BAB V PENGKAJIAN PENGARUH 80
5.1.3 Implikasi dan Mitigasi Program Prioritas Perwujudan Ruang
Program indikatif yang memiliki hubungan fungsional, baik dengan isu strategis maupun kualitas lingkungan hidup adalah: 1) program perwujudan struktur
90 ruang; dan 2) program perwujudan pola ruang sesuai peruntukan yang direncanakan. Implikasi tersebut dijelaskan pada bagian selanjutnya.
5.1.3.1 Implikasi dan Mitigasi Program Struktur Ruang
Tim KLHS RTRW Aceh Tenggara telah melakukan telaah tentang lingkup rencana prasarana wilayah Kabupaten Aceh Tenggara, terutama: 1) rencana prasarana jalan (arteri primer, arteri sekunder, kolektor primer, kolektor sekunder dan jalan lokal); 2) prasarana energi listrik; 3) jaringan telekomunikasi; dan 4) infrastruktur perkotaan.
Berdasarkan telaah yang dilakukan terhadap hampir 100 komponen program prasarana wilayah yang dominan berupa usul program peningkatan, pemantapan jalan lokal, kolektor sekunder dan kolektor primer dan arteri sekunder akan mendorong peningkatan aktifitas ekonomi masyarakat dan relative tidak menimbulkan kerusakan lingkungan, karena koridor badan jalan sudah terwujud. Implikasi program pembangunan yang potensial menimbulkan masalah lingkungan adalah: 1) peningkatan atau pemantapan jalan kolektor Primer K1, jalan nasional; 2) peningkatan atau pemantapan jalan kolektor primer K4/Jalan Kabupaten; dan 3) peningkatan atau pemantapan jalan lokal primer (Jalan Kabupaten). Penjelasan tentang implikasi program dimaksud diuraikan pada bagian berikut.
1. Peningkatan atau Pemantapan Jalan Kolektor Primer K1/Jalan Nasional
Jalan kolektor Primer K1/Jalan Nasional ini merupakan jalan lama yang akan ditingkatkan kapasitasnya. Trase jalan Kutacane – Gayo Lues ini melintasi hutan lindung dan zona Taman Nasional Gunung Leuser pada Kecamatan Ketambe dan Darul Hasanah. Jalan nasional dengan panjang jalan 41,53 Km ini tepat berada pada kawasan lindung TNGL. Sebagian besar kawasan TNGL yang dilalui jalan nasional ini telah beralih fungsi menjadi APL berupa lahan pertanian (pertanian lahan kering dan sawah) dan semak belukar. Lihat Gambar 24 dan Gambar 25.
91 Gambar 25: Peta Jaringan Jalan Nasional di Kabupaten Aceh Tenggara Sumber : Citra Satelit melalui Software ArcGIS, 2011
Berdasarkan kondisi tersebut, apabila ternyata pelebaran badan jalan dan peningkatan kualitas perkerasan jalan ini berlanjut ke pemanfaatan lahan sisi jalan untuk permukiman, maka program ini potensial menimbulkan gangguan terhadap ekosistem hutan lindung dan TNGL akibat berkurangnya lahan konservasi. Hal tersebut dikarenakan jalan nasional Kutacane-Gayo Lues ini sudah ada di TNGL, dan sekitar jalan sudah ada semak belukar. Maka apabila ditingkatkan, akan “mengundang” perluasan APL di wilayah TNGL. Maka yang perlu diusulkan dalam program mitigasi dampak peningkatan jalan kolektor nasional ini, baik program pencegahan yang bersifat fisik maupun non- fisik. Program mitigasi antara lain :
1. Peningkatan intensitas dan kualitas pengawasan pemanfaatan ruang oleh Pengelola TNGL, Dinas Kehutanan Dinas PU dan dinas terkait lainnya Kabupaten Aceh Tenggara. Lingkup pengawasan dimaksud meliputi pemantauan, evaluasi dan pelaporan.
