• Tidak ada hasil yang ditemukan

BenangMerahKonservasiFloradanFauna dengan PerubahanIklim

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BenangMerahKonservasiFloradanFauna dengan PerubahanIklim"

Copied!
213
0
0

Teks penuh

(1)

Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelian, Manado, 28 Mei 2015

Benang Merah Konservasi Flora dan Fauna

dengan

Perubahan Iklim

Kement

er

i

an

Li

ngkungan

Hi

dup

dan

Kehut

anan

Badan

Penel

i

t

i

an,

Pengembangan

dan

I

novasi

Bal

ai

Penel

i

t

i

an

dan

Pengembangan

Li

ngkungan

Hi

dup

dan

Kehut

anan

Manado

E

d

i

t

o

r

:

I

r

.

A

.

T

h

o

ma

s

,

MP

(2)

i

PROSIDING SEMINAR HASIL-HASIL PENELITIAN

28 MEI 2015

Editor:

Ir. A. Thomas, MP

Lis Nurrani, S.Hut

K e menterian Lingkungan Hidup d an Kehutanan Bad an Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi

(3)

ii

I SBN 978-602-96800-9-6

Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian

Benang Merah Konservasi Flora dan Fauna

dengan Perubahan Iklim

Manado, 2015

Te rbit Tahun 2016

Tata Letak dan Desain Sampul:

Lulus Turbianti

D iterbitkan oleh:

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado Jalan Raya Adipura, Kelurahan Kima Atas, Kecamatan Mapanget, Manado Telp. 085100666683

Email: bpk_mdo@yahoo.com; publikasi.bpkmdo@yahoo.com Website: http://bpk-manado.litbang.dephut.go.id

D icetak oleh:

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado

Pe rcetakan:

(4)

iii

dalam konteks perubahan iklim. Perambahan hutan sampai saat ini diketahui menjadi masalah dan penyebab paling besar terhadap perubahan iklim. Kegiatan deforestasi dan degradasi lahan akibat aktivitas manusia yang tak ramah lingkungan akan membuat kadar gas-gas rumah kaca di udara akan terus meningkat dan bertambah banyak. Hal tersebut terjadi karena fungsi hutan sebagai penyerap gas-gas CO2 terus berkurang.

Fungsi hutan tidak hanya sebagai penyerap karbon, tapi juga sebagai sebuah ekosistem bagi flora dan fauna. Keragaman flora dan fauna perlu terus dijaga dan dilestarikan sebagai bagian dari kehidupan dan kekayaan alam yang sangat penting bagi manusia. Konservasi flora dan fauna juga dipandang sebagai hal mendasar yang mampu mencegah terjadinya perubahan iklim. Konservasi flora dan fauna baik secara ek situ maupun in situ berperan dalam menjaga ekosistem hutan dan proses penyerapan karbon yang bermuara pada pengurangan dampak perubahan iklim yang meningkat dari waktu ke waktu.

Dalam rangka memperingati hari Biodiversitas Dunia tanggal 22 Mei dan menyambut hari Lingkungan Hidup Seluruh Dunia pada tanggal 5 Juni, Balai Penelitian Kehutanan Manado (sekarang Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado) menyelenggarakan seminar dengan tema: Benang Merah Konservasi Flora dan Fauna dengan

Perubahan Iklim.

Balai Penelitian Kehutanan Manado telah melakukan kegiatan penelitian bidang konservasi flora dan fauna dan juga tentang perubahan iklim. Oleh karena itu untuk penyebarluasan hasil penelitian dan juga mendorong pemanfaatan IPTEK, maka dilakukan seminar nasional hasil penelitian. Seminar Nasional Benang Merah Konservasi Flora dan Fauna dengan Perubahan Iklim ini diselenggarakan sebagai wadah komunikasi ilmiah tentang Konservasi Flora dan Fauna dan juga Perubahan Iklim.

Prosiding ini memuat delapan judul materi yang dibahas dan tiga materi penunjang serta rumusan seminar berdasarkan hasil diskusi.

(5)

iv

Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terimakasih Pimpinan GIZ Forclime, penyaji materi, panitia penyelenggara, moderator, peserta serta semua pihak yang telah membantu penyelenggaraan kegiatan ekspose hingga penyusunan prosiding.

Semoga prosiding ini bermanfaat.

Manado, Juli 2016

Kepala BP2LHK Manado

Ir. Muh. Abidin, M.Si

NIP. 196006111988021001

(6)

v

Redaktur : Rinto Hidayat, S.Hut Editor : Ir. A. Thomas, MP

Lis Nurrani, S.Hut

Sekretariat : Nurhayati Samsudin, S.Hut, ME Lulus Turbianti, S.Hut.

(7)
(8)

vii

Kata Pengantar ... iii

Daftar Isi ... vii

Laporan Penyelenggaraan ... ix

Sambutan Kepala Badan Litbang dan Inovasi ... xiii

Rumusan ... xvii

MAKALAH PRESENTASI

Teknologi Penanaman Rhizophora mucronata Lamk untuk Mengatasi Abrasi Pulau Kecil dan Mitigasi Bencana

Ady Suryawan, Nur Asmadi dan Endro Subiandono ... 1-12 Cadangan Karbon pada Beberapa Tipe Vegetasi Hutan

di Sulawesi Utara

Nurlita Indah Wahyuni, Ady Suryawan, dan Arif Irawan ... 13-26 Perilaku Harian Sepasang Burung Nuri Talaud (Eos histrio)

di Kandang Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Manado

Anita Mayasari, Diah I. D. Arini, Ady Suryawan,

Melkianus S. Diwi, dan Nur Asmadi ... 27-38 Ragam dan Intensitas S erangan Ektoparasit di S ekitar

Kandang Anoa (Bubalus spp.) Balai Penelitian Kehutanan Manado

Diah I.D Arini, M. S. Diwi, A. Mayasari, dan Nur Asmadi... 39-50 Evaluasi Pertumbuhan Tiga Jenis Diospyros Umur 1,5 Tahun

di Hutan Penelitian Batuangus

Julianus Kinho, Jafred Halawane, Yermias Kafiar,

Moody Karundeng,dan Melkianus Diwi... 51-64

MAKALAH PENUNJA NG

Evaluasi Awal Uji Coba Penanaman Jenis Tanaman Lokal pada Hutan Terdegradasi Menggunakan Perlakuan Ukuran Lubang Tanam di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara

Arif Irawan, Iwanuddin, Ady Suryawan, dan Nur Asmadi ... 65-74 Debit dan Sedimentasi Sub DAS Alo di Provinsi Gorontalo

“Implikasi Kerusakan DAS”

Supratman Tabba, Lis Nurrani, Endrawati, dan Isdomo Yuliantoro.. 75-96 Pengaruh Asal Benih dan Penggunaan Pupuk Kandang terhadap

Pertumbuhan Awal Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) dalam Uji Coba Penanaman pada Lahan Berpasir

Hanif Nurul Hidayah, Arif Irawan, Jafred E. Halawane,

(9)

viii

PRESENTASI TAMU

Pelestarian Biodiversitas dan Perubahan Iklim

Johny S. Tasirin ... 107-118 “Stability of Tropical Rainforest Margins” in Central Sulawesi

Henry Barus ... 119-164 Konservasi dan Perubahan Iklim

(10)

ix

DENGA N PERUBAHA N IKLIM MANADO, 28 Mei 2015

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Yang terhormat:

1. Kepala Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi Kehutanan, yang diwakili oleh Sekretaris Badan

2. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara 3. Para Kepala UPT Lingkup Kementerian Kehutanan 4. Para Akademisi

5. Para Pimpinan Perusahaan di Bidang Kehutanan 6. Para Pejabat Struktural dan Fungsional

7. Para Tamu Undangan dan Peserta Seminar yang berbahagia

Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua Syallom,

Pertama-tama marilah kita memanjatkan segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga pada hari yang baik ini kita semua dapat menyelenggarakan seminar atas kerjasama Balai Kehutanan Manado dengan GIZ (Gesellschaft fur Internationale Zusammenarbeit).

Seminar tahun ini dengan tema Benang Merah Konservasi Flora dan Fauna dengan Perubahan Iklim sangat istimewa karena dilaksanakan dalam rangka memperingati hari Biodiversitas Dunia tanggal 22 Mei dan sekaligus menyambut hari Lingkungan Hidup Seluruh Dunia pada tanggal 5 Juni. Hal yang menjadi latar belakang diselenggarakannya seminar ini adalah terjadinya perubahan iklim yang semakin menghawatirkan kita bersama dan vitalnya peran hutan dalam menyerap maupun mengemisi karbon dalam konteks perubahan iklim. Perlu bagi kita untuk mengerti secara mendalam bahwa konservasi flora dan fauna adalah hal mendasar yang mampu mencegah terjadinya perubahan iklim. Konservasi flora dan fauna baik secara ex-situ maupun in-situ berperan dalam menjaga ekosistem hutan dan

(11)

x

proses penyerapan karbon yang bermuara pada pengurangan dampak perubahan iklim yang meningkat dari waktu ke waktu.

Tujuan pelaksanaan seminar adalah memfasilitasi pertukaran pendapat dan informasi terkini dari para narasumber mengenai hasil-hasil penelitian konservasi flora dan fauna beserta kaitannya dalam perubahan iklim di Indonesia, serta mendiseminasikan hasil-hasil penelitian mengenai konservasi dan perubahan iklim bagi pengguna, khususnya masyarakat Sulawesi Utara. Seminar ini juga melibatkan para pembuat kebijakan, ilmuwan, praktisi dan stakeholders lainnya dalam rangka menyusun strategi pencegahan perubahan iklim melalui kegiatan konservasi flora dan fauna.

