• Tidak ada hasil yang ditemukan

VII. KEBIJAKAN PENGURANGAN KEMISKINAN BERBASIS AGROEKOSISTEM

7.1. Kemiskinan dan Agroekosistem

Temuan pertama hasil penelitian ini yang dibahas adalah tentang apakah insiden, kedalaman dan keparahan kemiskinan di Indonesia berasosiasi dengan faktor lokasi (spasial) berdasarkan agroekosistem. Hasil analisis uji proporsi insiden kemiskinan antar agroekosistem memperlihatkan perbedaan yang sangat signifikan. Dengan demikian, terbukti bahwa insiden, kedalaman dan keparahan kemiskinan yang terjadi di Indonesia berasosiasi kuat dengan agroekosistem.

Berdasarkan hasil analisis tipologi kemiskinan, penelitian ini menunjukkan bahwa diantara enam agroekosistem yang dianalisis, hutan memiliki insiden, kedalaman dan keparahan kemiskinan tertinggi. Insiden kemiskinan di hutan sebesar 18.3 persen diikuti oleh lahan campuran sebesar 14.4 persen sementara insiden nasional sebesar 13.1 persen. Sedangkan agroekosistem lainnya berada di bawah angka insiden nasional. yakni dataran tinggi (11.6 persen), lahan basah (12.7 persen) dan lahan kering (12.7) serta pesisir/pantai (12.9 persen).

Hutan menunjukkan kedalaman kemiskinan dengan indeks 3.4; lebih tinggi daripada indeks kedalaman nasional (2.3). Pada lahan campuran dan pantai/pesisir (2.4), sementara di lahan kering, dataran tinggi dan lahan basah berturut-turut 2.3; 2.0 dan 1.9. Indeks kedalaman kemiskinan ini mengindikasikan bahwa besarnya kesenjangan rata-rata pengeluaran di hutan jauh di bawah indeks kebutuhan minimum atau garis kemiskinan. Hutan berkontribusi paling besar terhadap kesenjangan nasional dibandingkan dengan di agroekosistem lainnya. Keparahan kemiskinan tertinggi juga terjadi di hutan dengan indeks 1.0 dan berada di atas rata-rata nasional (0.7); sedangkan di agroekosistem lainnya

di bawah angka nasional; terendah di lahan basah dan di dataran tinggi masing- masing 0.5. Tabel 48 memperlihatkan tipologi kemiskinan dan kerentanan secara rinci.

Tabel 48 . Tipologi Kemiskinan dan Kerentanan

Agroekosistem Tipologi Kemiskinan Nasi- onal Lahan Basah Lahan Kering Lahan Cam- puran Dataran Tinggi Hutan Pantai Pesisir Insiden Kemiskinan (P0) GK (100%) 13.1 12,7 12,7 14,4 11,6 18,3 12.9 Skenario GK*110% 18.9 19.3 18.0 20.9 16.9 25.5 18.3 Skenario GK*120% 25.0 26.7 23.7 27.9 22.6 33.2 24.6 Kedalaman Kemiskinan (P1) GK (100%) Skenario GK*110% Skenario GK*120% 2.3 3.6 5.1 1,9 3.2 4.8 2,3 3.5 4.9 2,4 3.8 5.5 2,0 3.1 4.5 3,4 5.1 7.1 2.4 3.6 5.1 Keparahan Kemiskinan (P2) GK (100%) Skenario GK*110% Skenario GK*120% 0.7 1.1 1.6 0,5 0.8 1.3 0,7 1.1 1.6 0,5 1.1 1.6 0,5 0.9 1.3 1,0 1.5 2.3 0.7 1.1 1.6 Elastisitas GK*110 % P0 P1 P2 GK*120 % P0 P1 P2 4.35 5.65 5.7 4.54 6.09 6.43 5.20 6.84 6.00 5.51 7.63 8.00 4.17 5.22 5.71 4.33 5.65 6.43 4.51 5.83 12.00 4.69 6.46 11.00 4.57 5.50 8.00 4.74 6.25 8.00 3.93 5.00 5.00 4.07 5.44 6.50 4.19 5.00 5.71 4.53 5.63 6.43 Sifat Kemiskinan

Miskin (Tidak Kronis) Miskin Kronis 10.9 2.2 10.2 2.5 10.4 2.3 12.1 2.3 9.8 1.7 14.5 3.8 10.11 2.77

Sumber : Hasil Perhitungan

Pada agroekosistem dataran tinggi, jumlah rumahtingga miskin atau proporsi/insiden kemiskinan tinggi namun kedalaman dan keparahannya lebih rendah daripada yang lainnya. Kerentanan terhadap kemiskinan berasosiasi kuat dengan ekonomi agroekosistem. Rumahtangga miskin di lahan basah lebih rentan terhadap perubahan misalnya perubahan harga barang dan jasa yang termasuk dalam bundel garis kemiskinan. Ternyata, rumahtangga di kawasan hutan relatif paling rendah kerentanannya dibandingkan dengan agroekosistem lainnya.

