• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. FAKTOR PENCIRI KEMISKINAN

6.4. Lahan Campuran

Variabel-variabel yang mempunyai pengaruh besar terhadap konsumsi rumahtangga pada agroekosistem lahan campuran antara lain: variabel kloset jenis plengsengan/jemplung, lalu lintas sebagian keluarga melalui darat, lantai per kapita lebih besar dari 10 m2, persentase pengeluaran untuk makanan 25.1-

50 persen, persentase pengeluaran untuk makanan 50.1-75 persen, persentase pengeluaran untuk pendidikan 10.1-20 persen, sumber air mandi/cuci berasal dari PAM, sumber penghasilan dari pertambangan, sumber penghasilan dari peternakan, tempat membuang air besar di desa-jamban bersama. Secara lengkap pada Tabel 40 disajikan hasil analisis regresi penciri kemiskinan dimana garis kemiskinan (GK) dinaikkan 10 dan 20 persen. Semakin besar nilai Beta, semakin besar pengaruh variabel tersebut tehadap pengeluaran konsumsi.

Hasil analisis menjelaskan bahwa beberapa variabel penciri yang paling besar pengaruhnya terhadap kemiskinan di agroekosistem lahan kering yaitu persentase pengeluaran untuk makanan 50.1-75 persen, diikuti oleh sumber penghasilan dari peternakan, dan persentase pengeluaran untuk makanan

berkisar antara 25.1- 50 persen. Temuan ini menyiratkan bahwa jika ada kenaikan harga makanan, seperti kenaikan harga beras, maka akan memberi dampak yang besar terhadap kemiskinan di lahan campuran. Variabel lainnya yang berpengaruh adalah sumber penghasilan dari peternakan. Hal ini memberi makna bahwa kemiskinan di lahan campuran berasosiasi dengan sumber penghasilan dari peternakan, dan sensitif terhadap gejolak harga input atau sarana produksi.

Tabel 40. Pengaruh Beta Untuk Variabel Dengan Beta Lbih Dari 0.10 di Lahan Campuran

Variabel GK GK*110% GK*120%

Jenis kloset : Plengsengan/Jemplung 10.7

Lalu lintas sebagian keluarga : Darat 15.0 23.8 22.5 Luas lantai perkapita : >10 m2 18.4 19.4 19.3 Persen pengeluaran untuk makanan : 25.1%

- 50% 21.6 21.4 21.5

Persen pengeluaran untuk makanan : 50.1%

- 75% 99.6 97.2 97.1

Persen pengeluaran untuk pendidikan :

10.1% - 20% 13.5 12.3 12.4

Sumber air mandi/cuci : PAM 19.8

Sumber penghasilan dari pertambangan : Ya 12.9

Sumber penghasilan dari peternakan : Ya 33.1 31.7 31.7 Tempat membuang air besar di desa :

Jamban bersama 10.0

Sumber: Hasil Perhitungan

Keterangan: GK= garis kemiskinan;

= dalam persen (%), sel yang kosong berarti Beta 0.10

Pada skenario GK dinaikkan 10 persen dan GK dinaikkan 20 persen maka yang menjadi penciri utama adalah lalu lintas sebagian keluarga (darat), luas lantai per kapita lebih besar dari 10 m2, persentase pengeluaran untuk makanan 25.1-50 persen, persentase pengeluaran untuk makanan berkisar antara 50.1-75 persen, persentase pengeluaran untuk pendidikan 10.1-20 persen, dan sumber penghasilan dari peternakan. Dengan demikian, ada empat variabel yang kurang berpengaruh yaitu kloset jenis plengsengan/jemplung, sumber air mandi/cuci PAM, sumber penghasilan dari pertambangan, tempat

membuang air besar di desa-jamban bersama. Pada skenario ini pengeluaran untuk makanan dan sumber penghasilan menjadi penciri utama.

