Mutu lingkungan hidup atau kualitas lingkungan hidup adalah kualitas lingkungan yang baik di mana terdapat potensi untuk berkembangnya kualitas hidup yang tinggi, khususnya perkembangan kualitas bagi kehidupan manusia. Perbincangan tentang lingkungan pada dasarnya adalah perbincangan tentang mutu atau kualitas lingkungan. Bagaimana kualitas lingkungan abiotik, seperti air, udara, dan tanah. Bagaimana kualitas lingkungan biotik seperti tumbuh-tumbuhan, makhluk hidup lainnya atau keanekaragaman hayati yang
ada dan bagaimana kualitas lingkungan budaya yang kesemuanya akan mempengaruhi kehidupan manusia pada khususnya. Soemarwoto (2001) menyatakan, antroposentrisme ialah pandangan manusia terhadap lingkungan hidup yang menempatkan kepentingan manusia di pusatnya. Kegiatan ekonomi mempengaruhi lingkungan hidup karena penggunaan sumber daya, produksi limbah dan modifikasi lingkungan hidup. Jika dampak kegiatan itu melampaui kemampuan lingkungan hidup untuk memulihkan diri dari dampak kegiatan itu, perubahan itu sering mengurangi kemampuan lingkungan hidup untuk memenuhi kdebutuhan manusia atau bahkan hilang. Terjadilah apa yang kita sebut kerusakan lingkungan hidup. Jadi istilah kerusakan lingkungan hidup adalah konsep antroposentris, yaitu memandang lingkungan hidup dari sudut pandang kepentingan manusia. Lingkungan hidup berkualitas baik, manakala lingkungan hidup dapat memenuhi kebutuhan manusia dengan baik dan vice versa.
Sebelumnya Soemarwoto (1989) mengemukakan bahwa, perbincangan mutu lingkungan hanyalah dikaitkan dengan masalah lingkungan, misalnya pencemaran, erosi dan banjir. Dengan lain perkataan mutu lingkungan itu diuraikan secara negatif, yaitu apa yang tidak kita kehendaki, misalnya air tercemar. Agar kita dapat mengelola lingkungan dengan baik, kita tidak saja perlu mengetahui apa yang tidak kita kehendaki, melainkan apa yang kita kehendaki. Dengan demikian kita mengetahui ke arah mana lingkungan itu ingin kita kembangkan untuk mendapatkan mutu yang kita inginkan. Misalnya, bila suatu ruangan dengan dinding yang berwarna merah dianggap sebagai
lingkungan yang tidak baik dan warna biru adalah warna yang baik, eliminasi warna merah tidaklah a’priori menghasilkan warna biru. Untuk mendapatkan mutu yang kita kehendaki itu secara eksplisit haruslah kita nyatakan keinginan kita untuk mendapatkan ruangan dengan dinding biru tersebut.
Selanjutnya dikatakan, tidaklah mudah untuk menentukan apa yang dimaksud dengan mutu lingkungan, oleh karena persepsi orang terhadap mutu lingkungan berbeda-beda. Dengan singkat dapatlah dikatakan mutu lingkungan yang baik membuat orang kerasan hidup dalam lingkungan tersebut. Perasaan kerasan itu disebabkan karena orang mendapat rezeki yang cukup, iklim dan faktor alamiah lainnya yang sesuai dan masyarakat yang cocok pula. Misalnya, orang yang baru pulang dari Amerika Serikat atau Eropa, sering menyatakan mereka senang hidup di sana, tetapi tidak merasa kerasan. Rezeki cukup, sehingga semua kebutuhan sehari-hari dapat terpenuhi dan setiap akhir pekan dapat berekreasi. Tetapi iklimnya, terutama musim dingin, dirasakannya mengganggu. Masyarakatnya dianggap terlalu berorientasi pada pekerjaan dan kurang ada hubungan sosial yang hangat. Jelaslah perasaan kerasan sangatlah subyektif. Kerasan tidaklah sama dengan senang. Kerasan menunjukkan ia ingin tinggal tetap di tempat tersebut. Kalau ia pergi ke tempat lain timbul keinginan untuk kembali ke tempat tersebut. Misalnya, seorang yang karena pekerjaannya harus pindah ke tempat lain, setelah pensiun ia kembali lagi ke tempat yang ia kerasan itu. Kerasan bukanlah karena satu atau dua faktor saja yang terpenuhi dalam satu lingkungan, melainkan adanya integrasi faktor-faktor secara
optimum. Karena itu pengelolaan lingkungan hidup untuk mendapatkan perasaan kerasan, bukanlah suatu maksimasi rezeki, melainkan suatu optimasi banyak faktor yang saling berkaitan secara terintegrasi. Yang penting bukanlah masing-masing faktor secara tersendiri, melainkan totalitas kondisi. Totalitas kondisi itu adalah lebih dari masing-masing faktor. Oleh karena itu adalah lebih dari jumlah masing-masing faktor. Oleh karena itu pengelolaan lingkungan bersifat holistik, yaitu memandang keseluruhannya sebagai suatu kesatuan.