Hutan sebagai agroekosistem yang tertinggi insiden kemiskinannya merupakan hal yang menarik untuk dibahas. Sebagaimana diungkap di atas, bahwa kawasan hutan pada hakekatnya bukan kawasan miskin karena komoditas yang ada di agroekosistem ini adalah komoditas yang bernilai ekonomi tinggi. Tetapi masyarakat di hutan tidak mempunyai peluang yang nyata untuk mendapatkan kayu-kayu di hutan sebagai sumber matapencariannya. Selain bekerja sebagai buruh pada perusahaan perkayuan, sebagian melakukan ladang berpindah, dan mereka kurang mempunyai alternatif usaha lain. Sebagai masyarakat lokal yang hidup di lingkungan organik hutan, mereka relatif tidak mempunyai hak-hak lokal untuk mengakses sumberdaya hutan sebagai sumber kehidupannya.

Kawasan hutan dapat dibedakan menjadi dua bagian yakni hutan konservasi yang dikelola oleh negara dan hutan produksi yang pada umumnya dikelola oleh perusahaan yang ditunjuk. Dengan demikian, masyarakat miskin di agroekosistem hutan kurang atau bahkan sama sekali tidak mempunyai akses apalagi kontrol terhadap sumberdaya hutan ketika membutuhkannya karena adanya peraturan atau faktor kelembagaan. Dalam penelitian ini, kelembagaan

seperti peraturan dikelompokkan sebagai infrastruktur sosial, membatasi akses mereka terhadap sumber kehidupan yakni hutan.

Pada kenyataannya, sesuai dengan temuan penelitian bahwa infrastruktur sosial merupakan determinan kemiskinan di wilayah ini. Hal ini sesuai dengan penelitian Justianto (2005) bahwa kemiskinan di kawasan hutan konservasi relatif lebih tinggi dibanding di kawasan produksi dimana masyarakat dapat menjadi buruh di perusahaan perkayuan sebagai sumber matapencariannya. Selanjutnya, dikatakan bahwa penduduk di hutan tidak banyak menikmati hasil dari kehutanan, karena besaran multiplier sektor kehutanan terhadap pendapatan rumahtangga relatif lebih kecil daripada sektor lainnya.

Fenomena kemiskinan di hutan ini dapat dikatakan merupakan anomali dari faktor resource endowment atau dengan kelimpahruahan potensi yang diduga dapat menyediakan sumber kehidupan bagi masyarakat dengan ekonomi berbasis sumberdaya alam namun penduduknya miskin. Selain itu, faktor value

sumberdaya manusia dan modal fisik yang terbatas, keterisolasian dan kurangnya akses terhadap pelayanan umum dan infrastruktur menyebabkan akses terhadap peluang-peluang ekonomi lainnya relatif kecil. Karena itu, faktor

human capital dan physical capital serta infrastruktur termasuk infrastruktur sosial merupakan masalah kemiskinan di hutan dengan ke’khas’an sumberdaya alam yang relatif ”tertutup” pengelolaannya bagi masyarakat. Sehubungan dengan hal ini, intervensi pemerintah berupa aspek legal yang menjamin keterlibatan masyarakat dalam usaha pengelolaan hutan yang memihak pada penduduk miskin sangat diperlukan.

Temuan penelitian tentang tingginya indeks keparahan di agroekosistem hutan yang menggambarkan tingkat kesenjangan/ketidak-merataan antara masyarakat miskin dan masyarakat tidak miskin yang makin jauh. Jika dikaitkan

dengan temuan penelitian tentang penciri kemiskinan di kawasan ini, maka variabel infrastruktur fisik dan sosial merupakan determinan yang sangat berpengaruh pada keparahan kemiskinan di kawasan ini.

Faktor kelembagaan seperti peraturan atau aspek legalitas tidak dapat dijadikan variabel penciri yang diteliti karena keterbatasan data. Namun, berdasarkan kerangka pemikiran dapat ditelusuri alur pendapatan ataupun pengeluaran yang menjadi determinan kemiskinan berdasarkan akses terhadap peluang-peluang ekonomi, ketersediaan sumberdaya alam dan penguasaan sumberdaya ekonomi yang terdiri dari determinan rumahtangga dan infrastruktur fisik dan sosial.

