• Tidak ada hasil yang ditemukan

Demokrasi tidaklah dapat mewujudkan dirinya sendiri. Berbagai jabatan penyelenggara negara, sistem pemilihan umum, daerah pemilihan, berbagai partai politik, mekanisme pencalonan, tempat pemungutan suara, surat suara, dan penyelenggara pemilihan umum tidaklah secara otomatis muncul dengan sendirinya. Daftar Pemilih yang berhak dan calon yang memenuhi persyaratan tidaklah muncul begitu saja. Kehendak dan komitmen suatu masyarakat untuk memerintah dirinya sendiri secara demokratik (berdasarkan kedaulatan rakyat) akan dapat diwujudkan menjadi kenyataan hanya melalui hukum. Ketika hendak menjabarkan demokrasi dalam hukum, maka nyatalah dengan segera bahwa pilihan penting harus dibuat dalam mengkonstruksi sistem kelembagaan yang dipandang mampu menghasilkan pemerintahan sendiri yang demokratik. Dalam teks hukum tersebut akan terlihat pilihan yang diambil dalam hukum mengenai sistem kelembagaan yang dipandang mampu mewujudkan pemerintahan berdasarkan kedaulatan rakyat tersebut.

Tidak ada kitab hukum yang merumuskan tujuannya sendiri, dan tidak ada kitab hukum yang mampu menilai apakah kitab hukum akan dapat mencapai tujuan itu. Di sinilah letak relevansi hukum (UUD, Undang-Undang, dan peraturan perundang-undangan lainnya) untuk menghubungkan dua bidang kajian dalam Ilmu Politik, yaitu Teori Demokrasi dalam arti filosofis-argumentatif-preskriptif sebagai bagian dari subkajian Filsafat Politik, dan Teori Demokrasi dalam arti empirik-objektif-eksplanatif sebagai bagian

Sistem Politik dan Kekuasaan Kehakiman

dari subkajian Perbandingan Politik (ada pula yang menyebutnya sebagai Ilmu Politik Empirik). Profesor James Gardner merumuskan

Election Law (teks hukum yang mengatur Pemilu) sebagai applied democratic theory.1 Karena penjabaran demokrasi tidak hanya dirumuskan dalam berbagai Undang-Undang tentang Pemilu melainkan yang pertama pada UUD dan juga undang-undang lain, maka ungkapan yang lebih tepat adalah hukum (UUD, UU dan peraturan perundang-undangan lain) merupakan penerapan teori demokrasi yang diadopsi oleh suatu negara.

Teori demokrasi dalam arti filosofis mampu menawarkan berbagai gagasan tentang apa itu demokrasi, berbagai manfaat yang dapat diberikan, dan berbagai bentuk manfaat yang dapat diberikan oleh demokrasi tersebut. Teori demokrasi dalam arti empirik menawarkan berbagai alat analisis (seperti konsep, hipotesis, dan perspektif) untuk menguji apakah sejumlah ketentuan atau kelembagaan tertentu mampu secara aktual mencapai tujuan yang ditentukan. Sebagai subkajian Pemilu, berbagai undang-undang yang mengatur Pemilu (election laws) akan menjembatani kesenjangan antara cita-cita suatu bangsa mengenai negara demokrasi dengan kenyataan empirik yang seringkali masih jauh dari cita-cita tersebut. Singkat kata, hukum sebagai aplikasi demokrasi akan menggambarkan apakah suatu bangsa dapat dan seberapa jauh suatu bangsa sudah mewujudkan cita-cita kemanusiaan dewasa ini: hidup makmur dalam suatu negara di bawah pemerintahan demokratis yang adil dan kekal (to live well

under a just and lasting democracy).

Karena itu hubungan demokrasi dengan hukum sangat penting dikaji karena dua hal berikut. Pertama, penjabaran gagasan tentang kedaulatan rakyat tidaklah tunggal karena tergantung pada teori demokrasi yang digunakan. Teori Demokrasi dalam arti filosofis, argumentatif, dan preskriptif, menawarkan berbagai

1 James A. Gardner, Election Law as Applied Democratic Theory, Saint Louis

38

Sistem Politik dan Kekuasaan Kehakiman

pemikiran tentang negara yang dibangun atas dasar kedaulatan rakyat.2 Ada teori yang lebih mengedepankan demokrasi sebagai sumber seluruh tugas dan kewenangan negara atau seluruh fungsi pemerintahan. Teori demokrasi yang lain lebih menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan penggunaan seluruh fungsi negara. Akan tetapi ada pula teori demokrasi yang cenderung menyamakan kedaulatan rakyat dengan pemilihan umum yang dipandang tidak lebih sebagai prosedur yang sah mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan pemerintahan.3

