• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. TIPOLOGI KEMISKINAN DAN KERENTANAN

5.3. Lahan Kering

5.3.1. Indikator Kemiskinan 1 Insiden Kemiskinan

Insiden kemiskinan pada lahan kering berdasarkan hasil penghitungan

FGT Index, diperoleh Headcount Index (P0) sebesar 12.7 persen dari total

rumahtangga yang tinggal di lahan kering (36 477 953 rumahtangga) atau sebanyak 4 632 700 rumahtangga miskin, sementara insiden kemiskinan nasional (P0) sebesar 13.1 persen dari total rumahtangga nasional (53 200 353

rumahtangga) atau sebanyak 6 969 246 rumahtangga miskin. Jika dibandingkan dengan angka nasional, nilai P0 lahan kering lebih kecil P0 nasional, namun jika

dibandingkan besarannya dengan angka nasional keluarga miskin yang sebesar (6 969 246 rumahtangga) maka proporsi insiden kemiskinan di lahan kering mencapai 66.46 persen dari total rumahtangga miskin nasional. Data ini menjelaskan bahwa agroekosistem lahan kering menjadi kantong kemiskinan.

Tingginya insiden kemiskinan di agroekosistem ini menggambarkan perlunya memfokuskan penanggulangan kemiskinan di lahan kering tersebut.

Sumber pendapatan rumahtangga di lahan kering cukup beragam. Penduduk sangat tergantung kehidupannya dari aktivitas pertanian. Kegiatan yang diandalkan adalah usahatani lahan kering dan pekarangan. Pemilikan lahan relatif sempit dan orientasi usahatani adalah untuk pemenuhan kebutuhan pokok/subsisten. Kondisi lahan yang bergelombang hingga berbukit-bukit, dengan penguasaan teknologi dan luas lahan usahatani yang sangat terbatas merupakan kesulitan yang dihadapi penduduk. Kemiskinan pada agroekosistem ini sering terkait dengan tidak tersedianya sumber daya alam yang mendukung dan rendahnya kualitas sumberdaya manusia (PSE, 1995).

5.3.1.2. Kedalaman Kemiskinan

Hasil analisis mengenai Indeks kedalaman kemiskinan atau Poverty Gap

Index (P1) di agroekosistem lahan kering menunjukkan angka sebesar

1,9 persen. Jika dibandingkan dengan angka nasional maka P1 Lahan kering

sama dengan P1 Nasional. Hal ini menyiratkan bahwa indeks kedalaman

kemiskinan nasional banyak ditentukan oleh kondisi di agroekosistem lahan kering ini. Indeks kedalaman kemiskinan mengindikasikan besarnya jarak rata- rata kesenjangan pengeluaran rumahtangga miskin terhadap garis kemiskinan, dimana semakin mendekati nol, kondisinya semakin baik. Dengan demikian maka jarak rata-rata pengeluaran rumahtangga miskin di agroekosistem lahan kering yang sebesar 1.9 persen sudah mendekati garis kemiskinan. Kedekatan jarak terhadap garis kemiskinan ini menggambarkan bahwa jika ada perlakuan yang tepat ke agroekosistem ini, maka lebih besar peluangnya bagi rumahtangga miskin pada lahan kering untuk dapat dientaskan.

5.3.1.3. Keparahan Kemiskinan

Hasil analisis indeks keparahan kemiskinan atau Poverty Severity Gap Index (P2) di agroekosistem lahan kering sebesar 0.5 persen. Jika dibandingkan

dengan angka nasional maka nilai P2 lahan kering sama dengan P2 nasional. Ini

berarti keparahan kemiskinan di agroekosistem lahan kering gambarannya identik dengan kondisi kemiskinan nasional. Indeks keparahan kemiskinan menjelaskan ketimpangan pengeluaran antar rumahtangga miskin, dimana semakin kecil kesenjangannya (mendekati 0) menunjukkan kondisi yang semakin baik. Dengan demikian, maka indeks keparahan kemiskinan di agroekosistem lahan kering yang sebesar 0.5 persen menunjukkan ketimpangan yang relatif kecil. Hal ini mengindikasikan bahwa distribusi pengeluaran rumahtangga miskin di agroekosistem lahan kering relatif merata.

