• Tidak ada hasil yang ditemukan

IKATAN INTRA KOMUNITAS

2.1.3. Perempuan dan Analisis Gender

2.1.3.1. Perempuan Kepala Rumahtangga (PKRT)

Pemahaman mengenai perempuan yang menjadi kepala rumahtangga dapat dilihat dari berbagai sisi. Perempuan menjadi kepala rumahtangga disebabkan kematian suami, perceraian, ditinggal, suami sakit tetap dan tidak menikah (BPMD Propinsi jawa Barat, 2005).

Rumahtangga yang dike palai perempuan terdiri dari dua jenis, pertama, rumahtangga yang secara de jure dikepalai perempuan, yang pasangan laki- lakinya meninggalkannya selama -lamanya disebabkan karena perpisahan atau telah meninggal dunia, dan perempuan itu secara hukum berstatus cerai atau janda; kedua, rumahtangga yang secara de facto dikepalai perempuan di mana pasangan laki-lakinya untuk sementara waktu meninggalkannya, misalnya karena migrasi kerja dalam jangka waktu lama atau status pengungsi. Perempuan di sini secara hukum tidak berstatus kepala rumahtangga, dan sering merasa sebagai tanggungan, meskipun kenyataannya ia memikul tanggung jawab utama pada aspek keuangan ataupun pekerjaan rumahtangga (Moser, 1999).

Pada saat ini ada sekitar 30% sampai 40% rumahtangga yang dikepalai oleh perempuan di perkotaan (Friedmann, 1992). Peran yang dilakukan oleh perempuan kepala rumahtangga adalah:

1. Peran dalam lingkup domestik ekonomi rumahtangga.

Perempuan kepala rumahtangga berupaya untuk memenuhi kebutuhan dasar, menyiapkan makanan dan memelihara anggota keluarga yang sakit. 2. Peran dalam masyarakat.

Perempuan kepala rumahtangga mengadakan hubungan antar tetangga, keluarga, komunitas dan agama (kuil, mesjid dan gereja).

3. Peran dalam ekonomi pasar.

Perempuan kepala rumahtangga melakukan pekerjaan sektor “formal” dan “informal” serta koperasi.

4. Peran dalam negara.

Perempuan kepala rumahtangga berperan dalam sekolah. 5. Peran dalam politik.

Perempuan kepala rumahtangga berpartisipasi dalam gerakan sosial, partai politik dan organisasi pekerja.

Ada lima ketidakberuntungan menurut Chambers (1983) yang dimiliki oleh keluarga miskin yang dalam hal ini dititikberatkan pada perempuan kepala rumahtangga yang hidup dalam keterbatasan yaitu:

1. Kemiskinan (poverty).

Kemiskinan ditandai dengan (pertama) ruma h yang reot dan dibuat dari bahan bangunan yang bermutu rendah, perlengkapan yang sangat minim, tidak memiliki MCK sendiri, ekonomi keluarga ditandai dengan ekonomi gali lubang tutup lubang; (kedua) pendapatan mereka tidak menentu dan dalam jumlah yang tidak memadai, sehingga keluarga miskin menghabiskan apa yang mereka peroleh pada hari itu juga.

2. Fisik yang lemah (physical weakness).

Fisik yang lemah disebabkan adanya rasio ketergantungan yang tinggi antara anggota keluarga tersebut dengan anggota keluarga dewasa yang sehat dalam mencari nafkah. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal seperti tidak adanya seorang laki-laki yang sehat yang menjadi kepala keluarga sehingga rumahtangga harus dikepalai oleh seorang perempuan yang di samping harus

bekerja mengurusi pekerjaan rumahtangga sehari-hari masih juga harus bekerja untuk menghidupi keluarganya, atau adanya kematian yang mendadak dari orang dewasa dalam keluarga miskin yang menjadi tulang punggung pencari nafkah keluarga. Akibat dari ketergantungan ini menyebabkan anggota keluarga miskin secara fisik lemah sebagai akibat dari interaksi berbagai bibit penyakit dan rendahnya gizi mereka.

3. Kerentanan (vulnerability).

Keluarga miskin mengalami kerentanan seperti mereka tidak memiliki cadangan berupa uang atau makanan untuk menghadapi keadaan darurat, seperti ada anggota keluarga yang tiba-tiba sakit, maka biasanya keluarga ini akan menjual barang apa saja yang mereka miliki atau utang kepada tetangga atau rentenir. Keluarga miskin dalam menghadapi situasi paceklik akan menjual barang-barang yang dimilki yang laku dijual, utang pada tetangga yang lebih mampu, atau mengurangi makan mereka baik dari segi jenis atau frekuensinya. Kalau semula makan nasi dua kali sehari, maka pada musim paceklik mereka makan satu kali sehari, bukan nasi tapi ketela. Keadaan darurat membuat tidak hanya keluarga miskin menjadi lebih miskin, tetapi juga rawan dari berbagai penyakit yang tidak jarang dapat membawa kematian.

4. Keterisolasian (isolation).

Keterasingan keluarga miskin mempunyai berbagai bentuk. Kelompok miskin terasing karena tempat tinggalnya yang secara geografis terasing atau karena mereka tidak memiliki akses terhadap sumber-sumber informasi yang ada. Mereka tidak mampu membeli radio karena mereka miskin atau mereka tidak dapat ikut kegiatan dalam desa mereka yang dapat memberikan informasi baru karena mereka malu mendatangi pertemuan sebab sering mereka dijadikan objek pergunjingan oleh orang-orang yang hadir dalam pertemuan itu.

5. Ketidakberdayaan (powerlessness).

Orang miskin tidak berdaya menghadapi rentenir atau orang-orang lain yang sering mengeksploitasi mereka dan aparat negara atau polisi yang sering tidak ramah kepada mereka.

