• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONTEKS MESO PRIVATISASI SDA UU Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air

7 DISKURSUS PRIVATISASI SUMBER DAYA AIR DI INDONESIA

KONTEKS MESO PRIVATISASI SDA UU Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air

UU SDA yang disahkan oleh DPR pada 19 Februari 2004 menganut tiga pilar pengelolaan SDA, yaitu fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi. Fungsi air ini memiliki definisi yang sama dengan tata kelola SDA terpadu yang dimiliki Global Water Partnership (GWP). Menurut Suteki (2010) tiga pilar yang seharusnya dilaksanakan terpadu memiliki potensi konflik yang sangat besar karena arah gerakannya ditentukan oleh arah sistem perekonomian nasional.

UU SDA setidaknya memuat dua hal pokok pemikiran mengenai hak atas air. Pertama, UU SDA memperkenalkan Hak Guna Air sebagai implementasi

paradigma ―fungsi sosial dan fungsi ekonomi‖ dari air. Dan kedua fungsi sosial implementasikan dalam Hak Guna Pakai Air (HGPA), sedangkan fungsi ekonomi diimplementasikan alam Hak Guna Usaha Air (HGUA). Meskipun demikian, UU SDA tetap mengaku bahwa air sebagai barang publik yang dikuasai oleh negara.

Dengan instrumen Hak Guna Pakai, UU No.7 Tahun 2004 sudah membatasi bentuk dan jumlah penggunaan air oleh masyarakat bagi kepentingan sehari-hari dan pertanian rakyat. Karena di luar batasan kriteria hak guna itu, maka penggunaan air akan dikategorikan sebagai kepentingan komersial dan dituntut untuk memperoleh izin Hak Guna Usaha.

UU SDA diamanatkan untuk membuat peraturan pelaksanaan berupa peraturan pemerintah (PP) sebanyak 7 PP. Selama kurun waktu 2004 hingga 2014 telah ditetapkan 7 PP yaitu PP No. 16 tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum, PP No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi, PP No. 42 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, PP No. 43 tahun 2008 tentang Air Tanah, PP No. 38 tahun 2011 tentang Sungai, PP No. 73 tahun 2013 tentang Rawa, dan PP No. 69 tahun 2014 tentang Hak Guna Air.

Sejak disahkannya UU SDA, swasta memperoleh hak untuk berpartisipasi. Pengelolaan air oleh swasta menurut UU SDA dapat dilakukan dalam berbagai aspek, antara lain penyelenggaraan sistem penyediaan air minum, pengelolaan sumber-sumber air, dan penyediaan air baku bagi irigasi pertanian.

Kerjasama dalam penyelenggaraan sistem penyediaan air minum di UU SDA diperkuat dengan disahkannya PP No. 16 tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM). Keterlibatan swasta dalam sistem penyediaan air minum diatur dalam Pasal 1 angka 9 UU SDA yang menyatakan:

‖Penyelenggara pengembangan SPAM yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, koperasi, badan usaha swasta, dan/atau kelompok masyarakat yang melakukan penyelenggaraan pengembangan sistem penyediaan air minum.‖

PP SPAM mengatur mengenai full cost recovery dan keterlibatan swasta dalam sistem penyediaan air minum. Pasal 60 ayat (3) secara sangat nyata

menyebut bahwa berdasarkan komponen yang diperhitungkan dalam penentuan besaran tarif air minum, maka harga air minum yang harus dibayar sejak awal sudah pasti merupakan harga komersial atau harga ekonomi. Dalam buku pedoman yang berjudul Water Resources Policy Management, Bank Dunia menyebut tidak kurang dari 41 kali kata cost recovery atau full cost recovery dalam berbagai isu yang dibahas, hal ini menunjukkan Bank Dunia benar-benar memandang penting isu tersebut dan ingin memasukan konsep tersebut ke dalam aturan di setiap negara.