Gambar 24: Kegiatan Peningkatan Jalan Nasional Kutacane-Gayo Lues
Sumber : Hasil Survey diKab. Aceh Tenggara 2013
92 2. Perlu adanya qanun atau peraturan yang mengatur mengenai larangan
pemanfaatan ruang di sisi badan jalan
2. Peningkatan atau Pemantapan Jalan Kolektor Primer K4/ Jalan Kabupaten.
Ruas jalan kabupaten yang akan mendapat program peningkatan antara lain adalah :
1) Ruas jalan Simpang Semadam – Lawe Dua – Lawe Sumur – Lawe Sagu – Beriring Naru; Lawe Mengkudu (lintas Timur). Jalan lintas timur dengan panjang jalan 23,5 Km ini kondisi fisiknya melalui wilayah budidaya atau perkotaan dari Kabupaten Aceh Tenggara. Wilayah yang dilalui jalan lintas timur ini antara lain Kecamatan Bukit Tusam, Bambel, Lawe Sumur, Lawe Alas, Lawe Bulan, Babussalam, Daleng Pokhisen, Darul Hasanah dan Kecamatan Badar.
2) Ruas jalan SImpang Lawe Penanggalan – Simpang 4 Tanjung – Datuk Mbarung Sedane – Salim Pipit – Perdomuan (lintas barat). Jalan lintas barat dengan panjang jalan 54,24 Km ini kondisi fisiknya selain melalui wilayah budidaya atau perkotaan dari Kabupaten Aceh Tenggara, juga bersisian dengan kawasan lindung (bagian timur bersisian dengan kawasan TNGL yang berubah menjadi lahan pertanian di Kecamatan Darul Hasanah; dan bagian barat bersisian dengan hutan lindung yang telah berubah menjadi semak belukar di Kecamatan Badar dan Ketambe). Wilayah yang dilalui jalan lintas timur ini antara lain Kecamatan Lawe Sigala-gala, Semadam, Bukit Tusam, Bambel, Babussalam, Badar dan Ketambe.
3) Ruas jalan Kute Bakti – Dusun Pak-Pak. Panjang jalan ini adalah 4,75 Km, dengan kondisi fisiknya melalui wilayah kawasan hutan lindung yang berada pada Kecamatan Babul Makmur. Jalan kolektor primer di Kecamatan Babul Makmur ini tepat berada di dalam kawasan hutan lindung. Sepanjang 4,27 Km jalan ini berada pada Kawasan Hutan Lindung. Apabila terdapat rencana peningkatan atau pemantapan jalan, fungsi wilayah sekitar jalan ini dapat bergeser dari kawasan lindung menjadi area peruntukan lain (APL).
Untuk lebih jelasnya terkait jaringan jalan kabupaten, baik jalan lintas timur dan lintas barat ini dapat dilihat pada Gambar 27 dan Gambar 28.
93 (a) Jalan Kabupaten Lintas Barat (b) Jalan
Kabupaten Lintas Timur
Gambar 26: Peta Jaringan Jalan Kabupaten Lintas Barat dan Lintas Timur di Kabupaten Aceh Tenggara
Peningkatan lebar badan jalan akan mendorong alih fungsi lahan di sisi jalan, termasuk lahan pertanian yang dari tahun ke tahun luasnya mengalami penyusutan. Selain itu, adanya pembukaan jalan berpotensi terbukanya ruang permukiman baru yang akan semakin mengurangi lahan pertanian. Terlebih untuk jalan kolektor primer Kute Bakti – Dusun Pak-pak yang terdapat pada kawasan lindung di Kecamatan Babul Makmur, apabila rencana peningkatan dan pemantapan ruas jalan ini dilaksanakan maka APL yang mungkin ada bukan hanya pertanian, semak belukar dan sawah, namun potensi besar akan terbukanya permukiman baru di area ini.
Namun menurut kondisi eksisting saat ini, program peningkatan jaringan jalan Kute Bakti - Dusun Pak-pak ini diurungkan keberlanjutannya.
Sehingga kondisi eksisting saat ini jalan Kute Bakti – Dusun Pak-pak ini sudah ada sekitar 700 meter.
94 Gambar 27: Peta Jaringan Jalan Kolektor Primer Kute Bakti – Dusun
Pak-Pak di Kecamatan Babul Makmur
Untuk mencegah perubahan fungsi lahan pertanian ke penggunaan hunian dan kegiatan usaha ekonomi, perlu diintegrasikan beberapa program, antara lain: 1) pembinaan pemanfaatan ruang dan penegakan hukum; 2) pembinaan untuk meningkatkan peran masyarakat mengawasi/ memantau kesesuaian rencana tata ruang dengan pemanfaatan ruang; dan 3) penyediaan lokasi tempat usaha ekonomi lokal.
