• Tidak ada hasil yang ditemukan

Image Iklan Kampanye Politik di Televisi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Image Iklan Kampanye Politik di Televisi"

Copied!
216
0
0

Teks penuh

(1)

IMAGE IKLAN KAMPANYE POLITIK TELEVISI

(Analisis Semiotik Iklan Kampanye Politik Susilo Bambang Yudhoyono Pada

Pemilu Presiden 2004)

Skripsi

Oleh :

Shobikin. A NIM: 00.14101.520033

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

(2)

IMAGE IKLAN KAMPANYE POLITIK TELEVISI

(Analisis Semiotik Iklan Kampanye Politik Susilo Bambang Yudhoyono Pada Pemilu Presiden 2004)

Skripsi

“Disusun sebagai persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana (S1) pada jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo”

Oleh : Shobihin Amin NIM: 00.14101.520033

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

(3)

LEMBAR PERSETUJUAN

Nota : Pembimbing Lamp : 200 eksemplar Perihal : Naskah Skripsi Yang Terhormat,

Dekan Fakultas ISIP

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Setelah mengadakan pemeriksaan, evaluasi serta perbaikan dan penyempurnaan seperlunya terhadap skripsi atas nama saudara :

Nama : Shobihin Amin NIM : 00.14101.520033

Judul : Image Iklan Kampanye Politik Televisi (Analisis Semiotik Iklan Kampanye Politik Susilo Bambang Yudhoyono Pada Pemilu Presiden 2004)

Kami berpendapat bahwa skripsi tersebut telah cukup melengkapi dalam Ujian Tingkat Sarjana dalam rangka menyelesaikan studinya pada Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.

Berkaitan tersebut di atas, dengan ini kami ajukan skripsi ini pada Fakultas untuk kiranya dapat diuji dengan segera.

Demikian atas kebijaksanaan Bapak, kami sampaikan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Sidoarjo, …… Maret 2005 Dosen Pembimbing

(4)

BERITA ACARA PEMBIMBINGAN SKRIPSI

Judul : Image Iklan Kampanye Politik Televisi (Analisis Semiotik Iklan Kampanye Politik Susilo Bambang Yudhoyono Pada Pemilu Presiden 2004)

Nama : Shobihin Amin

NIM : 00.14101.520033

Jurusan/Program Studi : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Pembimbing : Dr. Zainuddin Maliki

Konsultasi :

Tanggal Paraf Pembimbing Keterangan

Tanggal selesai skripsi :

Sidoarjo, Mengetahui

Dekan FISIP UMS Dosen Pembimbing

(5)

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya tulis ilmiah yang berjudul “Image Iklan Kampanye Politik Televisi (Analisis Semiotik Iklan Kampanye Politik Susilo Bambang Yudhoyono Pada Pemilu Presiden 2004)” adalah hasil karya murni pemikiran penulis bukan hasil tiruan atau duplikasi dari tulisan lain terkecuali adanya kutipan-kutipan ataupun pernyataan sebagaimana telah disebutkan sumbernya sesuai dengan kaidah penulisan ilmiah pada umumnya.

Penulis bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan akademis Fakultas apabila terbukti karya ini tidak sesuai dengan pernyataan yang saya buat. Adapun selanjutnya keseluruhan isi, ide serta gagasan dalam karya ilmiah ini sepenuhnya akan menjadi tanggung jawab penulis.

Sidoarjo, ….. Maret 2005 Penulis

(6)

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi dengan judul “Image Iklan Kampanye Politik Televisi (Analisis Semiotik Iklan Kampanye Politik Susilo Bambang Yudhoyono Pada Pemilu Presiden 2004)” ini, telah dipertahankan di hadapan Dewan penguji Skripsi :

Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

Pada Hari ………….. Tanggal ………. Bertempat di ………

Dewan Penguji :

1. Ketua : ……… ( )

2. Sekretaris : ……… ( )

3. Penguji I : ……… ( )

4. Penguji II : ……… ( )

Mengetahui, Dekan FISIP UMS

(7)
(8)

ABSTRAKSI

Berangkat dari fenomena tayangan iklan kampanye politik (televisi) yang banyak menggunakan citra (image) dalam menyampaikan pesan kepada pemirsa, sehingga informasi penting tentang profile, visi dan misi kandidat yang sesungguhnya menjadi kabur “terselimuti” oleh kuatnya pencitraan kandidat. Hal inilah yang menyebabkan jalinan alur cerita iklan seolah “nyambung”, meski mengungkap/mengetahui bagaimana image iklan kampanye politik televisi Susilo Bambang Yudhoyono pada pemilu presiden 2004? Sebab tayangan iklan politik televisi tidak hanya sebatas menawarkan profile, visi dan misi Capres.

Adapun ruang lingkup pada penelitian ini adalah satu buah iklan yang diambil secara purposive dengan kategori: Iklan Capres yang merupakan pemenang pemilu presiden 2004, penuh dengan muatan nilai budaya dan dikenal masyarakat. Iklan yang dimaksud adalah: Iklan Kampanye Politik SBY-JK versi

“Sajadah Panjang”. Sedangkan teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan mencatat alur cerita iklan tersebut. Adapun metode yang digunakan sebagai pendekatan dalam menganalisis data adalah analisis

semiotik/semiologi-signifikasi Roland Barthes, yakni pemaknaan tanda melalui dua tahapan, dimana tanda (penanda dan petanda) pada tahap pertama menjadi penanda pada tahap kedua yang mempunyai penanda lain (mengalami perluasan makna/konotasi).

Dalam proses analisis data ditunjang dengan beberapa teori pendukung, diantaranya: Pertama, reflective-projective theory-nya Lee Lovinger yang menyatakan bahwa media massa merupakan cermin dari masyarakat yang menyebarkan citra yang saling “tumpang tindih”, sehingga masyarakat luas menafsirkannya secara beragam. Hal inilah yang menyebabkan setiap orang memproyeksikan atau melihat citra dirinya melalui media massa. Kedua, teori belajar sosial (social learning theory) yang dinyatakan oleh salah satu tokohnya, yaitu A. Bandura. Menurut Bandura, orang belajar melalui pengalaman langsung atau pengamatan (mencontoh model)—orang belajar dari apa yang ia baca, dengar, dan lihat di media, dan juga dari orang lain dan lingkungannya. Berikutnya, penggunaan hasil dari bisosiatif imajinasi, yaitu kemampuan mendamaikan atau menggabungkan dua (atau lebih) imaji yang tidak saling berhubungan dan juga dapat mampu menggabungkan cara berpikir yang sebelumnya tidak saling berkaitan— cara berpikir intuitif.

(9)

signifikasi Roland Barthes. Dari hasil analisis yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan: image iklan kampanye politik televisi Susilo Bambang Yudhoyono pada pemilu presiden 2004 lebih banyak memakai simbol-simbol kelas, budaya dan ekslusifitas dengan memainkan imajinasi untuk memasuki sisi psikologis pemirsa.

(10)
(11)

DAFTAR ISI

Melacak Makna Penanda Verbal dalam Pendekatan Heuristik dan Hermeneutik ………. Melacak Makna dengan Pendekatan Teknik Visualisasi … Melacak Makna dari Sudut Pembaca ………..

Melacak Makna dari Perspektif Ahli mitos ………

Tinjauan Pustaka ……… Pendekatan Imajinatif dalam Mengkonstruksi Realitas ……. Iklan dan Media Massa (Televisi) sebagai Wahana

(12)

IV. PENYAJIAN DATA, ANALISIS DAN INTERPRETASI Gambaran Umum ……… Profil SBY-JK Sang Kandidat ……….

Alur Cerita Iklan SBY-JK versi “Sajadah Panjang” ………

Penyajian dan Interpretasi Data ……… Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik Penanda Verbal ….

Pembacaan Penanda Visual ……….

Analisis Kolaboratif Pesan Tanda Verbal dan Visual ………. Pemaknaan Pesan Tanda dari Perspektif Pembuat Iklan ….

Pemakanaan Pesan Tanda dari Perspektif Ahli Mitos ……. Pemaknaan Pesan Tanda dari Prespektif Pemirsa …………

Matrik Interpretasi Data ………

V. PENUTUP

Kesimpulan ……… Saran-Saran ……… Saran Praktis ………..

Saran Akademis ……….

(13)
(14)

DAFTAR GAMBAR

3.1 Gambar Peka Tanda Roland Barthes 4.1 Gambar

(15)
(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Kehidupan manusia kontemporer yang mengandalkan kacanggihan teknologi informasi dalam segala aspek, tengah mengarah kepada gejolak perubahan yang senantiasa terjadi dalam tempo yang sangat cepat. Televisi sebagai media interaktif yang sarat dengan kontroversi telah hadir menjadi anggota keluarga baru, pasalnya banyak tudingan menganggap televisi mempunyai andil menghadirkan kekerasan, erotisme, bahkan menjadi pemicu perilaku hedonis dan konsumtif masyarakat melalui tayangan iklan. Ironisnya kehadiran acara tersebut sering dianggap sebagai menu wajib yang harus dikonsumsi. Saat ini, menonton televisi menjadi kegiatan harian (daily activity) dan bahkan menjadi kebutuhan pokok untuk memperkuat identitas sosial.