Teoritisi lain memandang demokrasi dari segi derajat partisipasi warga negara dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik sehingga demokrasi diklasifikasi menjadi empat tingkat, yaitu minimalis-prosedural, agregatif, deliberatif, dan partisipatif.4 Teori Kedaulatan Rakyat yang manakah yang akan dilaksanakan oleh suatu negara dapat dilihat dalam teks hukum (UUD, UU dan peraturan perundang-undangan lainnya). Karena itu bukan tidak mungkin terjadi perbedaan atau kesenjangan antara teori/gagasan tentang kedaulatan rakyat dengan apa yang dirumuskan dalam teks hukum. Hal ini terjadi tidak hanya karena teks hukum tersebut mungkin campuran dari berbagai teori demokrasi tetapi juga karena teks hukum tersebut merupakan produk proses politik sehingga tergantung pada kesepakatan antar kekuatan politik pada waktu hukum itu ditetapkan.

Dan kedua, apa yang dirumuskan dan ditetapkan dalam teks hukum belum tentu dilaksanakan dan ditegakkan secara utuh dan

2 John S. Dryzek, Democratic Political Theory, dalam Handbook of Political

Theory. 2004. SAGE Publications. 9 Sep. 2009.

3 Joseph Schumpeter, Capitalism, Socialism and Democracy, (London: Allen and Unwin, 1976); dan Samuel P. Huntington, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, (Cambridge MA: Harvard University Press, 1991).

4 Archon Fung,”Democratic Theory and Political Science: A Pragmatic Method of

Constructive Engagement,” American Political Science Review, Volume 101,

Sistem Politik dan Kekuasaan Kehakiman

konsisten sesuai dengan teks hukum dalam praktek sehari-hari. Hal ini tidak saja berkaitan erat dengan perimbangan kekuasaan antar lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif ataupun proses politik pada umumnya tetapi yang tidak kalah penting adalah teks hukum (bahkan Kitab Suci sekalipun) hanya akan punya makna apabila diberi arti (sebagaimana dipahami) oleh manusia. Kalau yang pertama berkaitan dengan kepentingan elite yang berkuasa sedangkan yang kedua berkaitan dengan tingkat pemahaman dengan berbagai latar belakang berbagai kalangan dalam organisasi masyarakat sipil dan warga negara pada umumnya. Begitu banyak negara demokrasi di dunia ini tetapi terjemahan kedaulatan rakyat di setiap negara tidaklah persis sama walaupun berdasarkan sejumlah prinsip demokrasi yang sebagian besar mungkin sama. Bahkan sejumlah negara yang menerjemahkan kedaulatan rakyat dalam teks hukum secara kurang lebih sama juga belum tentu dilaksanakan dan ditegakkan dalam praktek secara kurang lebih sama pula.

Kalau alasan pertama di atas banyak dibantu oleh Teori Demokrasi yang dapat disimak pada Filsafat Politik, sedangkan alasan yang kedua ini akan dapat dibantu oleh Teori Demokrasi dalam arti empirik, objektif dan eksplanatif. Pengujian teori demokrasi secara empirik akan memperlihatkan kepada kita tidak saja kesenjangan antara seharusnya (teori demokrasi yang sudah diterjemahkan menjadi teks hukum) dengan senyatanya tetapi juga memberikan penjelasan mengapa terjadi kenyataan yang berbeda dengan seharusnya tersebut.

Kalau demokrasi dirumuskan sebagai pemerintahan (seluruh fungsi negara) dari rakyat, oleh rakyat dan/atau oleh yang mewakili rakyat, dan untuk rakyat, maka hukum (UUD, UU, dan peraturan perundang-undangan lainnya) perlu mengatur apa saja yang menjadi fungsi negara yang dimiliki rakyat tersebut, bagaimana rakyat mendelegasikan sebagian fungsi negara tersebut kepada para penyelenggara fungsi negara, siapa saja

40

Sistem Politik dan Kekuasaan Kehakiman

dari warga negara yang berhak menjadi penyelenggara negara, bagaimana mereka mendapatkan kewenangan dan bagaimana mereka menyelenggarakan fungsi negara, untuk siapa tugas dan kewenangan negara itu dilaksanakan, dan bagaimana penyelenggara negara mempertanggungjawabkan pelaksanaan fungsi negara tersebut kepada rakyat.

