• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isu Strategis 5: Pelayanan Tempat Pengolahan Akhir (TPA) Sampah.78

Dalam dokumen KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (Halaman 89-0)

BAB IV ISU STRATEGIS DAN ANALISIS DATA DASAR (BASELINE

4.2 Analisis Data Dasar (Baseline Analysis)

4.2.3 Isu Strategis 5: Pelayanan Tempat Pengolahan Akhir (TPA) Sampah.78

Saat ini pelayanan pengelolaan sampah di Kabupaten Aceh Tenggara dilakukan secara open dumping. Peraturan perundangan yaitu UU No. 18/2008 mengharuskan daerah untuk mengelola sampah dengan metode sanitary landfill.

Namun Aceh Tenggara belum dapat memenuhi aturan ini.

Kabupaten Aceh Tenggara memiliki 2 Tempat Pembuangan Sampah Akhir yaitu di Lumban Dolok (Kecamatan Badar) dan Lawe Sigala. Tempat pembuangan sampah di Lomban Dolok saat ini menjadi tidak layak karena cairan sampah (lindi) langsung mengalir ke Sungai atau Lawe Alas dan timbunan sampah yang terlalu tinggi terkadang membuat sampah longsor ke Lawe Alas. Sampah atau lindi yang jatuh ke sungai mencemari Sungai Alas. Sementara itu di TPA Lawe Sigala sering terjadi banjir dan jalan menuju lokasi TPA sangat sulit/rusak.

Akibatnya, TPA Lawe Sigala jarang difungsikan.

Pengumpulan sampah di Aceh Tenggara dilakukan dengan menggunakan armada pengangkutan sampah yang saat ini (Mei 2013) terdiri dari 9 mobil/truk sampah, 4 becak roda tiga, dan 6 gerobak sampah. Khusus untuk daerah perkotaan (Kutacane), armada ini mengumpulkan sampah dan mengantarnya setiap hari ke TPA setiap hari. Namun untuk kota kecamatan, pengumpulan sampah dilakukan setiap dua minggu sekali. Di lokasi yang jauh, diambil seminggu sekali.

Aceh Tenggara juga belum memiliki TPS (Tempat Pembuangan Sementara).

Pengumpulan sampah dilakukan secara langsung kepada rumah tangga atau tempat umum penghasil sampah melalui armada pengumpul sampah. Ini menyebabkan pengumpulan sampah menjadi cukup lama karena langsung mengumpulkan dari penghasil sampah. Dengan mempertimbangkan pertumbuhan jumlah penduduk, kebutuhan akan pengelolaan sampah terutama sarana dan prasarana termasuk kurangnya jumlah petugas kebersihan serta belum adanya sistem pengolahan sampah sendiri, akan menyebabkan terjadinya

79 penumpukan sampah di mana-mana. Selain itu, kesadaran masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya dan mengolah sampah masih sangat kurang.

Resiko ini dapat dikurangi dengan meningkatkan sarana dan prasarana pengelolaan sampah, meningkatkan kesadaran masyarakat serta mengolah sampah pada sumbernya. Diperlukan adanya alternatif TPA selain TPA Lumban Dolok.

4.2.4 Isu Strategis 6: Belum Adanya Sanitasi di Kecamatan dan Perkotaan Saat ini belum ada sistem dan fasilitas sanitasi di Kabupaten Aceh Tenggara baik di perkotaan maupun di pedesaan. Masyarakat sendiri yang mengupayakan fasilitas sanitasi untuk keperluan masing-masing. Dengan demikian, kualitas dan dampaknya terhadap lingkungan sekitar maupun kesehatan tidak dapat diatur atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.

80

BAB V

PENGKAJIAN PENGARUH

Pada bagian ini akan dipaparkan pengkajian pengaruh dari muatan RTRW yang dinilai memiliki dampak negative terhadap isu pembangunan berkelanjutan di Aceh Tenggara. Proses bahasannya akan diawali dengan identifikasi muatan dan kemudian dilanjutkan dengan kajian pengaruh muatan tersebut.

Selain itu, pada bagian ini pula akan dipaparkan mengenai rencana muatan (saat ini belum masuk dalam RTRWK) yang dibahas oleh Tim KLHS agar dapat dimasukan dalam pembahasan evaluasi RTRWK mendatang.

