• Tidak ada hasil yang ditemukan

Iklan dan Media Massa (Televisi) sebagai Wahana Konstruksi Image

Dalam dokumen Image Iklan Kampanye Politik di Televisi (Halaman 69-74)

TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Tinjauan Pustaka

2.2.2. Iklan dan Media Massa (Televisi) sebagai Wahana Konstruksi Image

Ketergantungan masyarakat terhadap media massa telah mengubah tatanan kehidupan yang dulunya sarat dengan nilai-nilai, tradisi dan ritual lainnya. Kehadiran media massa (televisi khususnya), yang menurut Gerbner sebagai “agama resmi” masyarakat industri, mampu menggeser tata nilai dan ritualitas agama dalam masyarakat. Hal ini disebabkan oleh saratnya imaji yang terdapat dalam media, dimana permainan imaji inilah yang mengendalikan logika berpikir masyarakat, ujung-ujungnya pada perubahan konasi.

Iklan tidak dapat dipisahkan dari media, karena media (televisi) merupakan sarana strategis dan efektif dalam mempromosikan produk, begitupun sebaliknya—simbiosis mutualisme. Media (televisi) menjadikan dirinya sebagai media yang paling unggul karena mampu menyuguhkan “realitas” dalam bentuk

audiovisual. Disamping itu, stasiun-stasiun televisi menyadari betul bahwa bidang ekonomi-industri budaya yang mereka masuki adalah seni pertunjukan, lebih dari sekedar ilmu dan adu teknologi semata.89

Neil Postman menggunakan istilah konversasi

(percakapan), dimana melalui televisi, manusia dari pelbagai macam peradaban dapat saling bertukar pesan. Dengan perkataan lain, tayangan televisi yang sarat dengan muatan budaya (asing), telah

memberi sebuah ruang tertentu untuk digunakan sebagai proses percakapan budaya dan peradaban. Dari sini pertukaran dan pembauran antarbudaya tak dapat dielakkan lagi, sehingga mengakibatkan semacam kombinasi budaya. Secara lebih dalam lagi, Lee Loevinger melihat ada suatu proses tertentu yang bersifat timbal balik, dimana antara media massa dan khalayak terjalin sebuah dialektika.90 Dengan reflective-projective theory-nya, Loevinger

memandang bahwa media massa adalah cermin masyarakat yang menampilkan suatu citra yang ambigu—menimbulkan tafsiran yang bermacam-macam sehingga pada media massa setiap orang memproyeksikan atau melihat citranya.

Media massa mencerminkan khalayak dan khalayak memproyeksikan citra pada penyajian media sehingga pada gilirannya, khalayak memproyeksikan diri pada citra diri mereka yang telah terkonstruksi melalui media massa. Hal ini mengingatkan kita pada pemikiran Berger dan Luckmann, seperti yang disinggung sebelumnya, tentang konsep eksternalisasi-obyektivasi-internalisasi. Akan halnya dengan tayangan iklan, dimana iklan tidak hanya sebatas menawarkan atau mempromosikan produk, tetapi juga dalam proses pencitraannya, menggunakan akulturasi atau bahkan invasi terhadap budaya lain.

90 Yudi Latif, Masa Lalu yang Membunuh Masa Depan, Idi Subandi Ibrahim (ed.), Bandung, Mizan1999, hal. 37.

Hal ini dilakukan semata-mata dalam rangka memperkuat citra sebuah produk yang dipromosikan. Selain itu juga sebagai nilai tawar (bargaining) untuk mempengaruhi dan mengkonstruksi logika masyarakat supaya tertarik, membenarkan dan membeli lalu memakai produk tersebut. Logika masyarakat diarahkan untuk mengikuti dan menjustifikasi adanya keterkaitan jalinan imaji dalam iklan yang ditayangkan, sehingga masyarakat tidak lagi memiliki “kebebasan” dalam melakukan sebuah pilihan. Pilihan atau keputusan yang diambil sudah merupakan menu pilihan yang sengaja ditawarkan.