Menurut Soemarwoto (1989) selanjutnya dikatakan, pengelolaan lingkungan untuk mendapatkan kondisi optimal, didasarkan pada pertimbangan untung rugi. Orang bersedia untuk mengurangi atau mengorbankan suatu keuntungan untuk mendapatkan keuntungan lain atau mengurangi suatu kerugian. Dengan demikian pada hakekatnya orang menganalisis manfaat dan risiko lingkungan agar kebutuhannya dapat terpenuhi secara optimum. Rezeki, udara yang segar dan kontak sosial merupakan kebutuhan hidup manusia. Tidak semua kebutuhan hidup bersifat esensial, melainkan ada yang bersifat hanya sekedar tambahan agar dapat menikmati hidup dengan lebih baik. Kebutuhan hidup yang esensial disebut kebutuhan hidup dasar. Kebutuhan itu mutlak diperlukan untuk dapat hidup dengan sehat, aman dan manusiawi. Persepsi orang tentang kebutuhan dasar berbeda-beda, karena dipengaruhi pula oleh faktor sosial budaya, ekonomi dan waktu, serta pertimbangan kebutuhan jangka pendek dan jangka panjang. Dalam hidupnya orang selalu berusaha untuk pertama-tama memenuhi kebutuhan dasarnya, apapun yang diartikannya pada keadaan dan waktu
itu. Mutu hidupnya sangatlah bergantung pada pemenuhan kebutuhan dasarnya. Makin baik kebutuhan dasar itu dipenuhi, makin baik pula mutu hidupnya. Mutu hidupnya itu sering dapat dipertinggi lagi, apabila kebutuhan hidup yang tidak esential dapat pula dipenuhi. Akan tetapi apabila kebutuhan dasar tidak dapat dipenuhi, pemenuhan kebutuhan yang tidak esential tidaklah banyak artinya. Dengan demikian, mutu lingkungan dapatlah diartikan sebagai kondisi lingkungan dalam hubungannya dengan mutu hidup. Makin tinggi derajat mutu hidup dalam suatu lingkungan tertentu, makin tinggi pula derajat mutu lingkungan tersebut dan sebaliknya. Karena mutu hidup tergantung dari derajat pemenuhan kebutuhan dasar, mutu lingkungan dapat diartikan sebagai derajat pemenuhan kebutuhan dasar dalam kondisi lingkungan tersebut. Makin tinggi derajat pemenuhan kebutuhan dasar itu, makin tinggi pula mutu lingkungan dan sebaliknya.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh suatu lembaga penelitian sosial ekonomi dalam suatu studinya yang bekerja sama dengan Kantor Kemenpera menjelaskan tentang keputusan konsumen dalam menentukan rumah pilihannya di suatu lokasi. Studi ini berlangsung di daerah perumbahan baru wilayah desakota, yaitu meliputi wilayah Beji Timur – Depok dan Jatimulya – Bekasi. Beberapa alternatif jawaban untuk menentukan pilihan itu antara lain, prasarana baik, dekat dengan tempat kerja atau keluarga, udara segar, warisan dan lain-lain. Umumnya jawaban para konsumen di kedua tempat yang berlainan tersebut adalah mereka pindah atau memilih tempat tersebut karena kondisi prasarananya yang baik; selain itu, kondisi lingkungan yang
baik, di mana udara masih segar dan nyaman bagi pemukiman (Koestoer, 1997).