5.1 Muatan RTRW Kabupaten Aceh Tenggara

5.1.1 Identifikasi Muatan RTRW Kabupaten Aceh Tenggara Terhadap Isu Strategis

Seperti yang telah dijelaskan pada Bab III, proses identifikasi muatan RTRW dimulai dengan mengidentifikasi program dalam Matek RTRW yang terkait dengan isu strategis. Keterkaitan dinilai berdasarkan dampak dari program tersebut terhadap setiap isu strategis, apakah bersifat positif, netral atau negatif.

Program yang akan ditelaah lebih lanjut adalah program yang berdampak negatif pada isu strategis. Hasil penilaian cepat Tim KLHS dalam lokakarya yang diselenggarakan pada 4 Juni 2013 menghasilkan 18 program dari Rencana Pola Ruang serta 4 program dari Rencana Struktur Ruang memiliki potensi mempengaruhi isu strategis secara negative (Lampiran 5).

Dalam lokakarya berikutnya, setelah melalui diskusi lebih lanjut dengan mempertimbangkan kemiripan antara program yang satu dengan yang lain, maka beberapa program kemudian digabung karena kurang lebih sama baik dalam hal karakteristik program, lokasi dan isu strategis yang dipengaruhi. Daftar program RTRW yang berpengaruh, yang akan ditelaah lebih lanjut menjadi 9 program dari Rencana Pola Ruang dan 3 program Rencana Struktur Ruang. Berikut adalah hasil dari diskusi Tim KLHS

Setelah didiskusikan lebih lanjut dengan melihat kemiripan antara program yang satu dengan yang lain, maka beberapa program kemudian digabung karena kurang lebih sama baik dalam hal karakteristik program, lokasi dan isu strategis yang dipengaruhi. Beberapa program yang memiliki kemiripan kemudian

81 digabung sehingga daftar program RTRW yang berpengaruh menjadi 9 program dari Rencana Pola Ruang dan 3 program Rencana Struktur Ruang.

Berikut ke-6 (enam) isu strategis pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup yang akan dikaji keterkaitannya dengan program pola ruang serta program struktur ruang yang termuat dalam RTRW Kabupaten Aceh Tenggara (Tabel 15 dan Tabel 16):

1. Isu Strategis 1 : Ketersediaan lahan pertanian yang sempit

2. Isu Strategis 2 : Peruntukan dan zonasi pemanfaatan Taman Nasional Gunung Leuser

3. Isu Strategis 3 : Alih fungsi hutan lindung menjadi Areal Penggunaan Lain (APL)

4. Isu Strategis 4 : Potensi bencana alam tinggi

5. Isu Strategis 5 : Pelayanan Tempat Pengelolaan Sampah Akhir (TPA)

6. Isu Strategis 6 : Belum adanya sarana dan prasarana sanitasi di kecamatan/ wilayah perkotaan

Tabel 15: Identifikasi Keterkaitan Program Struktur Ruang RTRW dengan Isu Strategis

No. Program yang berpengaruh

Isu Strategis LH yang terpengaruh

(Isu ke-) Pernyataan terkait dengan

Isu Strategis Lokasi

2. Sp. Lawe Penanggalan - Sp 4 Tanjung - Datuk Mbarung Sedane - Salim Pipit - Perdomuan (lintas

82

Sumber : Hasil Kajian Tim KLHS, 2013

Tabel 16: Identifikasi Keterkaitan Program Pola Ruang RTRW dengan Isu Strategis

No. Program yang Berpengaruh

Isu Strategis LH yang Terpengaruh

(Isu Ke-) Pernyataan terkait dengan Isu Strategis

83 properti yang hasil alih fungsi menjadi areal sempadan sungai yang berada di dalam kawasan hutan lindung

84

x Pengembangan agro industri akan membutuhkan lahan-lahan baru yang secara tdk langsung dibutuhkan lahan di

Lawe Alas , Babul Rahmah, Tanoh Alas, Lawe

85 jalan telah ada, maka peluang perluasan/pembukaan lahan di TNGL dan Hutan Lindung akan semakin besar.

