• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Unit Lahan (HRU) Berpotensi menyebabkan Permasalahan

Hyetograph dan Hidrograph Debit Total tahun 2009-2012

C. Identifikasi Unit Lahan (HRU) Berpotensi menyebabkan Permasalahan

1. Debit

Secara umum kondisi debit Sub DAS dapat dilihat dari Hyetograph dan hidrograf debit total dugaan model dimana respon transformasi hujan menjadi debit sudah memiliki pola yang baik. Hal ini dapat dilihat ketika curah hujan meningkat maka debit meningkat pula meski ada kejadian hujan tinggi namun debit tidak mengalami peningkatan. Gambar 6 menunjukkan bahwa terjadinya debit total tidak hanya dipengaruhi oleh jumlah dan intensitas curah hujan pada saat debit maksimum. Namun terdapat faktor lain yang mempengaruhinya antara lain kejadian hujan sebelumnya, sebaran kejadian hujan di dalam DAS dan penggunaan lahan.

86

Gambar 10. Hyetograph dan hidrograf debit total

Debit bulanan pada Sub DAS Alo berkisar antara 0,173-5,000 (m3/s), debit tertinggi berada pada bagian hilir dan bagian tengah Sub DAS. Debit tertinggi dihasilkan oleh unit lahan 19, 13, 8, 9, 10 dan 11. Debit tertinggi berada disepanjang aliran sungai utama dan outlet Sub DAS, hal ini merupakan hasil akumulasi dari masing-masing debit yang ada pada setiap unit lahan yang ada diatasnya. Dampak dari tingginya debit pada wilayah outlet terlihat dari badan sungai yang menjadi lebih lebar karena adanya erosi pada tebing sungai (meandering).

Dampak tingginya debit juga teridentifikasi dari pengamatan disepanjang Sungai Alo dimana telah terjadi erosi tebing sungai, indikator yang nampak yaitu ditemukannya meandering disebagian besar kelokan sungai. Meandering terjadi akibat tingginya debit sehingga menimbulkan tingginya laju aliran permukaan pada sungai yang kemudian berimplikasi terhadap pengikisan tanah pada kelokan sungai. Sehingga akumulasi dari dampak tersebut dalam jangka panjang akan terlihat dari semakin lebarnya badan sungai terutama pada wilayah kelokan dan hilir sungai.

Tingginya debit juga diakibatkan oleh penggunaan lahan yang ada, dimana pertanian lahan kering campur sangat dominan dengan luas 64,53 % dan juga 14,5 % adalah semak belukar serta 8,85 % pertanian lahan kering. Dimana umumnya penggunaan lahan tersebut berada pada bagian hulu dengan tofografi curam (25 - 45 %) hingga sangat curam (> 45 %). Secara substansial semak belukar baik digunakan untuk meminimalisasi

0 100 200 300 400 500 600 0 5 10 15 20 C h ( m m /b u la n ) De b it ( m 3 /s ) Waktu

87

erosi namun penggunaan lahan ini juga menyebabkan tingginya laju aliran permukaan. Penutupan vegetasi melindungi permukaan tanah dari pengaruh langsung hujan dan angin, meningkatkan infiltrasi, memperlambat laju limpasan, serta meningkatkan kondisi fisik, kimia, dan biologi tanah (Asdak, 2010). Penggunaan lahan yang berbeda akan menghasilkan respon transformasi hujan menjadi aliran air yang berbeda pula. Semakin bertambahnya luasan pengembangan dan semakin berkurangnya luas hutan maka nilai koefisien limpasannya akan semakin bertambah besar begitu pula aliran permukaannya dan pada akhirnya akan meningkatkan debit sungai pada musim hujan dan sebaliknya akan menurunkan debit sungai pada musim kemarau (Wibowo 2005).

Gambar 11. Peta sebaran debit pada Sub DAS Alo

2. Sedimentasi

Sedimentasi bulanan pada Sub DAS Alo berkisar antara 2,085 - 20,000 ton/ha, daerah dengan sedimentasi berat berada pada wilayah hulu. Sedimentasi ringan berada pada wilayah hilir disepanjang sungai utama, dan hanya unit lahan 26 kategori ringan yang berada pada bagian hulu. Wilayah hilir umumnya adalah pemukiman dan persawahan dengan jenis tanah inseptisol. Sebagian besar sawah pada daerah hilir merupakan areal genangan danau yang mengalami pendangkalan hasil sedimentasi dari

88

wilayah hulu. Karena lereng yang relatif datar sehingga aliran permukaan sebagai cikal bakal terjadinya erosi juga sangat minim. Inseptisol adalah endapan tanah-tanah debu vulkanik yang merupakan tingkat perkembangan terakhir ultisol dan oksisol, memiliki epipedon okerik dan tanah liat amorf yang biasanya sangat asam serta baik untuk lahan pertanian khususnya jenis tebu dan kopi (Foth, 1994). Tanah ini memiliki campuran kandungan cukup banyak hara yang dibutuhkan untuk tanaman sehingga umumnya dianggap tanah subur. Pemukiman terpadat berada di daerah hilir yang merupakan ibukota Kecamatan Tibawa Kabupaten Gorontalo.

