• Tidak ada hasil yang ditemukan

C Hukum Toleransi “Shelford”

Kehadiran dan keberhasilan sesuatu organisme tergantung kepada lengkapnya kompleks-kompleks keadaan. Ketiadaan atau kegagalan suatu organisme dapat dikendalikan oleh kekurangan atau

kelebihan secara kualitatif atau kuantitatif dari salah satu dari beberapa faktor yang mungkin mendekati batas-batas toleransi organisme tersebut (Odum, 1996).

Dijelaskan Odum (1996), tidak hanya sedikit saja sesuatu itu dapat merupakan faktor pembatas, seperti yang diusulkan Liebig, tetapi juga dalam keadaan terlalu banyaknya faktor tadi, bersifat membatasi, misalnya faktor-faktor panas, sinar, dan air. Jadi, organisme-oeganisme maksimum dan minimum ekologi, dengan kisaran di antaranya yang merupakan batas-batas toleransi. Konsep pengaruh yang membatasi dari keadaan maksimum serta pula minimum telah digambarkan ke dalam “hukum” toleransi oleh V.E. Shelford dalam tahun 1913. Beberapa asas tambahan terhadap hukum toleransi dapat dinyatakan sebagai berikut :

(1) Organisme-organisme dapat memiliki kisaran toleransi yang lebar bagi satu faktor dan kisaran yang sempit untuk lainnya.

(2) Organisme-organisme dengan kisaran-kisaran toleransi yang luas untuk semua faktor wajar memiliki penyebaran yang paling luas. (3) Apabila keadaan-keadaan tidak optimum bagi suatu jenis mengenai

satu faktor ekologi, batas-batas toleransi terhadap faktor-faktor ekologi lainnya dapat dikurangi berkenaan dengan faktor-fkator ekologi lainnya. Misalnya, Penman (1956) melaporkan bahwa, apabila nitrogen tanah merupakan pembatas, ketahanan rumput terhadap kekeringan dikurangi. Dalam kata-kata lain, dia menemukan bahwa lebih banyak air diperlukan untuk menjaga

kelayuan pada tingkat nitrogen yang rendah dari pada tinggi yang tinggi.

(4) Seringkali ditemukan, bahwa organisme-organisme di alam sebenarnya tidak hidup pada kisaran optimum berkenan dengan faktor fisik tertentu. Di dalam kasus-kasus demikian, beberapa faktor atau faktor-faktor lain ditemukan mempunyai arti yang lebih besar. Anggrek tropik tertentu, misalnya, sebenarnya tumbuh lebih baik dalam sinar matahari penuh daripada di dalam naungan, asalkan mereka tetap sejuk; di alam mereka tumbuh hanya dalam naungan sebab mereka tidak tahan pengaruh panas dari sinar matahari langsung. Di dalam banyak kasus interaksi populasi (seperti misalnya persaingan, pemangsaan, parasit, dan sebagainya) menghalangi organisme-organisme itu mengambil keuntungan dari keadaaan fisik yang optimal.

(5) Periode reproduksi biasanya merupakan periode gawat apabila faktor-faktor lingkungan bersifat membatasi. Batas-batas toleransi individu-individu reproduktif, biji-bijian, telur-telur, embryo, kecambah atau anak-anakan pohon, larva biasanya lebih sempit darpada tumbuh-tumbuhan atau binatang dewasa atau binatang dewasa non-produktif. Jadi, pohon cyprus dewasa akan tumbuh pada dataran tinggi atau pada daerah yang terus menerus terendam air, tetapi dia tidak dapat berkembang biak jika tidak ada tanah yang lembab tidak tergenang untuk perkembangan kecambahnya. Ketam biru dewasa dan banyak lagi binatang laut dapat mentolerir air payau, atau air tawar yang mengandung kandungan klorida yang

tinggi, jadi, individu-individu sering kali dijumpai jauh di hulu sungai. Walaupun demikian, larvanya tidak dapat hidup dalam perairan-perairan, karenanya jenis-jenis tersebut tidak berkembang dalam lingkungan sungai dan tidak pernah menetap selama-lamanya. Kisaran geografi burung-burung liar sering kali ditentukan oleh dampak iklim pada telur-telurnya atau pada burung muda dari pada berung dewasa.

