• Tidak ada hasil yang ditemukan

E Lingkungan Hidup Sebagai Sumber Daya

Berdasarkan ketentuan umum dalam Undang Undang Perlidungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) Nomor 32 Tahun 2009 bahwa sumber daya alam adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya hayati dan non-hayati yng secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem. Ekosistem dimaksud termasuk di dalamnya adalah sumberdaya manusia serta perilakunya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang menentukan kualitas suatu lingkungan hidup. Soemarwoto (1989) menyatakan, dengan mengaitkan mutu lingkungan dengan derajat pemenuhan kebutuhan dasar, berati lingkungan itu merupakan sumber daya. Dari lingkungan itu kita mendapatkan unsur-unsur yang kita perlukan untuk produksi dan konsumsi. Sebagian dari sumber daya itu dimiliki oleh perorangan dan badan tertentu, misalnya lahan dan sepetak hutan. Sebagian lagi sumber daya itu merupakan milik umum,isalnya udara, sungai, pantai, laut dan ikan laut. Udara misalnya, kita perlukan untuk menjalankan mesin kita, karena dalam udara itu terdapat gas oksigen. Apabila tidak ada udara, mesin pun tidak dapat berjalan.

Selanjutnya, air adalah faktor lain yang kita perlukan untuk berproduksi. Pertanian, perikanan dan peternakan, misalnya, tidak mungkin tanpa air. Pabrik juga memerlukan air untuk memproses bahan baku menjadi bahan jadi, untuk mendinginkan mesin dan untuk mengangkut bahan sisa. Udara dan air, kecuali sebagai faktor produksi, merupakan juga unsur lingkungan yang kita konsumsi, yaitu udara untuk pernafasan kita dan air untuk kita minum dan keperluan rumah

tangga lainnya. Sumber daya milik umum mempunyai sifat-sifat yang berbeda dari modal yang biasa kita kenal dalam perusahaan yang dimiliki secara pribadi atau badan tertentu. Karena milik umum, oreang dapat menggunakannya tanpa pungutan bayaran atau hanya dengan pungutan ringan. Misalnya, orang dapat menghirup udara untuk pernafasan atau menggunakan udara untuk membakar bahan bakar bensin dan mengangkut limbah tanpa bayaran. Kita juga dengan bebas membuat sumur dan menggunakan sungai dan laut untuk pelayaran dan menangkap ikan di sungai dan laut, serta menikmati hawa segar dan pemandangan indah daerah pegunungan.

Selanjutnya dikatakan, apabila ikan laut dieksploitasi, laut itu mempunyai daya regenerasi. Demikian pula apabila limbah dibuang ke sungai atau laut, sungai dan laut mempunyai daya untuk mengasimilasi limbah itu dan mebuatnya menjadi tidak mengganggu atau beracun. Sumber daya demikian itu disebut sumber daya terperbarui. Akan tetapi sumber daya mempunyai daya regenerasi dan asimilasi yang terbatas. Selama eksploitasi atau permintaan pelayanan ada di bawah batas daya regenerasi atau asimilasi, sumber daya terperbarui itu dapat digunakan secara lestari. Akan tetapi apabila batas itu dilampaui, sumber daya itu akan mengalami kerusakan dan fungsi sumber daya itu sebagai faktor produksi dan konsumsi atau sarana pelayanan akan mengalami gangguan. Lebih detail Fauzi (2007) menulis, hampir dua pertiga stok ikan ekonomis dunia telah ditangkap melebihi kapasitas regenerasinya, dan loebih dari 10 peresen lainnya telah diekstraksi begitu tinggi sehingga memerlukan tahunan untuk pulih kembali. Para ilmuwan

menghitung bahwa selama hampir 50 tahun sampai tahun 2004 saja industri perikanan telah menangkap hampir 90% dari ikan-ikan predator seperti tuna, marlin, ikan pedang, hiu, cod dan sejenisnya.