Lawe Alas , Babul Rahmah, Tanoh Alas, Lawe TNGL dan Hutan Lindung.

Lawe Alas , Babul Rahmah, Tanoh Alas, Lawe Sumber : Hasil Kajian Tim KLHS, 2013

Catatan:

1 Maksudnya adalah kegiatan dalam bentuk penegasan tapal batas sesuai dengan peraturan.

Hasil dari identifikasi program tersebut menjadi dasar dari langkah berikutnya yaitu kajian atau telaah pengaruh yang akan dijelaskan lebih rinci pada BAB IV.

Lingkup identifikasi muatan RTRW untuk memahami keterkaitan rencana tata ruang (struktur dan pola ruang) dan program-program perwujudan ruang dengan isu strategis KLHS mencakup pertanyaan seperti:

1. Adakah muatan RTRW yang berpotensi menyebabkan kejadian seperti banjir, longsor dan kekeringan ?

86 2. Apakah muatan RTRW yang berpotensi menyebabkan terjadinya

kerusakan dan pencemaran lingkungan ?

3. Adakah muatan RTRW yang berpotensi menyebabkan sulitnya dipenuhi kebutuhan masyarakat akan sumber daya alam yang mendasar seperti bahan pangan dan air bersih?

4. Adakah muatan RTRW yang berpotensi menyebabkan gangguan terhadap ekosistem yang berfungsi lindung ?

5. Adakah muatan RTRW yang berpotensi menyebabkan terjadinya gangguan terhadap kehidupan makhluk hidup lain dan keseimbangannya dengan kehidupan manusia?

5.1.2 Pengkajian Pengaruh Muatan RTRW

Pada Bab III telah dijelaskan bahwa proses penyusunan Rencana Tata Ruang Kabupaten Aceh Tenggara sudah memperhatikan arahan penataan ruang kabupaten sebagaimana dimuat di dalam Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, terutama konsistensi rumusan tujuan penataan ruang dengan rumusan kebijakan penataan ruang dan konsistensi antara makna kebijakan tata ruang dengan muatan rencana tata ruang yang mencakup rencana struktur ruang, pola ruang dan usul pengembangan kawasan strategis kabupaten.

Tata letak Kabupaten Aceh Tenggara yang sebagian terdiri dari Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) sangat mempengaruhi keberlanjutan pembangunan wilayah ini. Sehubungan dengan itu,konsistensi kebijakan tata ruang Kabupaten Aceh Tenggara dengan rencana tata ruang tercermin pada keberpihakan kebijakan dan rencana tata ruang terhadap perlindungan dan pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser dan TNGL.

Dalam bagian ini akan dijelaskan secara berjenjang (tiering) implikasi rencana tata ruang (rencana struktur ruang dan rencana pola ruang) dan implikasi program perwujudan ruang.Implikasi rencana tata ruang dimaksud, selain dikaitkan dengan isu strategis KLHS, juga potensi implikasinya terhadap Kawasan Ekosistem Leuser dan TNGL sebagai sistem penopang kehidupan yang sangat penting bagi kabupaten di sekitarnya. Beberapa jasa lingkungan yang nyata seperti sebagai pencegah banjir dan erosi, penyuplai air untuk pertanian, industri, kebutuhan sehari-hari masyarakat dan keindahan alam (dapat dikembangkan untuk pariwisata). Selain itu, Ekosistem Leuser juga memiliki

87 fungsi penting dalam pengaturan iklim lokal yang berkontribusi pada pencegahan pemasan global, karena diperkirakan sekitar 1,5 milyar ton karbon terkandung di hutan ini.

Sebelum kajian pengaruh dari masing-masing program yang telah diidentifikasi berpengaruh terhadap isu strategis seperti yang sudah dibahas dalam Bab III, berikut adalah rangkuman dari implikasi rencana tata ruang di Kabupaten Aceh Tenggara :

1. Implikasi Rencana Struktur Tata Ruang

Pada Bab II telah dijelaskan hasil identifikasi muatan program perwujudan ruang, mencakup sistem pusat kegiatan dan sistem jaringan prasarana wilayah Kabupaten Aceh Tenggara. Implikasi penetapan Pusat Kegiatan Lokal (PKL) yakni Kota Kutacane yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten dan Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) yakni kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kecamatan atau beberapa kute/desa pada dasarnya tidak menimbulkan degradasi lingkungan yang menghawatirkan.