Tabel 41. Variabel Penciri Kemiskinan di Lahan Campuran

Variabel Penciri Kelompok

Jenis kloset : Plengsengan/Jemplung Kondisi fisik rumah tangga Lalu lintas sebagian keluarga: Darat Infrastruktur fisik dan sosial Luas lantai perkapita: >10 m2 Kondisi fisik rumah tangga Pengeluaran untuk makanan: 25.1% - 50% Kondisi ekonomi rumahtangga Pengeluaran untuk makanan: 50.1% - 75% Kondisi ekonomi rumahtangga Pengeluaran untuk pendidikan: 10.1% - 20% Kondisi ekonomi rumahtangga Sumber air mandi/cuci: PAM Infrastruktur fisik dan sosial Sumber penghasilan dari pertambangan Infrastruktur fisik dan sosial Sumber penghasilan dari peternakan Infrastruktur fisik dan sosial Tempat membuang air besar di desa: Jamban

bersama

Infrastruktur fisik dan sosial

Jika dilihat dari dua sisi kemiskinan yaitu dari sisi pengeluaran dan dari sisi pendapatan, maka dari sisi pengeluaran kemiskinan sangat ditentukan oleh variabel penciri yang paling besar pengaruhnya terhadap kemiskinan di agroekosistem lahan campuran yaitu persentase pengeluaran untuk makanan 50.1-75 persen, diikuti oleh sumber penghasilan dari peternakan, berikutnya persentase pengeluaran untuk makanan 25.1-50 persen. Variabel ini menjelaskan bahwa jika ada kenaikan harga makanan, seperti kenaikan harga beras dan kebutuhan pokok lainnya, maka berpotensi besar meningkatkan insiden kemiskinan di lahan campuran. Selanjutnya, karena variabel sumber penghasilan dari peternakan juga memberikan pengaruh yang cukup besar, maka jika terjadi gejolak kenaikan harga input (sarana produksi) maka sangat berpengaruh terhadap pengeluaran rumahtangganya.

Kepemilikan modal fisik seperti kondisi rumah dapat mempengaruhi

coping ability rumahtangga terhadap perubahan pengeluaran atau pendapatan.

Coping ability yang rendah dapat mengakibatkan rumahtangga rentan jatuh ke bawah garis kemiskinan. Selain itu, modal fisik rumahtangga dapat memperluas peluang-peluang kerja dan usaha keluarga, antara lain sebagai agunan pinjaman modal. Selanjutnya, baik dari sisi pengeluaran maupun pendapatan, kemiskinan di lahan campuran juga ditentukan oleh kondisi infrastruktur fisik dan sosial seperti dijelaskan oleh variabel lalu lintas darat sebagian keluarga sumber air mandi/cuci (PAM), tempat membuang air besar di desa (jamban bersama).

6.5. Dataran Tinggi

Hasil identifikasi faktor penciri kemiskinan yang dilakukan dengan menggunakan metode stepwise regresi logistik terhadap variabel penciri rumahtangga dan infrastruktur sosial, diperoleh hasil bahwa variabel jenis bahan bakar minyak tanah, luas lantai per kapita lebih besar dari 10 m2, persentase pengeluaran untuk makanan (25.1-50 persen), persentase pengeluaran untuk makanan (50.1-100 persen), dan sumber air mandi PAM, merupakan variabel penciri yang ada di agroekosistem dataran tinggi.

Data pada Tabel 42 menjelaskan ada dua variabel penciri yang paling besar pengaruhnya terhadap kemiskinan di agroekosistem dataran tinggi yaitu persentase pengeluaran untuk makanan 50.1-75 persen, diikuti oleh persentase pengeluaran untuk makanan 25.1-50 persen. Data ini menyiratkan bahwa jika ada kenaikan harga makanan, seperti kenaikan harga beras, maka akan memberi dampak yang besar terhadap kemiskinan di dataran tinggi. Variabel lainnya yang berpengaruh adalah luas lantai per kapita dan jenis bahan bakar memasak (minyak tanah). Hal ini memberi makna bahwa kemiskinan di dataran

tinggi sensitif terhadap gejolak harga bahan bakar minyak dimana saat ada kenaikan harga maka jumlah rumahtangga miskin akan bertambah.