Seperti yang telah diungkap di atas, bahwa masyarakat miskin di agroekosistem hutan kurang atau bahkan sama sekali tidak mempunyai akses apalagi kontrol terhadap sumberdaya hutan sebagai sumber kehidupannya. Hal ini ditunjukkan pula bahwa kemiskinan terbesar terjadi di hutan konservasi dimana masyarakat tidak mempunyai akses dan kontrol terhadap sumberdaya hutan, berbeda dengan masyarakat yang hidup di hutan produksi dimana mereka masih mempunyai kesempatan meraih peluang ekonomi, misalnya sebagai buruh pabrik pengolahan kayu atau pemegang hak pengusahaan hutan untuk memperoleh pendapatannya. Jadi, besarnya perbedaan untuk meraih peluang ekonomi yang terjadi di kawasan hutan menjadi sebab keparahan kemiskinan di agroekosistem hutan.

Dengan demikian, maka variabel infrastruktur fisik dan sosial menjadi elemen penting terjadinya keparahan di hutan ini yang mengakibatkan mereka terpinggirkan, kurang kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan serta tidak terjangkau oleh manfaat pembangunan. Hal ini sejalan yang diungkap oleh Hebel (2004), yang menyebutkan bahwa “lacking participation and exclusion. The

fact of belonging to a discriminated ethnic or social group signifies being excluded from the access to resources (e.g., land)….. barred from the access to resources (e.g., education, work, income, land), but because they are refused the rights of self-determination and physical integrity”.

Kemiskinan di hutan ternyata relatif paling rendah kerentanannya dibandingkan dengan agroekosistem lainnya. Walaupun proporsi rumahtangga rentan miskin terbesar terdapat di kawasan hutan, juga kedalaman dan keparahannya, tetapi hutan relatif tidak rentan terhadap gejolak harga barang dan jasa. Hal ini berkaitan dengan relatif terbatasnya akses terhadap mekanisme pasar karena keterisolasiannya ataupun pengeluaran-pengeluaran penduduk miskin untuk memenuhi kebutuhan minimumnya pada umumnya tidak melalui mekanisme pasar berkaitan dengan kehidupan yang relatif subsisten dan akses yang terbatas terhadap pasar.

Kawasan hutan juga menunjukkan jumlah miskin kronis tertinggi. kemudian diikuti dengan lahan campuran. Bila dilihat magnitutnya, agroekosistem yang merupakan kantong kemiskinan adalah lahan kering dan dataran tinggi. Lahan kering dan dataran tinggi dapat merupakan bagian dari hutan dan sebaliknya; hutan dapat berupa lahan kering dan di dataran tinggi. Namun, karena keterbatasan data, untuk mendalami kemiskinan di hutan diperlukan penelitian yang bersifat mikro dan primer dengan basis wilayah yang lebih kecil. Berdasarkan jumlah rumahtangga miskin, hutan tidak merupakan kantong kemiskinan meskipun insiden kemiskinannya tinggi. Hal ini karena kerapatan penduduk relatif rendah dibanding agroekosistem lainnya. Namun untuk ‘titik masuk’ pengurangan kemiskinan melalui sektor, maka hutan perlu mendapat prioritas perhatian.

Penelitian ini menemukan bahwa elastisitas insiden, kedalaman dan keparahan kemiskinan di hutan relatif lebih rendah dibanding indikator nasional. Jadi, sensitivitas hutan terhadap perubahan harga barang dan jasa yang termasuk bundel kebutuhan minimum relatif kecil dibandingkan dengan elastisitas secara nasional. Hal ini dapat dijelaskan bila diasumsikan bahwa rata- rata penduduk di hutan bertempat tinggal dan mencari nafkah relatif jauh dari pasar ataupun pusat pertumbuhan ekonomi. Mereka relatif lebih remote

/terisolasi, sehingga lebih inert, kurang responsif terhadap external shock

misalnya terjadinya kenaikan harga barang dan jasa.

Mencermati temuan penelitian tentang penciri kemiskinan di kawasan hutan, maka selain infrastruktur fisik sosial, kemiskinan di hutan juga sangat dipengaruhi oleh variabel-variabel kondisi fisik rumahtangga, kondisi pendidikan rumahtangga, dan kondisi ekonomi rumahtangga. yang menjadi variabel nyata mempengaruhi kemiskinan di kawasan hutan. Kemiskinan di kawasan hutan bisa dikatakan bersifat multidimensional, terjadi karena tidak berdayanya masyarakat di agroekosistem hutan untuk mengakses dan mempengaruhi kelembagaan pemerintah dan proses sosial yang menghasilkan kebijakan publik yang memihak masyarakat miskin, Sehingga, mereka terperangkap dalam kemiskinan. Temuan ini juga diperkuat oleh Hebel (2004) yang menjelaskan: “Poverty is multi- dimensional, extending beyond low levels of income…, Lack of opportunity: low levels of consumption/income, usually relative to a national poverty line. This is generally associated with the level and distribution of physical assets such as land, human capital and social assets; and market opportunities which determine the returns to these assets. The variance in the returns to different assets is also important”.