Untuk mencegah dampak pembangunan terhadap lingkungan dapat diusulkan program mitigasi dampak peningkatan jalan kolektor kabupaten ini, baik program pencegahan yang bersifat fisik maupun non fisik. Program mitigasi adalah dengan dilakukannya Pengendalian pemanfaatan ruang di sepanjang sisi badan jalan. Pengendalian pemanfaatan ruang di sepanjang sisi badan jalan ini dapat dilakukan dengan:
1. Memenuhi ketentuan AMDAL/UKL-UPL sesuai besaran rencana jalan yang akan dibangun;
2. Pemasangan papan pengumuman tentang larangan pemanfaatan ruang milik jalan dan ruang pengawasan jalan.
95 3. Peningkatan peranserta masyarakat untuk turut mengawasi
pemanfaatan ruang sisi jalan kolektor Primer/ Jalan Kabupaten;
4. Peningkatan intensitas dan kualitas pengawasan pemanfaatan ruang oleh Pengelola TNGL dan Dinas Kehutanan Kabupaten Aceh Tenggara. Lingkup pengawasan dimaksud meliputi pemantauan, evaluasi dan pelaporan (Mitigasi ini khusus untuk jalan kabupaten lintas barat, karena terdapat spot jalan yang bersisian dengan kawasan lindung yang berada di Kecamatan Darul Hasanah, Ketambe dan Badar).
3. Peningkatan Kualitas Jalan Lokal Primer
Peningkatan kualitas jalan lokal baik pelebaran dan atau perkerasan jalan terutama pada jalan Mbarung Sendane sampai dengan Lumban Tua- Alas, selain akan memberi manfaat sebagai prasarana jalan untuk mendukung kegiatan ekonomi, juga potensial menimbulkan dampak alih fungsi lahan, dan berlanjut ke gangguan-ganguan terhadap ekosistem TNGL dan hutan lindung dan peningkatan intensitas bencana alam, (longsor dan banjir bandang).
Secara fisik, jaringan jalan lokal ini berada pada kawasan TNGL Kecamatan Darul Hasanah ini memiliki panjang jalan 23,54 Km secara eksisting dan direncanakan menjadi 13,58 Km (Lihat Gambar 29). Berdasarkan kondisi tersebut, apabila peningkatan jalan lokal ini dilakukan akan terjadi dampak sistemik, antara lain :
Dengan panjang jalan 23,54 km dan tenaga Balai Besar TNGL yang terbatas, maka dalam pengawasan kegiatan di sekitar jalan ini akan sulit dilakukan
“Mengundang” terbukanya akses lain menuju jalan lokal ini, karena adanya lahan pertanian lahan kering dan permukiman yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGL
96 Gambar 28: Peta Jaringan Jalan Lokal Mbraung Sedane – Lumban
Tua – Alas di Kabupaten Aceh Tenggara
Dengan demikian, maka program ini sangat potensial menimbulkan gangguan terhadap ekosistem TNGL akibat semakin berkurangnya lahan konservasi, padahal kondisi eksisting menggambarkan bahwa sisi timur dari jalan lokal ini telah beralih fungsi menjadi pertanian lahan kering.