Melalui piranti teknologi canggih–televisi, satelit, internet dan piranti lainnya. Global village-nya McLuhan secara definitif benar-benar terjadi. Menurut Daniel Boorstin, pemikiran tentang citra atau image dengan perkembangan teknologi telah menyebabkan “graphic revolution”.1 Dimana alur informasi yang mengalir deras mampu menerobos batasan-batasan geografis, sehingga proses transformasi informasi, etika, nilai, budaya dan peradaban menjadi sulit dikendalikan. Sebagai akibatnya, terjadi pergulatan 1 Hedi Pudjo Santoso, Simulasi dan Tabloidisasi Informasi Hiburan di Televisi, Disertasi

(17)

dan dilema moral sampai pada tercabutnya akar budaya yang telah lama melekat dan dianut masyarakat secara turun-temurun.

Sebagai produk dari mode informasi dalam masyarakat kapitalistik, iklan bisa dianggap sebagai program yang cukup mendominasi televisi di Indonesia,2 terutama televisi swasta. Salah satu karakteristiknya adalah

munculnya determinasi teknologi komunikasi yang memungkinkan media melakukan simulasi atau pencitraan sehingga muncul ruang hyper-realitas, sebuah ruang yang memungkinkan sesuatu dicitrakan melebihi realitas sebenarnya.3 Hal inilah yang menempatkan iklan televisi sebagai media

promosi terpopuler dan digemari masyarakat.4

Maka tidaklah salah bila George Gerbner,5 seorang pakar komunikasi

dan televisi, menyatakan bahwa iklan televisi sudah menjadi agama masyarakat industri. Sebagai “agama baru”, iklan televisi telah menggeser agama-agama tradisional. Khutbahnya didengar dengan penuh keharuan dan disaksikan penuh hikmat oleh jemaah yang lebih besar daripada jemaah manapun. Rumah ibadatnya tersebar dipelbagai pelosok bumi, ritus-ritusnya diikuti dengan penuh kehikmatan dan bisa jadi lebih banyak menggetarkan hati dan mempengaruhi bawah sadar manusia daripada ibadat agama-agama yang pernah ada.6

2 Ibid., hal. 5.

3 Ratna Noviani, Jalan Tengah Memahami Iklan: Antara Realitas, Representasi Dan Simulasi.

Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hal. 8.

4 Santoso, op. cit., hal. 5.

5 Idi Subandi Ibrahim (ed) dalam Ecstasy Gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat

Komoditas Indonesia. Jakarta, Mizan, 1997, hal. 30.

(18)

Lebih jauh lagi, Ervin Goffman7 dalam tulisannya mengatakan,

dimana dalam sebuah teks iklan ditampilkan citra-citra yang membentuk alam fantasi dan realitas hipper disatu sisi, dan representasi realitas disisi lain. Dalam mengkonstruksi makna tersebut, iklan merangkai atau mengaitkan hal-hal yang sebetulnya tidak memiliki konteks. Iklan juga merangkai the past, the present and the future untuk menghasilkan makna yang ingin dilekatkan pada sebuah produk.8 Dengan permainan citra tersebut

yang diinjeksikan secara terus menerus, besar kemungkinan iklan akan mampu menggeser pola pikir dan sikap khalayak dengan paradigma baru dalam mengapresiasi realitas, sebagaimana dogma-dogma yang diajarkan iklan melalui media televisi.

Dalam pandangan moderatnya, Ratna Noviani, juga mengatakan, ”Ada hubungan yang erat antara citra-citra dalam iklan dan realitas sosial”. Meskipun iklan penuh dengan permainan citra atau tanda, namun tidak berarti citra atau tanda tersebut kehilangan makna atau referensi realitas dan bersifat self-refererential. Bagi dia, citra-citra dalam iklan tersebut tetap memiliki kaitan dengan konteks sosial historis dimana citra-citra itu diciptakan. Dalam hal ini, iklan menginteraksikan antara citra dengan realitas. Dengan demikian, realitas yang ditampilkan oleh iklan adalah produk dari dialektika antara citra dan realitas. Meskipun dalam kenyataan iklan sering tidak jujur dan memanipulasi realitas obyektif dengan permainan citra-citraan.

7Ibid., hal. 37.

(19)

Sudah menjadi kenyataan hidup dalam kehidupan nyata, masyarakat selalu dipenuhi oleh berbagai macam hiburan dan informasi, dengan beragam program tayangan sinetron, infotainment, sampai pada iklan komersial. Dihampir setiap relung kehidupan anak manusia selalu diwarnai oleh berbagai macam tayangan iklan televisi, radio, surat kabar dan hampir di setiap sudut jalan ada iklan. Masyarakat tidak bisa lagi menghindar dari iklan. Iklan memang sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Hampir tiada tempat dan waktu tanpa kehadiran iklan. TVRI yang dulu anti iklan komersial karena disubsidi pemerintah, sekarang juga gemar menayangkan iklan, bahkan rumah dan kios pun menjadi sasaran tempat iklan.

Iklan telah menjelma mirip seperti nenek sihir, dimana ia datang mendadak dan bergegas menyebar mantra. Masyarakat pun terpesona (dan kebanyakan) terperdaya olehnya tanpa bisa memberontak.9 Di sudut kota dan

desa anak-anak begitu fasih melafalkan “moncong putih” yang menjadi ikon iklan kampanye Partai Demokrasi Indonesia Perjungan (PDI-P). Tak kalah akrab juga di mulut para remaja, terutama remaja putri kerap berucapKapan lagi kita punya presiden keren”, jingle iklan kampanye politik calon presiden Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono atau akrab dipanggil SBY

(20)

lagu, gerakan hingga meniru sosok yang menjadi pemeran tersebut.10 Proses

imitasi iklan ini, terjadi mulai dari anak-anak, remaja hingga orang dewasa. Mencermati fenomena semacam ini, para pengusaha dan politisi bersaing ketat mempromosikan produknya lewat iklan televisi dan dalam waktu yang relatif singkat, iklan televisi diyakini oleh banyak pengusaha dan politisi akan mampu mendongkrak popularitas seseorang atau produk tertentu dalam waktu yang cukup singkat. Iklan di televisi adalah medium percepatan kampanye bagi para politisi yang dilakukan dengan cara menumbuhkan psikologi komunal pemirsa. Penonton dibius untuk mengikuti drama politisi tidak semata-mata sebagai tayangan cerita biasa, melainkan menjelma menjadi drama yang melibatkan emosi, menjadikannya tontonan ala misteri yang memaksa penonton mengikuti dan menikmatinya tanpa henti. Inilah era budaya populer yang menjadikan televisi menjadi media yang secara sadar menyajikan simulasi citra sebagai sebuah medium hegemonik untuk mendongkrak perolehan simpati masyarakat.

Jika diperhatikan secara seksama saat masa kampanye pemilu 2004, hampir semua stasiun televisi swasta dan non-swasta menayangkan beragam versi iklan kampanye politik dan feature dengan berbagai kemasan acara, seperti yang dilansir oleh jurnal Election News Watch.11 Ada feature ala

Satrio Panningit, Untukmu Bangsaku, Kupas Profil dan Jejak Sang Pemimpin yang semuanya ditayangkan oleh TVRI - Profile keluarga Capres, Tajuk Sore, Menuju RI I yang ditayangkan pada 18-24 Juni 2004 oleh

TV7-10 Ratna Noviani, op. cit, hal. 1.

(21)

Serba-Serbi Demokrasi, Pemilu Bagi Tuna netra yang ditayangkan Metro TV-Jelang Siang oleh Trans TV, Talk Show bersama Capres ala Indosiar, Liputan Pemilu dan Kotak Suara oleh SCTV-Belum lagi di RCTI dengan Cek & Ricek yang mencoba mengupas dukungan artis tentang Capres Cawapres dan lain-lain. Yang semua hadir tanpa permisi menghampiri masyarakat diseluruh pelosok negeri dengan mantra dan kecenderungan politik masing-masing.

Garin Nugroho,12 lima tahun yang lalu pernah mengemukakan, untuk

lima tahun kedepan, iklan politik di televisi akan menjadi bisnis tersendiri. Lebih lanjut Ia mengatakan : “Kampanye politik dan iklan partai akan membentuk hubungan-hubungan baru. Partai politik akan melirik televisi sebagai media kampanye. Karena itu, pengelola televisi harus paham politik” (Kompas, 19 Mei 1999). Melihat kenyataan kampanye pemilu 2004 hal itu sangat relevan. Memang, iklan televisi adalah drama, meski singkat sekali (15-60 detik). Pengaruhnya bersifat subliminal dan sugestif, meski tidak sepenuhnya disadari pemirsa.13

Lebih jauh lagi, Garin Nugroho14 mengatakan, “Televisi menjadi

mimbar kampanye di ruang keluarga yang paling populer abad ini, disisi lain televisi juga menjadi mimbar pengadilan terbesar kemampuan capres dan cawapres dalam mencitrakan diri dengan hakim keluarga-keluarga Indonesia”.