Selanjutnya Fauzi (2007) mengatakan, ekstraksi sumber daya perikanan yang tidak berekelanjutan bukan saja membawa deplesi terhadap sumber daya ikan, namun juga menimbulkan konsekuensi sosial dan ekonomi yang cukup tinggi. Tiga penyebab utama yang ditimbulkan oleh paradigma pertumbuhan terhadap sumber daya ikan adalah overfishing, penangkapan ikan yang merusak (destruktif) dan pencemaran. Ketiga penyebab utama ini kebanyakan dipicu oleeh keputusan myopic untuk memburu rente sumber daya ikan dengan cara cepat dan mudah. Akibatnya adalah teerjadinya penurunan stok yang berakibat pada kehilangan pekerjaan, pendapatan dan kerusakan lingkungan. Selama beberapa tahun belakangan ini secara global lebih dari 100.000 orang kehilangan pekerjaan akibat penurunan stok. Penurunan suplai kemudian mengimbas pada kenaikan harga produk perikanan yang berakibat pada melemahnya daya beli masyarakat miskin untuk memenuhi konsumsi hewaninya. Overfishing juga telah meneybabkan economic loss dalam bentuk subsidi global yang terbuang lebih dari US$ 54 milyar. Penurunan stok juga menimbulkan konflik baik pada skala lokal maupun skala regional. Implikasi dari konflik ini antara lain adalah maraknya pencurian ikan (illegal fishing) yang telah menimbulkan kerugian lebih dari US$ 4.2 milyar per tahun (MARG, 2005), belum terhitung korban jiwa yang ditimbulkannya. Indonesia sendiri memperkirakan bahwa kerugian akibat illegal fishing ini

mencapai US$ 2 milyar yang berarti bahwa separuh kerugian akibat illegal fishing ini berasal dari Indonesia. Jika tren ini terus dibiarkan, majalah Science mencatat bahwa industri berbasis sumber daya laut akan kolaps pada tahun 2048 mendatang dan jutaan orang akan kehilangan pekerjaan serta kerugian ekonomi yang sangat dramatis (Fauzi, 2006).

Dalam pengelolaan sumber daya alam selalu berhadapan dengan berbagai bentuk permasalahan sumber daya dan kepentingan bersama. Rustiadi, dkk (2009) mengatakan, dalam hal tertentu sangatlah penting untuk membedakan barang atas sifat penguasaannya, seperti barang-barang pribadi atau private dengan barang yang dimiliki atau dikuasai secara bersama (kolektif). Teori public goods dikembangkan pertama kali oleh Paul Samuelson (1954). Paper klasik karya Samuelson (“The Pure Theory of Public Expenditure”) mendifinisikan barang publik sebagai “collective consumption good” sebagai berikut : ....(goods) which all enjoy in common in the sense that each individual’s consumption of such a good leads to no subtraction from any other individual’s consumption of that good... Analog dengan public goods, juga dikenal istilah public bads, yakni hal-hal yang menciptakan efek eksternalitas negatif, seperti polusi dan korupsi di mana terdapat sifat-sifat dari properti yang non-excludability dan non-rivalness. Dalam ekonomi, public goods adalah barang yang tidak bersaing. Meksudnya penggunaan barang oleh individu tidak mengakibatkan berkurangnya ketersediaan barang bafi orang lain. Lebih jauh seperti jika satu individu memakan kue, maka tidak ada kue yang tersisa untuk orang lain, tetapi

jika bernafas atau meminum air dari aliran sungai tidak signifikan mengurangi jumlah ketersediaan udara atau air.

Selanjutnya dikatakan, dalam ilmu ekonomi, barang kolektif (collective goods) atau disebut juga barang sosial (social goods) diartikan sebagai barang publik (public goods) yang dapat disediakan dalam bentuk barang privat (private goods) ataupun juga sebagai barang yang disediakan pemerintah dengan berbagai macam alasan (social policy) dan dibiayai oleh dana publik seperti pajak. Dalam bahasa lain, barang kolektif digambarkan sebagai barang yang disediakan untuk semua orang dalam suatu komunitas tertentu. Sedangkan barang privat (private goods) dalam ilmu ekonomi didefinisikan sebagai barang yang memperlihatkan kepemilikan pribadi, serta memiliki ciri : (1) excludable, tidak dapat dikonsumi oleh setiap orang karena apabila dikonsumsi oleh seseorang dapat mengurangi potensi konsumsi atau berakibat tidak dapat dikonsumsi oleh pihak lain, dan (2) terbatas (karena ada saingan). Barang privat merupakan kebalikan dari barang publik (public goods) karena hampir selalu bersifat eksklusif untuk mencapai keuntungan. Contoh private goods adalah makanan sehari-hari (beras, roti) yang dimakan oleh seseorang dan tidak dimakan oleh oerang lain. Tabel di bawah menggambarkan klasifikasi klasik atas barang berdasarkan sifat persaingan (rivalness) dan kemungkinan eksklusivitasnya (excludability).