Hadirin dan peserta seminar yang saya hormati,

Perkenankanlah saya berterimakasih dan berbangga atas kerjasama yang baik antara panitia, peserta dan semua pendukung acara sehingga seminar ini dapat diselenggarakan dengan baik pada hari Kamis, 28 Mei 2015 bertempat di Swiss-Belhotel, Manado. Seminar ini dihadiri oleh 160 orang peserta, termasuk 8 orang narasumber dari empat (4) instansi.

Tamu undangan yang berbahagia,

Pada kesempatan ini saya selaku penanggung jawab acara ini mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Kepala Badan Litbang Kehutanan yang berkenan membuka seminar ini, Kepada Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara dan Kepala UPT lingkup Kementerian Kehutanan yang telah menghadiri seminar ini. Ucapan terimakasih juga saya sampaikan kepada GIZ (Gesellschaft fur Internationale Zusammenarbeit), APIKI region Sulawesi, dan Universitas Sam Ratulangi atas pertisipasi dan kerjasama sehingga seminar ini dapat teraksana dengan lebih baik. Saya juga menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada segenap narasumber dan tamu undangan yang berkenan menyediakan waktunya untuk berpartisipasi dalam acara seminar ini. Tidak lupa kepada semua panitia penyelenggara semiar dari Balai Penelitian Kehutanan Manado yang telah menyelenggarakan acara ini dengan baik dari awal persiapan hingga pada berlangsungnya acara pada hari ini.

Peserta seminar yang terhormat,

Akhir kata, saya berharap semoga hasil seminar ini dapat membuka wawasan kita untuk waspada akan dampak perubahan iklim dan semakin giat mengupayakan tindakan konservasi flora dan fauna sebagai salah satu

(12)

xi

Demikian sambutan saya, semoga Allah SWT senantiasa memberikan bimbingan kepada kita semua.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Kepala BPK Manado

Ir. Muh. Abidin, M.Si

(13)
(14)

xiii

SAMBUTA N

KEPALA BADAN PENELITIA N DAN PENGEMBA NGA N KEHUTA NA N PADA PEMBUKAA N SEMINAR

BENA NG MERAH KONSERVASI FLORA DAN FAUNA DENGA N PERUBAHA N IKLIM

Manado, 28 Mei 2015 Yang saya hormati:

1. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara

2. Para Kepala Pusat Penelitian Pengembangan lingkup Kementerian Kehutanan

3. Para narasumber 4. Perwakilan GIZ

5. Para Kepala UPT Kementerian Kehutanan 6. Para Akademisi

7. Para Pimpinan Perusahaan di Bidang Kehutanan, Praktisi, Penyuluh

8. Para Pejabat Struktural dan Fungsional, Tamu Undangan dan Peserta Seminar yang berbahagia

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua Syallom,

Pertama-tama marilah kita memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga pada hari yang indah ini kita dapat hadir di tempat ini untuk mengikuti seminar “Benang Merah Konservasi Flora dan Fauna dengan Perubahan Iklim”.

Pemilihan tema ini menurut saya sangatlah relevan mengingat bahwa akhir-akhir ini persoalan deforestasi serta degradasi lahan dan hutan telah menjadi perhatian masyarakat luas. Degradasi dan deforestasi ini mengakibatkan fragmentasi lahan serta semakin tingginya laju kehilangan flora dan fauna, sehingga solusinya perlu kita upayakan bersama. Sementara itu, upaya pengendalian perubahan iklim juga merupakan keniscayaan. Topik pembahasan tentang keterkaitan perubahan iklim dan flora-fauna menjadi sangat penting, karena Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Manado memfokuskan penelitiannya untuk konservasi flora dan fauna.

(15)

xiv

Para hadirin sekalian,

Pada kesempatan yang baik ini, saya ingin menyampaikan beberapa hal yang penting untuk kita perhatikan bersama:

Kementerian Kehutanan pada tahun 2010 telah menetapkan empat belas spesies terancam punah sebagai spesies prioritas utama konservasi. Khusus di Provinsi Sulawesi Utara telah ditetapkan empat satwa endemik Sulawesi untuk ditingkatkan populasinya yaitu: anoa (Bubalus depressicornis dan

Bubalus quarlesi), babirusa (Babyrousa babyrussa), maleo (Macrocephalon maleo) dan yaki (Macaca nigra). Penetapan 4 “Satwa Kunci” tersebut harus menjadi acuan utama dalam kegiatan penelitian dan pengembangan.

Riset untuk peningkatan populasi spesies prioritas tersebut harus komprehensif. Tidak hanya melalui breeding tetapi juga menyangkut semua secara holistik, pembinaan habitat, pembinaan populasi dan habitat, penanggulangan konflik manusia dengan satwa liar, penertiban perburuan dan perdagangan illegal, pelatihan dan peningkatan kapasitas serta pengembangan sistem pangkalan data. Hal ini juga sesuai dengan Indikator Kinerja Program (IKP) nya Ditjen Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem (KSDAE). Apresiasi pada BPK Manado yang telah menginisiasi kegiatan konservasi Anoa dan mengembangkan Anoa Breeding Centre. Diwaktu mendatang tidak hanya Anoa tetapi juga 3 spesies lain yang perlu dilindungi khusus di Sulawesi Utara.

Selain konservasi fauna, konservasi flora Indonesia juga mendesak untuk dilakukan baik secara in-situ maupun ex-situ. Selain untuk keseimbangan ekosistem, hutan dan terutama pohon adalah penyumbang karbon terbesar.

Hadirin yang saya hormati,

Salah satu landasan ilmiah yang penting dalam membahas isu perubahan iklim saat ini adalah laporan penilaian keempat (Fourth Assessment Report/AR4), yang diterbitkan oleh IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) pada tahun 2007. Dengan menggunakan berbagai data observasi dan hasil keluaran model iklim global, laporan tersebut menegaskan peran kontribusi kegiatan manusia (faktor antropogenik) yang bisa mengakibatkan peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GHGs) di atmosfer yang mempercepat laju peningkatan temperatur permukaan rata-rata global hingga mencapai 0,74°C. Perubahan iklim juga akan mendampak pada pertanian, perikanan, kesehatan, ekonomi, serta mengancam

(16)

xv

pengendalian perubahan iklim.

Dampak perubahan iklim terhadap peningkatan temperatur juga mengakibatkan efek berganda (multiplier efect), seperti percepatan perkembangbiakan nyamuk dan lalat. Sehingga mendorong terjangkitnya penyakit demam berdarah dan disentri. Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar penyakit manusia disebabkan oleh hewan, dan penyakit pada hewan disebabkan oleh terganggunya keseimbangan ekosistem. Dengan demikian penanggulangan perubahan iklim harus diletakkan pada konteks konservasi dan menjaga keutuhan ekosistem, dan bukan semata-mata untuk perdagangan karbon.

Hadirin yang saya hormati,

Topik perubahan iklim selain berbasis science dan merupakan isu pembangunan juga berdimensi internasional dan nasional. Oleh karena itu upaya pengendalian perubahan iklim tidak hanya ramai dibahas di tingkat internasional, tetapi juga menjadi penting di lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dengan terbentuknya Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (Perpres 16/2015). Harus disadari pula bahwa upaya pengendalian tersebut tidak cukup hanya dilaksanakan oleh satu Direktorat Jenderal, tetapi harus merupakan upaya bersama yang bersinergi dan terintegrasi. Dalam konteks inilah maka diskusi keterkaitan antara pengendalian perubahan iklim dengan upaya menjaga keutuhan ekosistem serta konservasi flora dan fauna yang kita laksanakan hari ini harus mampu memberikan pemahaman yang sama dan rencana aksi bersama yang lebih konkrit dan dapat dirasakan masyarakat.

Satu hal yang sangat menarik, bahwa seminar ini diselenggarakan bertepatan diantara dua hari yang sepatutnya kita peringati bersama. Tanggal 22 Mei yang baru saja berlalu merupakan hari Biodiversitas Dunia, dan pada tanggal 5 Juni mendatang kita akan memperingati hari Lingkungan Hidup Seluruh Dunia. Semangat perayaan peringatan penting tersebut harus menjadi motor untuk mengawali dan terus berperan dalam kegiatan nyata konservasi flora dan fauna demi mencegah semakin ekstrimnya perubahan iklim.

(17)

xvi

Peserta yang saya hormati,

Akhirnya dengan mengucapkan Bismillahir-rohmanirrohim, seminar ini secara resmi saya nyatakan dibuka. Selamat berdiskusi dan berkarya, semoga seminar ini berlangsung dengan lancar sesuai harapan kita bersama.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Kepala Badan

Prof. Dr. Ir. San Afri Awang, MSc NIP.195704101989031002

(18)

xvii

penyampaian materi dari “Keynote speech”, presentasi dan diskusi yang berkembang dalam persidangan serta saran-saran dari peserta, maka Seminar yang bertema “Benang Merah Konservasi Flora dan Fauna

dengan Perubahan Iklim” yang diselenggarakan pada 28 Mei 2015 di

Manado, merumuskan hal-hal sebagai berikut:

1. Keanekaragaman hayati berperan mengurangi dampak negatif perubahan iklim melalui layanan ekosistem, pengurangan karbon dari udara, penyimpanan karbon, dan pelepasan oksigen.

2. Perubahan Iklim berdampak negatif pada keanekaragaman hayati diantaranya adalah menyebabkan kehilangan keanekaragaman hayati, hilangnya habitat, perubahan siklus hidup, dan menyebabkan terjadinya mutasi genetik pada spesies.