Gambar 12. Grafik sedimentasi total dugaan model

Sedimentasi ketegori tinggi terjadi pada unit lahan 14, 17 dan 33, sedangkan kategori paling tinggi dihasilkan unit lahan 6, 16, 18 dan 30. Penggunaan lahan pada unit lahan 23 dan 33 didominasi oleh pertanian lahan kering campur dan semak belukar dengan jenis tanah ultisol dan sebagian latosol. Tiga unit lahan dengan sedimentasi paling tinggi didominasi oleh penggunaan lahan pertanian lahan kering dengan pertanian lahan kering campur dengan kandungan jenis tanah ultisol.

Kelapa (Cocos nucifera) merupakan jenis komoditi utama yang dikembangkan oleh masyarakat pada pertanian lahan kering campur. Sedangkan Jenis komoditi yang dibudidayakan oleh masyarakat pada pertanian lahan kering adalah jagung (Zea mays) dan cabe (Capsicum annuum). Kedua jenis ini merupakan produk unggulan dan primadona masyarakat Gorontalo, pengembangan jagung ini merupakan kebijakan dan program unggulan pemerintah daerah periode sebelumnya yang hingga kini masih banyak diterapkan oleh masyarakat. Meski memiliki tajuk yang lebar

0 20 40 60 80 100 120 140 2 0 0 9 \1 20 09 \3 2 0 0 9 \5 20 09 \7 2 0 0 9 \9 2 0 0 9 \1 1 2 0 1 0 \1 20 10 \3 2 0 1 0 \5 20 10 \7 20 10 \9 2 0 1 0 \1 1 20 11 \1 2 0 1 1 \3 20 11 \5 2 0 1 1 \7 20 11 \9 2 0 1 1 \1 1 20 12 \1 2 0 1 2 \3 20 12 \5 20 12 \7 2 0 1 2 \9 2 0 1 2 \1 1 Se d im en ta si (t o n /h a ) Waktu

89

namun kondisi tanaman kelapa umumnya homogen dengan jarak tanam yang cukup lebar yaitu 7 m x 7 m atau 8 m x 8 m. Selain itu tidak adanya stratum yang jelas pada areal budidaya kelapa sehingga air hujan yang jatuh pada areal tersebut masih cukup besar.

Kondisi yang sama juga terjadi pada areal budidaya jagung dan cabe, dimana budidaya jenis ini cenderung homogen dan tanpa tumbuhan bawah. Keadaan inilah yang menyebabkan ketika hujan terjadi pengangkutan tanah permukaan oleh air. Vegetasi memiliki pengaruh signifikan terhadap konservasi tanah dimana jumlah aliran air akan meningkat apabila vegetasi ditebang atau dikurangi dalam jumlah besar atau mengubah jenis tanaman berakar dalam yang memiliki kapasitas intersepsi tinggi menjadi tanaman berakar dangkal dengan kapasitas intersepsi lebih rendah. Sehingga faktor penutupan lahan, sangat berpengaruh terhadap kondisi hidrologis dalam DAS. Suatu lahan dengan penutupan lahan yang baik memiliki kemampuan meredam energi kinetis hujan sehingga memperkecil terjadinya erosi dan sedimentasi. Kondisi penutupan lahan yang baik juga memberikan seresah yang cukup banyak, sehingga bisa mempertahankan kesuburan tanah (Bosch dan Hewlet, 1982).

