• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedua : Sesi “Senyum Petani”

Dalam dokumen Image Iklan Kampanye Politik di Televisi (Halaman 133-138)

PENYAJIAN DATA, ANALISIS DAN INTERPRETAS

2. Kedua : Sesi “Senyum Petani”

Gambar: 4.2 (Gambar Sawah)

Gambar: 4.3 (Gambar Petani )

Pada sesi kedua, iklan ini menampilkan dua orang petani yang tersenyum bahagia seraya bangga menjadi seorang petani Indonesia. Petani adalah kelompok mayoritas di negeri ini, maka cukup kuat alasan menempatkan fenomena petani pada sesi kedua setelah sang bintang. Teknik visualisasi yang digunakan adalah tayangan gambar

hasil penyutingan langsung yang direkayasa. Visual dalam sesi ini digambarkan dengan:

“Seorang petani setengah baya dan di ikuti yang lain mereka berdiri sambil tersenyum tercengang menyaksikan sajadah merah

putih terbang di atas sawah mereka, dan nyaris padi langsung menguning, senyum mereka pun bertambah lebar”

Dalam visualisasi ini, gambar menggunakan pencahayaan “habis gelap terbitlah terang”, dengan konsep oposisi biner, hal ini juga menunjukkan modalitas tinggi terhadap obyek, yang dimaknai sebagai sebuah harapan hiperbolik bagi petani Indonesia terhadap pelaksanaan pemilu presiden 2004, yang selama ini dalam posisi yang kurang diuntungkan alias ditindas oleh penguasa. Memang, petani dalam kenyataannya dari rezim ke rezim selalu berada pada posisi mayoritas yang marginal. Mereka miskin dan sengaja dimiskinkan secara politik, ekonomi dan pendidikan oleh penguasa dan pemodal. Dengan jargon kebebasan dan kapitalismenya. Drs. Kasyiyanto, dalam makalahnya mengatakan, problem kemiskinan, terutama bagi petani, sudah akut dan jatuh ke lingkaran setan kemiskinan.165

Secara politik, petani yang mayoritas hidup di pedesaan, mempunyai akses informasi yang jauh lebih kecil dan jauh dari pusat kekuasaan, belum lagi dengan tumbuh dan berkembangnya politik

165 Drs. Kasyiyanto, Komunikasi Pembangunan (Makalah Kuliah). Sidoarjo, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, 2003, hal. 5.

uang sejalan dengan terjangkitnya pragmatisme politik masyarakat. Dari sini, kesempatan petani untuk dapat berpolitik semakin kecil, mereka disibukkan dengan urusan kebutuhan pokok (basic need).

Apalagi dalam konteks politik uang, jelas mereka tidak punya modal yang cukup untuk mendapatkan kekuasaan. Belum lagi faktor sumber daya manusia (SDM) petani yang rendah, menjadi pesimis dan nyaris tak bernyali untuk turut berlaga dalam proses-proses politik kalau tidak ingin konyol. Maka tak salah kalau kemudian petani semakin jauh dari pusaran politik dan kekuasaan.

Dengan semakin gelap gulitanya nasib petani yang tergambar dari permainan cahaya dalam iklan, terutama pada saat ditayangkannya sosok petani dengan model close up yang berarti menunjukkan wajah yang cerah penuh harapan yang pasti.166 Dan

pada saat yang hampir bersamaan situasi langsung berubah terang benderang, senyum petani pun terlihat. Posisi petani yang menempati posisi center given pada awal, langsung disusul petani berikutnya pada posisi center new, yang merupakan posisi sentra perhatian. Dalam posisi new petani tersenyum dengan raut wajah berseri-seri dan tercengang dengan sajadah panjang yang membentang di atas sawah.