12 Baca Artikel harian nasional KOMPAS edisi19 Mei 1999.

13 Dedy Mulyana, Nuansa-nuansa Komunikasi. Bandung, Remaja Rosyda Karya, 1999, hal. 155. 14 Garin Nugroho, Opera Sabun SBY, dalam Sub bab “Menilai Kemampuan Kampanye Capres”.

(22)

Oleh karenanya, iklan mengaktifkan bawah sadar manusia yang selalu tertarik kepada orang lain, dari sisi penampilan dan kecantikan mereka. Wahyu Wibowo pun dalam bukunya yang berjudul, “Sihir Iklan”,15

tetap dengan pendiriannya, iklan ibarat lagu “Benci Tapi Rindu” iklan yang dibenci dan sekaligus dirindui, iklan tampil tidak saja menjadi media informasi an sich, tapi juga sebagai media hiburan yang sangat diminati dan digemari. Contoh saat masa kampanye politik, kehadiran sang tokoh dalam iklan kampanye politik begitu menarik untuk dinantikan, apalagi kalau Sang Tokoh ditampilkan dalam konstruksi citra yang tepat, sesuai dengan selera rakyat, meski tidak cukup menggambarkan realitas sesungguhnya (back stage) dan bahkan khalayak kadang merasa tidak butuh lagi informasi lain yang tidak sama untuk didialogkan.

Belum lagi infotaintmennya dengan berbagai kemasan, tercatat 30 acara infotainment disajikan 10 stasiun televisi dan ragam iklan yang tidak terhitung.16 Infotainment merupakan acara yang secara sadar diproduksi oleh

pengelola media untuk memenuhi keinginan penonton akan hiburan. Beberapa acara tersebut diantaranya adalah Selebrita, Buletin Sinetron, Kabar-Kabari, Cek & Ricek, KISS, Kroscek, Hot Shot, Betis, Poster, Cuci Mata, CINTA, Candit Camera, Klise, Otista, E...Ko Ngegossip, Inside Celebrities, Ketok Pintu, Was Was dan Insert. Tidak diketahui apakah relevansi atau makna dan kegunaan informasi-informasi tersebut ketika masyarakat sudah terjerembab dalam lautan imaji. Ternyata infotainment ini

(23)

sangat menarik minat pemirsa dengan jumlah yang cukup besar, lebih–lebih kalangan remaja putri dan ibu-ibu, meski mereka sendiri belum mengetahui signifikansi informasi-informasi selebritis tersebut bagi mereka.

Neil Postman, orang yang juga keras mengkritik televisi sebagai medium yang setiap menit selalu membodohkan manusia. Media televisi seakan-akan selalu membawa manusia pada dunia yang penuh dengan omong kosong, berbahaya dan absurd. Maksud Postman, kekuatan televisi membunuh kreativitas nalar manusia yang telah berkembang lewat cetak-tulis, membuat manusia tidak lagi sebagai homo-sapien melainkan sebagai makhluk yang setiap saat mengkonsumsi menu-menu informasi instant yang penuh dengan “bumbu masak”.

Kendatipun demikian, Postman adalah orang yang paling bimbang memutuskan aksiologi televisi. Televisi memang berbahaya, absurd dan omong kosong, tetapi televisi adalah medium simbolik yang paling mendekati kaidah ilmiah. David Hume mengatakan bahwa semua pengetahuan didasarkan atas kesan yang diterima melalui penginderaan manusia.17 Akibatnya, dalam satu contoh kasus kita melihat salah satu iklan

yang mirip dengan satu iklan yang pernah kita kenal (lihat), kita pun akan segera menebaknya meski akhirnya kita mengetahui bahwa kita salah dalam menebaknya. Maksudnya, persepsi kita telah terbentuk oleh tayangan iklan terdahulu yang mungkin tidak relevan.

17 Burhan Bungin, Imaji Media Massa: Konstruksi dan Makna Realitas Sosial Iklan Televisi

(24)

Model produksi kapitalistik, permainan citra berimbas kepada semakin kokohnya media massa serta wartawan sebagai subyek yang tidak terkontrol dan bahkan hegemonik. Berita dan iklan yang dihasilkan tidak lagi menjadi produk yang bisa dikontrol, akibatnya hubungan industrial dibidang pers akan berkecendrungan untuk berperilaku apapun boleh/anarkhi (anything goes) karena tidak seorang pun yang bisa menghentikan kebebasan mutlak yang dimilikinya.18

Lain halnya, pada tahun 1960 Joseph Klepper dalam buku The Effect of Mass Communicatin, menyimpulkan: “Dalam kampanye politik melalui media massa, orang yang pandangan aslinya diperteguh ternyata jumlahnya 10 kali daripada orang yang pandangannya berubah. Kalaupun terjadi perubahan pandangan, itu merupakan peneguhan tidak langsung dalam arti bahwa orang yang bersangkutan merasa tidak puas dengan pandangan awalnya sebelum pandangannya berubah. Sebelum mereka terpredisposisikan untuk berubah, dan komunikasi massa kemudian memperteguh predisposisi tersebut dan menunjukkan jalan tertentu untuk berubah”. Pada saat yang sama, Leon Festinger dari kubu psikologi kognitif datang dengan “Theori Of Cognitive Dissonance”, teori ini menyatakan bahwa individu berusaha menghindari perasaan tidak senang dan ketidakpastian dengan memilih informasi yang cenderung memperkokoh keyakinannya, sembari menolak informasi yang bertentangan dengan kepercayaan yang diyakininya.19 Dan Elihu Katz (1959) menyatakan bahwa,

18 Noviani, loc. cit., hal. 1.

(25)

penelitian tentang efek media massa sudah mati.20 Artinya menurut

pandangan mereka, terpaan media tidak memberikan efek yang signifikan pada khalayak.

Namun demikian, permainan media massa tidak bisa dilepaskan dari perkembangan teknologi komunikasi dibidang broadcast. Perkembangan ini telah menempatkan suatu relasi sosial, fantasi, dan imajinasi disimulasikan melebihi realitas sesungguhnya, dalam bahasa Baudrillard disebut sebagai

hyper reality. Menurut hemat penulis, permainan citra dalam iklan haruslah dipahami sebagai upaya untuk menjungkirbalikkan realitas sosial menjadi hiper-realitas. Fakta iklan yang disajikan sarat dengan fatamorgana sesuai dengan kepentingan politik, ekonomi, budaya dan ideologinya masing-masing.

Begitu padat dan lebarnya ruang hegemoni pada setiap program televisi sehingga masyarakat, yang dalam tulisan Zainuddin Maliki disebut “Masyarakat Positifistik”21 mereka tidak bisa lagi membedakan antara yang

“riil” dan yang “tidak riil”, antara “yang berguna” dan yang “kurang berguna” maupun antara “yang signifikan” dengan yang “tidak signifikan”, semuanya melebur dalam satu kemasan dengan tingkat perubahan yang sangat cepat. Merupakan sebuah kerugian besar apabila tidak mengikuti perubahan atau perkembangan informasi terkini, demikian kesimpulan mereka yang memang menjadi target dari media.

20 Ibid., hal. 199.

(26)

Dengan adanya teknologi canggih, maka proses komunikasi menurut Yasraf Amir Piliang, berlangsung didalam satu orbit keseketikaan, kesegeraan, dan kesementaraan. Proses komunikasi dikatakan baik apabila berlangsung secara cepat. Didalam model komunikasi semacam ini tidak ada tempat untuk diam, untuk berhenti sejenak, untuk merenung, untuk refleksi maupun untuk kontemplasi. “…hegemoni dan pesan-pesan harus mengalir silih berganti tanpa interupsi”.22 Hal inilah yang menempatkan khalayak

hanya sebagai pemirsa pasif, tanpa diberi kesempatan untuk berpikir, yang senantiasa “diinjeksi” dengan ragam pesan dan informasi yang belum tentu mereka butuhkan, sehingga mengarah pada penciptaan jenis-jenis kebutuhan baru.

Kenneth E. Boulding menyatakan bahwa persepsi kita sebenarnya telah dikuasai oleh imaji yang pernah kita batinkan.23 Diskursus media iklan

televisi akan berkaitan dengan arti penting televisi dalam kehidupan masyarakat. Begitu pula dengan televisi sebagai media iklan dalam kehidupan seseorang, ketika iklan itu ditayangkan di televisi. Dalam perkembangannya, iklan televisi lebih menekankan penampilan. Kemasan atau citraan sebuah iklan, disadari atau tidak, akan “memaksa” pemirsa untuk menginterpretasikan dan menyimpulkan bahwa ada keterkaitan antara alur cerita dalam iklan itu dengan kegunaan sebuah produk. Artinya, iklan

22 Seperti yang dikutip Yasraf Amir Piliang dari Jean Baudrillard. 1993. The Transparancy of Evil,

Versi, London. Selengkapnya lihat Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia yang Dilipat : Realitas Kebudayaan Menjelang Millenium Ketiga dan Matinya Posmodernisme, Bandung, Mizan, 1998, hal. 111.

