian studi kasus ini dilakukan di Jakarta khususnya mengamati dan menganalisa perdebatan yang terjadi di ruang sidang MK.

Tabel 3.2 Data Korpus Penelitian

No Jenis Teks Tipe Jumlah Teks

1 Berita (79)

Pembahasan RUU 10

Peristiwa selama pelaksanaan UU SDA 59 Peristiwa pasca pembatalan UU 10 2 Opini

(30) Opini selama pembahasan RUU 2

Opini penolakan RUU 10

Opini KruHA 10

Opini pasca pembatalan UU 2

Pers Release organisasi masyarakat sipil 3 3 Persidangan

di MK (51)

Pemohon 1 (2015)

Kuasa hukum pemohon 3 (2005:2; 2015:1)

Pemerintah 5 (2005:3; 2015:2) DPR 2 (2005:1; 2015:1) Ahli pemohon 11 (2005:4; 2015:7) Ahli pemerintah 14 (2005:9; 2015:5) Saksi pemohon 4 (2005) Saksi pemerintah 7 (2005:3; 2015:4) Putusan Hakim/ putusan sidang 2 (2005:1; 2015:1) Opini Hakim yang berbeda

(Dissenting opinion) 1 (2005)

Total 160

Unit Analisis

Dalam filsafat analitik bahasa biasa (the ordinary language philosophy) yang terlebih dahulu diselidiki atau diteliti adalah aspek pragmatiknya ketimbang aspek semantiknya (Mustansyir 2007). Habermas menggunakan analisa tindak- tutur (speech act) dari Searle untuk memahami makna bahasa yang digunakan dalam situasi tertentu (language-games). Tata permainan bahasa (language- games) adalah proses menyeluruh penggunaan kata, termasuk juga pemakaian bahasa yang sederhana sebagai suatu bentuk permainan. Setiap ragam permainan bahasa itu mengandung aturan tertentu yang mencerminkan ciri khas dari corak permainan bahasa yang bersangkutan.

Unit analisis dalam penelitian ini adalah pernyataan yang terdapat dalam teks. Pernyataan dalam bingkai analisis tindak tutur (speech act) dibedakan dalam 2 (dua) jenis. Jenis tuturan/ucapan/pernyataan (utterances) dalam bahasa pergaulan sehari-hari yang pertama adalah ucapan Konstatif (Constative Utterance) sedangkan yang kedua adalah ucapan Performatif (Performative Utterance). Ucapan Konstatif adalah ucapan atau tuturan yang dipergunakan untuk menggambarkan suatu keadaan faktual yang dapat diperiksa benar atau salahnya. Istilah konstantif dipergunakan Austin untuk menggambarkan semua pernyataan yang dapat dinilai benar atau salahnya sehingga dapat ditentukan kandungan maknanya. Ucapan konstantif berarti membuat pernyataan yang isinya mengandung acuan historis atau peristiwa nyata yang menekankan pada objek tuturannya bukan subjek penuturnya.

Tabel 3.3 Pokok Penelitian, Sumber Data, Metode, dan Analisis Data Pokok

Penelitian Sumber Data Metode Penelitian Analisis Data Sejarah

Pengaturan SDA

Peraturan Perundang- undangan

Studi Dokumen Deskriptif, historiografi Pembahasan RUU SDA, UU

SDA

Persidangan MK

Desk studi, analisis diskursus Buku dan dokumen SDA di

Indonesia & internasional

Studi Dokumen Formasi opini

dan aspirasi

Perdebatan di ruang publik, sikap organisasi, opini, makalah, pidato, wawancara, pendapat di sidang MK, DPR, Koran, Majalah, Internet Penelusuran pernyataan, penelusuran arena tindakan, genre, Analisis tindak tutur, ideal speech situation, analisis ruang

publik,demokrasi deliberatif Diskursus Perdebatan di ruang publik,

sikap organisasi, opini, makalah, pidato, wawancara, pendapat di sidang MK, perdebtaan di DPR, Koran, Majalah, Internet Studi dokumen, Penelusuran pernyataan, arena tindakan, genre, Analisis argumentasi, analisis diskursus DHA Wodak