3. Konservasi flora dan fauna sebagai bagian dari upaya konservasi keanekaragaman hayati berperan dalam menjaga ekosistem hutan dan proses penyerapan karbon yang bermuara pada pengurangan dampak perubahan iklim yang dapat dilakukan baik melalui mitigasi maupun upaya adaptasi.

4. Untuk meningkatkan upaya konservasi, diperlukan adanya Insentif bagi masyarakat dan pihak-pihak yang ikut melestarikan hutan yang secara tidak langsung dapat mengurangi dampak perubahan iklim.

5. Pentingnya penelitian yang dapat menghasilkan data dan informasi untuk mendukung perencanaan jangka panjang, khususnya dalam mengurangi dampak perubahan iklim.

6. Penelitian yang sudah dilaksanakan perlu dilanjutkan dengan memperhatikan aspek manfaat yang dapat diterapkan.

7. Program penelitian memerlukan dukungan pendanaan yang perlu digali dari berbagai sumber.

8. Penelitian terkait perubahan iklim adalah bersifat ilmiah perlu juga memperhatikan aspek isu pembangunan berupa manfaat dan ekonomi bagi masyarakat, aspek nasional sub nasional serta lingkup wilayah penelitian.

(19)

xviii

Dirumuskan di: Manado Pada tanggal: 28 Mei 2015 Tim Perumus:

Ir. Puspa Dewi Liman, M.Sc Bambang Setiyono, S.Hut, MAP Margaretha Christita, S.Hut

(20)

1

Teknologi Penanaman

Rhizophora mucronata

Lamk untuk

Mengatasi Abrasi Pulau Kecil dan Mitigasi Bencana

1

Ady Suryawan2, Nur Asmadi2 dan Endro Subiandono3

ABSTRAK

Keberhasilan rehabilitasi mangrove menggunakan Rhizophora mucronata Lamk pada areal rehabilitasi di pulau kecil masih rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan teknologi penanaman R. mucronata pada areal mangrove pulau. Penelitian dimulai 2012 s/d 2014 di Pulau Talise dan Pulau Karakelang. Menggunakan berbagai rancangan, metode dan teknik uji coba. Parameter yang diamati daya hidup dan dianalisis menggunakan analisis sidik ragam. Hasil penelitian menunjukan bahwa daya hidup R. mucronata dapat ditingkatkan melalui: 1). Menggunakan propagul yang telah tua dan langsung ditanam di lapangan, 2). Penanaman propagul sedalam 1/3 panjang batangnya, 3). Memanfaatkan akar napas dari mangrove yang ada sebagai pancang, 4). Menggunakan tambahan pelindung sebagai peredam ombak pada areal terbuka. Keempat upaya tersebut terbukti nyata meningkatkan daya hidup R. mucronata. Daya hidup tertinggi mencapai 79 % dan tinggi mencapai 148 cm setelah 16 bulan tanam.

Kata kunci: Abrasi,mitigasi, pulau kecil, penanaman, Rhizophora mucronata I. PENDA HULUA N

Perubahan iklim memiliki dampak besar bagi suatu pulau sebagaimana penjelasan Marschiavelli dan Niendyawati (2007) bahwa pulau akan menerima dampak fisik antara lain : kenaikan muka air laut, cuaca ekstrim, kekurangan air bersih, erosi/abrasi, pemutihan karang, rob dan bahaya tsunami. Pada pulau yang tidak memiliki ekosistem mangrove akan mudah disapu ombak dan arus musiman (Noor et al., 2006). Data 2011

1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Benang Merah Konservasi Flora dan Fauna dengan

Perubahan Iklim, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado, Manado 28 Mei 2015

2Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado, Jl. Raya

Adipura Kelurahan Kima Atas Kecamatan Mapanget Kota Manado; email : suryawanbioconserv@gmail.com

(21)

2

menunjukkan bahwa kerusakan hutan mangrove di Sulawesi Utara telah mencapai 10.689 ha dari 14.463 ha (BPDAS Tondano, 2011).

Hakim (2003) menyimpulkan bahwa kerusakan mangrove berpengaruh nyata terhadap laju abrasi, laju abrasi pertahun berkisar 3,6-8,4 meter atau rata 6,03 meter pada laju kerusakan pertahun 0,32 %-1,6 % atau rata-rata 0,79 % dari luas mangrove semula. Kathiresan dan Rajendran (2005) menjelaskan bahwa hilangnya ekosistem mangrove terbukti menghilangkan kekayaan keanekaragaman flora-fauna.

Naohiro et al. (2011) menjelaskan bahwa gelombang tinggi akan menyebabkan pantai mengalami abrasi dan kondisi fisik tanah berubah. Kondisi ini menjadi kendala dalam rehabilitasi mangrove, selain itu keberhasilan rehabilitasi juga dipengarui oleh tinggi air laut dan kekuatan ombak (Stanley dan Lewis, 2009; Halidah a, 2010). Disatu sisi teknik rehabilitasi mangrove belum sepenuhnya dikuasi sebagaimana kesimpulan Subiandono (2011) dan Anwar (2004) bahwa keberhasilan rehabilitasi mangrove masih rendah. Hal ini nampak dari laporan Anwar (2004) yaitu keberhasilan rehabilitasi di BRLKT Jenebereng hanya 24,3 % dan laporan Suryawan et. al (2013) yaitu rehabilitasi mangrove di Pulau Talise hanya 56 %. Hal ini tergolong gagal menurut Nirawati et al. (2013) karena di bawah 64 %.

Menurut Pontoh (2011) kunci keberhasilan rehabilitasi mangrove adalah partisipan dalam merehabilitasi dan mengelola ekosistem mangrove yang dipengaruhi oleh pengetahuan dan peraturan yang ada. Menurut Halidah a (2010) R. mucronata Lamk adalah jenis yang sering digunakan untuk rehabilitasi dengan pertimbangan mudah disemai, benih melimpah, sebarannya luas, selain itu menurut Anwar (2004) juga tahan terhadap arus dan ombak. Penelitian akan mendiskusikan beberapa teknik penanaman R. mucronata di Pulau Kecil yang telah diuji.

II. METODE PENELITIA N A. Waktu dan Lokasi

Penelitian dilakukan mulai tahun 2012 s/d 2014 di Pulau Talise Kabupaten Minahasa Utara dan Pulau Talaud Kabupaten Kepulauan Talaud.

B. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: linggis, pita meter, parang dan gergaji. Bahan yang digunakan yaitu: propagul R. mucronata

(22)

3

C. Prosedur Kerja

Diawali dengan pengumpulan propagul yang telah tua dari sumber benih mangrove tersertifikasi Desa Air Banua Pulau Talise. Pengukuran dimensi propagul, penentuan batas penanaman. Pembuatan pancang dari bambu, penanaman dan pengamatan keberhasilan berdasar jumlah yang hidup.

Pengumpulan data dilakukan melalui beberapa uji coba, studi pustaka, dan dokumentasi. Ujicoba dilakukan sebanyak 5 kali eksperimen yaitu pada bulan Mei, Juni, September 2012, Mei, Juni 2013. Ujicoba menggunakan rancangan acak lengkap faktorial dan RAL menggunakan ulangan 3 kali. Perlakuan yang diaplikasikan antara lain:

Uji coba 1. Faktor variasi kedalaman propagul (3 taraf yaitu ¼, 1/3, 1/2 panjang propagul yang ditanam) dan faktor lokasi (3 taraf yaitu Pantai 45, Pantai Wawunian, Pantai Tambun semuanya ada di Pulau Talise).

Uji coba 2. Faktor pola penanaman (4 taraf yaitu zigzag 0,5 x 0,5 meter, jarak 1 x 0,5 meter, jarak penanaman 1 x 2 meter dan penanaman berkelompok) dilakukan di Pantai 45

Uji coba 3. Faktor asal bibit (2 taraf yaitu bibit persemaian dan propagul), faktor lokasi penanaman (4 taraf, yaitu: Pantai Wawunian, Pantai Tambun, Pantai 45 dan Pantai Gangga) dan faktor jenis bibit (5 taraf yaitu : R. mucronata, Bruguiera gymnorrhiza, Rhizophora apiculata, Sonneratia alba dan Ceriops tagal) Uji coba 4. Rancangan acak lengkap dengan perlakuan bentuk alat penguat

tanaman dengan perlakuan antara lain: menggunakan pagar bambu lurus, pagar bambu segitiga, pagar batu lurus, pagar batu segitia, pagar gedek, menggunakan pot dari bambu, propagul diikat bersama dilakukan di Pantai 45.

Uji coba 5. Faktor bentuk alat penguat tanaman (menggunakan anyaman bambu, pagar batu pendek, bambu jepit, sungkup bambu, pot bambu, propagul diikat bersama akar napas) dan faktor lokasi penanaman (Pantai Beo dan Pantai Alo, keduanya di Pulau Karakelang).

D. Analisis Data

Pengolahan data dianalisa menggunakan sidik ragam uji F dengan persamaan linear: Yij = μ + γi + τj + ɛij (Siagian, 2011)

(23)

4

Data primer yaitu data yang diperoleh dari hasil uji coba dan sebagian telah dipublikasikan. Data sekunder merupakan data hasil studi pustaka.