Common goods adalah istilah yang merujuk pada berbagai konsep. Dalam bahasa populer digambarkan sebagai barang yang spesifik yang dibagikan dan bermanfaat bagi (hampir) semua anggota

suatu komunitas tertentu. Dalam ilmu ekonomi dianggap sebagai competitive non-excludable good (barang kompetitif yang tidak dapat dibuat eksklusif). Dalam ilmu politik dan etika, mempromosikan common goods berarti untuk keuntungan anggota-anggota masyarakat (society) atau dalam ideologi negara kita “digunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”, sehingga mengadakan/mengelola common goods berarti menolong semua orang setidaknya mayoritas masyarakat, atau selaras dengan istilah kesejahteraan umum (general welfare). Sumber daya yang dikelompokkan sebagai common pool resources (CPRs) juga dikenal sebgai common goods. Kadangkala club goods dan common goods juga dimasukkan dalam public goods (dalam Tabel 3 ditandai dengan arsir). Barang-barang publik dalam pengertian luas (CPRs, club goods dan pure public goods) mencakup hal-hal seperti : pertahanan, penegakan hukum, pemadam kebakaran, udara bersih dan jasa-jasa lingkungan, mercusuar, informasi, software, penemuan, dan karangan tulisan).

Sumber daya milik umum (public goods) sering dapat digunakan untuk bermacam peruntukan secara simultan, tanpa suatu peruntukan mengurangi manfaat yang dapat diambil dari peruntukan lain sumber daya yang sama itu. Misalnya, air sungai dapat digunakan sekaligus untuk melakukan proses produksi dalam pabrik, mengangkut limbah, pelayaran sungai, produksi ikan dan keperluan rumah tangga. Jadi peruntukan itu bersifat non-eksklusif. Akan tetapi apabila pemanfaatan untuk suatu peruntukan melampaui batas daya regenerasi atau asimilasi sumber daya, peruntukan itu sendiri atau yang lain akan menderita.

Misalnya, pembuangan limbah yang melampaui batas daya asimilasi sungai, akan mengganggu atau bahkan merusak sama sekali peruntukan air untuk proses produksi pabrik, produksi ikan dan keperluan rumah tangga (Soemarwoto, 1989).

Tabel 3. Klasifikasi barang/benda menurut sifat persaingan dan sifat eksklusivitasnya

Pembagian Cara Klasik Barang Ekonomi

Excludability (Kemungkinan eksklusivitas)

Ya Tidak

Rivalness

(Persaingan)

Ya Barang Privat

(private goods) Sumber daya bersama (common pool

resource) Tidak Barang Klub

(club goods) Barang Publik

(public goods) Sumber : Rustiadi, dkk (2009).

Selanjutnya dikatakan bahwa, karena pemanfaatan sumber daya lingkungan milik umum dapat dilakukan tanpa atau hanya dengan pungutan bayaran yang ringan saja, unit produksi maupun unit konsumsi cenderung memaksimalkan pemanfaatannya yang tidak rasional, sehingga mudah terjadi menangkap ikan dengan racun hama atau dengan bahan peledak dengan maksud untuk mendapat hasil yang besar dengan mudah dalam waktu yang singkat. Tetapi dengan cara itu, ikan yang kecil-kecil dan jenis makhluk hidup lain yang sebenarnya tidak ingin ditangkap ikut mati. Habitat ikan itupun mengalami

kerusakan. Teknologi modern dapat juga menyebabkan pemanfaatan yang tidak rasional. Misalnya, pukat harimau dalam perikanan menyebabkan penangkapan ikan yang berlebih. Stok ikan lalu terus menerus menurun, karena tak mampu lagi untuk meregenerasi diri dari eksploitasi yang berlebih itu. Hal ini telah terjadi di Indonesia. Juga di Teluk Siam dan di pantai barat Amerika Latin.

Selanjutnya dikatakan, pembuangan limbah ke udara dan perairan juga terus bertambah. Di banyak tempat telah nampak gejala-gejala bahwa daya udara dan ait untuk mengasimilasi limbah itu telah dilampaui dan menghadapkan kita pada masalah pencemaran. Dengan adanya pencemaran itu peruntukan udara untuk pernafasan dan peruntukan air untuk rumah tanggap telah terganggu. Kecuali dorongan untuk memaksimumkan keuntungan dari pemanfaatan sumber daya milik umum itu, masing-masing unit produksi dan konsumsi tidak atau sedikit merasa bertanggungjawab atas pemeliharaan sumber daya itu. Ketidakadilan atau sedikit adanya perasaan tanggungjawab itu mengakibatkan pula pemanfaatan sumber daya yang tidak rasional.