Selain itu, peningkatan kualitas jalan lokal berada pada kawasan TNGL ini sekaligus menjadi akses angkutan hasil hutan illegal atau pencurian hasil hutan. Untuk mencegah kerusakan ekosistem TNGL akibat peningkatan kapasitas jalan lokal ini, maka mitigasinya antara lain:
1. Peningkatan jalan dilakukan sesuai prosedur untuk pinjam pakai;
2. a. Mempersiapkan rancangan/desain badan jalan yang mempertimbangkan risiko bencana,
b. Melakukan penyusunan UKL/UPL ataupun AMDAL untuk mendukung pertimbangan proses pinjam pakai lahan
3. Meningkatkan pengamanan kawasan dilakukan dengan :
97 a. Pembinaan untuk meningkatkan peran masyarakat dalam mengawasi/ memantau kesesuaian rencana tata ruang dengan pemanfaatan ruang
b. Membangun sarana-sarana pengawasan lalu lintas angkutan hasil hutan
5.1.3.2 Implikasi dan Mitigasi Program Pola Ruang
Program perwujudan pola ruang sesuai rencana peruntukan ruang, selain memberi manfaat sosial dan ekonomi juga potensial menimbulkan masalah keberlanjutan lingkungan hidup. Tim KLHS sudah melakukan identifikasi program-program perwujudan peruntukan ruang. Kini dicoba menelaah implikasi penerapan program sesuai peruntukan yang dimuat di dalam RTRW Kabupaten Aceh Tenggara. Hal itu dijelaskan sebagai berikut:
1. Penetapan, Pemanfaatan dan Pengendalian Serta Pengawasan Pemanfaatan Ruang Kawasan Hutan Lindung
Program ini terdiri dari: 1) Program penetapan kawasan hutan lindung; 2) Program pemanfaatan dan pengendalian kawasan hutan lindung; dan 3) Program pengawasan pemanfaatan ruang dalam kawasan hutan lindung.
Pengertian penetapan kawasan hutan lindung yang diimaksud adalah penetapan tapal batas hutan lindung yang mengacu ke peraturan yang telah ditetapkan.
Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, terjadi pergeseran fungsi hutan lindung menjadi areal penggunaan lain (APL) seperti yang terlihat pada Gambar 29 dan Gambar 30.
98 (a). Luasan APL di Kawasan Lindung
Kabupaten Aceh Tenggara Bagian Utara Tahun 2000
(b). Luasan APL di Kawasan Lindung Kabupaten Aceh Tenggara Bagian Utara Tahun
2011
Gambar 29: Luasan Areal Penggunaan Lain di Kawasan Lindung Kabupaten Aceh Tenggara Bagian Utara Sejak Tahun 2000 Hingga Tahun 2011
(a). Luasan APL di Kawasan Lindung Kabupaten Aceh Tenggara Bagian Selatan
Tahun 2000
(b). Luasan APL di Kawasan Lindung Kabupaten Aceh Tenggara Bagian Selatan
Tahun 2011
Gambar 30: Luasan Areal Penggunaan Lain di Kawasan Lindung Kabupaten Aceh Tenggara Bagian Selatan Sejak Tahun 2000 Hingga Tahun 2011
99 Peruntukan lahan ditepi hutan lindung berdasarkan Gambar 30 dan Gambar 31 memperlihatkan bahwa sebagian besar adalah lahan pertanian.
Berdasarkan topografi wilayah, wilayah tepi hutan lindung baik di bagian utara dan selatan Kabupaten Aceh Tenggara termasuk landai (200-400 mdpl dan 400-800 mdpl). Kondisi topografi tersebut sama halnya dengan kondisi topografi wilayah tepi TNGL yang saat ini telah dirambah menjadi lahan pertanian. Melihat terjadinya kecenderungan perambahan kawasan lindung di TNGL karena salah satu faktornya adalah topografi yang landai, maka perambahan lahan hutan lindung menjadi lahan pertanian mungkin terjadi.
Hal tersebut dibuktikan dengan perambahan lahan kawasan lindung TNGL yang selama 10 tahun terakhir semakin meluas (Lihat Gambar 29 dan Gambar 30).
Untuk itu implikasi dari program penetapan kawasan hutan lindung yaitu dengan menegakkan tapal batas, di satu sisi sangat bermanfaat bagi keberlanjutan hutan lindung, tetapi di sisi lain menimbulkan masalah ekonomi rumah tangga bagi penduduk yang sudah bermukim dan mencari nafkah di sekitar tapal batas. Dari sudut ekonomi dan sosial penduduk, jika penetapan kawasan hutan lindung ditegakan sesuai SK atau peraturan yang berlaku, maka lahan yang sudah digarap penduduk di dalam hutan lindung menjadi masalah. Penetapan kawasan hutan lindung juga menimbulkan masalah legalitas yaitu status lahan dalam kawasan hutan lindung yang telah digarap oleh masyarakat setempat.