III. HASIL DAN PEMBAHASA N

A. Propagul atau Bibit dari Persemaian?

Hasil penelitian keberhasilan R. mucronata pada areal terabrasi menggunakan propagul dan tanaman persemaian telah dipublikasikan dalam Suryawan et al. (2013) sebagaimana Tabel 1 dan dijelaskan bahwa daya adaptasi propagul lebih tinggi dibandingkan tanaman persemaian. Hal berdasar hasil ujicoba rehabilitasi menggunakan cabutan mangrove mengalami kegagalan hingga 100 % dan penjelasan Krauss et al. (2008) yang mengatakan bahwa ekosistem mangrove memiliki tingkat sensitifitas yang tinggi terhadap kandungan nutrisi substrat yang ada. Ketika terjadi perubahan lingkungan akan menciptakan stress. Hal ini terjadi bibit yang berasal dari persemaian, dimana kondisi persemaian yang relatif mendukung pertumbuhan (arus, salinitas, cahaya dan perawatan) dengan kondisi lapangan yang cukup ektrem. Menurut Kusmana et al. (2003) pengangkutan bibit juga mempengaruhi kondisi bibit, kaitannya dengan jumlah yang diangkut, alat angkut, wadah bibit dan perlakuan bibit selama pengangkutan.

Tabel 1. Keberhasilan R. mucronata menggunakan propagul dan persemaian Rata – rata keberhasilan

tanaman

Bibit persemaian Bibit propagul

35 % a 56 % b

Keterangan : Nilai yang diikuti huruf berbeda menunjukan berbeda nyata Sumber : Suryawan et al. (2013)

Kondisi substrat yang cocok untuk pertumbuhan R. mucronata yaitu didominasi oleh pasir 62 % - 82,14 % (Kushartono, 2009 dan Halidah a, 2010), ketebalan lumpur rata- rata 29,73 cm (Halidah a, 2010), namun dapat juga ditanam pada areal berlumpur dalam (Anwar, 2004), salinitas 7 - 15 ppt (Hutahean et al., 1999), tinggi genangan 0 – 30 cm dan jarak tanam 2 x 1,5 m (Halidah b, 2010). Lama penggenangan berpengaruh terhadap akumulasi kadar garam pada substrat tersebut (Kusmana et al., 2003).

(24)

5

Sumber : suryawan

Gambar 1. Kondisi tanaman dari A) propagul langsung, B) bibit persemaian, C) propagul siap tanam (memiliki ciri khas cincin warna kuning) Propagul R. mucronata dapat digunakan sebagai benih yang baik memiliki ciri – ciri panjang minimal 50 cm, telah mengalami perkecambahan ditunjukan dengan warna kuning pada kotiledonnya (Noor et al., 2006). Propagul yang telah tua dapat langsung digunakan sebagai tanaman (Lewis dan Streever, 2007; Anwar, 2004; Kusmana et al., 2003) khususnya pada areal berhumus/lumpur. Pemungutan propagul yang telah jatuh perlu dihindari karena mudah terinfeksi hama, sedangkan umur pohon induk minimal 8 tahun, selain itu propagul dapat diterapkan pada areal berombak besar, propagul perlu disimpan 1 minggu untuk menghindari serangan hama (Anwar, 2004).

B. Penanaman Propagul Sedalam 1/3 Panjang Batangnya

Keberhasilan hidup propagul dipengaruhi secara nyata oleh kedalaman penanaman, sebagaimana Suryawan et al. (2013) menyimpulkan bahwa kedalam optimal adalah 33 % atau 1/3 panjang propagul, hal ini sesuai petunjuk Anwar (2004). Semakin dalam penanaman akan mengalami tekanan respirasi karena mengalami penggenangan lebih banyak. Hal ini telah dibahas oleh Halidah b (2010) tentang efek penggenangan terhadap tanaman R. mucronata, semakin tinggi genangan akan menurunkan tingkat

(25)

6

hidup R mucronata. Pada penelitian ini, semakin dangkal penanaman akan mudah tersapu oleh ombak.

Viabilitas propagul juga dipengaruhi oleh lama penyimpanan dan media simpan yang digunakan. Menurut Liddyanisa et al. (2011) teknik penyimpanan terbaik adalah menggunakan media simpan sabut kelapa dan disimpan pada ruangan yang ada pengatur suhu dan kelembaban (AC) dapat bertahan hingga 4 minggu. Kondisi penyimpanan ini perlu diperhatikan dalam upaya rehabilitasi yang membutuhkan jumlah besar. Masa panen R. mucronata sepanjang tahun (Noor et al., 2006), sedangkan panen raya pada bulan September hingga Nopember (Brown et al., 2006). Memanfaatkan akar pasak dari mangrove yang ada sebagai pancang,

Hasil ujicoba menunjukan bahwa pada bulan pertama, propagul memiliki rata-rata hidup sebesar 99 % dengan kisaran 96 % - 100 %, dan menjadi 68 % pada bulan ke 16 setelah tanam. Daya hidup ini tergolong dalam keberhasilan sedang (Nirawati et al., 2013). Faktor ikatan diduga menjadi faktor utama bagi perkembangan propagul menggunakan metode ini. Metode ini memerlukan perawatan pada interval bulan tertentu untuk melepaskan ikatan yang ada agar tidak menjadi penghambat dalam pertumbuhan

Akar pasak merupakan akar yang muncul dari sistem akar horizontal yang memanjang keluar ke arah udara berbentuk pensil/pasak (Noor et al., 2006). Penampang akar pasak pada Gambar 2 menggambarkan fisiologi akar dan pada Gambar 3 nampak keberhasilan tanaman R. mucronata

menggunakan akar pasak sebagai pancang tanaman.

Sumber : Faturohman 2011

(26)

7

Pemanfaatan akar pasak sebagai pancang propagul didukung oleh Lekatompessy dan Tutuhatunewa (2010) yang membuktikan bahwa akar napas mangrove dapat merefleksikan gelombang, yaitu semakin besar kerapatan dan ketebalan mangrove akan semakin mereduksi koefisien refleksi gelombang. Jarak efektif untuk menjerap sedimentasi dan perubahan garis pantai adalah 0,095 m (Endah, 2002 dalam Lekatompessy dan Tutuhatunewa, 2010). Akar pasak memiliki tingkat kerapatan yang mendekati jarak pohon efektif.

Sumber : suryawan dan halawane

Gambar 3. Penanaman pada akar napas A) umur 4 bulan tanam, B) umur 16 bulan

C. Menggunakan Tambahan Pelindung sebagai Peredam Ombak

Berdasarkan hasil uji sidik ragam semua bentuk peredam ombak yang diterapkan, menunjukkan variasi nyata dari parameter keberhasilan. Keberhasilan diukur dari jumlah propagul mengalami pertumbuhan tanaman. Kegagalan yang terjadi karena propagul menjadi kering atau tercabut dari substratnya.

Keberhasilan tertinggi didapat dari peredam ombak berbentuk kerucut sebagaimana ditunjukan Gambar 4 yaitu tanaman umur 0 bulan dan 16 bulan, keberhasilan mencapai 79 % dengan pertumbuhan tinggi berkisar antara 123-151 cm. Bambu yang digunakan adalah belahan bambu selebar 3 cm dan panjang 60 cm kemudian setiap 7 belah bambu ditanam membentuk kerucut. Bambu yang telah membetuk kerucut diikat pada ujung dan ditengah atau + 20 cm dari permukaan tanah tali menghubungkan antara belahan bambu satu dengan lainnya. Setelah bambu ditanam,

(27)

8

propagul ditancapkan sedalam 1/3 panjangnya, 7 propagul diantara belahan bambu tersebut dan 1 propagul ditengah.

Bentuk bambu jepit menghasilkan keberhasilan yang tinggi namun karena pengaruh jepitan yang kuat menyebabkan stres pertumbuhan propagul. Penggunaan anyaman bambu menyebabkan hilangnya substrat dan propagul yang tertanam. Penggunaan pot bambu menyebabkan keberhasilan tanaman relatif tinggi, namun seiring waktu tanaman mengalami kekeringan, diduga kekurangan unsur hara di dalam pot bambu tersebut.

Sumber: Suryawan dan Asmadi

Gambar 4. Pertumbuhan R. mucronata, A) umur 0 bulan, B) umur 16 bulan. Menurut Kurniawan et al. (2012) sepanjang tahun baik monsun Asia, Australia maupun peralihannya, daerah kepulauan Sangihe – Talaud termasuk dalam daerah rawan gelombang tinggi. Hal ini menjadi faktor penghambat bagi regenerasi di ekosistem mangrove, sebagaimana penjelasan Halidah a (2010); Stanley dan Lewis (2009) ; dan Rahman (1991) bahwa bibit mangrove perlu dilindungi dari serangan gelombang selama masa pertumbuhan. Selaian gelombang tinggi, kenaikan air laut juga menjadi ancaman bagi ekositem pesisir, sehingga perlu adanya penghalang di sekitar pantai dengan ketinggian 0-5 meter (Marschiavelli dan Niendyawati, 2007).

Kraus (2012) mengatakan bahwa bambu pagar dan pemecah gelombang menjadi inovasi pendekatan dalam rehabilitasi mangrove. Yulistiyanto (2009) menyimpulkan bahwa bentuk pagar lurus dan melengkung sebagai pelindung mangrove harus ditambah tiang miring sebagai penyangga. Pembuatan pagar bambu telah dijelaskan secara detail oleh Albers (2012) mulai dari persiapan, pemasangan, perakitan hingga kontrol kekuatan menggunakan serangkaian test. Bentuk peredam ombak menurut Rahman (2008) pagar berbentuk cengkung dengan perbandingan

(28)
(29)

10

DAFTAR PUSTAKA

Albers, T. (2012). Instalation of Bamboo Fences. Belanda: Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH.

Anwar, C. (2004). Teknologi rehabilitasi lahan terdegrasi. Ekspos Penerapan Hasil Litbang Hutan dan Konservasi Alam (hal. 53-64). Palembang: Badan Litbang Kehutanan.