(27)

adalah bagian penting dari serangkaian kegiatan mempromosikan produk yang menekankan unsur citra.

Para analis media bersepakat, salah satu kunci kemenangan Kennedy adalah karena penampilannya yang muda, ceria dan suaranya yang lebih merdu, meski Kennedy sebenarnya kurang berpengalaman dalam bidang politik.24 Sejalan dengan Martin, Dedy Mulyana berpandangan, “Dalam

kampanye politik di Indonesia, para kandidat kurang terampil mengelola citra diri, mereka masih tampil bersahaja, hati-hati, lugu dan kadang naif, mungkin mereka lebih cenderung menampilkan panggung depan-nya (front stage) daripada panggung belakang (back stage)”. Dedy Mulyana menegaskan, “Kalau saja Amin Ra’is (capres PAN) tampil lebih diplomatis (mengurangi bicara ceplas-ceplosnya) bukan tidak mungkin citra dia akan lebih baik dan perolehan suaranya akan lebih signifikan”.25

Dilihat dari perspektif Schutzian, dunia kehidupan bukanlah sebuah unit tunggal, karena kesadaran manusia bisa bergerak melintasi wilayah-wilayah yang berbeda, dari realitas seperti mimpi-mimpi, halusinasi dan bahkan teater. Dengan perkataan lain, dunia kehidupan terdiri atas bermacam-macam realitas.26 Realitas sudah mengalami pelbagai distorsi,

konstruksi atau bahkan dekonstruksi sehingga manusia bisa “menciptakan” realitas yang diinginkan. Hidup tidak lagi merupakan sebuah perjuangan, tetapi hidup lebih merupakan dunia pemenuhan hasrat. Dalam kondisi seperti inilah manusia mulai secara sadar atau tidak, tercerabut dari

atribut-24, Mulyana, op. cit., hal. 102. 25 Ibid., hal. 83-86.

(28)

atribut kepribadiannya sendiri, terlebih apabila “kebahagiaan” merasa sudah direngkuhnya. Hal ini membawa akses pada orientasi sikap politik, dimana orientasi sikap politik yang digunakan pun sudah dimodifikasi sedemikian rupa.

Namun pada saat yang sama, media juga berperan menjadi wadah hegemoni opini publik. Tafsiran atas fenomena atau realitas, bergantung pada susunan kata dalam bahasa media. Kata dalam bahasa tidak lagi bebas, tapi bergantung pada penafsirannya untuk diberikannya pada publik. Publik sendiri belum memiliki kebebasan menafsirkan, penafsirannya bergantung pada media. Bila tidak, publik akan dianggap nyleneh oleh mayoritas atau bahkan dianggap tidak bersimpati pada arus opini publik.27 Melalui

permainan bahasa (language game), meminjam istilahnya Ludwig Wittgenstein, media atau pihak penafsir memperhalus bentuk dan model hegemoninya yang mengarahkan pemirsanya, tanpa merasa terhegemoni.

Justru sebaliknya, masyarakat merasa mempunyai panduan baru berkenaan dengan perkembangan terkini tentang apa saja, mulai dari politik, olah raga, fashion, sampai pada model rambut terkini. Hal ini disebabkan oleh konstruksi imaji atau image yang disebarkan melalui media massa. Dalam hal ini, media massa mempunyai peran yang sangat vital dalam memasifikasi penyebaran informasi tersebut sejauh mungkin dengan kemasan yang sangat memikat, sehingga masyarakat tenggelam dalam lautan imaji yang tak henti-hentinya merubah performance-nya. McClure

27 Suyoto et. al, Sub Bab Serangan Media Massa dalam Postmodern dalam buku

(29)

dan Petterson28 juga berargumentasi dengan lebih ekstrim lagi, beliau

mengatakan bahwa, terpaan iklan politik yang ditelevisikan itu segera dan langsung mempengaruhi kepercayaan pemberi suara terhadap kandidat. Ini berarti bahwa terpaan iklan yang ditelevisikan mempunyai akibat hipodermis, yang dipilih oleh penonton yang diatributkan kepada pesan itu adalah maknanya, bukan pesannya.

Dari sinilah pemilihan terhadap iklan kampanye politik calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bersama sang calon wakil presiden Muhammad Jusuf Kalla (MJK) yang dalam media ”election” disebutkan, pasangan calon yang menempati rating tinggi dalam memanfaatkan media televisi dalam kampanye politiknya baik dari berita, iklan, maupun feature.29 Dalam banyak survey, calon presiden ini paling

diuntungkan oleh media massa dalam merengguk suara pemilih.30

Pertimbangan lain, menurut Dr. Ikrar Nusa Bhakti,31 dari lima pasangan

calon presiden, pasangan ini dapat dikatakan satu-satunya pasangan calon yang terbanyak memiliki predikat “paling”. Pertama, pasangan ini adalah pasangan yang paling pertama terbentuk dan mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum dibandingkan dengan pasangan calon lainnya. Kedua,

oleh banyak kalangan ia dianggap sebagai sosok yang “paling peragu” dalam mengambil keputusan pada situasi kritis sehingga dapat menimbulkan

28 Dan Nimmo, Komunikasi Politik, Khalayak dan Effek. Bandung, Rosydakarya, 2001, hal. 29 Lihat tabel 4 Obyek berita Kampanye Capres-Cawapres 11-17 dan 21-27 Juni 2004 dan Tabel 1

Daftar Feature ditelevisi periode 11-17 Juni 2004. Election News Watch, edisi, 08/23 Juni 2004 dan edisi 09/30 Juni 2004

30Ali Mahfudl, Evaluasi Kubro Kekalahan Amin Ra’is. Makalah ini disampaikan pada acara

rutinan, Lamongan, 1 Oktober 2004, Komunitas Satu Angka, hal. 2.

(30)

masalah baru bagi Indonesia di masa depan. Ketiga, pasangan yang paling tidak memiliki mesin politik yang dapat diandalkan dibanding calon lain. Dan pada saat yang sama, dari berbagai jajak pendapat dan survey ia merupakan calon yang paling populer, khususnya di daerah perkotaan.

Keempat, pasangan SBY-JK dipersepsikan sebagai pasangan yang paling merepresentasikan perpaduan sosok nasionalis dan sosok agamis/religius dan pasangan ini juga dianggap “paling” mewakili kawasan Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur. Kelima, pasangan ini juga dipersepsi oleh media (KOMPAS 24/7/2004) sebagai calon yang “paling” cakep dan “paling” ganteng dan juga merupakan calon yang “paling”

ngepop disukai oleh kaum hawa terutama remaja putri, karena budaya pop yang ditonjolkannya. Keenam, “paling Islami”, dan mendapat simpati dari kaum Muslimin terutama masyarakat Muslim perkotaan dengan iklannya versi “sajadah panjang”. Dan terakhir Ketujuh, sosok SBY bersama JK adalah kandidat yang paling banyak didera isu, dari isu agama, militerisme dan SBY dulu dianggap anti reformasi. Iklan kampanye politik versi “sajadah panjang” adalah iklan yang dibangun dengan strategi pengorganisasian kolaboratif, yang tampak pada kompleksitas nilai budaya dalam tanda.

1.2. Rumusan Masalah

(31)

politik di televisi Susilo Bambang Yudhoyono pada Pemilu Presiden

2004?”

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk :

1. Mendeskripsikan image iklan kampanye politik televisi Susilo Bambang Yudhoyono pada Pemilu Presiden 2004.

2. Memahami makna permainan image/citra iklan kampanye politik televisi Susilo Bambang Yudhoyono pada Pemilu Presiden 2004.

1.4. Manfaat Penelitian

Secara praktis penelitian ini sebagai wahana aktualisasi diri atas khazanah keilmuan dan pengalaman penulis disamping sebagai persyaratan mutlak (tidak boleh tidak) untuk kenaikan tahta sosial dengan gelar S1 dalam bidang ilmu sosial dan ilmu politik.

(32)

1.5. Kerangka Berpikir

Dalam banyak referensi, telah disinggung bahwa iklan kampanye politik cenderung lebih banyak menampilkan permainan citra dan ilusi daripada realitas aslinya. Ditambah lagi dengan minimnya pemberitaan tentang platform para kandidat presiden. Sebagaimana dalam Jurnal

Election News Watch32 diberitakan, “Diantara 804 berita yang dihasilkan 10

stasiun televisi sepanjang 11-17 Juni 2004, hanya terdapat tiga berita mengenai platform presiden yang dikemas dengan jelas minus janji atau slogan.

Iklan memproduksi sistem-sistem makna terpola yang memainkan peran kunci dalam sosialisasi individu dan juga reproduksi sosial. Iklan melekatkan makna-makna pada produk atau komoditi, melalui asosiasi pencitraan yang diulang-ulang. Akibatnya, dalam sebuah komoditi itu sendiri dan juga signifikasi atau penandaan yang disebut sebagai

commodity-sign33. Commodity-sign inilah yang berfungsi untuk menjual produk atau obyek dan menjadi pembawa pesan promosi.