5.3.2. Kerentanan Kemiskinan 5.3.2.1. Elastisitas kemiskinan

Untuk mengetahui kerentanan kemiskinan di agroekosistem lahan kering maka disimulasikan garis kemiskinan naik 10 persen dan 20 persen. Jika bundel harga barang dan jasa naik karena misalnya faktor inflasi, kenaikan harga bahan bakar minyak dan lain-lain, maka nilai dari kebutuhan minimum naik, sementara penyesuaian pendapatan akibat dari kenaikan harga tersebut tidak segera mengikuti perubahan harga. Sebagai akibatnya, garis kemiskinan (dalam rupiah) juga akan naik. Diasumsikan bahwa akibat kenaikan bundel harga-harga barang dan jasa mendorong garis kemiskinan naik 10 persen dan 20 persen. Dengan menggunakan skenario ini diketahui bahwa dampak kenaikan harga barang dan jasa terhadap proporsi penduduk miskin di lahan kering ternyata cukup besar sebagaimana dirinci padaTabel 13.

Tabel 13. Indikator dan Elastisitas Kemiskinan Pada Lahan Kering

Indikator GK GK*110 % GK*120 %

Nilai Nilai Elastisitas Nilai Elastisitas

Lk Nas Lk Nas Lk Nas Lk Nas Lk Nas

P0 12,7 13.1 18.0 18.8 4.17 4.35 23,7 25.0 4.33 4.54 P1 2,3 2.3 3,5 3.6 5.22 5.65 4,9 5.1 5.65 6.09 P2 0,7 0.7 1,1 1.1 5.71 5.71 1,60 1.6 6.43 6.43 Sumber: Hasil Perhitungan

Keterangan: GK= Garis Kemiskinan (versi BPS); Lk= lahan kering; Nas= nasional P0 = headcount index

P1 = poverty gap index(kedalaman atau kesenjangan pengeluaran terhadap

GK)

P2 = Poverty Severity Gap Index/Distributionally Sensitive Index (keparahan

kemiskinan)

Dengan mencermati nilai-nilai P0 dan simulasi perubahan-perubahan

indeks harga kebutuhan minimum, maka persentase penduduk yang hidup di sekitar garis kemiskinan sekitar 18.0 persen pada GK*110 persen dan 23.7 persen penduduk miskin jika kenaikan harga mendorong kenaikan GK sebesar 20 persen ceteris paribus. Dibanding nasional, dimana persentase penduduk yang hidup di sekitar garis kemiskinan sekitar 18.8 persen pada GK*110 persen dan 25.0 persen penduduk miskin jika kenaikan harga mendorong kenaikan GK sebesar 20 persen, maka nilai P0 di agroekosistem

lahan kering masih lebih kecil. Ini berarti dampak peningkatan proporsi penduduk miskin pada dua skenario tersebut terhadap insiden kemiskinan di agroekosistem lahan kering akan kurang berpengaruh dengan besaran yang lebih kecil dari angka nasional. Pola laju perubahan persentase penduduk miskin berubah cukup besar jika dampak kenaikan harga barang dan jasa mendorong kenaikan nilai rupiah kebutuhan minimum atau GK sebesar 20 persen. Secara grafis distribusi pengeluaran rumahtangga di Lahan Kering dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Distribusi Frekuensi Pengeluaran Rumahtangga di Lahan Kering

Indeks kedalaman kemiskinan atau Poverty Gap Index (P1) yang terjadi

di lahan kering dengan index sebesar 3.5 pada GK*110 persen dan 4.9 pada GK* 120 persen lebih kecil dari pada Poverty Gap Index (P1) di tingkat nasional.

Hal ini berarti jika terjadi gejolak ekonomi yang menyebabkan terjadi perubahan garis kemiskinan sebesar 10 persen atau 20 persen, ternyata masyarakat yang tinggal di lahan kering merasakan akibat yang sedikit lebih kecil dari gejolak ekonomi ini dibandingkan dengan tingkat nasional.

Tidak demikian halnya pada indeks keparahan (Poverty Severity Index),

dimana gejolak ekonomi akan berdampak sama pada masyarakat yang tinggal di lahan kering dan nasional, dimana Poverty Severity Gap Index (P2) sebesar 1.1

pada GK*110 persen dan 1.6 pada GK*120 persen. Hal ini berarti keparahan kemiskinan di lahan kering sama dengan keparahan di tingkat nasional.