Jadi lingkungan yang baik adalah lingkungan yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, terutama kenyamanan. Hal ini sesuai dengan tulisan yang lain dari Soemarwoto (1991) menyatakan bahwa, kualitas hidup sifartnya adalah subyektif dan relatif. Oleh karena itu kualitas lingkungan sifatnya juga subyektif dan relatif. Kualitas hidup dapat diukur dengan tiga kriteria. Pertama, derajat dipenuhinya kebutuhan untuk hidup sebagaiu makhluk hayati. Kebutuhan ini bersifat mutlak, yang didorong oleh keinginan manusia untuk menjaga kelangsungan hidup hayatinya. Kelangsungan hidup hayati tidak hanya menyangkut dirinya, melainkan juga masyarakatnya dan terutama kelangsungan hidupnya sebagai jenis melalui keturunannya. Kebutuhan itu terdiri atas udara dan air bersih, pangan, kesmpatan untuk mendapatkan keturunan serta perlindungan terhadap serangan penyakit dan sesama manusia. Kebutuhan ini bersifat mendasar dan dalam keadaan memaksa mengalahkan kebutuhan hidup lainnya. Kedua, derajat dipenuhinya kebutuhan untuk hidup manusiawi. Kebutuhan hidup ini bersifat relatif, walaupun ada kaitannya dengan kebutuhan hidup jenis pertama di atas. Di dalam kondisi iklim Indonesia, rumah dan pakaian, misalnya, bukanlah kebutuhan yang mutlak untuk kelangsungan hidup hayati, melainkan kebutuhan untuk hidup manusiawi. Dengan bugil dan tanpa rumahpun orang akan akan mati dalam iklim tropis kita yang tidak mengenal keadaan skstrem panas, dingin dan kekeringan. Tetapi hidup bugil dan tanpa rumah tidaklah
manusiawi. Pekerjaan bukanlah sekedar sumber pendapatan untuk dapat diupenuhinya kebutuhan untuk hidup hayati, melainkan juga penting untuk menjaga martabat seseorang. Karena itu pekerjaan adalah pula kebutuhan untuk hidup manusiawi. Pendidikan teknologi untuk dapat memenuhi kebutuhan hayati, misalnya pangan, sebenarnya bukanlah khas manusiawi, karena hewan pun mengajar teknologi pada anaknya, antara lain, untuk mencari dan menangkap mangsanya. Pendidikan yang khas manusiawi adalah pendidikan filsafat, agama, seni dan kebudayaan. Karena itu pendidikan inilah yang khas merupakan kebutuhan untuk hidup manusiawi. Peranserta untuk ikut mengambil keputusan tentang hal-hal yang menentukan nasib dirinya, keluarganya dan masyarakatnya adalah pula kebutuhan hidup yang bersifat menusiawi. Ketiga, derajat kebebasan untuk memilih. Sudah barang tentu dalam masyarakat yang tertib, derajat kebebasan itu dibatasi oleh hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Beberapa contoh ialah kebebasan memilih agama dan pendidikan. Demikian pula makin longgar pilihan yang dapat dibuat orang terhadap rumah, makan dan pakaian, makin baiklah kualitas hidup orang. Sumber daya gen merupakan pula faktor penentu luasnya pilihan kita. Dengan demikian hakekat perencanaan yang baik adalah untuk dapat membuka pilihan seluas-luasnya dalam waktu yang selama-lamanya. Dengan mengkaitkan kualitas lingkungan dengan kualitas hidup yang diberi tiga kriteria di atas, kualitas lingkungan dapatlah diberi ukuran.