Untuk menyatakan taraf toleransi nisbi, satu seri istilah telah menjadi umum dipakai dalam ekologi tang menggunakan awalan “steno”, yang berarti sempit, dan “eury” berarti lebar. Jadi,

Stenothermal – eurythermal menunjukkan kepada temperatur. Stenohydrik – euryhydrik menunjukkan kepada air.

Stenohaline – euryhaline berhubungan dengan garam. Stenophagik – euryphagik berhubungan dengan makanan. Stenoecious - euryecious berhubungan dengan pemilihan habitat.

Sebagai contoh, kita bandingkan keadaan-keadaan di mana telur-telur ikan trout (Salvelinus) dan telur-telur katak (Rana pipiens) yang akan berkembang dan menetas. Telur-telur ikan trout berkembang antara 00

dan 120 C dengan optimumnya pada kurang lebih 40 C. Telur katak akan berkembang antara 00 dan 300 C dengan optimumnya pada sekitar 220

C. Jadi, telur-telur ikan trout adalah Stenothermal, toleran terhadap temperatur rendah, dibandingkan dengan telur katak, yang eurythermal,

toleran terhadap temperatur tinggi. Ikan troet itu pada umumnya, keduanya telur dan dewasa, adalah relatif stenothermal tetapi beberapa jenis lebih eurythermal daripada ikan trout selokan itu. Demikian juga tentunya, jenis katak berbeda. Konsep ini, dan dan penggunaan istilah-istilah dalam hubungannya dengan temperatur terlihat dalam Gambar 21. Agaknya, toleransi dari batas-batas yang sempit dapat dianggap suatu bentuk spesialisasi, yang mengakibatkan efisiensi yang lebih besr dengan mengkorbankan adaptabilitas, dan membantu keanekaragaman yang ditingkatkan di dalam komunitas sebagai keseluruhan.

Ikan daerah Antartika Trematomus bernacchi dan ‘pupfish’ padang pasir Cyprinodon macularius memberikan perbedaan yang ekstrim dalam batas-batas toleransinya dihubungkan dengan lingkungannya yang sangat berbeda dalam mana mereka itu hidup. Ikan Antartika mempunyai batas toleransi terhadap temperatur kurang dari 40

C, dalam kisaran dari - 20 hingga + 20 C, dan ini adlah stenothermal sangat ekstrim beradaptasi terhadap keadaan dingin. Apabila temperatur naik ke 00 laju metabolisme naik tetapi kemudian turun apabila temperatur air naik hingga +1.90C, pada titik mana ikan menjadi tidak dapat bergerak kartena kelesuan oleh hawa panas. Sebaliknya, ikan gurun adalah eurythermal dan juga euryhaline, toleransi terhadap temperatur antara 100

Gambar 21. Perbandingan batas toleransi nisbi organisme stenothermal dan eurythermal. Minimum, optimum dan maksimum te3rletak berdekatan satu sama lain untuk jenis stenothermal, sehingga perbedaan sedikit dalam temperatur, yang mungkin mempunyai pengaruh kecil pada jenis eurythermal, seringkali gawat. Perhatikan bahwa organisme stenothermal dapat toleran baik terhadap temperatur rendah (oligothermal), toleran temperatur tinggi (polythermal), atau di antaranya (Menurut Ruttmer, 1953 dalam Odum, 1996).

dan 400 C dan salinitas yang berkisar dari air tawar hingga keadaan lebih besar daripada air laut. Penampilan ekologinya tentunya tidak sama di seluruh kisaran demikian itu, pengubahan makanan, misalnya adalah terbesar pada 200 dan 150/00 salinitas.