Hasil analisis nilai elastisitas perubahan insiden kemiskinan di agroekosistem lahan kering sebagai akibat kenaikan garis kemiskinan GK*110

Pengeluaran (Rp) GK = Rp 89.600 GK 110 % = Rp 99.700 GK 1 20 % = Rp 110.300 Kurva Normal Distribusi Frekuensi Rumahtangga

persen sebesar 4.17, dan GK*120 persen sebesar 4.33. Angka ini menjelaskan bahwa insiden kemiskinan di agroekosistem lahan kering adalah elastis. Dibanding nasional, dimana besaran nilai elastisitasnya sebesar 4.35 pada GK*110 persen dan sebesar 4.54 pada GK*120 persen, maka nilai elastisitas di agroekosistem lahan kering lebih kecil. Ini berarti dampak dari dua skenario tersebut terhadap insiden kemiskinan di agroekosistem lahan kering akan lebih kecil dari tingkat nasional.

Hasil analisis nilai elastisitas indeks kedalaman kemiskinan pada lahan kering sebagai akibat kenaikan garis kemiskinan pada GK*110 persen sebesar 5.22, dan pada GK*120 persen sebesar 5.65 yang berarti elastis. Dibanding nasional, dimana besaran nilai elastisitasnya sebesar 5.65 pada GK*110 persen dan sebesar 6.09 pada GK*120 persen, maka nilai elastisitas di lahan kering masih lebih kecil. Ini berarti dampak pada dua skenario tersebut terhadap kedalaman kemiskinan pada lahan kering akan persen lebih kecil dibanding tingkat nasional.

Hasil analisis nilai elastisitas indeks keparahan kemiskinan pada lahan kering sebagai akibat kenaikan garis kemiskinan GK*110 persen sebesar 5.71 dan GK*120 persen sebesar 6.43. Angka ini menjelaskan keparahan kemiskinan pada lahan kering masuk katagori elastis. Dibanding nasional, dimana besaran nilai elastisitasnya sama yaitu sebesar 5.71 pada GK*110 persen, dan sebesar 6.43 pada GK*120 persen maka dampak dari dua skenario tersebut terhadap keparahan kemiskinan pada lahan kering akan sama dengan tingkat nasional. Karena keduanya termasuk katagori elastis maka mempertahankan stabilitas harga barang dan jasa menjadi penting dilakukan karena akan menghasilkan dampak cukup besar terhadap peningkatan keparahan kemiskinan.

Kerentanan kemiskinan di agroekosistem lahan kering memberi arti bahwa rumahtangga ini walaupun dari kemampuan konsumsinya di atas garis kemiskinan tetapi berpotensi besar untuk jatuh ke golongan rumah tangga miskin. Rumahtangga yang rentan ini membutuhkan sistem keterjaminan sosial, sehingga pada saat ada shock, akan mampu untuk bertahan. Dengan demikian, penanganan yang bersifat preventif seperti jaringan pengaman sosial menjadi relevan bagi rumahtangga yang rentan ini.

5.3.2.2. Sifat Kemiskinan

Untuk mengidentifikasi sifat kemiskinan, maka disusun regresi model pengeluaran konsumsi rumahtangga miskin dan rentan. Hasil regresi ini memperlihatkan bahwa dari 13.1 persen rumahtangga miskin menurut BPS (di bawah garis kemiskinan) terdiri dari 2.2 persen rumahtangga yang miskin kronis dan 10.9 persen tidak kronis. Dengan demikian 10.9 persen rumahtangga ini berpotensi untuk meningkatkan pendapatan dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumah tangga ini bisa meningkat; sedangkan 2.2 persen rumahtangga yang miskin kronis relatif lebih sulit untuk dientaskan.