Ultisol merupakan tanah dengan kategori agak tinggi terhadap kerentanan erosi dan latosol dengan kategori agak rendah (Paimin et al., 2006). Ultisol adalah tanah yang paling terkikis dan memperlihatkan pengaruh pencucian, kejenuhan basah rendah kurang dari 35 %. Ultisol memiliki tingkat kesuburan sangat rendah untuk tanaman pangan, pada jenis tanah ini pertanian hanya dapat dipertahankan dengan perladangan berpindah dan input pupuk. Jenis tanah ini akan sangat menyulitkan untuk pengembangan kawasan pertanian dan kehutanan ditahap-tahap awal pengembangan sehingga pemulihan kondisi lahan akan berjalan sangat lambat (Foth, 1992). Sedangkan Latosol adalah tanah dengan kadar liat lebih dari 60 %, remah sampai gumpal, gembur, warna tanah seragam dengan batas-batas horison yang kabur, solum dalam (lebih dari 150 cm), kejenuhan basa kurang dari 50 % umumnya mempunyai epipedon umbrik dan horison kambik (Hardjowigeno, 2007).

Wilayah dengan sedimentasi tinggi juga didukung oleh kondisi tofografi yang sangat curam (> 40 %), sehingga mengakibatkan tingginya aliran permukaan yang mengakibatkan erosi. Hubungan antara kemiringan lereng dengan fungsi hidro-orologis adalah bahwa semakin kecil kemiringan lereng akan semakin memperbesar kemungkinan air hujan untuk meresap ke dalam tanah. Hal ini dikarenakan semakin kecilnya air hujan yang menjadi

90

air permukaan. Disamping itu aliran air pada daerah datar cenderung lebih lambat dibandingkan dengan daerah curam, sehingga kemungkinan terjadinya erosi juga kecil. Dengan demikian pengaruh lereng datar terhadap kemungkinan timbulnya lahan kritis semakin kecil.

Selain memperbesar jumlah aliran permukaan semakin besar lereng juga memperbesar kecepatan aliran permukaan, dengan demikian memperbesar energi angkut air, selain itu dengan makin miringnya lereng, maka jumlah butir-butir tanah yang terpercik kebawah oleh tumbukan butir hujan semakin banyak. Jika lereng permukaan tanah menjadi dua kali lebih curam maka banyaknya erosi per satuan luas menjadi 2 - 2,5 kali lebih banyak (Arsyad, 1989). Laju Erosi dan sedimentasi sebanyak 30 - 40 % dari seluruh erosi tahunan terjadi pada dua bulan pertama musim penghujan, pada saat tanah belum sepenuhnya tertutup tanaman (Notohadiprawira et al., 1999).

Gambar 13. Peta sebaran sedimentasi pada Sub DAS Alo

Satu-satunya areal berhutan pada Sub DAS Alo terdapat di unit lahan 29, pada unit lahan ini sedimen rata-rata bulanan 2.085 - 5.568 ton/ha. Areal berhutan ini merupakan kawasan Cagar Alam (CA) Tangale, letaknya berada disepanjang aliran Sungai Alo. Selain itu CA Tangale dibelah oleh jalan Trans Sulawesi, dengan ketinggian tempat berkisar pada 100 - 350 m

91

dpl. Meski berhutan namun nilai sedimentasi berasal dari tofografi sebab secara keseluruhan CA. Tangale masuk kategori sangat curam (> 40 %). Meski kandungan jenis tanah (inseptisol) tidak rentan terhadap erosi namun sebagian wilayah dari cagar alam memiliki kandungan tanah ultisol. Selain masuk kategori tinggi terhadap kerentanan erosi, tanah ultisol juga sangat sulit untuk pengembangan kehutanan. Dengan kata lain jika areal hutan pada wilayah ini dibuka maka akan sangat sulit merestorasinya kembali.

Berdasarkan interpretasi citra luas CA. Tangale hanya 85,81 ha, terjadi penyusutan sebesar 26,69 ha dari luas total ketika kawasan konservasi ini ditetapkan. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 431/Kpts/VII-4/1992 tanggal 5 Mei tahun 1992 Kawasan Tangale ditetapkan sebagai cagar alam dengan luas areal 112,50 ha. Telah terdapat tanah-tanah kritis bekas perladangan berpindah dan pada bagian batas kawasan dan didalam kawasan. Lahan yang dibuka kemudian ditanami tanaman semusim berupa jagung dan cabe. Hasil pangamatan dilapangan ditemukan fakta bahwa masyarakat membuka lahan pada akhir musim kemarau atau sekitar bulan Oktober dengan cara membakar. Dalam skala kecil membakar mungkin dapat membantu mempercepat proses dekomposisi tanah, namun untuk skala yang lebih luas dan intensif akan menimbulkan dampak berupa menurunnya produktifitas tanah. Kondisi tersebut akan diikuti dengan penurunan produksi hasil panen dan muara dari kesemuanya itu adalah muncul lahan-lahan terdegradasi.