Keadilan Perdebatan di ruang publik, sidang MK, dokumen, UU Studi Dokumen, Penelusuran Wawancara Prinsip Diskursus dan Prinsip Universalisasi Ucapan Performatif adalah ucapan yang tidak dapat dikatakan benar atau salah seperti ucapan konstantif, melainkan laik/patut atau tidak (happy or unhappy) untuk diucapkan oleh seseorang. Ucapan performatif membutuhkan seorang penutur yang berwenang dalam keadaan tertentu. Austin yang meneruskan pemikiran Searle menjelaskan tesis utamanya bahwa ―dalam mengatakan sesuatu, berarti seseorang melakukan sesuatu pula‖. Austin membedakan tindak tutur menjadi tiga jenis, yaitu tindakan lokusi (locutionary act), tindakan Illokusi (illocutionary act), dan tindakan perlokusi (perlocutionary act). Austin memfokuskan pada tindakan Illokusi yang serupa ucapan performatif yang sama-sama menuntut tanggung jawab si penutur untuk melaksanakan tindakan yang sesuai dengan isi tuturan atau isi ucapan (Mustansyir 2007).

Teks data penelitian dikoding untuk mencari tuturan performatif atau illocutionary act dari para aktor yang diamati. Tuturan ini kemudian dianalisa menggunakan metode historis yang kontekstual seperti dilakukan Wodak (2001) dan Reisgl dan Wodak (2009). Untuk mendapatkan konteks dari tuturan-tuturan tersebut dilakukan pengaitan dengan dokumen-dokumen yang ada, baik berupa peraturan perundang-undangan, dokumen organisasi pemerintah atau non pemerintah atau lembaga donor asing. Untuk memperkuat konteks maka dilakukan penelusuran pengetahuan yang diperoleh dari sumber ilmiah berupa buku literatur, jurnal, atau tulisan populer. Berita-berita di media massa dan internet juga dikaitkan untuk memperoleh keandalan data.

Metode Analisis Data

Data yang terkumpul diolah dengan menggunakan pendekatan analisis kualitatif. Analisis data kualitatif merupakan penelusuran terhadap pernyataan- pernyataan tentang hubungan antara berbagai kategori data untuk mengkonstruksi suatu fenomena sosial. Analisis data kualitatif merupakan proses mengatur urutan data dan mengorganisasikannya ke dalam suatu pola kategori dan satuan uraian dasar. Pengkategorian data disesuaikan dengan pertanyaan dan tujuan penelitian agar memudahkan seleksi, deskrispsi, interpretasi dan analitis sebagai bahan konseptualisasi, komparasi, narasi dan konstruksi.

Analisis mikro dilakukan dengan melakukan analisis linguistik kritis dengan fokus pada intertekstualitas, interdiskursivitas, dan metafora. Analisis tingkat meso dilakukan dengan analisa diskursus kritis dan analisa argumentasi yang terkiat dengan konteks tuturan. Analisis tingkat makro dilakukan dengan analisis diakronis historis dengan metode hermeneutika kritis untuk mengetahui makna dalam pengelolaan SDA. Metode analisis mengikuti metode discourse-historical approach- DHA Wodak dengan alasan Habermas‟ Language-Philosophy menjadi dasar bagi penyusunan metode DHA (Wodak and Meyer 2009; Forchtner and Tominc 2012)

Untuk membantu analisis diskursus dilengkapi dengan analisis corpus linguistic seperti dilakukan Mautner (2007) dalam penelitiannya.menggunakan perangkat lunak yang menghasilkan KWIC (keyword-in-context) konkordan, penjumlahan dan penghitungan frekuensi kemunculan. Dalam penelitian ini digunakan perangkat lunak AntConc 3.3.4w yang dibuat oleh Laurence Anthony dari Fakultas Sains dan Teknik Universitas Waseda Japan yang memiliki kemampuan KWIC.