Hasil regresi untuk lahan kering, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Tabel 14. Hasil analisis kerentanan kemiskinan dengan menggunakan model regresi ini diketahui dari 12.7 persen rumahtangga miskin di lahan kering terdiri dari 2.3 persen rumahtangga yang miskin kronis dan sebesar 10.4 persen miskin tidak kronis. Sejumlah 10.4 persen rumahtangga ini berpotensi untuk meningkatkan pendapatan dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Pembukaan kesempatan usaha, peningkatan keterampilan akan memberi peluang bagi rumahtangga miskin untuk keluar dari

kemiskinan. Dengan demikian, kebijakan seperti pengembangan dan pemberdayaan masyarakat menjadi relevan untuk dilakukan. Sedangkan 2.3 persen rumahtangga yang miskin kronis ini merupakan bentuk kemiskinan struktural yang kemungkinan untuk dientaskan dari kemiskinan sangat kecil, kecuali dengan intervensi yang tepat. Untuk jangka pendek terhadap golongan ini perlu disubsidi untuk pengeluaran makanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar dua per tiga pengeluaran rumahtangga adalah untuk makanan.

Untuk mengetahui sifat kemiskinan rumahtangga di sekitar garis kemiskinan, maka disimulasikan garis kemiskinan naik sebesar 10%. Akibatnya, jumlah penduduk miskin akan bertambah cukup besar. Setelah dilakukan pemilihan variabel, maka dilakukan kembali regresi konsumsi rumah tangga dengan variabel dummy yang dibuat dari variabel-variabel terpilih.

Tabel 14. Sifat Kemiskinan Pada Lahan Kering

GK GK*110 % GK*120 % Aspek Penelitian Sifat Lahan kering Nas Lahan kering Nas Lahan kering Nas Miskin 10.4 10.9 13.4 14.1 15.4 16.3 Miskin kronis 2.3 2.2 4.6 4.8 8.3 8.7 % RT Miskin (menurut

sifat Total miskin 12.7 13.1 18.0 18.9 23.7 25 Sumber: Hasil Perhitungan

Keterangan: GK = Garis Kemiskinan Nas= Nasional

Hasil regresi untuk nasional dengan garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Lampiran 11. Berdasarkan hasil analisis, dari sejumlah 18.9 persen rumahtangga miskin seluruh Indonesia terdapat 4.8 persen rumahtangga yang miskin kronis dan 14.1 persen miskin tidak kronis. Sebanyak 14.1 persen rumahtangga ini berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi

rumahtangga ini bisa meningkat; sedangkan 4.8 persen rumahtangga yang miskin kronis memerlukan penanganan segera untuk memenuhi kebutuhan minimum.

Hasil regresi untuk lahan kering dengan garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Tabel 14. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa 18.0 persen rumahtangga miskin terdiri dari rumahtangga yang miskin kronis sebesar 4,6 persen dan miskin tidak kronis sebesar 13,4. Dengan demikian, maka sebanyak 13,4 persen rumahtangga ini berpotensi untuk dientaskan kemiskinannya dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat.

Hasil regresi untuk nasional dengan garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Lampiran 14. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa terdapat 25 persen rumahtangga miskin seluruh Indonesia terdiri dari rumahtangga yang miskin kronis yaitu 8.7 persen dan 16.3 persen miskin tidak kronis. Sejumlah 16.3 persen rumahtangga ini berpotensi untuk meningkatkan pendapatan dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Sedangkan 8.7 persen rumahtangga yang miskin ini merupakan bentuk kemiskinan struktural yang perlu penanganan yang lebih besar untuk mengentaskan kemiskinan pada kelompok masyarakat ini

Hasil regresi untuk lahan kering dengan garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Tabel 14. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa terdapat 23.7 persen rumahtangga miskin terdiri dari rumah tangga yang miskin kronis sebesar 8.3 persen dan miskin tidak kronis sebesar 15.4 persen.