BPDASTondano. (2011). Rtk-RHL Ekosistem Mangrove dan Sempadan Pantai (Rtk-RHL MSP) Propinsi Sulawesi Utara. Rapat Fasilitasi Kelompok Kerja Mangrove Daerah Propinsi Sulawesi Utara. Manado.

Brown, B., Hakim, T. L., Ibnu et al. (2006). 5 Tahap Rehabilitasi : Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hidrologi Mangrove. Yogyakarta: Mangrove Action Project dan Yayasan Rumput Laut Indonesis.

Chambers, R. (1996). PRA (Participatory Rursal Apprasial) Memahami Desa Secara Partisipatif. Yogyakarta: Kanisius.

Faturohman, 2011. Resume ekologi laut tropis energi habitat relung dan

adaptasi. di unduh dari

https://faturohmanikhsan.wordpress.com/2011/04/04/resume-ekologi-laut-tropis-energi-habitat-relung-dan-adaptasi/

Hakim, I. (2003). Hubungan kerusakan hutan mangrove dengan abrasi (studi kasus : di Pantai Utara Pulau Bengkalis, Propinsi Riau). Thesis tidak dipublikasi, Universitas Indonesia, DKI Jakarta, Ilmu Lingkungan.

Halidah. (2010). Pengaruh tinggi genangan dan jarak tanam terhadap pertumbuhan anakan Rhizophora mucronata Lam. di pantai barat. Jurnal Penelitian Hutan dan Knnservasi Alam 7 (1), 25 -34.

Halidah. (2010). Pertumbuhan Rhizophora mucronata Lamk pada Berbagai Kondisi Substrat di Kawasan Rehabilitasi Mangrove Sinjai Timur Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 7(4) , 399-412.

Hutahaean E. E., C. Kusmana dan Dewi, H. R. (1999). Studi kemampuan tumbuh anakan mangrove jenis Rhizophora mucronata, Bruguiera gimnorrhiza dan Avicennia marina pada berbagai tingkat salinitas. Jurnal Manajemen Hutan Tropika, 5 (1), 77-85.

Kathiresan, K dan Rajendran, N. (2005). Environmental drivers in mangrove. Indian Journal of Marine Sciences, 34 (1), 104-113.

Krauss, K.W., Lovelock, C. E., McKee, K. L., Lopez-Hoffman, L., Ewe, S. M. L. dan Sousa, W. P. (2008). Environmental Drivers In Mangrove Stablishment And Early Development : A review. E journal Elsevier,

Aquatic Botany, 89, 105-127.

Kurniasari, T. (t.thn.). Flyer I Mempersiapkan Bibit Mangrove (UNEP). Bogor: Wetland International, Green coast, Unep dan Oxfam.

(30)

11

Kurniawan, R., Habibie, M. N. dan Permana, D. S. (2012). Kajian daerah rawan gelombang tinggi di perairan Indonesia. Jurnal Meteorologi dan Geofisika, 13(3) , 201-212.

Kushartono, E. (2009). Beberapa aspek bio fisik kimia tanah di daerah Mangrove Desa Pasar Banggi Kabupaten Rembang. Jurnal Kelautan, 14(2), 76-83.

Kusmana, C., Wilarso, S., Hilwan, I. et al. (2003). Teknik Rehabilitasi Mangrove. Bogor: Institute Pertanian Bogor.

Lekatompessy, STA dan Tutuhatunewa, A. (2010). Kajian konsrtuksi model peredam gelombang dengan menggunakan mangrove di Pesisir Lateri - Kota Ambon. Jurnal Arika, 4(1), 51-60.

Lewis R.R dan Streever, B. (2007). Restoration of Mangrove Berwawasan Lingkungan. Jakarta: MAP - Indonesia.

Manado, B. P. (2014). Mangrove : Kebijakan, Ekologi, Identifikasi, Persemaian, Rehabilitasi dan Pemanfaatan Hasil HUtan Bukan Kayu [materi diklat peningkatan kompetensi bidang mangrove]. Manado: Balai Penelitian Kehutanan Manado [tidak dipublikasikan].

Marschiavelli, M. I. C. dan Niendyawati. (2007). Penilaian keterancaman terhadap bencana bagi Pulau Makelehi, Sulawesi Utara, Indonesia. Jurnal Malaysia Society and Space, 3, 106-114.

Murtiono, U. H., Tjakrawarsa, G. dan Pahlana, U. W. H. (2012) Kajian peran dominasi jenis mangrove dalam penjeratan sedimen terlarut di Segara Anakan Cilacap. Ekspose Hasil Penelitian dan Pengembangan Kehutanan BPTKPDAS. Surakarta, 5 September 2012.

Naohiro M., Putth, S. dan Keiyo, M. (2011). Mangrove rehabilitation on highly eroded coastal shorelines at Samut Sakhon, Thailand. International Journal of Ecology,2012, Article ID 171876, 11 pages. Nirawati, Nurkin, B. dan Putranto, B. (2013). Evaluasi keberhasilan

pertumbuhan tanaman pada kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (GRNHL) di Taman Nasional Bantiumurung Bulusaraung. Jurnal Sain dan Teknologi, 13(2), 175-183.

Noor. Y. R., Khazali, M. dan Suryadiputra, I. N. N. (2006). Panduan Pengenalan Jenis Mangrove di Indonesia. IPB: Wetland International Indonesia Program.

Pontoh, O. (2011). Peranan nelayan terhadap rehabilitasi ekosistem hutan bakau (mangrove). Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis, 8(2), 73-79.

Rahman, S. (2008). Koefisien seret gaya gelombang pada APO dengan tambahan gedhek. Media Teknik Sipil, 91-98.

Satriadi, A. (2004). Jenis dan karakteristik sedimentasi daerah mangrove di Pantai Kabongan Lor Kabupaten Rembang. Laporan Penelitian

(31)

(p-12

11), Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro. Semarang.

Schmitt, K. (2012). Innovative approaches to mangrove rehabilitation and management. Management of Natural Resources in the Coastal Zone of Trang Province, Vietnam 18 Juli 2012 (p. 11 slide). Seite: GIZ CZM Project, Soc Trang, Vietnam dan German Federal Ministry of Economic Cooperation and Development.

Siagian, P. (2011). Pengolahan dan Analisis Data . Dalam Modul Pendidikan dan Pelatihan Fungsional Peneliti Tingkat Pertama (hal. 30 Slide). Cibinong: Pusbindiklat - LIPI.

Stanley O. D. dan Lewis, R. R. (2009). Strategies for mangrove rehabilitation in an Eroded Coastline Of Selangor, Peninsular Malaysia. Journal of Coastal Development 12(3), 142-154.

Subiandono, E. (2011). Pengelolaan hutan mangrove dan ekosistem pantai. Dalam B. L. Kehutanan, Rencana Penelitian Integratif. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan .

Suryawan A., Broto, B. W. dan Mayasari, A. (2013). Konservasi ekosistem pulau kecil melalui rehabilitasi mangrove menggunakan propagul

Rhizophora mucronata Lamk. dalam Seminar Nasional Ekologi dan Konservasi Keanekaragaman Hayati (hal. 129 - 134). Makasar: UNHAS dan TN Bantimurung Bulusaraung.

(32)

13

Cadangan Karbon pada Beberapa Tipe Vegetasi Hutan

di Sulawesi Utara

1

Nurlita Indah Wahyuni2, Ady Suryawan2 dan Arif Irawan2

Abstrak

Partisipasi Indonesia dalam upaya mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim telah diwujudkan dalam beberapa kebijakan antara lain rencana aksi nasional penurunan emisi gas rumah kaca. Salah satu kegiatannya di sektor penggunaan lahan adalah pengembangan data acuan perkiraan emisi dari biomasa tumbuhan akibat perubahan penggunaan lahan. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui cadangan karbon pada beberapa tipe ekosistem hutan di Sulawesi Utara. Penelitian dilakukan di empat lokasi yaitu Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW), Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Poigar, Taman Nasional Bunaken (TNB) dan bekas pengusahaan hutan Wana Saklar. Data biomasa diperoleh dengan cara pengukuran tiga carbon pool yaitu biomasa atas permukaan, nekromasa, dan serasah. Hasil pengukuran menunjukkan rata-rata cadangan karbon di hutan konservasi sebesar 588,35 ton C/ha, hutan mangrove sebesar 268,76 ton C/ha dan hutan produksi sebesar 83,64 ton C/ha.

Kata kunci: cadangan karbon, hutan, Sulawesi Utara

I. PENDA HULUA N

Panel Antar Pemerintah untuk Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change, IPCC) seperti dikutip oleh Bappenas (2013) dalam laporannya pada tahun 2007 menegaskan peran kontribusi kegiatan manusia dalam meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca. Kondisi inilah yang mempercepat laju peningkatan temperatur global dan diyakini telah mengakibatkan perubahan iklim. Perubahan iklim di Indonesia ditandai dengan kenaikan suhu yang meningkat setelah tahun 1960, kenaikan muka air laut 0,8 mm/tahun periode 1960 hingga 2008, penurunan curah hujan yang signifikan di hampir seluruh wilayah Indonesia pada bulan Juni, Juli

1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Benang Merah Konservasi Flora dan Fauna dengan

Perubahan Iklim, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado, Manado 28 Mei 2015

2

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado; Jln. Raya Adipura, Kel. Kima Atas, Kec. Mapanget, Manado; Email: nurlita.indah@gmail.com

(33)

14

dan Agustus, serta peningkatan peluang curah hujan ekstrim harian di sebagian wilayah Indonesia dalam kurun waktu 1998-2008 (Bappenas, 2013).

Mitigasi dan adaptasi dilakukan untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim. Peraturan Presiden Republik Indonesia No.46 Tahun 2008 menyebutkan mitigasi perubahan iklim adalah usaha pengendalian untuk mencegah terjadinya perubahan iklim melalui kegiatan yang dapat menurunkan emisi atau meningkatkan penyerapan gas rumah kaca dari berbagai sumber emisi. Kemudian Perpres No. 61 Tahun 2011 menyebutkan sektor berbasis lahan secara historis tercatat sebagai penyumbang emisi nasional terbesar sehingga penurunan emisi terbesar (87 %) ditargetkan berasal dari penggunaan dan pengelolaan hutan dan lahan gambut. Tingkat ketergantungan terhadap sektor berbasis lahan termasuk lahan hutan di Indonesia cukup tinggi, hal ini menyebabkan deforestasi dan degradasi menjadi isu penting di Indonesia (Suryanto, 2012).

Deforestasi dan degradasi meningkatkan emisi, sedangkan aforestasi, reforestasi dan kegiatan pertanaman lainnya meningkatkan serapan. Emisi gas rumah kaca yang terjadi di sektor kehutanan Indonesia bersumber dari deforestasi (konversi hutan untuk penggunaan lain seperti pertanian, perkebunan, pemukiman, pertambangan, prasarana wilayah) dan degradasi (penurunan kualitas hutan akibat illegal logging, kebakaran, over cutting, perladangan berpindah (slash and burn), serta perambahan (Masripatin, 2007). Ketersediaan data perubahan penggunaan lahan dan faktor emisi dan serapan lokal mempengaruhi tingkat akurasi dan kerincian hasil inventarisasi. Sehingga penyediaan data cadangan karbon dan perubahannya diperlukan agar pengurangan emisi dapat diukur, dilaporkan dan diverifikasi.

Masripatin dkk (2010) merangkum hasil penelitian cadangan karbon hutan pada berbagai kelas penutupan lahan di Indonesia. Cadangan karbon di hutan alam berkisar antara 7,5 - 264,70 ton C/ha dan pada kawasan non hutan pada berbagai jenis tanaman dan umur berkisar antara 0,7-932,96 ton C/ha. Kementerian Kehutanan (2013) mencatat luas kawasan hutan di Sulawesi Utara mencapai 76 % wilayah provinsi, dengan penutupan lahan berupa hutan sebesar 40,9 %. Hutan merupakan salah satu penampung karbon terbesar yang dapat menjaga daur karbon dengan menyerap dan menyimpan, namun di lain pihak hutan juga sumber emisi, salah satunya dari deforestasi (Masripatin, 2007). Penanganan perubahan iklim di Indonesia telah dilaksanakan sampai tingkat sub nasional, di Sulawesi Utara

(34)

15

Rencana Aksi Daerah untuk penurunan emisi ditetapkan dalam Peraturan Gubernur No.323 Tahun 2012. Penghitungan emisi pada bidang kehutanan memerlukan informasi faktor emisi yang diperoleh dari nilai cadangan karbon. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui cadangan karbon hutan pada beberapa tipe vegetasi hutan di Sulawesi Utara.

II. METODE PENELITIA N A. Waktu dan Lokasi

Pengambilan data dilaksanakan pada tahun 2012, 2013 dan 2014 di empat lokasi yaitu Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW), Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Model Poigar, Taman Nasional Bunaken (TNB) dan bekas pengusahaan hutan Wana Saklar, Bolaang Mongondow Utara.

(35)

16

Tabel 1. Deskripsi lokasi plot pengukuran

Tahun Lokasi Deskripsi Jumlah

plot 2012 TN Bogani Nani

Wartabone Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) II Doloduo dan SPTN III Maelang 426 -1015 m dpl 60 2013 KPHP Poigar (HL Tanjung Walintau)

Hutan mangrove Desa Blongko 15

TN Bunaken (HL Tanjung Pisok)

Zona perlindungan bahari Seksi I Meras Desa Tiwoho

15 2014 KPHP Poigar

(HP Inobonto) Hutan produksi Inobonto Poigar I, Blok pemberdayaan elevasi 159 m dpl – 437 m dpl

31 Eks HPH Wanasaklar

(Nunuka)

Hutan bekas tebangan dan hutan yang telah dirambah masyarakat kemudian ditinggalkan

(HPH Wanasaklar, berhenti beroperasi tahun 1980-an)

elevasi 480 m dpl

30

Bahan dan alat

Bahan yang digunakan dan menjadi obyek dalam kegiatan penelitian ini terdiri dari ekosistem hutan dataran rendah dan hutan mangrove. Peralatan yang digunakan antara lain peta kerja, kamera, tali rafia, tali tambang plastik spesimen, gunting tanaman, parang, wadah contoh, timbangan digital, pita ukur, kaliper, GPS, tally sheet, alat tulis, komputer dan oven.

Prosedur penelitian

Pengumpulan data untuk mengetahui cadangan karbon dilakukan melalui pengukuran langsung di lapangan dengan pengambilan sampel acak. Metode yang digunakan mengacu pada Hairiah dan Rahayu (2007) serta SNI 7724:2011. Khusus untuk tingkat pohon, plot ukur pada tahun 2012 berukuran 5 x 40 m (pohon berdiameter 5 - 30 cm) dan 20 x 100 m (pohon berdiameter >30 cm). Plot berukuran 20 m x 20 m dengan interval 50 m, dan interval 25 m di hutan mangrove. Contoh serasah dan tumbuhan bawah dikumpulkan pada sub plot berukuran 1 m x 1 m, dan semua nekromasa yang ditemukan dalam plot diukur dimensi diameter dan panjang serta diambil contoh kayunya.

Terdapat tiga carbon pools yang diukur yaitu biomasa di atas permukaan tanah (above ground biomass) berupa pohon dan tumbuhan

(36)

17

bawah, serasah (litter) dan pohon mati atau kayu mati (necromass). Biomasa pohon dihitung menggunakan persamaan alometrik, sedangkan biomasa serasah dan nekromasa dihitung menggunakan pendekatan berat kering dan berat basah contoh. Vegetasi tingkat pohon, tiang dan pancang diukur diameter setinggi dada (dbh). Komponen biomasa lainnya yaitu tumbuhan bawah, serasah, semai dan nekromasa, diambil contohnya kemudian dilakukan penimbangan berat basah, pengeringan dan penimbangan berat kering. Proses pengeringan contoh dengan menggunakan oven pada suhu 85°C selama 24 jam.

Persamaan alometrik untuk menghitung biomasa pohon:

TDW = 0,11ρ(D)2,62 (Kettering et al., 2001) ... (1) Pohon mangrove secara umum:

TDW = 0,251ρDBH2,46 Komiyama et al. (2005) ... (2) Mangrove jenis Avicennia marina:

TDW = 0,2901(DBH)2,2605 Dharmawan dan Siregar (2009) ... (3) Mangrove jenis Rhizophora apiculata

TDW = 0,235(DBH)2,42 Imbert dan Rollet (1989) dalam Komiyama et al.

(2008) ... (4) Keterangan:

TDW : total dry weight (kg)

D : diameter pohon setinggi dada (cm) ρ : berat jenis kayu (gr/cm3)

H : tinggi total pohon (m)

Persamaan untuk menghitung biomasa tumbuhan bawah dan serasah:

... (5) Keterangan:

Bo : berat bahan organik (kg) Bks : berat kering contoh (kg) Bbt : berat basah total (kg) Bbs : berat basah contoh (kg)

(37)

18

Persamaan untuk menghitung biomasa nekromasa:

... (6) Keterangan:

Bn : bahan organik pohon mati atau kayu mati (kg) Vn : volume pohon mati (m3)

BJn : berat jenis kayu pohon mati atau kayu mati (kg/m3)

Data berat jenis kayu diperoleh melalui penelusuran pustaka melalui PROSEA (Plant Resources of South East Asia), wood density database ICRAF (World Agroforestry Centre) dan Zanne et al. (2009). Nekromasa merupakan bagian pohon mati atau kayu mati yang sulit diketahui jenis pohonnya. Sehingga berat jenis nekromasa diperoleh dari pembagian volume dengan berat kering contoh nekromasa. Hasil perhitungan tiap komponen biomasa dikonversi dari satuan kg menjadi ton/ha. Kemudian cadangan karbon dihitung dengan cara mengalikan biomasa dengan konsentrasi karbon organik sebesar 0,47.

III. HASIL DAN PEMBAHASA N A. Penghitungan Biomasa Hutan

Di dalam penelitian ini terdapat tiga carbon pool yang diukur, yaitu biomasa atas permukaan (pohon dan tumbuhan bawah), nekromasa dan serasah. Total cadangan karbon dalam plot pengukuran merupakan penjumlahan tiap komponen, yaitu biomasa atas permukaan (pohon, semai, tumbuhan bawah), biomasa serasah, biomasa nekromasa (kayu mati dan pohon mati) serta kandungan karbon organik tanah. Biomasa didefinisikan sebagai masa (berat) organisme hidup yang terdiri atas tumbuhan dan hewan yang terdapat pada suatu areal (Agus et al., 2013). Hasil pengukuran cadangan biomasa dan karbon tercantum dalam Tabel 2. Total biomasa hutan dataran rendah tertinggi hingga terendah berturut-turut ditemukan di TN BNW (Bogani) 1.251,81 ton/ha, bekas HPH Wana Saklar Bolaang Mongondow Utara (Nunuka) 266,67 ton/ha dan KPHP Poigar (Inobonto) 89,25 ton/ha.