Sistem politik demokrasi dibangun atas sejumlah prinsip, seperti partisipasi warga negara; kesetaraan warga negara (equality); pluralisme dan toleransi politik; transparansi dan akuntabilitas; Pemilu yang diselenggarakan secara periodik, bebas, adil, dan tertib; hak dan kebebasan politik dan hak asasi manusia pada umumnya; rule of law dan control of the abuse power; pembagian kekuasaan negara dan otonomi daerah; partai politik sebagai jembatan antara rakyat dengan negara dan sebagai pintu masuk untuk jabatan politik; dan kebebasan ekonomi. Karena itu sistem politik demokrasi terdiri atas banyak aspek, seperti pembagian fungsi negara secara seimbang dan saling mengawasi; rule of law; hak asasi manusia dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya; sistem perwakilan politik (unikameral atau bikameral); bentuk pemerintahan (parlementer, presidensial atau semi-presidensial); sistem pemerintahan lokal (desentralisasi, ataukah devolusi); sistem pemilihan umum (proportional representation, mayoritarian/plurality, atau Mix-Member Parliament); sistem perwakilan kepentingan (pluralisme atau korporatisme masyarakat); hubungan politik dengan ekonomi (kapitalis atau sosialis); hubungan negara dengan agama (sekuler atau negara yang akomodatif terhadap agama); dan budaya demokrasi (civic culture).

Kalau kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut UUD, sistem politik demokrasi (kedaulatan rakyat) macam apakah yang diadopsi dalam UUD 1945? Apabila hukum merupakan aplikasi teori demokrasi, demokrasi macam apakah yang diaplikasikan dalam UUD 1945? Berikut adalah penjabaran desain demokrasi yang dirumuskan dalam UUD 1945. Pertama, bentuk negara yang

Sistem Politik dan Kekuasaan Kehakiman

dikehendaki adalah Republik sedangkan bentuk pemerintahan yang diadopsi adalah presidensial sehingga tidak saja presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum tetapi juga mengenal pemisahan kekuasaan legislatif yang dipegang DPR dari kekuasaan eksekutif yang dipegang Presiden.

Kedua, pembagian kekuasaan negara secara seimbang antara DPR, Presiden, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dan lembaga negara lainnya tetapi saling mengawasi. DPR memang memegang kekuasaan membentuk undang-undang tetapi tidak akan ada undang-undang kalau tidak disepakati bersama Presiden.5

Memang hanya Presiden yang berwenang mengajukan RAPBN, dan Presiden sebagai kepala pemerintahan yang berwenang melaksanakan semua program pembangunan. Akan tetapi tidak akan ada anggaran pembangunan kalau tidak disetujui DPR karena seluruh jenis penerimaan dan pengeluaran negara harus mendapat persetujuan DPR. Apabila mayoritas anggota DPR berasal dari partai politik yang sama dengan Presiden, maka di atas kertas partai tersebut dengan leluasa dapat membuat undang-undang sesuai dengan kepentingannya. Kalau hal ini terjadi, Mahkamah Konstitusi dapat turun tangan membatalkan pasal-pasal yang bertentangan dengan UUD berdasarkan permohonan warga negara yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan.

Ketiga, UUD 1945 mengadopsi sistem perwakilan politik yang hampir bikameral. Yang perlu diwakili melalui lembaga perwakilan tersendiri dalam proses pembuatan undang-undang tidak saja aspirasi orang (penduduk, rakyat) tetapi juga aspirasi ruang (wilayah, provinsi). Aspirasi rakyat diwakili oleh DPR, sedangkan aspirasi daerah diwakili oleh DPD. Disebut hampir bikameral karena anggota DPD dipilih melalui pemilihan umum dan dapat terlibat dalam proses legislasi (mengajukan RUU, ikut

5 Pataniari Siahaan, Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Konstitusi Press, 2012).

42

Sistem Politik dan Kekuasaan Kehakiman

membahas RUU) dan pengawasan tetapi tidak ikut membuat keputusan tentang RUU tersebut. Alokasi kursi DPR kepada provinsi seharusnya berdasarkan prinsip equal representation dengan merujuk pada Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 (persamaan kedudukan segala warga negara dalam hukum dan pemerintahan) sehingga ‘harga’ satu kursi DPR untuk seluruh provinsi akan sama. Akan tetapi prinsip ini belum dilaksanakan karena DPD belum ikut mengambil keputusan perihal undang-undang. Alokasi kursi DPD kepada provinsi dilakukan berdasarkan prinsip kesetaraan daerah (provinsi) sebagaimana dijamin dalam Pasal 22C ayat (2) UUD 1945.