Jika dianalisis lebih jauh, ada pengaruh dari kenaikan garis kemiskinan sebesar 10 persen dan 20 persen terhadap sifat kemiskinan keluarga miskin, pada lahan kering. Kenaikan pada garis kemiskinan ternyata dampaknya besar sekali terhadap keluarga miskin kronis dan jumlah rumahtangga miskin. Tabel 15 menunjukkan bahwa laju pertambahan rumahtangga miskin kronis sebesar 100 persen, artinya dengan meningkatkan garis kemiskinan sebesar 10 persen menyebabkan jumlah keluarga miskin kronis bertambah 2 kali lipat (100 persen) dari angka sebelumnya, dan jumlah rumahtangga miskin tidak kronis meningkat dengan laju sebesar 29.1 persen. Pertambahan rumahtangga miskin jauh lebih tinggi jika garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen yakni terjadi peningkatan keluarga miskin kronis dengan laju 260.9 persen dan miskin tidak kronis dengan laju 48.4 persen. Dengan demikian, laju perubahan insiden kemiskinan tidak linear dengan laju kenaikan harga barang dan jasa yang mendorong kenaikan garis kemiskinan.

Tabel 15. Perubahan Kerentanan Kemiskinan Pada Lahan Kering

GK*110 % GK*120 %

Aspek

Penelitian Sifat Lahan kering Nasional Lahan kering Nasional Miskin 29.1 29.0 48.4 49.1 Miskin kronis 100.0 116.2 260.9 291.9 % perubahan akibat GK Total miskin 42.0 116.2 86.9 90.3

Sumber: Hasil Perhitungan

Keterangan: GK = garis kemiskinan

Untuk mengetahui perbedaan pengeluaran rumahtangga dengan garis kemiskinan, maka pengeluaran rumahtangga dikonversi dahulu ke pengeluaran per kapita karena garis kemiskinan sendiri satuannya adalah per kapita. Tabel 16 menggambarkan persen perbedaan pengeluaran per kapita dengan garis kemiskinan, relatif terhadap garis kemiskinan (Beda) dan juga ratio pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan (Ratio).

Secara umum, dengan kondisi garis kemiskinan BPS ternyata persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) adalah dibawah 40 persen. Sedangkan untuk golongan tidak miskin, untuk seluruh Indonesia, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 85.8 persen. Lahan kering memiliki beda 65.4 persen; yang artinya pada agroekosistem ini terdapat jarak yang lebih dekat antara yang tidak miskin dengan miskin, dibanding dengan Nasional.

Untuk kondisi garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen, ternyata persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) sebesar 34.3 persen. Sedangkan untuk golongan tidak miskin, untuk seluruh Indonesia, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 76.6 persen. Pada agroekosistem lahan kering sebesar 56,9 persen, artinya terdapat jarak yang dekat antara yang tidak miskin dengan miskin.

Tabel 16. Beda Relatif dan Ratio Rataan dan Median Pengeluaran Per Kapita Terhadap Garis Kemiskinan Pada Lahan Kering

GK GK*110 % GK*120 %

Berdasarkan Sifat

% beda ratio % beda ratio % beda ratio Lahan kering Miskin Kronis - 34.9 0.651 - 34.3 0.657 - 33.7 0.663 Miskin - 10.7 0.893 - 10.6 0.894 - 10.3 0.897 Rataan Tidak Miskin 94.5 1.945 84.3 1.843 78.0 1.780 Miskin Kronis - 32.4 0.676 - 32.2 0.678 - 31.3 0.687 Miskin - 10.0 0.900 - 9.9 0.901 - 9.9 0.901 Median Tidak Miskin 65.4 1.654 56.9 1.569 52.1 1.521 Nasional Miskin Kronis - 42.2 0.578 - 39.6 0.604 - 38.3 0.617 Miskin - 13.2 0.868 -12.6 0.874 -12.2 0.878 Rataan Tidak Miskin 138.6 2.386 126.4 2.264 118.0 2.180 Miskin Kronis - 40.0 0.600 - 37.3 0.627 - 35.8 0.642 Miskin - 12.1 0.879 -12.0 0.880 -11.9 0.881 Median Tidak Miskin 85.8 1.858 76.6 1.766 70.4 1.704 Sumber: Hasil Perhitungan

Untuk kondisi garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, pada lahan kering ternyata persentase perbedaan pengeluaran perkapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) sebesar 33.7 persen. Sedangkan untuk golongan tidak miskin nasional, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 70.4 persen. Pada agroekosistem lahan kering, P2 dibawah 60 persen, artinya pada agroekosistem

lahan kering terdapat jarak pengeluaran per kapita yang lebih dekat antara yang tidak miskin dengan miskin dibanding dengan nasional.

5.4. Lahan Campuran