Di dalam dokumen Materi Teknis RTRW Provinsi Aceh telah dinyatakan bahwa kota Kutacane sebagai Pusat Kegiatan Lokal Kabupaten Aceh Tenggara dikembangkan sebagai kota kecil. Untuk membantu pelayanan wilayah perdesaan kabupaten sebagian fungsi ibu kota kabupaten diarahkan ke beberapa Pusat Pelayanan Kawasan (PPK). Untuk keperluan tersebut, Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara akan mengembangkan 5 PPK dalam satu kesatuan sistem jejaring, yakni: 1) PPK Kuta Tengah di Kecamatan Lawe Sigala-gala; 2) PPK Simpang Semadam di Kecamatan Semadam; 3) PPK Kuta Lang-Lang di Kecamatan Bambel; 4) PPK Purwodadi di Kecamatan Badar; dan 5) PPK Lawe Beringin di Kecamatan Ketambe.

Lima PPK ini sudah berwujud kawasan terbangun (developed area), hanya saja perlu didukung dengan prasarana kota, terutama peningkatan jejaring prasarana pergerakan, prasarana drainase dan prasarana sanitasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa program pengembangan pusat pelayanan ini akan sangat bermanfaat bagi penduduk Kabupaten Aceh Tenggara, sedangkan mitigasi dan penanggulangan dampak negatif akibat pengembangannya dapat

88 dikendalikan melalui pembangunan prasarana kota dan fasilitas umum sebagaimana sudah dicantumkan pada lampiran RTRW Kabupaten Aceh Tenggara.

2. Implikasi Rencana Pola Ruang

Menindaklanjuti kebijakan dan strategi penataan ruang serta mengacu ke pedoman penyusunan rencana tata ruang kabupaten, Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara sudah menetapkan rencana pola ruang fungsional, yang mencakup kawasan lindung dan kawasan budi daya sesuai dengan nomenklatur peruntukan yang baku. Sebagaimana dikemukakan di dalam laporan perencanaan tata ruang, bahwa pembangunan wilayah Kabupaten Aceh Tenggara ke masa yang akan datang merupakan pengembangan lanjutan dari keadaan yang telah berlangsung selama ini, bukan membangun kota-kota baru.

Pola ruang yang direncanakan diharapkan sinergi dengan sistem pusat yang direncanakan dan pada tingkat selanjutnya meningkatkan kegiatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Terkait dengan rencana pola ruang sebagaimana banyak didiskusikan sejak awal pelaksanaan KLHS ini, yakni pengembangan peruntukan permukiman perdesaan, terutama enklave permukiman perdesaan yang terbangun dan atau melebar ke kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dan Kawasan Hutan Lindung.

Implikasi perluasan pola ruang ini akan mendorong berlangsungnya degradasi kawasan Taman Nasional dan Kawasan Lindung.

Sehubungan dengan itu sangat perlu dicari bentuk-bentuk mitigasi dampak permukiman di kawasan hutan ini.

3. Implikasi Rencana Pengembangan Kawasan Strategis

Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara menetapkan Ekosistem Leuser yang meliputi Kecamatan Babul Rahmah, Lawe Alas, Tanoh Alas, Darul Hasanah dan Ketambe sebagai lokasi kawasan strategis, yakni kawasan yang penataan ruangnya diprioritaskan, karena memiliki pengaruh sangat penting dalam proses pengembangan ekonomi, sosial budaya, dan/atau lingkungan. Kawasan strategis dimaksud adalah:

89

 Kawasan strategis berdasarkan Sudut Kepentingan Pertumbuhan Ekonomi, yakni:

- Kawasan Strategis Perkotaan Kutacane untuk pengembangan ekonomi;

- Kawasan Strategis Agropolitan desa Tanjung Lama Kecamatan Darul Hasanah untuk komoditi utama kakao dan buah-buahan;

- Kawasan Strategis Minapolitan perikanan darat desa Lawe Pangkat Kecamatan Deleng Pokhkisen dan

- Kawasan Strategis Minapolitan perikanan darat desa Kutambaru Kecamatan Lawe Bulan.

 Kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial budaya serta daya dukung lingkungan, yakni Kawasan Strategis Wisata Alam Ketambe di Kecamatan Ketambe.

Sebagaimana dinyatakan di dalam pertimbangan penetapan kawasan strategis, pertimbangan penetapan kawasan strategis adalah pemilihan kawasan yang akan mendapat prioritas penataan ruang karena kawasan tersebut memiliki pengaruh penting terhadap ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan hidup wilayah kabupaten.

Apabila diperhatikan tata letak dan kondisi lingkungan sekitar lokasi-lokasi kawasan strategis dimaksud dapat dikatakan bahwa dampak negatif akibat pengembangan kawasan-kawasan tersebut relatif dapat ditekan, selama pemanfaatan ruang di dalam kawasan-kawasan tersebut dikembangkan oleh komunitas masyarakat setempat, bukan oleh pemodal baru yang datang dari luar kecamatan. Dengan kata lain, perlu ditegaskan kembali bahwa pengembangan kawasan-kawasan ini sebagai kawasan strategis kabupaten Aceh Tenggara harus menjamin peningkatan nilai tambah tata guna lahan akibat prioritas penataan ruang harus diutamakan bagi penduduk setempat, bukan dalam rangka difersifikasi usaha para pemodal yang datang dari luar kecamatan.

5.1.3 Implikasi dan Mitigasi Program Prioritas Perwujudan Ruang

Program indikatif yang memiliki hubungan fungsional, baik dengan isu strategis maupun kualitas lingkungan hidup adalah: 1) program perwujudan struktur

90 ruang; dan 2) program perwujudan pola ruang sesuai peruntukan yang direncanakan. Implikasi tersebut dijelaskan pada bagian selanjutnya.

5.1.3.1 Implikasi dan Mitigasi Program Struktur Ruang

Tim KLHS RTRW Aceh Tenggara telah melakukan telaah tentang lingkup rencana prasarana wilayah Kabupaten Aceh Tenggara, terutama: 1) rencana prasarana jalan (arteri primer, arteri sekunder, kolektor primer, kolektor sekunder dan jalan lokal); 2) prasarana energi listrik; 3) jaringan telekomunikasi; dan 4) infrastruktur perkotaan.

Berdasarkan telaah yang dilakukan terhadap hampir 100 komponen program prasarana wilayah yang dominan berupa usul program peningkatan, pemantapan jalan lokal, kolektor sekunder dan kolektor primer dan arteri sekunder akan mendorong peningkatan aktifitas ekonomi masyarakat dan relative tidak menimbulkan kerusakan lingkungan, karena koridor badan jalan sudah terwujud. Implikasi program pembangunan yang potensial menimbulkan masalah lingkungan adalah: 1) peningkatan atau pemantapan jalan kolektor Primer K1, jalan nasional; 2) peningkatan atau pemantapan jalan kolektor primer K4/Jalan Kabupaten; dan 3) peningkatan atau pemantapan jalan lokal primer (Jalan Kabupaten). Penjelasan tentang implikasi program dimaksud diuraikan pada bagian berikut.

1. Peningkatan atau Pemantapan Jalan Kolektor Primer K1/Jalan Nasional

Jalan kolektor Primer K1/Jalan Nasional ini merupakan jalan lama yang akan ditingkatkan kapasitasnya. Trase jalan Kutacane – Gayo Lues ini melintasi hutan lindung dan zona Taman Nasional Gunung Leuser pada Kecamatan Ketambe dan Darul Hasanah. Jalan nasional dengan panjang jalan 41,53 Km ini tepat berada pada kawasan lindung TNGL. Sebagian besar kawasan TNGL yang dilalui jalan nasional ini telah beralih fungsi menjadi APL berupa lahan pertanian (pertanian lahan kering dan sawah) dan semak belukar. Lihat Gambar 24 dan Gambar 25.