Tabel 42. Pengaruh Beta Untuk Variabel Dengan Beta Lebih Dari 0.10 di Dataran Tinggi

Variabel GK GK*110% GK*120%

Jenis Bahan Bakar Memasak : Minyak tanah 12.1 10.7 10.7

Luas lantai perkapita : >10 m2 17.9 18.8 18.7

Persen pengeluaran untuk makanan : 25.1% - 50% 23.4 24.7 24.8 Persen pengeluaran untuk makanan : 50.1% - 75% 93.9 97.2 97.4

Sumber air mandi/cuci : PAM 13.0

Sumber : Hasil Perhitungan

Keterangan: GK=garis kemiskinan dan sel yang kosong menunjukkan Beta 0.10

Pada skenario dimana GK dinaikkan 10% dan GK dinaikkan 20%,maka yang menjadi penciri utama adalah jenis bahan bakar minyak tanah, luas lantai per kapita leih besar dari 10 m2, persentase pengeluaran rumahtangga untuk

makanan 25.1-50 persen, dan persentase pengeluaran untuk makanan 50.1-100 persen. Jadi, ada satu penciri utama yang berkurang, yaitu sumber air mandi PAM. Pada skenario ini pengeluaran untuk makanan tetap menjadi penciri utama. Berdasarkan hasil analisis regresi logistik tersebut diketahui bahwa kemiskinan dicirikan oleh variabel tersebut di atas. Jika dikelompokkan lagi, maka penciri kemiskinan sangat terkait dengan kondisi fisik rumah tangga, kondisi ekonomi keluarga, dan infrastruktur fisik dan sosial.

Tabel 43. Variabel Penciri Kemiskinan di Dataran Tinggi

Variabel Penciri Kelompok

Jenis Bahan Bakar Memasak : Minyak tanah Infrastruktur fisik

Luas lantai per kapita: >10 m2 Kondisi fisik rumah tangga Pengeluaran untuk makanan: 25.1% -50% Kondisi ekonomi keluarga Pengeluaran untuk makanan: 50.1% -75% Kondisi ekonomi keluarga Sumber air mandi/cuci: PAM Infrastruktur fisik

Sebagai implikasinya, maka kebijakan penanggulangan kemiskinan di agroekosistem dataran tinggi hendaknya meliputi perbaikan komponen kondisi fisik rumahtangga, kondisi ekonomi keluarga, dan infrastruktur fisik.

6.6. Hutan

Hasil identifikasi faktor penciri kemiskinan menunjukkan bahwa variabel- variabel yang mempunyai pengaruh besar terhadap konsumsi keluarga pada agroekosistem hutan adalah variabel bahan bakar jenis minyak tanah, jenis lantai bukan tanah, luas lantai per kapita lebih besar dari 10 m2, persentase pengeluaran untuk makanan 25.1-50 persen, persentase pengeluaran untuk makanan 50.1 -100 persen, rata-rata lama sekolah kepala keluarga 6-8 tahun, dan tempat membuang sampah lubang/di bakar.

Tabel 44 menjelaskan bahwa ada dua variabel penciri yang paling besar pengaruhnya terhadap kemiskinan di agroekosistem hutan yaitu persentase pengeluaran untuk makanan 50.1-75 persen, diikuti oleh persentase pengeluaran untuk makanan 25.1-50 persen. Variabel lainnya yang berpengaruh adalah luas lantai per kapita dan jenis bahan bakar memasak, luas lantai per kapita lebih besar dari 10 m2.

Tabel 44. Pengaruh Beta Untuk Variabel Dengan Beta Lebih Dari 0.10 di Hutan

Variabel GK GK*110% GK*120%

Jenis Bahan Bakar Memasak : Minyak tanah 15.0 10.2 10.1

Jenis Lantai : Bukan Tanah 11.8

Jenis kloset : Plengsengan/Jemplung 11.0 11.0

Luas lantai perkapita: >10 m2 19.5 21.2 21.2

Pengeluaran untuk makanan: 25.1% -50% 26.0 27.9 27.8 Pengeluaran untuk makanan: 50.1% -75% 98.2 104.7 104.6 Rata-rata lama sekolah kepala keluarga: 6-8 tahun 12.1

Sumber air minum/masak (PAM) 24.2 24.1

Sumber air minum/masak: Sungai 14.9 14.8

Sumber penghasilan dari pertambangan : Ya 12.9 13.0 Sumber: Hasil Perhitungan

Pemilikan modal dapat melindungi rumahtangga dari kemiskinan atau kerentanan terhadap kemiskinan. Di sisi lain, ternyata variabel minyak tanah memberi makna bahwa kemiskinan di hutan sensitif terhadap gejolak harga bahan bakar minyak.