Padahal, Pasal 40 Ayat (2) UU SDA menyatakan, pengembangan sistem penyediaan air minum merupakan tanggung jawab pemerintah/pemerintah daerah (BUMN dan/atau BUMD). Ternyata Pasal 64 mengatur secara lebih detil mengenai peran swasta dalam penyelenggaraan sistem penyediaan air minum tersebut memang telah diatur terlebih dahulu dalam UU SDA. Maka Pasal 40

Ayat (4) merupakan sebuah bentuk swastanisasi ―terselubung‖ seperti terlihat

dalam peraturan pemerintah yang merupakan implementasi Pasal 40 UU SDA. Meskipun keterlibatan swasta di luar area pelayanan pelayanan BUMN/BUMD tetapi peluangnya masih sangat terbuka seperti bunyi Pasal 64 ayat (1) PP SPAM yang menyatakan bahwa, koperasi dan/atau badan usaha swasta dapat berperan serta dalam penyelenggaraan pengembangan SPAM pada daerah, wilayah atau kawasan yang belum terjangkau pelayanan BUMD/BUMN. Yang dimaksud dengan wilayah atau kawasan yang belum terjangkau pelayanan jaringan perpipaan SPAM BUMN/BUMD menurut Permenpu Pedoman SPAM adalah daerah, wilayah atau kawasan yang secara teknis belum terlayani oleh jaringan perpipaan BUMN/BUMD Penyelenggara atau daerah, wilayah atau kawasan yang pengembangan pelayanannya belum termuat dalam rencana kegiatan usaha (business plan) lima tahunan BUMN/BUMD Penyelenggara.

Pasal ini telah memberikan hak keterlibatan swasta dalam penyelenggaraan air minum dapat mencakup seluruh atau sebagian tahapan penyelenggaraan pengembangan. Tafsir ini dibuat lantaran tidak ditetapkan batasan partisipasi swasta dalam penyediaan air minum secara rinci sehingga dapat diartikan membuka ruang sebesar-besarnya bagi keterlibatan swasta dalam penyediaan air minum.

Permenpu Pedoman SPAM tidak lagi menggunakan terma ―badan usaha swasta‖ tetapi menggantinya dengan ―badan usaha‖ dan memberikan lingkup

kerjasama pengusahaan pengembangan SPAM pada seluruh lini usaha. Pasal 10 ayat (1) Permen PU menyebutkan bahwa lingkup kerjasama pengusahaan pengembangan SPAM meliputi unit air baku; unit produksi; unit distribusi; unit pelayanan; dan/atau pengelolaan.

Data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menyebutkan bahwa saat ini ada 31 PDAM yang sudah melakukan privatisasi dan ada 15 perusahaan swasta yang mengelolan sistem penyediaan air minum kawasan. Adapun untuk rencana kerjasama pengusahaan SPAM Business to B Business (B to B) ada 6 PDAM yang siap ditawarkan dan 2 yang memiliki potensi untuk ditawarkan.

Selain penyediaan air minum, pengusahaan sumber daya air permukaan seperti sungai juga dibuka seperti tertuang pada Pasal 45 UU SDA. Meskipun badan usaha swasta tidak diperbolehkan untuk melakukan pengusahaan satu wilayah sungai tetapi masih dapat melakukan pengusahaan berbentuk penggunaan

air, pemanfaatan wadah air, atau pemanfaatan daya air pada suatu lokasi tertentu dari aliran sungai.

Penjelasan Pasal 45 ayat (3) UU SDA menyatakan: ―Kerjasama antar badan usaha dapat dilakukan, baik dalam pembiayaan investasi pembangunan prasarana sumber daya air maupun dalam jasa pelayanan dan/atau pengoperasian prasarana sumber daya air. Kerjasama dapat dilakukan dengan berbagai cara misalnya dengan pola bangun serah (build, operate and transfer), perusahaan patungan, kontrak pelayanan, kontrak manajemen, kontrak konsesi, kontrak sewa dan sebagainya. Pelaksanaan berbagai bentuk kerjasa sama yang dimaksud harus tetap dalam batas-batas yang memungkinkan Pemerintah menjalankan kewenangannya dalam pengaturan, pengawasan dan pengendalian pengelolaan sumber daya air

secara keseluruhan‖.

Pasal 57 dalam PP No. 38 tahun 2011 tentang Sungai menyebutkan pemanfaatan sungai sebagai penyedia tenaga air, pembuangan air limbah ke sungai, atau pengambilan komoditas tambang di sungai dapat dilakukan setelah memperoleh izin dari menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

KONTEKS MIKRO PRIVATISASI SDA