Dari penjelasan di atas, maka implikasi dari pelaksanaan program penepatan, pemanfaatan dan pengendalian serta pengawasan pemanfaatan ruang kawasan hutan lindung dapat diindikasikan sebagai berikut:
1. Ekonomi dan Sosial:
a. Lahan yang telah digarap oleh masyarakat perlu dikembalikan sebagai fungsi kawasan hutan lindung. Akibatnya lahan pertanian akan semakin terbatas.
b. Pengembalian lahan tersebut akan berdampak pada berkurangnya pendapatan masyarakat, yang pada akhirnya akan menimbulkan konflik sosial dan kepentingan pihak terkait dengan masyarakat.
100 2. Status Lahan: Seperti yang telah dijelaskan pada analisis data dasar, menunjukan bahwa alih fungsi lahan hutan sebenarnya telah terjadi sebelum Tahun 2000 atau sebelum SK Menhut disah kan. Penetapan SK menhut akan menyebabkan status dari lahan yang telah digarap oleh masyarakat menjadi ilegal
3. Lingkungan: jika program ini dilaksanakan, kualitas hutan lindung diharapkan akan semakin membaik.
Gambar 31: Lokasi Deforestasi di Kaki Perbukitan TNGL yang Dimanfaatkan Sebagai Kebun Jagung dan Sayur Mayur.
Walaupun program ini tergolong penting dan menimbulkan dampak positif terhadap TNGL dan Hutan Lindung, perlu dilakukan upaya mitigasi penetapan hutan lindung terhadap masyarakat desa dan petani, antara lain:
1. a. Program sosialisasi tapal batas kepada komunitas masyarakat di kantung-kantung perbatasan Hutan Lindung;
b. Program peningkatan peranserta masyarakat untuk merawat kawasan tepi hutan.
2. a. Menciptakan lapangan kerja baru terutama non pertanian b. Pengembangan dan pemanfaatan hasil hutan non kayu.
c. Intensifikasi dan optimalisasi lahan yang sudah ada, dalam bentuk pembinaan keterampilan teknik pertanian bagi petani dan pinjaman modal usahadi kantung-kantung perbatasan Hutan Lindung.
d. Program kajian peluang menerapkan Nilai Konservasi Tinggi tipe 5 di lokasi-lokasi perdesaan disepanjangperbatasan Hutan Lindung.
101 3. Penyederhanaan izin usaha pemanfaatan hutan
4. Pemerintah Kabupaten Perlu memfasilitasi penyusunan qanun desa tentang peran serta perlindungan dan pengelolaan lingkungan sekitar batas kawasan Hutan Lindung
5. a. Penegakan hukum
b. Revitalisasi hukum adat tentang pemanfaatan hutan
2. Pengembalian Fungsi Lindung Melalui Rehabilitasi dan Reboisasi Kegiatan ini terkait dengan program: 1) Pengembalian fungsi lindung dengan rehabilitasi dan reboisasi; 2) Perlindungan kawasan serta peningkatan kualitasnya. Sebagaimana dikemukakan pada program sebelumnya, isu yang sangat prioritas ditangani adalah isu alih fungsi guna lahan kawasan lindung yang cenderung meluas.
Kegiatan pemantauan dan pengawasan pemanfaatan ruang serta delineasi zone-zone Hutan Lindung dan TNGL untuk mendukung perlindungan kawasan dengan fungsi lindung melalui kegiatan rehabilitasi dan reboisasi akan menimbulkan implikasi terhadap berkurangnya lahan yang sudah beralih fungsi dan menjadi lahan pertanian yang telah digarap masyarakat serta sempitnya persediaan lahan pertanian.
Di dalam diskusi pembahasan kajian pengaruh program terungkap bahwa dengan intensifnya pemantauan dan pengendalian hutan akan ditindaklanjuti dengan penertiban pemanfaatan lahan pertanian akibat alih fungsi yang dilakukan penduduk desa demi kelangsungan hidup di semua kacamatan yang berbatasan dengan hutan lindung. Jika kegiatan penertiban terjadi, penduduk desa akan kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan akan terjadi konflik sosial antara masyarakat yang terkena dampak pelaksanaan program ini dengan pemangku kepentingan terkait.