Berdasarkan hasil groundchek terdapat beberapa lokasi pengembangan hutan rakyat jati (Tectona grandis) yang dikembangkan oleh masyarakat dalam spot-spot kecil dengan luasan antara 0,5 - 1 ha. Hutan rakyat ini banyak dikembang oleh masyarakat disekitar pekarangan rumah mereka dan ada juga yang ditanam pada lahan perkebunan. Meski demikian namun kondisi ini tidak dapat berkontribusi secara signifikan terhadap penurunan laju sedimentasi, sebab penggunaan lahan ini hanya bagian kecil dari dominansi pertanian lahan kering dan semak belukar.

Secara visual di lapangan lahan kritis nampak gundul, gersang, pada permukaan lahan nampak dominasi pasir, terkadang muncul batu-batuan di permukaan tanah akibat adanya erosi dan umumnya terdapat pada lahan berbukit dan berlereng curam. Pada daerah tangkapan Sub DAS Alo banyak dijumpai lahan berupa alang-alang dan semak dimana tanaman pokok pada lahan tersebut tidak lagi dapat tumbuh dengan baik, hal itu merupakan indikator bahwa lahan tersebut telah mengalami degradasi. Keadaan tersebut disebabkan karena lapisan subur tanah relatif tidak dalam lagi,

92

sehingga hanya jenis tanaman yang memiliki perakaran dangkal dapat dengan cepat mengkonsumsi unsur hara. Berbeda ketika jenis tanaman perakaran dalam yang tumbuh pada daerah tersebut, tanaman terlihat kerdil karena ketika akar tanaman telah tumbuh semakin dalam maka akan kesulitan untuk mendapatkan unsur hara.

Lahan kritis di DAS Limboto pada umumnya merupakan lahan bekas perladangan berpindah yang ditinggalkan karena dianggap tidak produktif lagi. Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa masyarakat meninggalkan ladang yang dibuka setelah 3 - 5 kali penanaman. Daerah dengan lereng lebih terjal biasanya sudah ditinggalkan setelah tiga kali tanam. Hal ini menunjukkan cepatnya laju degradasi lahan pada areal bekas perladangan berpindah. Kondisi ini dapat dipahami karena sistem pertanian yang dilakukan merupakan pertanian subsisten yang memanfaatkan lahan tanpa adanya input pupuk dan teknik konservasi secara tradisional (Tabba, 2013). Areal ladang yang ditinggal pun saat ini berubah menjadi alang-alang dan semak.

Lahan-lahan pertanian tidak nampak adanya perlakuan konservasi tanah berupa teras yang diterapkan oleh masyarakat yang bermukim di sekitar hulu Sub DAS Alo. Padahal lahan pertanian yang mereka garap sebagian besar berada pada daerah dengan kemiringan lereng curam (25 - 45 %) sampai sangat curam (> 45%). Wilayah hilir umumnya ditemukan sawah, baik dengan menggunakan pengairan dari irigasi teknis ataupun tadah hujan. Sebagian besar wilayah persawahan merupakan areal bekas danau yang telah mengalami pendangkalan akibat sedimentasi kiriman dari bagian hulu Sub DAS yang terakumulasi dari tahun ke tahun.

Beberapa permasalahan pokok yang teridentifikasi yaitu tingginya aliran permukaan/erosi, frekuensi banjir yang cenderung meningkat. Keadaan ini disebabkan oleh tingginya konversi hutan menjadi lahan budidaya pertanian serta praktek perladangan berpindah (shifting cultivation) yang dilakukan oleh petani tradisional. Sebagian besar masyarakat mengusahakan lahan secara sub sistem tanpa adanya input pupuk dan penerapan teknik-teknik konservasi tanah dan air. Masyarakat membuka lahan untuk dijadikan areal budidaya pertanian lahan kering (jagung, cabe, kacang tanah, dan tomat). Lahan dibuka dengan cara dibakar terlebih dahulu, kegiatan ini mereka lakukan dengan alasan cepat dan tidak membutuhkan biaya besar. Umumnya mereka tidak menggunakan pupuk dengan alasan mahal. Ketika lahan garapan tidak lagi menghasilkan produksi maksimal karena kesuburan tanah menurun maka alternatif yang ditempuh oleh masyarakat adalah

93

dengan membuka lahan baru. Permasalahan tersebut timbul karena rendahya produktifitas lahan serta kurangnya transfer ilmu dan adopsi teknologi masyarakat, disisi lain kebutuhan hidup meningkat dan tingginya ketergantungan terhadap lahan.