Biomasa pohon hutan dataran rendah tertinggi sejumlah 1.245,43 ton/ha berada di Bogani, sedangkan biomasa terendah berada di Inobonto sebesar 83,57 ton/ha. Berdasarkan hasil pengukuran, pada ketiga lokasi biomasa terbesar sekitar 94 % - 99 % merupakan biomasa pohon.

Begitu pula biomasa tumbuhan bawah terbesar 0,8 ton/ha terdapat di Bogani, dan terendah di Inobonto sebesar 0,14 ton/ha.

(38)

19

Sedangkan biomasa serasah di ketiga lokasi tidak jauh berbeda bernilai antara 4,99 ton/ha sampai 5,57 ton/ha. Serasah ini akan menjadi sumber hara bagi tegakan hutan setelah mengalami proses penguraian atau dekomposisi. Proctor (1983) dalam Aprianis (2011) menyebutkan faktor yang mempengaruhi jatuhan serasah baik dalam jumlah maupun kualitasnya, adalah keadaan lingkungan (iklim, ketinggian, kesuburan tanah), jenis tanaman (hutan alam dan hutan buatan) dan waktu (musim dan umur tegakan).

Tabel 2. Rata-rata biomasa dan karbon di lokasi pengukuran

Komponen biomasa

Lokasi dan tipe hutan TN Bogani Nani Warta-bone (Bogani) KPHP Poigar (Inobonto) Bolaang Mongondow Utara (Nunuka) KPHP Poigar (Walin-tau) TN Bunaken (Tiwo-ho)

Hutan Dataran Rendah Hutan Mangrove

Pohon *(ton/ha) 1,245.43 83.57 261.21 949.11 183.09 Tumbuhan Bawah* (ton/ha) 0.80 0.14 0.23 1.51 1.97 Serasah (ton/ha) 5.57 5.51 4.99 1.06 1.24 Nekromasa (ton/ha) 0.02 0.02 0.24 0.17 5.52 Total biomasa (ton/ha) 1,251.81 89.25 266.67 951.84 191.81

Total karbon (ton

C/ha) 588.35 41.95 125.34 447.37 90.15

Keterangan: * biomasa atas permukaan, Sumber: data primer

Biomasa nekromasa tertinggi ditemukan di Nunuka yang besarnya 10 kali lipat dibandingkan biomasa di Bogani dan Inobonto. Hal ini dimungkinkan karena nekromasa yang ditemukan dalam plot pengukuran berasal dari pohon yang mati alami dan bekas tebangan. Secara umum hutan lahan kering primer mampu menyimpan karbon lebih besar dibandingkan hutan sekunder (Masripatin dkk, 2010). Baik hutan di Bogani maupun di Inobonto dan Nunuka termasuk hutan dataran rendah dengan tipe penutupan lahan hutan lahan kering sekunder, namun rata-rata cadangan biomasa dan karbon hutan pada hutan dataran rendah Bogani lebih besar dibandingkan Inobonto dan Nunuka. Berdasarkan data penelitian ini, perbedaan cadangan biomasa dan karbon dipengaruhi oleh kondisi tegakan, jumlah pohon dalam plot pengukuran dan besar diameter pohon.

(39)

20

Gambar 2. a). Tumbuhan bawah, b). Nekromasa pohon mati, c). Serasah Biomasa hutan mangrove di Walintau lebih besar dibandingkan di Tiwoho. Pada hutan mangrove, beberapa komponen biomasa yaitu semai, tumbuhan bawah, nekromasa dan serasah hanya ditemukan pada beberapa plot. Berdasarkan hasil penghitungan diperoleh rata-rata biomasa mangrove di Walintau lebih besar dibandingkan biomasa mangrove di Tiwoho. Nilai ini didominasi oleh biomasa pohon yaitu 99,89 % terhadap total biomasa di seluruh plot pengukuran. Penelitian biomasa mangrove lainnya di kawasan TN Bunaken oleh Murdiyarso dkk (2009) di bagian pesisir Arakan -Wawontulap menunjukkan rata-rata biomasa atas permukaan sebesar 132,33 ton/ha dan sebesar 86,95 ton/ha di Kelurahan Meras (Ahmad, 2011). Bila dibandingkan dengan dua kajian di atas, hasil perhitungan biomasa atas permukaan dalam kajian ini lebih besar.

Gambar 3. Pengumpulan data biomasa mangrove

Biomasa mangrove bervariasi pada tiap lokasi dan spesifik karena terkait dengan kondisi lingkungan dan tegakan. Mangrove primer tentu akan berbeda dengan mangrove sekunder, demikian pula mangrove tegakan muda dengan tegakan tua. Kusmana (2002) dalam Dharmawan dan Siregar (2008) menyebutkan mangrove memiliki potensi besar dalam menyerap karbon, hal ini berdasarkan produksi bersih dengan biomasa total (62,9 -

(40)

21

398,8 ton/ha), guguran serasah (5,8 - 25,8 ton/ha/tahun), dan riap volume (9 m3/ha/tahun) pada tegakan hutan mangrove umur 20 tahun.

Pada seluruh lokasi pengukuran, diketahui biomasa suatu tegakan sebagian besar disusun oleh biomasa pohon yang nilainya berkisar antara 94-99 % dari total biomasa. Persentase komponen biomasa lainnya bervariasi pada tiap lokasi. Bila dibandingkan dengan tumbuhan bawah, serasah memiliki biomasa (mencapai 0,65 %) yang lebih besar karena selain tersusun dari daun juga ranting-ranting. Sedangkan nekromasa berupa batang kayu mati dapat menyusun hingga 2,9 % total biomasa. Berdasarkan persentase tersebut, deforestasi sekecil apapun akan berdampak signifikan terhadap cadangan karbon hutan karena sebagian besar berupa biomasa pohon.

Cadangan karbon

Rochmayanto dkk (2014) merangkum hasil penelitian cadangan karbon di Indonesia, khusus bioregion Sulawesi sudah dikaji biomasa dan karbon pada hutan lahan kering, hutan mangrove dan hutan tanaman. Disebutkan rata-rata cadangan karbon hutan lahan kering sekunder 145,08 ton C/ha, dan cadangan karbon hutan mangrove sekunder 92,80 ton C/ha. Pada hutan lahan kering sekunder di lokasi Bogani, cadangan karbonnya lebih besar yaitu 588,35 ton C/ha, sebaliknya cadangan karbon di Inobonto dan Nunuka lebih kecil. Cadangan karbon hutan mangrove sekunder di Walintau lebih besar dibanding rata-rata tersebut, dan karbon mangrove Tiwoho tidak berbeda jauh. Penurunan cadangan karbon antara lain disebabkan oleh gangguan hutan berupa kebakaran, pemanenan kayu, konversi lahan dan aktivitas lainnya.

Data cadangan karbon dapat dikonversi menjadi CO2eq dengan menggunakan konstanta konversi sebesar 3,67. Jumlah CO2eq yang tersimpan oleh vegetasi hutan di lokasi penelitian berkisar antara 153,95 – 2.159,25 ton CO2eq pada hutan lahan kering sekunder dan 330,86 – 1.641,84 ton CO2eq pada hutan mangrove sekunder. Nilai CO2eq ini bisa menggambarkan serapan karbon apabila digunakan stok karbon tunggal dengan asumsi seluruh stok karbon telah habis akibat deforestasi (pembukaan lahan) dan diketahui dengan pasti waktu deforestasi tersebut. Sedangkan untuk kegiatan REDD+ lainnya seperti degradasi hutan, perubahan stok karbon harus diperoleh dari dua kali pengukuran stok karbon atau satu kali pengukuran dan pemodelan dinamika hutan (Kemenhut; UN-REDD; FAO; UNDP; UNEP, 2012).

(41)

22

Gambar 4. CO2eq tersimpan di tiap lokasi pengukuran

Lebih lanjut dijelaskan bahwa untuk mendapatkan faktor emisi dari kegiatan degradasi hutan maka diperlukan data net emission dari setiap jenis degradasi hutan. Misalnya jenis degradasi dari kegiatan penebangan, faktor emisi untuk kegiatan ini memerlukan data karbon yang hilang pada waktu penebangan dan data pertambahan stok karbon selama rotasi tebang sebagai hasil dari pertumbuhan. Selisih pengurangan dan penambahan stok karbon selama rotasi tebang ini merupakan net emission yang selanjutnya dianggap sebagai faktor emisi dari kegiatan degradasi hutan berupa penebangan.

Ekosistem hutan memiliki kemampuan untuk hidup dan tumbuh dinamis dalam proses suksesi, maka terdapat perbedaan pertumbuhan riap volume tegakan serta struktur dan komposisi spesifik tiap lokasi. Suatu tipe vegetasi hutan yang sama namun terletak di lokasi lain dapat memiliki cadangan biomasa dan karbon yang berbeda. Pada hutan bekas tebangan semakin lama proses suksesi sejak tebangan berlangsung, maka biomasanya juga semakin besar. Dharmawan dan Samsoedin (2012) mengkaji proyeksi biomasa dan karbon pada hutan bekas tebangan di Indonesia menyimpulkan pada hutan bekas tebangan umur 40 tahun akan memiliki potensi tegakan biomasa yang hampir sama dengan potensi di hutan alam primer.

500 1,000 1,500 2,000 2,500 2,159.25 153.95 459.99 1,641.84 330.86 Jum la h C O 2 e q te rs im pa n ( ton/ ha ) Lokasi CO2eq tersimpan

(42)

23

KESIMPULA N DAN SARAN

A. KESIMPULA N

Rata-rata cadangan karbon dalam penelitian ini adalah hutan lahan kering sekunder 588,35ton C/ha di TN Bogani Nani Wartabone, hutan mangrove 447,37 ton C/ha di KPHP Poigar dan 90,15 ton C/ha di TN Bunaken, serta hutan produksi 39,28 ton C/ha di KPHP Poigar dan 117,14 ton C/ha di bekas pengusahaan hutan Wana Saklar. Cadangan karbon pada kawasan konservasi lebih tinggi, namun vegetasi pada hutan sekunder bekas penebangan masih terus tumbuh dan berpotensi menyerap karbon lebih banyak.