Sementara itu, untuk menekan implikasi program rehabilitasi dan reboisasi hutan baik di kawasan TNGL maupun hutan lindung, perlu dipertimbangkan beberapa program mitigasi, yaitu:
1. Partisipasi masyarakat dalam upaya pengamanan dan perlindungan kawasan hutan.
2. Pengembangan Kebun Bibit Rakyat (KBR) melalui kerjasama Dinas Perkebunan dan Kehutanan dengan BP DAS Sumatera Utara
102 3. Menanam tanaman yang multi fungsi (lindung dan
menghasilkan/MPTS) (Komoditas: karet, kemiri, kakao).
3. Penegakan Aturan Garis Sempadan Sungai
Selaras dengan keadaan topografi Kabupaten Aceh Tenggara yang sebagian besar berbukit dan bergunung, mengakibatkan banyak sungai di wilayah ini mempunyai aliran air yang cukup deras. Hidrologi di Kabupaten Aceh Tenggara dicirikan oleh sungai panjang, yaitu Sungai Lawe Alas dan anak-anak sungai (ratusan jumlahnya) yang berhulu dari banyak kaki gunung, diantaranya kaki Gunung Leuser, Gunung Kemiri dan Gunung Bendahara.
Tipe iklim dan kondisi topografi dataran tinggi ini mendukung kawasan dataran tinggi ini sebagai kawasan pemusatan curah hujan. Morfologi rangkaian perbukitan mendorong terbentuknya kantor-kantong air/
embung air dan alur-alur alami sungai kecil yang hampir seluruhnya bermuara ke Lawe Alas. Umumnya anak-anak sungai tersebut selalu berair sepanjang tahun. Sungai Lawe Alas yang mengalir di daerah datar dan menjadi muara sungai-sungai kecil dari dua sisi membentuk pola aliran
“braided river”. Dataran banjir sungai ini kering pada musim kemarau tergenang pada musim hujan. Dataran banjir anak-anak sungai dan sungai Lawe Alas ini dimanfaatkan penduduk sebagai lahan pertanian.
Gambar 32: Lokasi Pertanian di Dalam Garis Sempadan Sungai
103 Gambar 33: Dataran Banjir Sungai Lawe Alas dimanfaatkan Penduduk
Sebagai Lahan Pertanian
Daftar sungai yang mengalir di Kabupaten Aceh Tenggara di jelaskan lebih rinci pada Tabel 17 dan Gambar 34.
Tabel 17: Lokasi Sungai-sungai di Kabupaten Aceh Tenggara Menurut Desa dan Kecamatan
NO. ALIRAN SUNGAI DESA KECAMATAN
1. Lawe Harum Deleng Mekage Badar
2. Lawe Harum Tanah Merah
Kandang Belang
Kutam Baru
Lawe Bulan
3. Lawe Kisam Kisam Lawe Bulan dan Bambel
4. Lawe Kinga Tenebak Juhar Babussalam
5. Lawe Dua Rikit Bur
Lawe Dua
Bambel
6. Lawe Ikat Cinta Damai
Rikit Bur
Bambel
7. Lawe Kersik Rema Bambel
8. Lawe Kampung Baru Lawe Tanduk
Simpang Kebun Sere
Kampong Baru
Pasar Kuntung
Titi Pasir
Semadam
104
NO. ALIRAN SUNGAI DESA KECAMATAN
9. Lawe Kampung Baru Lawe Beringin Gayo
Sumber : RTRW Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2012-2032
105 Gambar 34: Jaringan dan Wilayah Rawan Bencana di Kabupaten Aceh
Tenggara
Program penegakan aturan garis sempadan sungai, meliputi kegiatan pengelolaan, pemeliharaaan, pelestarian, rehabilitasi kawasan sempadan sungai, baik di bagian wilayah kota Kutacane maupun di dalam kawasan hutan lindung akan menimbulkan dampak bagi para petani yang memiliki lahan di sepanjang sempadan sungai. Selain itu program ini juga akan berpengaruh pada penduduk yang bermukim di sepanjang garis sempadan sungai. Larangan penggunaan lahan pertanian akan menimbulkan dampak lanjutan konflik sosial dan kepentingan.
