• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengukuran Kelangkaan Sumber Daya Alam

Apa yang dimaksud dengan “langka” itu? Suparmoko (1994) mengatakan, para ekonom sudah terbiasa mengartikan kata langka dengan keadaan di mana jumlah barang yang diminta lebih banyak daripada jumlah barang yang ditawarkan atau yang tersedia, dan dalam pasar persaingan sempurna kelangkaan ini akan menyebabkan harga barang yang bersangkutan naik. Dalam kaitannya dengan sumberdaya alam, persediaan itu dihadapkan pada tingkat konsumsi sumberdaya alam per tahun untuk memperkirakan berapa lama lagi jumlah

persediaan tersebut akan dapat dikonsumsi untuk menopang kehidupan manusia.

Dikatakan selanjutnya, persediaan sumberdaya alam kita artikan sebagai volume sumberdaya alam yang sudah diketahui dan dapat diambil dengan mendatangkan keuntungan pada tingkat biaya produksi dan tingkat harga tertentu. Sebagai misal sejak Indonesia baru merdeka sudah diketahui bahwa Indonesia memiliki pasir besi di pantai selatan Jawa Tengah, namun statistik mengenai pasir besi belum sempurna dan kita mengetahui berapa persediaan (stock) pasir besi tersebut; baru setelah tahun 1970-an dengan adanya nilai ekonomis karena Jepang sanggup membeli pasir besi tersebut, maka pasir besi itu bernilai sebagai sumberdaya alam dan perlu diperhitungkan persediaannya. Demikian pula batu dan pasir sebelum digunakan sebagai bahan bangunan belum mempunyai nilai dan jumlah yang ada belum diketahui persediaannya. Selanjutnya persediaan dapat ditingkatkan baik dengan penemuan deposit baru ataupun dengan teknologi baru yang dapat mengubah sumberdaya alam yang tidak ekonomis menjadi sumber daya alam yang ekonomis. Sayangnya memang sulit untuk mengetahui volume fisik, lokasi, maupun kualitas sumberdaya alam secara tepat, sehingga sulit pula untuk menentukan derajat kelangkaan sumberdaya alam tersebut.

Kebanyakan manusia kurang menyadari bahwa sumberdaya alam tersebut ketersediaannya terbatas, sehingga mereka dalam memanfaatkannya cenderung tidak terkendali. Fauzi (2004) menyatakan bahwa salah satu aspek krusial dalam pemahaman terhadap sumberdaya

alam adalah memahami juga kapan sumberdaya tersebut akan habis. Jadi, bukan hanya konsep ketersediaannya yang harus kita pahami, melainkan juga konsep pengukuran kelangkaannya. Sebagaimana disampaikan pada bagian pandangan sumberdaya alam, aspek kelangkaan ini menjadi sangat penting karena dari sinilah kemudian muncul persoalan bagaimana mengelola sumberdaya alam yang optimal.

Selanjutnya dikatakan Fauzi (2004) secara umum, biasanya tingkat kelangkaan sumberdaya alam diukur secara fisik dengan menghitung sisa umur ekonomis. Hal ini dilakukan dengan menghitung cadangan ekonomis yang tersedia dibagi dengan tingkat ekstraksi. Pengukuran dengan cara ini tentu saja memiliki banyak kelemahan karena tidak mempertimbangkan sama sekali aspek ekonomi di dalamnya. Aspek ekonomi ini antara lain menyangkut harga dan biaya ekstraksi. Sebagai contoh, ketika sumberdaya menjadi langka, maka harga akan naik dan konsumsi berkurang. Dengan berkurangnya konsumsi, ekstraksi juga akan berkurang sehingga faktor pembagi dalam pengukuran fisik di atas menjadi kecil. Hal ini dapat menimbulkan kesimpulan yang keliru karena seolah-olah sisa ekonomi sumber daya kemudian menjadi panjang dan sumberdaya alam tidak lagi menjadi langka.

Menyadari akan kelemahan pengukuran fisik ini, Hanley et.al., (1997) dalam Fauzi (2004) misalnya, menyarankan untuk menggunakan pengukuran moneter dengan cara menghitung harga riil, unit cost, dan rente ekonomi dari sumberdaya.

a. Pengukuran berdasarkan harga riil.

Pengukuran kelangkaan yang didasarkan pada harga riil sudah merupakan pengukuran yang banyak diterima berbagai pihak dan merupakan standar pengukuran kelangkaan dalam ilmu ekonomi. Berdasarkan standar teori ekonomi klasik, ketika barang menjadi berkurang kuantitasnya, maka konsumen mau membayar dengan harga mahal untuk komoditas tersebut. Jadi, tingginya harga barang dari sumberdaya mencerminkan tingka kelangkaan dari sumberdaya tersebut. Meski diterima sebagai pengukuran umum kelangkaan sumberdaya, pengukuran dengan harga riil juga memiliki kelemahan. Distorsi pasar yang diakibatkan oleh intervensi pemerintah, misalnya, bisa saja menyebabkan harga sumberdaya naik. Sebagai contoh, kenaikan harga BBM yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk mengurangi subsidi menyebabkan harga BBM naik, tapi harga ini bukan karena produksi yang berkurang, melainkan karena intervensi pemerintah. Kedua, harga output dari sumberdaya alam hanya mencerminkan harga pasar, namun tidak mencerminkan biaya oportunitas sosial dari kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh ekstraksi sumberdaya alam itu sendiri. Selain itu, penggunaan deflator untuk mengukur harga riil juga sering menjadi pertanyaan : apakah harga input sumber daya atau harga indeks kenaikan harga secara umum (consumer price index) yang digunakan sebagai deflator.

b. Pengukuran berdasarkan unit cost.

Pengukuran yang menggunakan unit cost atau biaya per unit output (input) didasarkan pada prinsip bahwa sumberdaya mulai langka, biaya untuk mengekstraksinya juga semakin besar. Sebagai contoh, jika nelayan mulai menyadari bahwa ikan sudah mulai susah ditangkap, ia harus melaut ke daerah yang lebih jauh yang menyebabkan biaya tenaga kerja per produksi meningkat. Salah satu contoh klasik pengukuran unit cost adalah apa yang dilakukan oleh Barnett dan Morse (1963) dalam Fauzi (2004) yang mengukur kelangkaan sumberdaya berdasarkan index of real unit cost. Hasil studi Barnett dan Morse misalnya, tidak menunjukkan adanya kelangkaan sumberdaya kecuali untuk sumber daya hutan. Salah satu kelebihan dari penggunaan pengukuran ini adalah dimasukkannya aspek perubahan teknologi dalam produksi. Jika perubahan teknologi memungkinkan produksi lebih efisien, biaya produksi akan menurun sehingga kecenderungan penurunan kelangkaan ditunjukkan oleh kecenderungan penurunan unit kerja. Dengan kata lain, peningkatan kelangkaan sumber daya dapat diukur dengan peningkatan indeks dari real unit cost. Meski pengukuran dengan cara ini sangat logis, ada beberapa cacaran yang perlu diperhatikan. Yang pertama adalah menyangkut kesulitas pengukuran kapital yang dipicu oleh perkembangan di bidang teknologi produksi. Kondisi ini muncul karena sulitnya mengagregasikan kapital untuk memperoleh unit pengukuran kapital yang tepat. Kedua, pengukutan unit cost juga dapat keliru

jika aspek substitusi terhadap input tidak diperhatikan. Substitusi ini sering terjadi manakala biaya satu jenis input lebih mahal sehingga pelaku akan menggantikannya dengan input yang lain. Ketiga, sebagaimana dikatakan oleh Hanley et.al., (1997) dalam Fauzi (2004), unit cost kurang baik digunakan sebagai penduga kelangkaan karena unit cost lebih didasarkan pada informasi masa lalu, jadi bukan forwad looking, seperti melihat perkembangan teknologi dan sebagainya.

c. Pengukuran berdasarkan rente kelangkaan (Scarcity Rent)

Pengukuran kelangkaan dengan scarcity rent didasarkan pada teori kapital sumber daya di mana rate of return manfaat yang diperoleh dari aset sumber daya alam, harus setara dengan biaya oportunitas dari aset yang lain, seperti saham. Dengan demikian, peningkatan nilai scarcity rent menunjukkan tingkat kelangkaan sumber daya alam. Scarcity rent didefinisikan sebagai selisih antara harga per unit output dengan biaya ekstraksi marjinal atau sering disebut sebagai unit price. Prinsip dari konsep ini sebenarnya tidak berbeda jauh dengan pengukuran berdasarkan harga riil, hanya saja yang diukur di sini adalah harga bersih atau net price.

Gambar 6 Tipologi kelangkaan sumber daya (Fauzi, 2004) Flow Scarcity, Ricardian Stock Scarcity dan Ricardian Flow Scarcity. Keempat tipologi tersebut selanjutnya dikatakan Fauzi (2004) bahwa selain konsep ekonomi dan fisik, pengukuran kelangkaan sumber daya juga dapat didekati dari interaksi antara ketersediaan sumber daya (terbatas atau tidak) dan biaya ekstraksi sepanjang waktu. Dengan adanya keterkaitan ini, Hall dan Hall (1984) dalam Fauzi (2004) melihat bahwa ada empat tipe pengukuran kelangkaan, yaitu Malthusian Stock Scarcity, Malthusian kosep tersebut dapat digambarkan sebagaimana di atas.

Berdasarkan gambar tersebut maka dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Malthusian Stock Scarcity adalah kelangkaan yang terjadi jika stok dianggap tetap (terbatas) dan biaya ekstraksi per unit pada setiap

Ricardian Flow Scarcity Tidak terbatas Ricardian Stock Scarcity Malthusian Flow Scarcity Meningkat sepanjang waktu Biaya Ekstra ksi Stok SD

Terbatas MalthusianStock

Scarcity Tidak meningkat sepanjang Biaya ekstraksi meningkat seiring dengan ekstraksi

periode tidak bervariasi terhadap laju ekstraksi pada periode tersebut.

2. Malthusian Flow Scarcity adalah merupakan kelangkaan yang terjadi akibat interaksi antara stok yang terbatas dan biaya ekstraksi per unit yang meningkat seiring dengan laju ekstraksi pada setiap periode.

3. Ricardian Flow Scarcity adalah tipe kelangkaan yang terjadi jika stok sumber daya dianggap tidak terbatas, namun biaya ekstraksi tergantung pada laju ekstraksi pada periode t, dan juga ekstraksi kumulatif sampai pada periode akhir ekstraksi.

4. Ricardian Stock Scarcity merupakan kelangkaan yang terjadi di mana stok yang dianggap tidak terbatas berinteraksi dengan biaya ekstraksi yang meningkat seiring dengan ekstraksi sampai periode akhir.

C Kinerja Lingkungan dan Kriteria Kinerja Lingkungan