91 Gambar 25: Peta Jaringan Jalan Nasional di Kabupaten Aceh Tenggara Sumber : Citra Satelit melalui Software ArcGIS, 2011

Berdasarkan kondisi tersebut, apabila ternyata pelebaran badan jalan dan peningkatan kualitas perkerasan jalan ini berlanjut ke pemanfaatan lahan sisi jalan untuk permukiman, maka program ini potensial menimbulkan gangguan terhadap ekosistem hutan lindung dan TNGL akibat berkurangnya lahan konservasi. Hal tersebut dikarenakan jalan nasional Kutacane-Gayo Lues ini sudah ada di TNGL, dan sekitar jalan sudah ada semak belukar. Maka apabila ditingkatkan, akan “mengundang” perluasan APL di wilayah TNGL. Maka yang perlu diusulkan dalam program mitigasi dampak peningkatan jalan kolektor nasional ini, baik program pencegahan yang bersifat fisik maupun non- fisik. Program mitigasi antara lain :

1. Peningkatan intensitas dan kualitas pengawasan pemanfaatan ruang oleh Pengelola TNGL, Dinas Kehutanan Dinas PU dan dinas terkait lainnya Kabupaten Aceh Tenggara. Lingkup pengawasan dimaksud meliputi pemantauan, evaluasi dan pelaporan.

Gambar 24: Kegiatan Peningkatan Jalan Nasional Kutacane-Gayo Lues

Sumber : Hasil Survey diKab. Aceh Tenggara 2013

92 2. Perlu adanya qanun atau peraturan yang mengatur mengenai larangan

pemanfaatan ruang di sisi badan jalan

2. Peningkatan atau Pemantapan Jalan Kolektor Primer K4/ Jalan Kabupaten.

Ruas jalan kabupaten yang akan mendapat program peningkatan antara lain adalah :

1) Ruas jalan Simpang Semadam – Lawe Dua – Lawe Sumur – Lawe Sagu – Beriring Naru; Lawe Mengkudu (lintas Timur). Jalan lintas timur dengan panjang jalan 23,5 Km ini kondisi fisiknya melalui wilayah budidaya atau perkotaan dari Kabupaten Aceh Tenggara. Wilayah yang dilalui jalan lintas timur ini antara lain Kecamatan Bukit Tusam, Bambel, Lawe Sumur, Lawe Alas, Lawe Bulan, Babussalam, Daleng Pokhisen, Darul Hasanah dan Kecamatan Badar.

2) Ruas jalan SImpang Lawe Penanggalan – Simpang 4 Tanjung – Datuk Mbarung Sedane – Salim Pipit – Perdomuan (lintas barat). Jalan lintas barat dengan panjang jalan 54,24 Km ini kondisi fisiknya selain melalui wilayah budidaya atau perkotaan dari Kabupaten Aceh Tenggara, juga bersisian dengan kawasan lindung (bagian timur bersisian dengan kawasan TNGL yang berubah menjadi lahan pertanian di Kecamatan Darul Hasanah; dan bagian barat bersisian dengan hutan lindung yang telah berubah menjadi semak belukar di Kecamatan Badar dan Ketambe). Wilayah yang dilalui jalan lintas timur ini antara lain Kecamatan Lawe Sigala-gala, Semadam, Bukit Tusam, Bambel, Babussalam, Badar dan Ketambe.

3) Ruas jalan Kute Bakti – Dusun Pak-Pak. Panjang jalan ini adalah 4,75 Km, dengan kondisi fisiknya melalui wilayah kawasan hutan lindung yang berada pada Kecamatan Babul Makmur. Jalan kolektor primer di Kecamatan Babul Makmur ini tepat berada di dalam kawasan hutan lindung. Sepanjang 4,27 Km jalan ini berada pada Kawasan Hutan Lindung. Apabila terdapat rencana peningkatan atau pemantapan jalan, fungsi wilayah sekitar jalan ini dapat bergeser dari kawasan lindung menjadi area peruntukan lain (APL).

Untuk lebih jelasnya terkait jaringan jalan kabupaten, baik jalan lintas timur dan lintas barat ini dapat dilihat pada Gambar 27 dan Gambar 28.