Iklan-iklan yang menampilkan gambaran dan imaji-imaji akan sangat cepat ditangkap dan bahkan dibatinkan dalam benak pemirsa. Iklan televisi mempunyai daya tangkap yang luar biasa justru karena menggabungkan gambar dan suara. Bahkan lebih ekstrem lagi, iklan mampu memacu otak untuk berpikir dan menyimpulkan dengan cepat. Sebuah tayangan iklan menampilkan orang-orang yang mencapai kesuksesan serta prestasi dipelbagai bidang, misalnya olah raga, studi di perguruan tinggi, serta para eksekutif diperusahaan.91

Kesuksesan, kemewahan, keeksklusifan dan banyak citra lain yang ditempelkan dihubungkan dengan produk tertentu. Dengan demikian, orang dipaksa untuk menghubungkan antara hal tersebut dengan produk yang diiklankan, meskipun pada hakekatnya hal tersebut tidak berhubungan sama sekali. Setelah itu pemirsa pun

dipaksa untuk menyimpulkan bahwa untuk meraih hal-hal tesebut. Terlebih di era information superhighway, dimana aplikasi World Wide Web kini sedang berubah menjadi sebuah pasar dan dalam proses ini ia telah mentransformasikan privasi yang semula merupakan hak individual menjadi komoditas yang sepenuhnya komersial dan bisa dibeli oleh siapa pun.

Sekali Anda melakukan pembelian sebuah barang dengan kartu kredit melalui internet, misalnya, maka sebagian besar data personal Anda akan segera berubah menjadi sebuah komoditas yang akan diperjualbelikan diantara para pelaku bisnis electronic- commerce di seluruh dunia. Anda sendiri belum akan mengetahui hal itu sampai pada satu saat kotak surat elektronik atau bahkan rumah Anda dibanjiri oleh sampah-sampah informasi dari seluruh dunia yang akan sangat mengganggu hidup Anda.92 Inilah yang dimaksud

Postman dengan teori konversasi-nya, dimana ada jalinan atau pertukaran pesan dengan orang lain (dengan budaya yang berbeda pula), sehingga proses transaksi yang berlangsung mengalami sebuah perombakan cara—bukan face to face lagi—konvensional.

McLuhan mengatakan bahwa kecenderungan yang pasti dari periklanan adalah selalu berusaha menampakkan produk sebagai satu bagian integral dari proses sosial dan kebutuhan sosial yang luas. Sementara William menganggap periklanan itu sebagai hal yang magis karena dapat mengalihkan komoditas kedalam kegemerlapan

yang memikat dan mempesona, yang keluar dari imajinasi kemudian muncul dalam keberadaan dunia. Sebagai the magic system, iklan memiliki ideologi. Pertama, iklan selalu berpikir tentang pasar.

Kedua, bahasa menjadi bagian penting dalam sistem ini, dimana iklan berperan sebagai bahasa simbolik masyarakat. Ketiga, iklan tidak untuk semua, akan tetapi ditujukan untuk segmen tertentu. Target audiens menjadi faktor penting dalam perencanaan sebuah iklan.93

Pesatnya perkembangan teknologi juga diiringi dengan tumbuh-kembangnya stasiun-stasiun televisi baru, sehingga pihak pengiklan semakin menambah antusiasme pemirsa untuk mendapat porsi hiburan yang lebih banyak. Hal ini ditangkap dengan jeli oleh para pemasang iklan untuk mempromosikan produk-produknya. Televisi yang mampu memadukan gambar dan suara (audio visual) semakin mempermudah kalangan pemasang iklan untuk merekayasa realitas melalui media elekronik (televisi). Sayangnya, banyaknya stasiun televisi membuat masyarakat mempunyai tradisi spin off94 sehingga isi pesan hanya ditangkap permukaannya saja, yang kemudian memunculkan peniruan (imitasi) terhadap perilaku atau gaya hidup tokoh-tokoh dalam iklan tersebut, tanpa memahami secara mendalam maksud yang sebenarnya.

93 Bungin, op. cit., hal. 94-96.

94 Istilah untuk menunjukkan tradisi masyarakat yang baru seiring banyaknya channel televisi yang bisa dinikmati, yakni selalu mengganti saluran atau menghidup-matikan televisi. Lihat Garin Nugroho, Kekuasaan dan Hiburan. Yogyakarta, Bentang, 1995, hal. 114.

Dalam dokumen Image Iklan Kampanye Politik di Televisi (Halaman 69-74)