Jadi seorang perempuan kepala rumahtangga adalah mereka yang mempunyai ketidakberuntungan secara fisik, mental dan sosial dan mereka harus mengerjakan pekerjaan domestik, seperti mengurus anak atau suaminya

yang sakit, mencuci dan sebagainya, dan di lain pihak ia juga harus bekerja untuk menghidupi keluarganya karena perannya sebagai kepala rumahtangga. Wajah miskin selalu diidentikan dengan wajah perempuan, karena dengan keterbatasan yang ada pada dirinya, seorang perempuan harus bekerja serabutan untuk menghidupi diri dan keluarganya serta keterbatasan dalam mengakses sumberdaya produktif seperti perolehan modal, kredit, peralatan dan pelatihan.

Kerentanan yang dihadapi oleh perempuan usaha mikro bersumber dari posisi mereka sebagai pelaku ekonomi di dalam sektor yang marginal dan posisi mereka sebagai perempuan di dalam struktur relasi gender yang berlaku (Arifin, 2004). Sektor marginal artinya mereka berada dalam usaha mikro yang hasil keuntungannya kadang -kadang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya atau bersifat subsisten.

Peran perempuan sebagai kepala rumahtangga tidak dapat dipisahkan dari kehidupan keluarganya. Menurut Mutawali (1987) keluarga adalah kesatuan masyarakat terkecil yang merupakan inti dan sendi-sendi masyarakat. Kesejahteraan masyarakat sangat tergantung kepada keluarga-keluarga yang ada dalam masyarakat itu. Apabila keluarga-keluarga sejahtera, maka masyarakat akan sejahtera pula. Pernyataan tersebut memperlihatkan bahwa sebagai kepala rumahtangga, seorang perempuan juga bertanggung jawab untuk membina kehidupan keluarganya agar dapat menjadi keluarga yang mandiri dan sejahtera.

Menurut Dewayanti (2003) persoalan perempuan dapat dipandang dari 2 (dua) pendekatan:

1. Persoalan spesifik yang dihadapi perempuan berkaitan dengan posisinya sebagai perempuan. Batasan persoalan ini biasanya dikaitkan dengan konsep diskriminasi dan subordinasi peran perempuan dalam rumahtangga. 2. Persoalan yang berkaitan dengan pengaturan usaha ekonomi di dalam

rumahtangga dan komunitas.

Perempuan sebagai pelaksana urusan rumahtangga menyebabkan perempuan kehilangan kesempatan untuk memperoleh pekerjaan atau mengerjakan usaha ekonomi, di lain pihak perempuan juga berupaya sebagai pencari nafkah dalam keluarga di saat pasangan hidupnya tiada, berpisah atau

mengalami sakit berkepanjangan. Perempuan juga mengalami diskriminasi ketika ia bekerja pada pabrik/perusahaan atau pertanian dan dianggap bukan sebagai pencari nafkah utama sehingga menyebabkan upah yang diterimanya kecil (tersubordinasi) dan tidak mencukupi pemenuhan kehidupan bagi diri dan keluarganya. Kondisi tersebut semakin meningkat ketika kondisi perempuan berada dalam keadaan miskin. Ia harus mencari nafkah tambahan sementara suaminya menganggur karena PHK atau tidak mempunyai pekerjaan. Perusahaan rata-rata mempekerjakan buruh perempuan karena dianggapnya dapat dibayar murah, lebih teliti, lebih penurut dan jarang menuntut.

PKRT usaha mikro di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang termasuk dalam kategori Keluarga Pra KS dan KS 1. Kriteria mengenai Keluarga Sejahtera menurut Achir (1993) dapat dibuat pentahapan sebagai berikut:

1. Keluarga Pra Sejahtera, yaitu yang belum mampu memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal yang mencakup sandang, pangan, papan dan kesehatan.

2. Keluarga Sejahtera Tahap I, yaitu keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar secara minimal tetapi belum mampu memenuhi kebutuhan psikologis dan sosial.

3. Keluarga Sejahtera Tahap II, yaitu keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar, psikologis dan sosial tetapi belum dapat mengembangkan kebutuhan untuk menabung dan memperoleh informasi.

4. Keluarga Sejahtera Tahap III, yaitu keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhan dasar, kebutuhan sosial psikologis dan kebutuhan pengembangannya, namun belum dapat memberikan sumbangan (kontribusi) yang maksimal terhadap masyarakat.

5. Keluarga Sejahtera Tahap III Plus, yaitu kelu arga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhannya, baik yang bersifat dasar, sosial psikologis maupun yang bersifat pengembangan serta telah dapat pula memberikan sumbangan yang nyata dan berkelanjutan dalam masyarakat.

Konsep perempuan kepala rumahtangga mempunyai ciri-ciri yang hampir sama seperti konsep wanita rawan sosial ekonomi (konsep dari Departemen Sosial) yaitu seorang perempuan dewasa yang berusia 18 – 59 tahun, belum menikah atau janda yang tidak mempunyai penghasilan cukup untuk dapat

memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, tingkat pendidikan rendah (umumnya tidak tamat atau maksimal pendidikan dasar, istri yang ditinggal suami tanpa batas waktu dan tidak dapat mencari nafkah, serta suaminya sakit sehingga tidak mampu bekerja (Dinsos Prop. Jabar, 2003).

2.1.3.2. Analisis Gender

Analsis gender digunakan untuk melihat perbedaan perempuan dan laki- laki dari segi (a) kondisi (situasi) dan (b) kedudukan (posisi) di dalam keluarga dan masyarakat (Sumarti dan Ekawati, 2004). Alat analisis gender yang digunakan adalah: