• Tidak ada hasil yang ditemukan

NAMA PROGRAM

6.3. Identifikasi Ketidakadilan Gender terhadap PKRT Usaha Mikro dalam Komunitas

Kondisi pemberdayaan masyarakat di Desa Sekarwangi belum terlaksana dan belum diperhatikan terutama untuk kegiatan usaha ekonomi produktif warga masyarakat. Prioritas kegiatan masih dititikberatkan pada kegiatan perbaikan kondisi fisik desa dengan pembangunan jalan. Kegiatan sosial kemasyarakatan masih berkisar pada penyantunan kepada jompo miskin dan pemberian beasiswa bagi anak terlantar. Selebihnya adalah kegiatan bina keluarga balita yang kegiatannya sangat menonjol karena ada dukungan kuat dari PLKB dan Bidan Desa.

Masalah dan kondisi PKRT usaha mikro dapat dilihat dari ketidakadilan gender yang terjadi dalam pelaksanaan program pembangunan masyarakat di Desa Sekarwangi yaitu P2KP yaitu terjadi pembedaan dalam penerimaan bantuan dana bergulir P2KP. Awal penerimaan dana tersebut, perempuan yang mempunyai usaha mikro memperoleh kesempatan untuk meminjam dan mereka secara rutin juga membayar cicilannya. Setelah dana terkumpul dan digulirkan, ternyata perempuan usaha mikro terutama PKRT tidak memperoleh bantuan kembali padahal mereka sangat membutuhkan untuk pengembangan usaha mereka. Dana yang bergulir diberikan kepada laki-laki dengan jumlah yang cukup besar. Jumlah tersebut diserap tetapi pembayaran cicilannya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Cicilan hanya berjalan satu sampai dua kali dan setelah itu terhenti sama sekali. Ketidakadilan gender yang terjadi di desa Sekarwangi Kecamatan Katapang berkaitan dengan program pembangunan yaitu:

6.3.1. Marjinalisasi

PKRT mengalami marjinalisasi dalam penerimaan bantuan. Mereka dianggap tidak akan mampu mengembalikan pinjaman, sehingga akses terhadap pinjaman terutama dana yang terhimpun dalam program UP2K-PKK mengalami keterbatasan sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibu LA (Informan):

Dana UP2K-PKK kemarin dipinjamkan kepada Ibu NN yang berjualan ayam goreng, tetapi cicilan pengembaliannya mandeg di tengah jalan karena banyak pelanggan yang hutang kepada ibu NN. Seharusnya untuk usaha dagang makanan jangan dihutangin ke pelanggan, karena untuk beli bahan mentahnya ke pasar tidak bisa hutang…Tiap ada Binwil dari kecamatan kegiatan UP2K selalu dipantau, oleh sebab itu bantuan kemudian diberikan kepada Bpk Cc yang mempunyai usaha kerupuk seblak agar pengembalian dan pemantauannya mudah.

Uraian tersebut memberikan gambaran bahwa ada kekhawatiran dari pengurus PKK dana UP2K-PKK yang dipinjamkan tidak lancar pengembaliannya, apalagi penggunaan dana tersebut sering dipantau oleh pihak kecamatan. Dana tersebut akhirnya diberikan kepada salah seorang warga yang dianggap bisa mengembalikan pinjaman tersebut secara rutin dan apabila ada pemeriksaan, siap menerima kunjungan bina wilayah.

Hal tersebut dapat juga dilihat pada saat pelaksanaan PRA, ternyata masih banyak PKRT yang belum bisa mengakses program tersebut, walaupun kaum perempuan pada umumnya memperoleh kesempatan untuk meminjam kredit dari program P2KP. Upaya yang ditempuh oleh mereka adalah dengan meminjam uang dari bank keliling (rentenir). Marjinalisasi terjadi dengan adanya anggapan bahwa perempuan hanya bekerja di rumah saja, sedangkan laki-laki bekerja di luar rumah mncari nafkah, seperti yang diungkapkan oleh Ibu DW (PKRT usaha mikro):

Kalau kita mah kaum perempuan bekerja hanya untuk membantu suami mencari uang tambahan, karena suami yang harus mencari nafkah untuk menghidupi keluarga. Kalau kesempatan untuk bekerja lebih banyak diberikan pada laki-laki, sedangkan ibu-ibu bekerjanya di rumah, seperti ngewarung atau dagang kreditan.

Uraian di atas menggambarkan bahwa kaum perempuan sendiri menganggap bahwa diri mereka adalah sebagai pencari nafkah tambahan, sehingga posisi mereka dalam bekerja dianggap rendah. Hal tersebut tidak terlepas dari sistem sosialisasi yang telah tertanam sejak kecil bahwa perempuan bekerja di rumah dan laki -laki bekerja di luar rumah.

Marjinalisasi juga terlihat pada saat pelanti kan RT/RW, dari 43 orang pengurus RT/RW yang terpilih, hanya satu orang perempuan yang menjabat sebagai Ketua RW. Kaum laki-laki berpendapat bahwa perempuan hanya bekerja mengurusi urusan rumahtangga saja dan kalau ingin aktif ada wadahnya sendiri yaitu PKK.