Dalam upaya memperoleh kebenaran ilmiah, data/informasi diuji silang melalui teknik triangulasi metode, triangulasi sumber dan triangulasi teori. Teknik triangulasi biasanya merujuk pada suatu proses pemanfaatan persepsi yang beragam untuk mengklarifikasi makna, memverifikasi kemungkinan pengulangan dari suatu observasi atau interpretasi yang 100% dapat diulang. Denzin (1989) Goertz & LeCompte (1984) dalam Denzin dan Lincoln (2009) menggunakan prosedur-prosedur yang beragam termasuk pengumpulan data hingga mencapai titik jenuh (redundancy of data gathering) dan memperdebatkan prosedur- prosedur penjelasan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan interpretasi.

Validitas dan Reliabilitas Data

Reliabilitas data dilakukan dengan mendokumentasikan prosedur-prosedur studi kasus mereka dan mendokumentasikan sebanyak mungkin langkah-langkah dalam prosedur tersebut dan merancang secara cermat protokol dan database studi kasus Yin (2009).

Validitas didasarkan pada kepastian apakah hasil penelitian sudah akurat dari sudut pandang peneliti, partisipan, atau pembaca secara umum (Creswell & Miller). Strategi validitas yang digunakan adalah:

1. Mentriangulasi (triangulate) sumber-sumber data yang berbeda dengan memeriksa bukti-bukti yang berasal dari sumber-sumber tersebut dan menggunakannya untuk membangun justifikasi tema-tema secara koheren.

2. Membuat deskripsi yang kaya dan padat (rich and thick description) tentang hasil penelitian.

3. Menyajikan informasi ―yang berbeda‘ atau ―negatif‖ (negative or discrepant information) yang dapat memberikan perlawanan pada tema-tema tertentu. Karena kehidupan tercipta dari beragam perspektif yang tidak selalu menyatu, membahas informasi yang berbeda menambah kredibilitas hasil penelitian.

Validitas dalam penelitian kualitatif ini dilakukan dengan pendekatan triangulasi pada empat tingkat, yaitu teks, intertekstual dan interdiskursifitas, konteks, dan konteks sosial-politik (Meyer 2001; Reisigl and Wodak 2009). Konteks dipahami sebagai bersifat sejarah.

Uji reliabilitas (keterandalan) data mengacu kepada tiga aspek, yakni; (1) kemantapan (keajekan), artinya fokus kajiannya setelah dilakukan pengulangan, memberikan hasil yang sama atau jenuh, (2) ketepatan atau akurasi terhadap objek yang diteliti, dan (3) homogenitas, dilihat dari keterkaitan yang tinggi antara unsur-unsur pokok penelitian, dan memberi kontribusi pemahaman yang utuh terhadap masalah yang diteliti.

Gambar 3.1 Kerangka Kerja Penelitian

Dokumen, teks, audio-visual Mulai Penelitian Pengumpulan Dokumentasi Keputusan MK, Koran, laporan, keputusan, catatan pribadi, dll Analisis Dokumen Mencari Ideologi dan Argumentasi para aktor Peta Ideologi dan

Argumentasi Tata kelola SDA di Indonesia

Formasi Opini dan Aspirasi, dan Representasi para aktor

Pemetaan Ideologi dan Argumentasi para aktor/pihak Observasi, dokumen Analisis identitas, Dokumen

Analisis Etika Diskursus, tindakan komunikatif, A. Tindak Tutur, Hermenutika

Kritis, Psikoanalisa Kritis

Diskursus Tata kelola SDA (prinsip diskursus dan prinsip universalitas)

Observasi, Dokumen, audio-visual Analisis Etika Diskursus,

tindakan komunikatif, A. Tindak Tutur