Sebagai pembawa pesan promosi, dengan demikian commodity sign

mengiklankan obyek itu sendiri dan aspek-aspek yang lain seperti visi-misi, merek, dan gaya yang dihubungkan melalui pencitraan. Dengan kata lain, iklan simbolik secara ekonomi dan politik tidak hanya sekedar memfasilitasi bentuk politisasi melalui persuasi, tetapi politisasi dikodekan sebagai sebuah

(33)

tanda psycho-idiologis yang diharapkan, yang dihubungkan dengan identitas, orientasi maupun tujuan hidup.

Kampanye politik ataupun promosi melalui citra-citra atau image

menjadikan semakin penting perannya dalam masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh W.Fritz Haug,34 bahwa citra dan appearance menjadi

semakin penting peranannya dalam masyarakat kontemporer. Keduanya dihubungkan dengan upaya-upaya penjualan kepentingan idiologis dan ekonomi politik kapitalisme. Penjualan kepentingan politik maupun komoditi nampaknya membutuhkan sebuah janji nilai guna yang melibatkan citra-citra.

Dalam hal ini, teknologi media merupakan kekuatan sosial yang dominan, yang menciptakan sebuah dunia yang simulatif, hiperreal, yang tidak terpisah dari kepentingan ekonomi politik tertentu, kepentingan individu dan kelompok maupun sistem sosial dimana media berfungsi.35

Untuk menguak lebih jauh mengenai image iklan kampanye politik televisi, maka dalam penelitian ini akan mengkaji secara kritis iklan kampanye politik SBY yang sering ditayangkan di televisi.

Untuk mengetahui bagaimana image iklan dalam mengkonstruksi makna maupun relitas didalam sebuah teks, salah satu cara yang bisa diterapkan adalah semiotik. Ada dua orang yang patut dicatat dalam perkembangan semiotika modern, dan dalam penelitian ini tidak hanya mengacu pada dua atau tiga ahli semiotik saja, meski cenderung condong

34Ibid., hal. 30.

(34)

pada analisis versi Roland Barthers. Karena iklan televisi sebagai produk budaya tidak hanya dilihat dari apa yang katakan dan divisualisasikan di media. Masing-masing tokoh mempunyai titik tekan masing-masing dalam melakukan pembacaan tanda, seperti Ferdinand de Saussure36 dari Perancis

dan Charles Sanders Peirce, ahli filsafat dari Amerika. Keduanya mendasarkan teori semiotikanya pada landasan yang berbeda. Saussure sebagai seorang ahli linguistik, mengembangkan dasar-dasar linguistik umum. Ia memandang bahasa sebagai sebuah sistem tanda dan lebih memberikan tekanan pada struktur yang menyusun tanda. Sedangkan Peirce lebih menekankan pada konsepsi-konsepsi yang ada diluar tanda verbal.37

Semiotika sendiri secara sederhana didefinisikan sebagai teori tentang tanda atau sistem tanda. Sedangkan tanda atau sign adalah sesuatu yang memiliki makna, yang mengkomunikasikan pesan-pesan pada seseorang. Sebuah tanda dalam sistem makna dipisahkan kedalam dua komponen yaitu signifer (penanda) dan signified (petanda). Signifer adalah materi yang membawa makna yang menunjuk pada dimensi konkret dari tanda, sedangkan signifed merupakan sisi abstrak tanda, makna yang dilekatkan pada tanda. Meskipun dalam penelitian ini dapat dipisahkan antara signifer dan signified, tetapi dalam realitas keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Roland Barthes menegaskan bahwa ada perbedaan antara signifier dengan sign. Tidak ada makna yang inhern antara keduanya.

(35)

Menurut Rolland Barthes,38 Sign itu memiliki makna denotatif dan

memiliki makna tambahan yang disebut makna konotatif. Denotasi dan konotasi ini sebetulnya adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan hubungan antara penanda dan petanda atau referensinya. Denotasi digunakan untuk mendeskripsikan makna definisional, literal, gamblang, atau cammon sense dari sebuah tanda. Sedangkan, konotasi mengacu pada asosiasi-asosiasi sosial budaya dan personal (idiologis, emosional dan sejenisnya). Sementara itu, Sturt Hall39 mengatakan bahwa

makna denotasi sebetulnya adalah makna literal dari sebuah tanda karena makna literal tersebut dikenal secara umum, apalagi ketika diskursus visual diikutsertakan. Oleh karena itu, makna denotasi tidak melibatkan intervensi kode. Konotasi, disisi lain mengacu pada sesuatu yang kurang pasti dan oleh karenanya makna bisa berubah, dikonvensionalisasikan dan bersifat

asosiatif. Dengan demikian, makna konotasi ini tergantung pada intervensi kode-kode.

Pemaknaan atas tanda tidak bisa dilepaskan dari referensi sosial budaya dimana tanda itu berada. Artinya, makna konotasi yang dilekatkan pada sebuah tanda, sifatnya sangat kontekstual. Makna sebuah tanda tergantung pada kode dimana tanda tersebut berada. Kode-kode tersebut memberikan sebuah kerangka yang menjadikan tanda-tanda masuk akal dan bisa dipahami. Kode-kode ini juga menjadi pembatas bagi makna yang mungkin muncul, karena kode-kode ini cenderung menstabilkan hubungan

38 M. Gottdiener, Postmodern Semiotict, Material Cultur and The Form of Postmodern Life,

Oxford UK, 1995, hal. 15.

(36)

antara penanda dan petanda. Dengan demikian, tanda-tanda tidak bisa diartikan apa saja sesuai dengan keinginan individu. Penggunaan kode membantu mengarahkan pada makna yang diinginkan atau preferred reading. Oleh karena itu, pemaknaan sebuah tanda sangat bergantung pada referensi yang dimiliki peneliti. Jika referensi sosial budaya peneliti sedikit, maka hasil interpretasinya pun sangat terbatas.

Iklan sebagai sebuah teks adalah sistem tanda yang terorganisir menurut kode-kode yang merefleksikan nilai-nilai tertentu, sikap dan juga keyakinan nilai-nilai tertentu. Setiap pesan dalam iklan memiliki dua tingkatan makna, yaitu makna yang dinyatakan secara eksplisit dipermukaan dan makna yang dikemukakan secara implisit dibalik permukaan tampilan iklan. Dengan demikian, semiotik menjadi metode yang sesuai untuk mengetahui konstruksi makna yang terjadi dalam iklan kampanye politik SBY versi “sajadah panjang” di televisi. Karena ia menekankan peran sistem tanda dalam konstruksi realitas, maka melalui semiotik ideologi-ideologi yang ada dibalik iklan kampanye politik SBY versi “sajadah panjang” bisa dibongkar.

Dalam hubungannya dengan iklan media televisi, Williem Leiss mengemukakan bahwa :

(37)

sama lain, baik dengan tanda-tanda didalam iklan itu sendiri, maupun melalui referensi-referensi eksternal pada belief sistem yang lebih luas”.40

Dalam studi ini, akan dianalisis satu buah iklan kampanye politik SBY versi “sajadah panjang” di media televisi yang ditayangkan pada masa kampanye pemilu presiden tahap pertama (1-30 Juli 2004). Pengambilan iklan ini berdasarkan pada asumsi bahwa iklan itu adalah iklan capres yang berhasil memenangkan pemilu presiden 2004, diproduksi dengan strategi pengorganisasian kolaboratif, yang didalamnya tampak kompleksitas nilai dan budaya dalam tanda, memiliki tingkat belanja media yang tinggi, lebih dikenal oleh masyarakat dan dimunculkan saat SBY didera isu agama dan militerisme. Iklan tersebut adalah iklan SBY versi “sajadah panjang” dan iklan tersebut akan diinterpretasikan dengan cara mengidentifikasi tanda-tanda yang terdapat dalam masing-masing teks.

Makna yang akan diidentifikasi, yang pertama adalah makna denotatif. Makna apa yang diungkapkan secara literal atau secara common sense dalam hal ini akan dilakukan pembacaan secara heuristik pada penanda verbal. Yaitu, pembacaan untuk menunjukkan makna yang mengambang dan bisa dibaca atau surface iklan tersebut. Selanjutnya, pada penanda verbal akan diidentifikasi makna yang tersembunyi dibalik surface

iklan tersebut, dalam hal ini akan dilakukan pembacaan secara hermeneutik dan pembacaan penanda visual dengan pendekatan komposisi dan modalitas baru kemudian diuraikan secara kritis kolaboratif bagaimana image iklan

(38)

tersebut dalam perspektif pembuat iklan, perspektif ahli mitos dan dalam perspektif pemirsa. Asosiasi-asosiasi atau kode-kode apa saja yang digunakan untuk memunculkan makna tersebut. Dan apakah terdapat hubungan interteks dengan teks-teks yang lain untuk dapat memunculkan makna seperti yang diharapkan oleh pengiklan. Hal itu akan memungkinkan terbacanya nilai-nilai atau belief system yang digunakan sebagai referensi untuk mengkontruksi makna sebuah iklan.

Berdasarkan uraian tersebut dapat diilustrasikan dengan mengelaborasi pendekatan semiologi Roland Barthes, dimana dalam memaknai tanda memakai dua tahap pemaknaan.41 Berikut skemanya.

1. Signifier 2. Signified

Sumber : Paul Cobley & Litza Jansz. 1999. Introducing Semiotices. NY : Totem Books, hal. 51 - Alex Sobur dalam bukunya “Semiotika Komunikasi hal.69

Memang, pendekatan Roland Barthes secara khusus tertuju kepada sejenis tuturan (speech} yang disebutnya sebagai mitos. Menurut Barthes,42

41 Sub bab Ideologi Dalam Pariwara Televisi, Okke Kusuma Sumantri-Zaimar dalam buku

Meretas Ranah : Bahasa, Semiotika, dan Kebudayaan. Ida Sundari Husen dan Rahayu Hidayat (peny.), Yogjakarta, Bentang, 2001, hal. 159.

(39)

bahasa membutuhkan kondisi tertentu untuk dapat menjadi mitos yaitu yang secara semiotis dicirikan oleh hadirnya sebuah tataran signifikasi yang disebut sebagai sistem semiologis tingkat kedua (the second order semiological system). Maksudnya, pada tataran bahasa atau sistem semiologis tingkat pertama (the first order semiological) penanda-penanda berhubungan dengan petanda-petanda sedemikian sehingga menghasilkan tanda. Selajutnya, tanda-tanda pada tataran pertama ini pada gilirannya hanya akan menjadi penanda-penanda yang berhubungan pula dengan petanda-petanda pada tataran kedua. Pada tataran signifikasi lapis kedua inilah mitos bercokol.43 Aspek material mitos, yakni penanda-penanda pada

tingkat kedua, dapat disebut sebagai retorik atau konotator-konotator, yang tersusun dari tanda-tanda pada sistem pertama; sementara petanda-petandanya sendiri dapat dinamakan sebagai fragmen ideologi.44

1) Didalam tataran bahasa (language), yaitu sistem semiologis lapis pertama, PENANDA-PENANDA berhubungan dengan PETANDA-PETANDA sedemikian sehingga menghasilkan TANDA.

2) Selajutnya, didalam tataran mitos, yakni sistem semiologis lapis kedua, tanda-tanda pada tataran pertama tadi menjadi PENANDA-PENANDA yang berhubungan lagi dengan PETANDA-PETANDA.

Dari uraian dan peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4).45 Jadi, tanda

43Ibid., hal. 64. 44Ibid., hal. 65.

(40)

(penanda dan petanda) pada tahap pertama menjadi penanda pada tahap kedua yang mempunyai petanda yang lain (mengalami perluasan makna/konotasi). Dengan perkataan lain, tekanan yang ada dalam semiotik signifikansi adalah pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu.46

Hal ini sesuai dengan pandangan Saussure bahwa “Tanda-tanda di susun dari dua elemen, yaitu aspek citra tentang bunyi (semacam kata atau representasi visual) dan sebuah konsep dimana citra-bunyi disandarkan”. Bagi Saussure, satu hal yang lebih penting bawa hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbiter (bebas), maknanya tidak bersifat inhern, baik secara kebetulan maupun ditetapkan. Namun ini tidak berarti bahwa pemilihan penanda sama sekali meningggalkan pembicara, tetapi lebih dari itu adalah “tak bermotif”, yakni arbiter dalam pengertian penanda tidak mempunyai hubungan alamiah dengan petanda.47

46 Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik,

dan Analisis Framing. Bandung, Rosydakarya, 2001, hal. 131-132.

47 Arthur A Berger, Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta, Tiara Wacana,

(41)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

Manusia merupakan homo significans—pencipta makna, yaitu membentuk makna dari hasil ciptaan sendiri dan sebagai penerjemah dari tanda-tanda yang ada. Bahkan Stuart Peirce48 menyatakan bahwa : ‘we think

only in signs', yang menunjukkan bahwa tanda merupakan bentukan dari proses berfikir manusia sekaligus sebagai pembentuk proses berfikir itu sendiri. Tanda tersusun atas signifier (petanda) dan signified (penanda).

Signifier merupakan bunyi atau coretan bermakna (sebagai aspek material) seperti tulisan ‘pohon’ yang terdiri atas huruf-huruf berikut /p/, /o/, /h/, /o/, /n/, sedang signified merupakan gambaran mental yang berupa pikiran atau konsep bahasa (sebagai sistem tanda primer dari bahasa), dimana frasa tertulis tersebut akan menandakan bunyi ‘pohon’ dan juga konsep tentang pohon yang langsung dibentuk oleh indera ketika mendengar frasa atau membaca tulisan tersebut.

(42)

pesan, namun juga sebagai sebuah proses produksi dan pertukaran pesan dalam membentuk pemaknaan.

Makna merupakan hasil dari interaksi antara teks dengan audience. Produksi makna adalah peristiwa yang dinamik, dimana kedua elemen tersebut saling memberi dengan seimbang. Ketika teks dan audiens berada bersama dalam sebuah kebudayaan atau sub kebudayaan yang kuat, maka interaksi terjadi melalui cara halus dan terkesan saling mendukung, Untuk memperoleh gambaran tentang makna, Pierce49 mengkategorikan pola

makna yang terdapat dalam tanda, dimana tanda memiliki tiga hubungan, yaitu :

1. Iconic

Dalam ikon, tanda terlihat sebagaimana yang direpresentasikan misalnya gambar anjing. Gambar anjing adalah gambar anjing, tanpa muatan apapun yang dapat menggambarkan kondisi atau background

mengenai anjing tersebut. 2. Indexical

Tanda indeksikal merupakan bukti adanya sebuah hubungan yang terjadi secara alami, misalnya asap yang menandakan adanya api atau tetesan air yang membeku sebagai tanda dingin.

49 Monsrisrty, Visual Semiotic and Production of Meaning In Advertising. Washington, DC, .

(43)

3. Symbolic

Simbol disini sebagaimana kata-kata atau isyarat yang ditandai berdasar pada konvensi serta prosesnya harus dipelajari. Simbol merupakan sebuah konsep, menurut seorang filsuf Susane Langer,50

“Symbols are not proxy for their objects but are vehicles for the

conception of objects ... In talking about things we have conceptions of

them, not the things themselves; and it is theconceptions, not the things,

that symbols directly mean”.

Simbol bukan wakil dari obyek tapi sebagai sarana dalam memberikan gambaran mengenai obyek, bukan obyek itu sendiri dan inilah yang disebut sebagai konsep yang menunjukkan pada gambaran obyek sesuai dengan arti sesungguhnya.51

Menurut Alfred Schutz,52 pikiran manusia membawa stock of

knowlegde yang diperoleh dari proses sosialisasi sebagai frame of reference.

Stock of knowlegde inilah yang digunakan oleh kreator iklan untuk membentuk pesan.

Erwin Goffman, dalam buku yang sama, menyatakan bahwa dunia sosial pada dasarnya adalah ambigu, dimana obyek, aktor, kondisi, dan peristiwa tidak memiliki makna yang inhern. Makna diciptakan melalui tindakan manusia yang mengorganisasi, mengkarakterisasi dan mengidentifikasi pengalaman dengan menggunakan definisi yang dipahami

50 Ibid., hal. 3.

51 Retno Kustila, Ketika Udin Mencoba Tidak Menyerah. Skripsi, Ilmu Komunikasi, FISIPOL

UGM, 2000, hal. 22.

(44)

bersama. Makna tersebut terbatas dan bersifat relatif tergantung pada konteks sosial dimana makna tersebut diciptakan. Sehingga dapat dikatakan bahwa makna merupakan refleksi struktur konteks sosial historis dimana makna diciptakan.

Dalam iklan, pemaknaan terhadap simbol dapat dilakukan dengan mengajak khalayak untuk memperkirakan identitas sosial dengan melihat tanda-tanda yang paling dominan, atau bahkan dengan menjauhkan identitas sosial masyarakat agar khalayak bisa mengetahui apa yang ingin disampaikan oleh gambar. Oleh sebab itu setiap audience akan menghasilkan makna yang berbeda berdasar pada pengetahuan mereka. Disini audience diposisikan sebagai seseorang tertentu dalam sebuah kondisi tertentu dengan sistem nilai yang dominan. Sistem nilai yang dominan inilah yang disebut dengan ideologi. Dalam masyarakat, ideologi memiliki manifestasi tertentu yang sangat berpengaruh pada pembentukan tanda dan makna serta lambang-lambang yang menghubungkan antara obyek dengan pikiran pengguna.53

Dalam pandangan Baudrillard,54 iklan adalah media yang

menawarkan model-model fantasi melalui citra-citra yang ditampilkannya. Keseluruhan yang ditampilkan oleh iklan lebih bersifat simulasional yang tidak memiliki referensi pada realitas apapun kecuali citra itu sendiri atau

Self-Referential dan citra-citra lainnya. Namun, hasil interpretasi atas beberapa tampilan iklan dalam studi yang dilakukan oleh Ratna Noviani55

(45)

menunjukkan bahwa ada interaksi antara citra dan realitas. Artinya, iklan tidak hanya pasif menyerap citra, tetapi juga aktif menginterpretasikan citra dengan realitas sosial. Citra-citra yang ditampilkannya tidak begitu saja lepas dari konteks sosial.