Dengan gunung yang dikelilingi pepohonan yang nampak warna biru dan hijau, gunung yang merupakan index adanya sumber

166 Djarot Medi Budi Utomo, Teknik dan dasar-dasar-Fotografi (Panduan Mata Kuliah), Sidoarjo, Univesitas Muhammadiyah Sidoarjo, 2001, hal. 11.

mata air dibawahnya, flora dan fauna dengan pepohonan yang menghijau mengelilinginya, menggambarkan tanah yang subur, air berlimpah dan anti banjir. Dari fenomena tersebut merupakan metafor kehidupan petani yang sejahtera. Padahal, realitas selama ini yang terjadi, air dikomodifikasi pemodal dan hutannya dieksploitasi penguasa, sehingga nyaris saat musim kemarau sumber mata air menjadi kecil dan lahan pertanian kekeringan serta susah mencari air minum karena kena proyek PDAM. Saat musim hujan, rumah mereka banyak tergenang air atau kebanjiran karena ulah pengembang, pembangunan dan pembuangan limbah industri yang tidak memperhatikan keseimbangan lingkungan hidup, terutama bagi masyarakat kelas bawah.

Sajadah merah putih, menempati posisi cetre margin, tepat pada posisi atas, yang memberikan makna cita-cita dan harapan yang tinggi pada petani untuk dapat keluar dari keterbelakangan, selama ini yang mereka rasakan. Sajadah hadir laksana nenek sihir yang menyebar mantra, uang, beras dan gula guna menyihir (mempengaruhi) berjuta petani miskin untuk memilihnya pada 20 Sepetember 2004, saat pencoblosan berlangsung. Untuk menjadi orang kaya mendadak, petani pun tergambarkan tergiur dan terpesona dengan sihir SBY-JK tersebut.

Dan memang, kecenderungan budaya masyarakat kontemporer adalah budaya instan, mereka ingin sesuatu secara cepat, latah, malas

berfikir panjang, dan oportunis. Sehingga dalam pemilu pun mereka akan memilih orang yang bagi mereka fenomenal (ajaib), memilih yang dianggap kuat, gagah dan murah senyum. Sehingga dalam konteks masyarakat yang demikian, kualiatas, trackrecord, visi dan misi menjadi tidak terlalu penting untuk mempengaruhi pemilih.

Harapan hiperbolik yang ditampilkan nampak seperti yang tergambarkan dalam padi yang langsung menguning. Diikuti senyuman dan tatapan mata penuh harap Sang Petani, karena sihir

“sajadah panjang” panen mereka akan membawa berkah dan hasil yang berlimpah. Padahal, dengan harga pupuk dan obat-obatan yang semakin tinggi dan harga gabah yang semakin rendah, kerena pemerintah terus mengekspor dari luar negara Indonesia, maka senyum petani pun menjadi kepalsuan, larut dalam lautan imajinasi dan kini tinggallah mimpi dan tipuan untuk diri mereka sendiri. Itulah iklan yang dalam tulisan Yasraf Amir Piliang, dalam bukunya Hipersemiotika disebut sebagai strategi tipuan.167 Mereka sengaja

diasingkan dari realitas problem yang sesungguhnya mereka rasakan. Dari sini, fenomena petani menjadi semakin menarik pada masa-masa menjelang pemilu, karena mereka ranking satu secara kuantitas, tentu hal ini mempunyai daya tarik yang luar biasa buat calon presiden. Dengan tingkat pendidikannya yang rendah, menjadikan mereka gampang dibohongi iklan, dengan tingkat

167 Yasraf Amir Piliang. 2003. Hiper Semiotika, Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Bandung : Jalasutra. hal. xx

perekonomian yang rendah, menjadikan mereka sulit menolak suap politik (money pilitic). Maka, momentum pemilu adalah pesta bagi petani (menyenangkan dan cepat habis) dan investasi (berkorban untuk jangka panjang) bagi pemodal dan penguasa. Artinya, petani sering dibohongi dengan janji-janji palsu dan dijauhkan dari problem yang semestinya.

Dalam dokumen Image Iklan Kampanye Politik di Televisi (Halaman 133-138)