93 (a) Jalan Kabupaten Lintas Barat (b) Jalan

Kabupaten Lintas Timur

Gambar 26: Peta Jaringan Jalan Kabupaten Lintas Barat dan Lintas Timur di Kabupaten Aceh Tenggara

Peningkatan lebar badan jalan akan mendorong alih fungsi lahan di sisi jalan, termasuk lahan pertanian yang dari tahun ke tahun luasnya mengalami penyusutan. Selain itu, adanya pembukaan jalan berpotensi terbukanya ruang permukiman baru yang akan semakin mengurangi lahan pertanian. Terlebih untuk jalan kolektor primer Kute Bakti – Dusun Pak-pak yang terdapat pada kawasan lindung di Kecamatan Babul Makmur, apabila rencana peningkatan dan pemantapan ruas jalan ini dilaksanakan maka APL yang mungkin ada bukan hanya pertanian, semak belukar dan sawah, namun potensi besar akan terbukanya permukiman baru di area ini.

Namun menurut kondisi eksisting saat ini, program peningkatan jaringan jalan Kute Bakti - Dusun Pak-pak ini diurungkan keberlanjutannya.

Sehingga kondisi eksisting saat ini jalan Kute Bakti – Dusun Pak-pak ini sudah ada sekitar 700 meter.

94 Gambar 27: Peta Jaringan Jalan Kolektor Primer Kute Bakti – Dusun

Pak-Pak di Kecamatan Babul Makmur

Untuk mencegah perubahan fungsi lahan pertanian ke penggunaan hunian dan kegiatan usaha ekonomi, perlu diintegrasikan beberapa program, antara lain: 1) pembinaan pemanfaatan ruang dan penegakan hukum; 2) pembinaan untuk meningkatkan peran masyarakat mengawasi/ memantau kesesuaian rencana tata ruang dengan pemanfaatan ruang; dan 3) penyediaan lokasi tempat usaha ekonomi lokal.

Untuk mencegah dampak pembangunan terhadap lingkungan dapat diusulkan program mitigasi dampak peningkatan jalan kolektor kabupaten ini, baik program pencegahan yang bersifat fisik maupun non fisik. Program mitigasi adalah dengan dilakukannya Pengendalian pemanfaatan ruang di sepanjang sisi badan jalan. Pengendalian pemanfaatan ruang di sepanjang sisi badan jalan ini dapat dilakukan dengan:

1. Memenuhi ketentuan AMDAL/UKL-UPL sesuai besaran rencana jalan yang akan dibangun;

2. Pemasangan papan pengumuman tentang larangan pemanfaatan ruang milik jalan dan ruang pengawasan jalan.

95 3. Peningkatan peranserta masyarakat untuk turut mengawasi

pemanfaatan ruang sisi jalan kolektor Primer/ Jalan Kabupaten;

4. Peningkatan intensitas dan kualitas pengawasan pemanfaatan ruang oleh Pengelola TNGL dan Dinas Kehutanan Kabupaten Aceh Tenggara. Lingkup pengawasan dimaksud meliputi pemantauan, evaluasi dan pelaporan (Mitigasi ini khusus untuk jalan kabupaten lintas barat, karena terdapat spot jalan yang bersisian dengan kawasan lindung yang berada di Kecamatan Darul Hasanah, Ketambe dan Badar).

3. Peningkatan Kualitas Jalan Lokal Primer

Peningkatan kualitas jalan lokal baik pelebaran dan atau perkerasan jalan terutama pada jalan Mbarung Sendane sampai dengan Lumban Tua- Alas, selain akan memberi manfaat sebagai prasarana jalan untuk mendukung kegiatan ekonomi, juga potensial menimbulkan dampak alih fungsi lahan, dan berlanjut ke gangguan-ganguan terhadap ekosistem TNGL dan hutan lindung dan peningkatan intensitas bencana alam, (longsor dan banjir bandang).

Secara fisik, jaringan jalan lokal ini berada pada kawasan TNGL Kecamatan Darul Hasanah ini memiliki panjang jalan 23,54 Km secara eksisting dan

Secara fisik, jaringan jalan lokal ini berada pada kawasan TNGL Kecamatan Darul Hasanah ini memiliki panjang jalan 23,54 Km secara eksisting dan

Dalam dokumen KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (Halaman 89-0)