Program penegakan aturan garis sempadan sungai merupakan upaya pencegahan bencana dan sekaligus revitalisasi alur sungai. Sebagai alternatif dari program ini adalah menjadikan Jalur hijau sebagai kawasan wisata. Tetapi walaupun demikian, perlu dilakukan upaya mitigasi pada lokasi-lokasi lahan yang sudah sempat didayagunakan masyarakat, baik sebagai permukiman (di bagian wilayah perkotaan) dan kegiatan pertanian.
Upaya mitigasi dimaksud adalah:
106 1. Penetapan batas palung dan bibir sungai dan menarik garis
sempadan sungai sesuai aturan yang berlaku
2. Pengembangan Kebun Bibit Rakyat (KBR) melalui kerjasama Dinas Perkebunan dan Kehutanan dengan BP DAS Sumatera Utara
3. Penghijauan untuk penguatan tebing sungai (seperti tanaman bambu batu)
4. Penegakan hukum untuk permukiman dan kegiatan Galian C di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS)
5. Bantuan sosial dari pemerintah dalam rangka relokasi Penataan pemukiman yang ada di sempadan sungai di Kec.Babussalam, Bambel, Babul Rahmah, Babul Makmur, Semadam, lawesumur, lawebulan dan Ketambe
4. Pemeliharaan dan pengelolaan Kawasan TNGL.
Program ini terdiri dari: 1) Penetapan delineasi Kawasan Taman Nasional;
2) Perlindungan dan peningkatan kualitas Kawasan Taman Nasional dan Cagar Budaya; dan 3) Pemeliharaan dan pengelolaan Kawasan Taman Nasional dan Cagar Budaya.
Akar masalah tapal batas ini adalah perbedaan sudut pandang dan pemahaman tentang tapal batas baik dari sisi Balai Besar TNGL (bbtngl), Pemerintah Daerah dan Masayarakat karena terbatasnya jumlah pilar atau patok pada garis batas hutan, terutama pada areal-areal yang kini ditinggalkan oleh perusahaan yang sebelumnya mempunyai rencana membuka perkebunan demi peningkatan pendapatan penduduk, tetapi setelah kayu ditebang rencana pematangan lahan untuk perkebunan tidak dilaksanakan.
Jika terjadi penegasan delienasi, perlindungan dan peningkatan kualitas TNGL akan menyebabkan berkurangnya lahan pertanian yang sudah pernah digarap di dalam kawasan TNGL, maka dampak yang terjadi dapat diindikasikan sebagai berikut:
1. Ekonomi dan Sosial:
a. Lahan yang telah digarap oleh masyarakat perlu dikembalikan sebagai fungsi kawasan hutan lindung. Akibatnya lahan pertanian akan semakin terbatas.
107 b. Pengembalian lahan tersebut akan berdampak pada berkurangnya pendapatan masyarakat yang pada akhirnya akan menimbulkan konflik sosial dan kepentingan pihak terkait dengan masyarakat.
2. Status Lahan: Seperti yang telah dijelaskan pada analisis data dasar, menunjukan bahwa alih fungsi lahan hutan sebenarnya telah terjadi sebelum Tahun 2000 atau sebelum SK Menhut disah kan. Penetapan SK Menhut akan menyebabkan status dari lahan yang telah digarap oleh masyarakat menjadi illegal.
3. Lingkungan: Terjadi perusakan kawasan hutan karena adanya pemukiman, dan diperkirakan dapat meluas jika tidak ada penanganan (misalnya Desa Simpur Jaya)
Untuk mencegah dampak program pemeliharaan dan pengelolaan sarana dan prasarana TNGL terhadap masyarakat desa dan petani, perlu dipertimbangkan beberapa program mitigasi, antara lain:
1. Kerjasama atau kolaborasi dengan Balai Besar TNGL dalam kerangka pemeliharaan dan pengelolaan kawasan TNGL agar tercipta harmoni antara masyarakat, Pemda dan pengelola TNGL dalam Pantauan Peran Pemerintah Daerah, termasuk didalamnya beberapa upaya:
a. Kejelasan tapal batas TNGL b. Sosialisasi batas TNGL
a. Kejelasan tapal batas TNGL b. Sosialisasi batas TNGL