Lebih lanjut Ia menegaskan bahwa iklan merupakan sebuah teks sosial yang bisa digunakan untuk memahami dinamika masyarakat selama periode iklan tersebut dimunculkan. Iklan merupakan sebuah teks yang mampu merespon perkembangan kunci yang terjadi dalam sebuah sistem sosial, dimana iklan tersebut menjadi salah satu bagian dari sistem tersebut.56

Ada hubungan yang erat antara citra-citra dalam iklan dan realitas sosial. Meskipun iklan penuh dengan permainan citra atau tanda, namun tidak berarti citra tanda atau tersebut kehilangan makna atau referensi realitas sosial atau dalam bahasa Baudrillard disebut sebagai Self-Referential. Realitas yang ditampilkan iklan adalah produk dari dialektika antara citra dan realitas.

Dalam mengkonstruksi makna tersebut, iklan merangkai atau mengaitkan hal-hal yang tidak berkaitan dan menyediakan konteks untuk hal-hal yang sebetulnya tidak memiliki konteks. Teks iklan memiliki peran dalam memproyeksikan visi-misi idologis.57 Citra-citra yang kelihatannya

netral tetap bisa mengandung muatan ideologis yang digunakan untuk memperkuat ataupun melawan nilai dominan yang berlaku dalam masyarakat. Visi Idiologis ini kadang-kadang menjadi penyebab terjadinya

(46)

dissimulation atau false-representation dalam sebuah teks iklan.

Dissimulation ini dilakukan dengan cara menutupi realitas yang ada atau menggambarkan realitas secara tidak lengkap.

Dari uraian dialektika di atas dan semakin populis serta fenomenalnya sosok SBY menjelang pemilihan Presiden 2004 laksana artis yang lagi naik daun. Maka, kami memandang penting dan menarik untuk meneliti Image Iklan Kampanye Politik Televisi (analisis semiotik iklan kampanye politik SBY pada Pemilu Presiden 2004) dengan harapan mampu menguak permainan citra dalam iklan yang digunakan pengiklan untuk menggambarkan sosok kandidat pada masyarakat.

Dalam kajian semiotika, ada beberapa tokoh yang patut diperhatikan diantaranya58 : Charles Morris, Roman Jakobson, Jonathan Culler, Roland

Barthes, Umberto Eco, Julia Kristeva, Aj Grimas, Jurij J. Lotman dan Michael Riffaterre dengan konsentrasi dan keunikannya masing-masing. Untuk penelitian permasalahan di atas kami lebih banyak menggunakan Pendekatan Signifikasi Roland Barthes disamping tokoh lain seperti Michael Riffaterre.

Bagi Barthes59 semiotika adalah satuan-satuan yang dengan berbagai

cara berfungsi untuk mengartikulasikan suatu persoalan, penyelesaiannya, serta aneka peristiwa yang dapat memformulasi persoalan, penyelesaiannya, serta aneka peristiwa yang dapat memformulasi persoalan tersebut, atau yang justru menunda-nunda penyelesaiannya, atau bahkan yang menyusun

58 Puji Santosa,“Tuhan, Kita Begitu Dekat” Semiotika Riffaterre, dalam Nukilan Puisi dari Karya

Abdul Hadi W.M, dalam buku semiotika budaya. Depok, UI Press, 2002, hal. 226.

(47)

semacam teka-teki (enigma) dan sekedar memberi isyarat bagi penyelesaiannya (Barthes, 1990:17). Pada dasarnya kode ini adalah sebuah kode “penceritaan”, yang dengannya sebuah narasi dapat mempertajam permasalahan, menciptakan ketegangan dan misteri, sebelum memberikan pemecahan atau jawaban.

Untuk mengurai makna yang ada dibalik teks iklan kampanye politik televisi Susilo Bambang Yudhoyono versi “Sajadah Panjang” digunakan signifikasi Roland Bathes dengan pendekatan :

2.1.1. Melacak Makna Penanda Verbal dalam Pendekatan Heuristik

dan Hermeneutik

Disamping Roland Barthes diatas, Michael Riffatrre juga mengembangkan pemikiran tentang fenomena intertekstualitas dengan mengusulkan istilah atau konsep lain yang berkaitan, bahkan bertumpang-tindih dengannya, yakni derivasi hipogramatik.60 Ia

berpijak dari asumsi bahwa pembaca tidak mungkin memahami semiosis apabila dia tidak menentukan lebih dahulu letak teks yang dihadapinya sebagai sebuah tanda yang berada dalam suatu sistem, atau jaringan. Dengan kata lain, makna sebuah teks sangat tergantung kepada hubungan intertekstualnya, tergantung pada pembaca untuk mengenali kaitan dan konflik diantara teks tersebut dengan teks-teks lain.

(48)

Riffaterre61 melihat bahwa produksi tanda-tanda puitik pun

ditentukan oleh derivasi hipogramatik ini : suatu tanda atau serangkaian tanda akan menjadi puitik apabila mengacu kepada atau memolakan diri terhadap sekelompok tanda yang telah ada sebelumnya. Sebuah hipogram, yang pada pasal sebelumnya kita sebut sebagai “teks latar” atau “teks acuan”, selalu sudah merupakan sebuah teks atau setidak-tidaknya suatu sistem tanda yang terdiri atas sebuah predikasi. Oleh karenanya dalam menguak dan menemukan makna dalam sebuah lagu penulis lebih condong menggunakan pendekatan Michael Riffaterre.

Bagi Riffaterre untuk menemukan makna dalam sebuah lagu harus ditemukan makna secara leksikal dalam “Pembacaan heuristik” dimana pembacaan ini didasarkan pada konvensi bahasa yang bersifat mimetik (tiruan alam) dan membangun serangkaian arti yang heterogen, berserak-serakan atau tak gramatikal.62 Hal ini dapat

terjadi karena kajian didasarkan pada pemahaman arti kebahasaan yang bersifat lugas atau berdasarkan arti denotatif dari suatu bahasa.

Kemudian dilanjutkan dengan “Pembacaan hermeneutik” ini adalah pembacaan yang bermuara pada ditemukannya satuan makna cerita iklan secara utuh dan terpadu.63 Cerita iklan harus dipahami

sebagai sebuah satuan yang bersifat struktural atau bangunan yang

61Ibid., hal. 94-95.

62 Puji Santosa, op. cit., hal. 129.

63 Puji Santosa, ”Nuansa-nuansa Illahiah dalam Nukilan dari Lagu Syekh Siti Jenar Karya Abdul

(49)

tersusun dari berbagai unsur kebahasaan. Oleh karena itu, pembacaan hermeneutik pun dilakukan secara struktural. Artinya pembacaan itu bergerak secara bolak-balik dari satu bagian keseluruhan dan kembali ke bagian yang lain dan seterusnya. Pembacaan ini dilakukan pada interpretasi hipogram potensial.

Sedangkan, hipogram potensial sendiri adalah segala bentuk implikasi dari makna kebahasaan, yaitu berupa presuposisi dan makna konotatif yang sudah dianggap umum. Implikasi itu tidak dapat ditemukan dalam kamus, baik kamus ekabahasa maupun dwibahasa, karena implikasi itu sebenarnya telah ada pada pikiran penutur bahasa pada umumnya.64

2.1.2. Melacak Makna dengan Pendekatan Teknik Visualisasi.

Dalam visualisasi ide-ide dalam iklan televisi yang digunakan sebagai obyek penelitian berupa gambar bergerak hasil dari penyutingan langsung maupun dengan hasil rekaman gabungan antara gambar setting dengan desain komunikasi visual. Visualisasi dalam iklan merupakan cara untuk dapat menyampaikan pesan pada bidang yang seminimal mungkin. Pesan seringkali tidak disampaikan pada tataran verbal, tapi lebih sebagai the hidden value, yang selalu membawa nilai tersembunyi pada narasi pesan dengan muatan berbagai representasi.65

64Ibid., hal. 234-235.

65 Wiraswati Yuliani, Representasi Partisipasi Politik Perempuan Indonesia dalam Iklan Layanan

(50)

Penggunaan teknik visualisasi pada media memiliki dua landasan sebagai pembeda, yang keduanya memiliki karakter dalam ruang visual. Dalam fotografi, obyek melahirkan dua bentuk kenyataan paradoksal, yaitu melahirkan obyek yang kaku, diam,

inert yang membeku bersama ruang waktu dan sebuah realitas obyektif yang ada dalam sebuah tatanan kenyataan sosial dengan segala macam konsekuensi-konsekuensinya. Sebuah foto merupakan hasil konstruksi dari produser yang merepresentasikan sesuatu, yang kemudian ditransformasikan melalui media, namun pemaknaan ditentukan oleh lingkungan dan konvensi sosial.66

Menurut Barthes (1977:3) dalam Djoko Subagyo (2001), sebuah foto atau gambar merupakan suatu bentuk an institusional activity yang berkonsekuensi pada aktivitas sosial yang berhubungan dengan realitas dan berada pada kondisi kultural serta mempunyai fungsi integrasi manusia. Kondisi ini meletakkan gambar pada fungsi korelasi dan definisi terhadap kenyataan sosial sebagai suatu yang melintasi sejarah. Interaksi antara dua hal di atas (kenyataan fotografis dan representasi realisme) terletak pada bagaimana sebuah gambar mewakili realitas sosial, tapi juga bagaimana realitas sosial yang sedang berlangsung di luar gambar akan berinteraksi memunculkan penafsiran yang kontekstual.67

66Kris Budiman, op.cit., hal. 107-117.