6.3.2. Subordinasi

Perempuan terutama PKRT usaha mikro di Desa Sekarwangi mengalami subordinasi dalam bidang usaha yang dijalaninya. Mereka dianggap sebagai peran yang aktif untuk menambah penghasilan suami dan bukan sebagai kepala rumahtangga. Perempuan yang pada saat pasangan hidupnya mengalami krisis, seperti terkena PHK, maka perannya bertambah untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Peran tersebut akhirnya mengharuskan dirinya untuk menjadi pencari nafkah utama ditambah dengan jumlah tanggungan keluarga yang harus dihidupinya. sebagaimana yang diungkapkan oleh Bapak HW (Informan):

Tugas perempuan terutama PKRT yang mempunyai usaha mikro adalah membantu suami mencari tambahan uang. Bukan sebagai kepala rumahtangga, karena kepala rumahtangga tetap laki-laki. Kalau suami menganggur, itu karena suami kurang beruntung yaitu tidak mempunyai pekerjaan dan tidak bisa mencari nafkah.

Uraian di atas memberikan pemahaman bahwa perempuan mempunyai posisi sebagai pihak yang tersubordinasi, karena dianggap sebagai pencari nafkah tambahan. Apabila keadaan tersebut terjadi kepada seorang PKRT terutama PKRT yang memiliki usaha mikro, tentu keadaan makin sulit karena kesempatan untuk memperoleh pinjaman dan program-program pemberdayaan ekonomi kurang diberikan kepada mereka.

6.3.3. Beban Kerja

PKRT yang bergerak dalam usaha mikro mengalami beban kerja berlebih, karena selain menjalankan usahanya, ia juga harus mengurusi urusan rumahtangga. Apabila pasangan hidupnya mengerti kerepotannya dan mau membantu, hal tersebut tidak menjadi masalah, tetapi apabila ternyata suaminya atau anak-anaknya tidak peduli dengan kesulitannya, maka akan menjadi masalah bagi PKRT, karena tenaga dan pikirannya akan terkuras habis untuk memikirkan biaya hidup dan urusan rumahtangganya. Hal tersebut seperti yang diutarakan oleh Ibu EL (PKRT usaha mikro):

Suami saya sudah lama menganggur. Dulunya kena PHK dari IPTN. Sekarang saya yang harus mencari uang, karena untuk biaya sekolah anak dan hidup sehari-hari. Saya tiap hari bangun pagi terus ngurusin anak yang mau sekolah, setelah itu buka warung sambil mengerjakan sulaman, sementara suami moyan atau bermalas-malasan sambil nonton tv dan minum kopi. Terus terang saya kewalahan dan sangat capek. Suami tiap hari merokok dan minum kopi yang saya ambil dari jualan saya, akhirnya stok habis dan saya tidak bisa jualan.

Uraian di atas menjelaskan bahwa seorang PKRT mengalami kesulitan dalam membagi urusan domestik rumahtangga dan mencari nafkah karena tidak mempunyai dukungan dari suaminya. Hal tersebut mengakibatkan ter jadinya ketidakadilan gender apabila ternyata tidak ada perhatian dari lingkungan sekitar untuk membantu usaha mikro yang dijalankan oleh PKRT tadi.

6.3.4. Stereotipe

Stereotipe yang terjadi terhadap PKRT yang mengelola usaha mikro adalah usaha warungan dan dagang masakan adalah sebagai perpanjangan dari urusan rumahtangga perempuan yang tidak terlepas dari aktivitas dapur. Hal tersebut dapat dilihat dari penerimaan dana bergulir program P2KP, yaitu sebanyak 33 perempuan mengelola usaha warungan yang terdiri dari penjualan sembako, masakan matang, makanan anak-anak dan sebagainya.

6.3.5. Ideologi Gender

Perempuan di Desa Sekarwangi masih dianggap bahwa pekerjaannya mengurusi urusan rumahtangga merupakan kodrat dan kewajiban perempuan. Hal tersebut berdampak bagi PKRT. Walaupun ia bekerja sendiri untuk menghidupi keluarganya, tetapi kesempatan untuk memperoleh modal usaha dan berpartisipasi aktif di dalam kegiatan kemasyarakatan masih dianggap sebelah mata, tetapi bila ada keperluan pendataan, kaum perempuan masih dianggap sebagai sumber yang potensial untuk mendata masalah kependudukan.

6.4. Evaluasi Umum

PKRT usaha mikro dalam menjalankan usahanya mengalami keterbatasan akses dan kontrol terhadap sumberdaya produktif seperti penggunaan tenaga kerja orang lain, kredit uang, modal, peralatan/teknologi, pendidikan/pelatihan dan kelembagan formal dalam komunitas. Hal tersebut disebabkan adanya ketidakadilan gender yang ada dalam masyarakat seperti marjinalisasi, subordinasi, stereotipe dan beban kerja berlebih. PKRT usaha mikro mengalami double burden yaitu mempunyai beban kerja berlebih dalam kegiatan sehari-harinya. Mereka mengerjakan pekerjaan domestik dan mengurus usaha mikro.

Hasil usaha yang dijalankan oleh PKRT tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, karena habis untuk membayar hutang ke rentenir dan membiayai kehidupan rumahtangganya. Program pembangunan yang digulirkan oleh pemerintah yaitu program P2KP dan UP2K-PKK belum mampu memecahkan masalah PKRT usaha mikro, karena tidak semua PKRT mendapatkan bantuan tersebut.

Akses dan kontrol PKRT terhadap kelembagaan formal masih terbatas. Ikatan erat PKRT usaha mikro terbatas pada kelembagaan informal dalam masyarakat, seperti untuk mendapatkan kredit dan modal usaha, hubungan dengan keluarga, teman, tetangga dan rentenir sangat dekat. Akses PKRT usaha mikro dengan lembaga formal sangat terbatas, karena kebijakan dari desa berupa program pembangunan belum menyentuh masalah dan kebutuhan PKRT usaha mikro.

PENYUSUNAN PROGRAM PEMBERDAYAAN