Keempat, DPR sebagai pemegang kekuasaan membentuk undang-undang, DPD sebagai representasi kepentingan daerah, Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, dan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota sebagai pengatur otonomi daerah dipilih setiap lima tahun melalui pemilihan umum yang diselenggarakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Karena Pasal 18 diubah lebih dahulu (Amandemen Pertama Tahun 1999) daripada Pasal 6 UUD (Amandemen Keempat Tahun 2002), maka rumusan mekanisme pemilihan Kepala Daerah Provinsi, dan Kepala Daerah Kabupaten/ Kota masih bersifat umum, yaitu dipilih secara demokratis. Setelah perubahan Pasal 6 UUD 1945 yang pada dasarnya merupakan ‘pemurnian’ bentuk pemerintahan presidensial, tidak bisa lain pemilihan kepala daerah harus dilakukan melalui Pemilu. Itulah sebabnya mulai tahun 2005, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan secara langsung melalui Pemilu.

Kelima, sistem pemilihan umum untuk memilih presiden dan wakil presiden sudah secara lengkap dan jelas dirumuskan dalam UUD. Akan tetapi tetapi sistem pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD belum ditentukan kecuali pesertanya, yaitu partai politik. UUD sudah menentukan perseorangan sebagai peserta Pemilu anggota DPD, provinsi sebagai daerah pemilihan

Sistem Politik dan Kekuasaan Kehakiman

anggota DPD, jumlah kursi DPD untuk setiap provinsi sama, dan pemberian suara kepada calon perseorangan sebagai model penyuaraan tetapi belum menentukan Besaran Daerah Pemilihan (belum ditentukan jumlahnya), dan Formula Pemilihan. UUD juga sudah menetapkan komisi pemilihan umum sebagai penyelenggara pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.

Keenam, susunan negara Indonesia adalah negara kesatuan yang menjamin otonomi daerah seluas-luasnya bagi provinsi dan kabupaten/kota. Pembagian kewenangan antara Pusat dengan Provinsi, dan antara Provinsi dengan Kabupaten/Kota diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Negara juga menghormati kekhususan/ keistimewaan dan hak tradisional suatu daerah. Dengan demikian, sistem pemerintahan daerah yang dikehendaki UUD 1945 bukan hanya desentralisasi dan medebewind (pembantuan) tetapi juga

devolusi kewenangan.

Ketujuh, mengadopsi negara hukum (rule of law) yang tidak saja berupa penerapan hukum secara sama kepada semua warga negara apapun kedudukan dan latar belakangnya tetapi juga berbagai mekanisme untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) terhadap warga negara, seperti hak dan kebebasan warga negara, hak asasi manusia, dan lembaga yudisial yang independen beserta lembaga (Komisi Yudisial) yang mengawasinya. Bahkan UUD 1945 juga membentuk Mahkamah Konstitusi tidak saja untuk mengawal konstitusi tetapi juga untuk mencegah kesewenang-wenangan golongan mayoritas di DPR dan Presiden dan melindungi hak golongan minoritas.

Kedelapan, sistem kepartaian belum ditentukan dalam UUD tetapi UUD sudah menetapkan peran partai politik dalam penyelenggaraan negara, yaitu sebagai pintu masuk jabatan politik: mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden (Pasal 6A), dan menjadi peserta Pemilu anggota DPR dan DPRD (Pasal 22E ayat (3). Selain itu, UUD juga sudah menjamin kemerdekaan warga

44

Sistem Politik dan Kekuasaan Kehakiman

negara berkumpul dan berserikat sebagai dasar pembentukan partai politik. Pengaturan lebih lanjut mengenai peran partai politik sebagai jembatan antara rakyat dengan negara perlu dilakukan melalui undang-undang.

Kesembilan, UUD belum menentukan sistem perwakilan kepentingan tetapi sudah menentukan dasar pembentukannya melalui Pasal 28, yaitu ‘kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Selain itu dasar konstitusional memperjuangkan kepentingan secara kolektif dirumuskan dalam Pasal 28C ayat (2) yang berbunyi: ‘Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.’ Belum diketahui ke mana arah perkembangan sistem perwakilan kepentingan nantinya: apakah pluralisme sebagaimana terjadi sekarang ini ataukah korporatisme masyarakat (societal

corporatism).

Kesepuluh, UUD juga sudah menentukan sistem perekonomian Indonesia, yaitu alat dan sarana produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara untuk digunakan bagi kemakmuran rakyat sebesar-besarnya, sedangkan yang tidak menyangkut hajat hidup orang banyak dapat dimiliki oleh individu dan swasta; dan koordinasi proses produksi dan distribusi barang dan jasa yang menyangkut hajat hidup orang banyak dilakukan oleh negara, sedangkan yang tidak menyangkut hajat hidup orang banyak oleh swasta.

Dan kesebelas, UUD juga telah menetapkan hubungan negara dengan agama dalam Pasal 28E: ‘Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, ……’; dan Pasal 29: ‘Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa,’ dan ‘Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.’

Sistem Politik dan Kekuasaan Kehakiman