67 Joko Subagyo, Idiologi pada Cover Majalah Berita: Representasi Idiologi Pemihakan Media

(51)

Pada iklan kampanye politik televisi, realitas yang diangkat umumnya adalah kehidupan semu dan seringkali berupa impian. Pada iklan kampanye SBY versi “sajadah panjang” kenyataan digambarkan sebagai sesuatu yang berlawanan dan paradoks. Dalam kajian semiotika disebut sebagai oposisi biner,68 dimana terdapat dua

hal yang berlawanan yaitu obyek yang aktif dan pasif, salah benar, riil tidak riil, asli palsu, sebagai subyek konflik dan obyek konflik, senang dan sedih, rakyat dan penguasa, memerangi dan diperangi serta berbagai oposisi biner yang akan bekerja dalam menentukan pesan dan maknanya.

Iklan dalam penelitian ini, menggunakan materi gambar, dengan pendekatan komposisi dan modalitas yang terbagi dalam dua karakter, yaitu69 :

1. Gambar sebagai hasil dari penyutingan, sebuah kondisi yang sengaja diarahkan untuk menghasilkan pesan yang disajikan dengan senatural mungkin.

2. Gambar yang dipadukan dengan teknik fotografi dengan

software komputer grafis.

Untuk menguak makna yang tersembunyi perlu adanya pemahaman tentang komposisi dan ilustrasi. Komposisi dan ilustrasi merupakan sarana untuk mempermudah pembacaan gambar beserta aliran narasinya. Komposisi berpengaruh pada proses pembacaan

(52)

pesan pada tingkat kombinasi dan sering sintaksis dari pada paradigmatik. Dari ini dapat diketahui bagian mana yang harus dibaca terlebih dahulu dan bagian mana yang mendapat penekanan. Ilustrasi merupakan cara yang digunakan oleh produser iklan untuk mengetengahkan kritik, satir dan parodi yang akan mewarnai sebuah visualisasi. Ilustrasi bekerja pada level seleksi yang berpengaruh pada paradigmatik, yang dapat digunakan untuk mengetahui bagaimana produser membentuk kesan terhadap obyek gambar kepada pembaca. Disini akan dapat diketahui bagaimana image

iklan kampanye politik akan tergambarkan.

Komposisi. Konvensi pada penulisan sangat berpengaruh pada penataan komposisi dan arah pembacaan pesan. Kultur dapat menentukan bahwa penulisan diawali dari kiri lalu mengalir ke kanan dan aliran pembacaan yang berawal dari atas ke bawah. Konvensi ini sangat mempengaruhi bagaimana antartanda visual berelasi dalam gambar dan dioperasikan menjadi pesan. Proses pemaknaan untuk tiap-tiap gambar bisa berbeda. Pada konvensi sosial yang memberlakukan penulisan dari kanan ke kiri.70

Dalam Kress dan Ven Leeuwen, 199671 disebutkan tiga elemen

yang digunakan untuk mencari pesan dan makna dalam gambar. Elemen ini merupakan komposisi secara keseluruhan, cara bagaimana obyek representasi berinteraksi dan berelasi serta cara

70Ibid., hal. 97.

(53)

bagaimana mengintegrasikannya menjadi makna secara keseluruhan. Hal inilah memberikan tekanan bahwa aturan komposisi akan menentukan bagaimana gambar dibaca dan menghasilkan makna. Pada operasionalnya elemen ini menggunakan tiga sistem yang saling berelasi yaitu informative value, salience dan framing.

Informative value merupakan penempatan elemen-elemen yang berdasar pada pola kiri dan kanan, atas dan bawah atau pusat dan tepi. Penempatan ini menentukan aturan sintaksis dari hubungan antar elemen dengan audiens. Hal ini dipengaruhi oleh konvensi pembacaan dari kiri ke kanan. Informative value memiliki sisi analisa yang merujuk pada komposisi keruangan, yaitu given dan new, ideal

dan real serta center dan margin.72

Given dan new merupakan konsep komposisi yang menentukan bagaimana sebuah pesan dibaca pada sisi kiri dan kanan, bagaimana aliran pesan dan bagaimana bagian yang ordinat dan subordinat ditempatkan. Given menunjuk pada pengertian sesuatu yang pasti, yang meletakkan pesan pada struktur yang jelas dan teridentifikasi bukan problematik. Pada suatu visual iklan, diletakkan pada sisi kiri ruang iklan dan pesan dimulai dari sisi ini. Sedangkan new berada pada sisi kanan sebagai problematik dan isu. Pada sisi ini tampilan visual belum bisa menjelaskan maksud secara utuh, tapi membutuhkan penerangan dan penjelasan lagi. New biasanya

(54)

merupakan bagian pesan yang diletakkan pada struktur subordinat dari given.73

Ideal dan real adalah pembacaan pesan berdasar pada kesepakatan dari atas ke bawah. Ideal pada bidang atas dan real pada bidang bawah. Ideal merupakan sisi dimana pesan dibaca sebagai sesuatu yang diharapkan, menjadi tujuan dan angan-angan atau berdasar apa yang mungkin akan terjadi. Disini tidak membutuhkan penjelasan atas fenomena. Sedang real merupakan sisi pembacaan pesan sebagai suatu realitas pada pesan yang sebenarnya atau what is. Dalam media periklanan pesan dapat dilihat dan dipahami dalam bentuk-bentuk yang problematik dan faktual yang biasanya diletakkan pada bagian bawah ruang dalam iklan. Sedangkan centre

dan margin menunjukkan pada bagian yang penting dan yang kurang penting. Sisi centre adalah bagian yang ditonjolkan atau sebagai fokus utama, sebagai sebab atau akibat yang utama. Centre

diletakkan pada bagian tengah ruang sebuah visualisasi. Margin

sebagai pembatas, sebagai tambahan yang mendukung atau mengunsuri centre. Margin biasanya diletakkan pada bagian tepi-tepi dari centre.74

Pada iklan kampanye politik, komposisi tersebut di atas memiliki kecenderungan dapat diterima dan dipahami untuk memaknai pesan baik dari segi visual maupun dari teks headline dan

(55)

teks bodycopy serta penempatannya dalam ruang sebuah iklan. Sebagaimana disampaikan awal, sistem ini bekerja berdasar pada konvensi atau kesepakatan sosial atau kultur, sehingga tidak setiap wilayah tertentu memiliki pola komposisi dan pembacaan pesan yang sama. Komposisi di atas adalah komposisi yang cenderung digunakan pada konvensi penulisan dari kiri ke kanan.

Margin

Modalitas. Pada bentuk-bentuk visual, pesan-pesan disajikan secara terpilih melalui berbagai seleksi. Ini selalu berlaku pada kondisi kultural media, karena tema tidak dengan serta merta dipilih tapi melalui proses pengkodingan sesuai dengan keinginan produser iklan. Pada sisi inilah modalitas bekerja. Modalitas merupakan konstruksi berupa setting yang dilakukan produser iklan atau media terhadap status obyek dari kondisi realitas yang ada. Pembentukan modalitas selalu mengacu pada kondisi real yang terjadi, yang menyangkut pada penggambaran terhadap obyek iklan yang akan memunculkan kesan tertentu yang bersifat positif atau negatif. Modalitas berupa penciptaan konstruksi yang dibuat oleh produser

Gambar

Gambar 3.1 Peta Tanda Roland BarthesSumber : Paul Cobley & Litza Jansz. 1999. Introducing Semiotices

Referensi

Dokumen terkait

Pariwisata sendiri menurut saya adalah suatu kegiatan yang terjadi perpindahan aktor dari satu tempat ke tempat lainnya yang tujuannya untuk leisure, dan sifatnya sementara,

Memberikan tanggapan positif berupa penguatan pada siswa yang telah dapat menyelesaikan tugasnya.. Kegiatan

]asa Konsultansi Perencanaan Paket 1 (Penataan Kawasan Aloon-aloon Kota Demak) Berdasarkan hasil evaluasi dokumen Prakualifikasi Pengadaan BaranglJasa Dinas Pekeriaan Umum

1 1.20.18 KECAMATAN Pengadaan konstruksi jalkan Desa Belanja Modal Konstruksi 50,000,000.00

Sanggahan atas pengumuman ini dapat diajukan selambat- lambatnya 3 (Tiga) har i Kalender setelah diumumkan. UNIT LAYANAN

Alasan lain memilih ladrang Gégot laras pélog pathet barang dikarenakan rasa dan sèlèh gong yang sama dengan Humbag , selain itu, ladrang tersebut memiliki empat

Universitas Negeri