Dengan simulan dimana GK dinaikkan 10 persen dan GK dinaikkan 20 persen maka yang menjadi penciri utama adalah: variabel jenis bahan bakar minyak tanah, kloset jenis plengsengan/jemplung, luas lantai per kapita lebih besar dari 10 m2, persentase pengeluaran untuk makanan 25.1-50 persen, persentase pengeluaran untuk makanan 50.1-100 persen, rata-rata lama sekolah kepala keluarga 6-8 tahun, sumber air minum/masak PAM, sumber air minum sungai, sumber penghasilan dari pertambangan, dan tempat membuang sampat lubang/di bakar.

Jadi, ada penciri utama yang berbeda yaitu jenis kloset plengsengan/jemplung, sumber air minum/masak PAM, sumber air minum sungai, dan sumber penghasilan dari pertambangan) tidak muncul pada GK biasa (100 persen) tetapi muncul pada kasus dimana GK dinaikkan 10 persen dan GK dinaikkan 20 persen. Dan dua variabel penciri (jenis lantai bukan tanah, dan rata-rata lama sekolah kepala keluarga 6-8 tahun) muncul pada GK biasa, tetapi tidak muncul pada GK dinaikkan 10 persen dan GK dinaikkan 20 persen.

Pada skenario ini juga pengeluaran untuk makanan menjadi penciri utama. Berdasarkan hasil analisis regresi logistik tersebut diketahui bahwa kemiskinan dicirikan oleh variabel di atas yang jika dikelompokkan lagi, maka penciri kemiskinan sangat terkait dengan kondisi fisik rumahtangga, kondisi pendidikan rumahtangga, kondisi ekonomi rumahtangga, dan infrastruktur fisik dan sosial.

Tabel 45. Variabel Penciri Kemiskinan di Hutan

Variabel penciri Kelompok

Jenis Bahan Bakar Memasak : Minyak tanah infrastruktur fisik

Jenis Lantai: Bukan Tanah Kondisi fisik rumah tangga Jenis kloset: Plengsengan/Jemplung Kondisi fisik rumah tangga Luas lantai per kapita: >10 m2 Kondisi fisik rumah tangga Pengeluaran untuk makanan: 25.1% -50% Kondisi ekonomi keluarga Pengeluaran untuk makanan: 50.1%-75% Kondisi ekonomi keluarga Rata-rata lama sekolah kepala keluarga:6-8 tahun Kondisi pendidikan rumahtangga Sumber air minum/masak : PAM Infrastruktur fisik

Sumber air minum/masak: Sungai Infrastruktur fisik

Sumber penghasilan dari pertambangan Infrastruktur fisik dan spasial Tempat membuang sampah: Lubang/dibakar Infrastruktur fisik

Sumber: Hasil Perhitungan

Penelitian ini menemukan, bahwa penciri kemiskinan pada kawasan hutan sangat terkait dengan kondisi fisik rumahtangga, kondisi pendidikan rumah tangga, kondisi ekonomi rumahtangga, dan infrastruktur fisik dan sosial. Variabel- variabel ini secara nyata sangat mempengaruhi terjadinya kemiskinan di kawasan ini. Jika dilihat dari dua sisi yaitu dari sisi pengeluaran dan dari sisi pendapatan, maka dari sisi pengeluaran diketahui bahwa persentase pengeluaran untuk makanan 50.1-75 persen, diikuti oleh persentase pengeluaran untuk makanan 25.1-50 persen merupakan variabel penciri yang paling besar pengaruhnya terhadap kemiskinan, sehingga pengeluaran rumahtangga ditentukan oleh pengaruh harga makanan terutama makanan pokok dan jenis bahan bakar minyak tanah (Tabel 45).