B. SARAN

Pencegahan deforestasi dapat meminimalkan penurunan cadangan biomasa dan karbon karena sebagian besar biomasa terdiri dari biomasa pohon. Penambahan cadangan biomasa melalui kegiatan rehabilitasi perlu ditingkatkan terutama pada lahan produktif. Data cadangan karbon akan lebih lengkap jika dilakukan pengukuran pada lima carbon pools yaitu biomasa atas permukaan, biomasa bawah permukaan, serasah, nekromasa dan bahan organik tanah. Perlu metode pengukuran dan pemantauan yang lebih efisien misalnya dengan memanfaatkan data penginderaan jauh untuk pemantauan pada skala yang luas.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Balai Penelitian Kehutanan Manado yang telah mendanai penelitian ini melalui Rencana Penelitian Integratif pada DIPA tahun 2012, 2013 dan 2014. Penghargaan juga kami sampaikan kepada Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Balai Taman Nasional Bunaken, Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Poigar, masyarakat Desa Nunuka dan semua pihak yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F. I. Santosa, S. Dewi, P. Setyanto, S. Thamrin, Y. C. Wulan, F. Suryaningrum (eds.). 2013. Pedoman Teknis Penghitungan Baseline Emisi dan Serapan Gas Rumah Kaca Sektor Berbasis Lahan: Buku I Landasan Ilmiah. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Republik Indonesia, Jakarta.

Badan Standardisasi Nasional. 2011. Standar Nasional Indonesia 7724:2011 tentang pengukuran dan penghitungan cadangan karbon -

(43)

24

pengukuran lapangan untuk penaksiran cadangan karbon hutan (ground based forest carbon accounting)

Bappenas. 2013. Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API). Perubahan Iklim dan Dampaknya di Indonesia. Kementrian PPN/Bappenas. Jakarta

Dharmawan, IWS dan Chairil A.Siregar. 2008. Karbon tanah dan pendugaan karbon tegakan Avicennia marina (Forsk.) Vierh. di Ciasem Purwakarta.Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol.V No.4:317-328.

Dharmawan, IWS dan Ismayadi Samsoedin. 2012. Dinamika potensi biomasa karbon pada lanskap hutan bekas tebangan di Hutan Penelitian Malinau. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vo;.9 No.1 Maret 2012, Hal.12-20. Bogor

Hairiah K, Rahayu S. 2007. Pengukuran „Karbon Tersimpan‟ di Berbagai Macam Penggunaan Lahan. Bogor. World Agroforestry Centre – ICRAF, SEA Regional Office, University of Brawijaya, Indonesia. 77 p.

Kementerian Kehutanan, UN-REDD, FAO, UNDP dan UNEP. 2012. Penyempurnaan National Forest Inventory untuk inventarisai stok dan estimasi emisi karbon hutan tingkat provinsi. Jakarta.

Kementerian Kehutanan. 2013. Statistik Kementerian Kehutanan 2013. Kementerian Kehutanan. Jakarta

Ketterings, Q.M., Coe, R., Van Noordwijk ,M., Ambagau,Y., and Palm, C. 2001. Reducing uncertainty in the use of allometric biomass equations dor predicting above-ground tree biomass in mixed secondary forests. Forest Ecology and Management 146: 199-209 Komiyama, A., J.E. Ong dan S.Poungparn. 2008 Allometry, biomass and

productivity of mangrove fores: A review. Aquatic botanic 89: 128-137.

Masripatin, N. 2007. Apa itu REDD? Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Kementerian Kehutanan

Masripatin, N., K. Ginoga, G. Pari, W.S. Dharmawan, C.A. Siregar, dkk. 2010. Cadangan karbon pada berbagai tipe hutan dan jenis tanaman di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Kementerian Kehutanan

Murdiyarso, et al. 2009. Carbon storage in mangrove and peatland ecosystems: A preliminary account from plots in Indonesia. Working Paper. Center for International Forestry Research.

Rochmayanto, Y., A. Wibowo, M. Lugina, T. Butarbutar, R.M. Mulyadin dan D. Wicaksono. 2014. Cadangan karbon pada berbagai tipe hutan

(44)

25

dan jenis tanaman di Indonesia (Seri 2). Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Suryanto. 2012. Analisis kesiapan tiga kabupaten di Kalimantan dalam upaya mendukung implementasi REDD+. Info Teknis Dipterokarka Vo;.5 No.1, September 2012: 77-88.

Sutaryo, D. 2009. Penghitungan biomassa sebuah pengantar untuk studi karbon dan perdagangan karbon. Wetlands International Indonesia Programme. Bogor

Zanne, A.E., Lopez-Gonzalez, G.*, Coomes, D.A., Ilic, J., Jansen, S., et al. 2009. Global wood density database. Dryad. Identifier:http://hdl.handle.net/10255/dryad.235 (diakses tanggal 13 Mei 2015).

(45)
(46)

27

Perilaku Harian Sepasang Burung Nuri Talaud (

Eos histrio

) di

Kandang Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Manado

1

Anita Mayasari2, Diah I. D. Arini2, Ady Suryawan2, Melkianus S. Diwi2, dan Nur Asmadi2

ABSTRAK

Perilaku harian burung nuri talaud dalam kelompok telah diketahui, namun perbedaan perilaku antara burung betina dan jantan masih belum jelas dikarenakan burung ini termasuk jenis monomorphik. Oleh karena itu dilakukan DNA test untuk mengidentifikasi jenis kelaminnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku harian sepasang burung Nuri Talaud dikandang penelitian Balai Penelitian Kehutanan Manado. Pengamatan dilakukan secara langsung menggunakan metode scan sampling. Pengamatan dilakukan mulai pukul 06.00 hingga 18.00 WITA dengan interval waktu 10 menit dengan 6 kali pengulangan. Parameter yang diamati aktivitas harian yang dianalisis menggunakan uji t. Hasil penelitian menunjukkan bahwa burung nuri talaud memiliki 14 macam aktivitas harian yang digolongkan menjadi 4 perilaku utama yaitu perilaku bergerak (terbang, menggelantung, berjalan, berkelahi dan melompat), perilaku diam (bertengger, beristirahat dan berjemur), perilaku ingestive (makan, minum dan membersihkan paruh) dan perilaku kawin (mendekati betina/jantan, menyelisik dan bercumbu). Perilaku bergerak pada betina dan jantan didominasi oleh aktivitas melompat 78 kali/hari dan 82 kali/hari, frekuensi relatif sama besar yaitu 14 %. Perilaku diam didominasi aktivitas bertengger, namun berbeda antara betina dan jantan yaitu 129 kali/hari dan 43 kali/hari, frekuensi relatif 23 % dan 7 %. Perilaku ingestive didominasi aktivitas makan dengan nilai yang sama yaitu 54 kali/hari dan rekuensi relatif 10 % (betina) dan 9 % (jantan). Perilaku kawin didominasi aktivitas bercumbu dan jantan nampak lebih agresif, ditunjukan dengan aktivitas harian dan fekuensi relatif yang lebih besar (43 kali/hari dan frekuensi 8 % pada betina, sedangkan 55 kali/hari dan 10 % pada jantan). Perbedaan jenis kelamin hanya berpengaruh nyata pada perilaku diam. Kata kunci: perilaku, nuri talaud, eos histrio, penangkaran

1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Benang Merah Konservasi Flora dan Fauna dengan

Perubahan Iklim, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado, Manado 28 Mei 2015

2

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado, Jl. Raya Adipura Kelurahan Kima Atas Kecamatan Mapanget Kota Manado; e-mail:

Gambar

Gambar 1. Kondisi tanaman dari A) propagul langsung, B) bibit persemaian,  C) propagul siap tanam (memiliki ciri khas cincin warna kuning)    Propagul  R
Gambar 2. Penampang  akar pasak
Gambar 3. Penanaman pada akar napas A) umur 4 bulan tanam, B) umur 16  bulan
Gambar 1. Peta lokasi penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Price (2005) pneumonia adalah peradangan pada  parenkim paru yang biasanya berasal dari suatu infeksi..  parenkim paru yang biasanya berasal dari

Tujuan umum penelitian ini adalah diketahuinya hubungan tingkat pengetahuan tentang menarche dengan kesiapan menghadapi menarche dini pada siswi kelas IV-V SD Muhammadiyah

Setelah petani selesai ndaut, maka bibit padi yang sudah terkumpul akan dibawa ke setiap petak-petak sawah dan diletakkan di pematang sawah, kemudian petani akan menyuruh orang

Merupakan penggabungan sistem informasi korporat terpadu yang telah dimiliki oleh internal perusahaan dengan satu atau lebih subsistem dari perusahaan atau entitas lain yang

SRT akan mencakup enam fungsi kerja sebagai berikut: (i) penyebaran informasi terkait program yang ada, dan terutama pada program jaminan sosial yang baru saja diluncurkan,

dalam pembuatan batik, kain akan dicap dengan lilin (malam), sehingga pada saat dilakukan pencelupan bagian yang tertutup lilin akan menolak warna yang terlarut dalam

Menghitung dan analisa nilai bobot pada 5 indikator Data Pengecer resmi Data Penebusan pupuk bersubsidi dari distributor Rekapitulasi pupuk bersubsidi tingkat kecamatan