Infrastruktur fisik ditemukan juga sebagai faktor yang sangat mempengaruhi pendapatan rumahtangga. Akses terhadap infrastruktur sangat nyata berpengaruh kuat, hal ini sejalan dengan Zeller (2002), infrastruktur fisik antara lain membangun jaringan komunikasi dan informasi, akan meningkatkan kesempatan berusaha dan bekerja

Dari sisi peningkatan pendapatan, misalnya infrastruktur sosial yang menjadi variabel penciri kemiskinan di wilayah ini, berpengaruh terhadap

pendapatan. Ketiadaan collective action dari suatu struktur sosial akan jadi faktor penghalang peningkatan pendapatan mereka dan menjadi faktor kerentanan (Zeller, 2002). Selanjutnya, Hebel (2004) menambahkan bahwa struktur sosial sangat signifikan untuk melahirkan rumahtangga terbelakang. Sistem kekerabatan, struktur rumahtangga, struktur kelompok umur, kelompok etnik dan keagamaan, tingkat kasta dan pendidikan, dapat menghasilkan kekuatan yang memecah belah hubungan berbagai kelompok dalam masyarakat. Hal ini dapat menimbulkan terjadinya di satu sisi hak asasi manusia, di sisi lain tidak berkembangnya masyarakat dan terhalangnya usaha-usaha ekonomi.

Seperti diungkap di atas, bahwa hutan pada hakekatnya bukan kawasan miskin karena komoditas yang di agroekosistem ini adalah komoditas unggulan yang bernilai ekonomi tinggi. Selain memungut hasil hutan dan melakukan ladang, rumahtangga di hutan relatif terbatas terhadap alternatif usaha lain. Sebagai masyarakat lokal yang hidup di lingkungan organik hutan, mereka hampir tidak mempunyai hak-hak lokal untuk mengakses sumberdaya hutan ketika mereka membutuhkan.

Pada kenyataannya, sesuai dengan temuan penelitian bahwa infrastruktur sosial juga menjadi penciri kemiskinan di wilayah ini, maka masyarakat miskin di agroekosistem hutan kurang atau bahkan sama sekali tidak mempunyai akses apalagi kontrol terhadap sumberdaya hutan untuk memenuhi kebutuhan minimum penghidupannya.

Kondisi fisik, ekonomi dan pendidikan rumahtangga juga menjadi variabel yang nyata mempengaruhi kemiskinan di kawasan hutan. Kondisi ini mengakibatkan berkurangnya kesempatan rumahtangga untuk meraih peluang- peluang ekonomi yang melintas di hadapan mereka sebagai sumber pendapatannya. Temuan ini juga diperkuat oleh Hebel (2004) yang menjelaskan

kemiskinan adalah persoalan yang multidimensi. Tidak hanya rendahnya tingkat pendapatan, tetapi juga kurangnya kesempatan dan rendahnya tingkat konsumsi rumahtangga. Hal ini pada umumnya berhubungan dengan pemilikan dan distribusi dari aset-aset fisik seperti lahan, sumberdaya manusia dan sosial, dan peluang-peluang pasar dan nilai atau harga sumberdaya yang dimiliki.

Kemiskinan yang terjadi di hutan dapat dikatakan bahwa pada dasarnya terjadi karena tidak berdayanya masyarakat di agroekosistem hutan untuk mengakses dan mempengaruhi kelembagaan pemerintah dan proses sosial yang menghasilkan kebijakan publik untuk memihak masyarakat miskin. Sedang secara eksternal, terdapat pihak tertentu yang mendapatkan manfaat dari sumberdaya hutan. Ketiadaan kebijakan publik yang memihak miskin ini menyebabkan masyarakat terpinggirkan dan sulit untuk mengakses segala sumberdaya yang ada di hutan; sebagaimana diperluas oleh CESS dan ODI (2005).

Dikaitkan dengan temuan variabel penciri yang signifikan pada agroekosistem hutan, terutama persentase pengeluaran untuk makanan sekitar 50.1–75 persen yang menunjukkan angka tertinggi diantara variabel-variabel penciri yang signifikan dan meningkat terus dari 98.2 pada GK, menjadi sebesar 104.7 pada GK*110 persen, dan sebesar 104.6 pada GK*120 persen. Artinya, variabel ini menjadi variabel penting yang sangat besar pengaruhnya terhadap insiden kemiskinan.

Selain itu, variabel infrastrutur fisik dan sosial menjadi elemen penting terjadinya kerentanan pada agroekosistem ini yang mengakibatkan rumahtangga di hutan terpinggirkan dan kurang berpartisipasi, seperti yang diungkap oleh Hebel (2004), bahwa kurangnya partisipasi dan terpinggirkan menjadi penyebab

kemiskinan. Masyarakat yang terpinggirkan tidak dapat mengakses sumberdaya seperti lahan seperti pada banyak wilayah sebagai dampak dari suatu kebijakan.