Lahan kering dan dataran tinggi secara magnitut merupakan kantong kemiskinan dengan jumlah rumahtangga miskin di lahan kering dan di dataran tinggi yakni sebesar 4 632 700 dan 4 300 449 berturut-turut. Angka ini jauh lebih besar kontribusinya terhadap kemiskinan secara nasional daripada lahan basah (270 096) dan pantai/pesisir (648 219) serta hutan (1 367 966) Jadi, untuk melihat kemiskinan, angka insiden kemiskinan perlu disertai besaran (magnitude) jumlah rumahtangga miskin supaya tidak misleading dalam menganalisis kemiskinan.

Agroekosistem di lahan basah menunjukkan insiden dan kedalaman kemiskinan dengan elastisitas tertinggi terhadap garis kemiskinan. Sensitivitas lahan basah ini berkaitan dengan pendapatan dan pengeluaran yang relatif lebih dipengaruhi keterbukaan terhadap akses pasar ataupun relatif lebih dekat dengan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Mobilitas penduduk yang relatif tinggi karena relatif memadainya sarana transportasi, akses yang lebih terbuka terhadap infrastruktur fisik dan sosial termasuk informasi dan teknologi, menyebabkan penduduk pada lahan basah lebih responsif terhadap sinyal pasar (market signal). Kondisi tersebut pada gilirannya akan mempengaruhi keputusan- keputusan rumahtangga dalam pengeluarannya.

Pada agroekosistem lahan basah ada empat variabel penciri yang khas antara lain: fasilitas kesehatan, puskesmas, penyakit marasmus; persentase pengeluaran untuk kesehatan lebih dari 20 persen, dan saluran pembuangan limbah cair lancar. Variabel penciri kemiskinan di lahan basah yang bersifat khas yaitu variabel fasilitas kesehatan; sejalan dengan besarnya pengeluaran untuk kesehatan dan munculnya variabel penyakit marasmus. Hal lain yang spesifik yaitu pembuangan limbah cair yang mempengaruhi pengeluaran rumahtangga. Hal ini diduga berkaitan dengan tingginya mobilitas penduduk di agroekosistem

ini bila diasumsikan pada lahan basah mobilitas penduduk relatif tinggi sehingga terpaparnya penduduk terhadap penyakit relatif tinggi. Dugaan lain adalah bahwa rumahtangga lebih dekat pada fasilitas kesehatan sehingga akses terhadap fasilitas kesehatan lebih tinggi yang pada gilirannya akan mempengaruhi pengeluaran. Dugaan tersebut di atas perlu diteliti lebih lanjut yang bersifat mikro mencakup komponen pengeluaran rumahtangga di lahan basah dan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pengeluaran rumahtangga.

Agroekosistem lahan campuran menunjukkan keragaman variabel penciri kemiskinan. Pada lahan campuran ada enam variabel penciri yang khas yaitu jenis kloset plengsengan/jemplung, lalu lintas sebagian keluarga darat, persentase pengeluaran untuk pendidikan 10,1-20 persen, sumber penghasilan dari pertambangan berupa sumber penghasilan dari peternakan dan tempat membuang air besar didesa berupa jamban bersama. Variabel yang khas di pantai/pesisir adalah sumber penerangan berupa listrik, sementara untuk agroekosistem hutan adalah rata-rata lama sekolah kepala keluarga 6-8 tahun.

Variabel penciri kemiskinan yang membedakan lahan campuran dengan agroekosistem lainnya yaitu variabel pendidikan, sumber penghasilan, sanitasi dan sumber air serta alat transportasi. Variabel penciri ini jika dikelompokkan kembali, maka penciri kemiskinan di lahan campuran ini berkaitan dengan aset sumberdaya manusia dan infrastruktur fisik. Alternatif sumber penghasilan yang merupakan variabel penciri dapat dijadikan patokan untuk memperluas peluang- peluang usaha di lahan campuran dalam rangka peningkatan pendapatan.

Lahan campuran menunjukkan elastisitas keparahan kemiskinan tertinggi. Artinya, dengan adanya gejolak harga barang dan jasa, maka kemiskinan akan jauh lebih parah di lahan campuran dibandingkan dengan agroekosistem lain misalnya lahan kering. Sebaliknya, bila terjadi perbaikan ekonomi, keparahan

kemiskinan akan memberikan respon yang lebih tinggi terhadap pengurangan keparahan kemiskinan. Untuk jangka pendek, pemerintah perlu melakukan intervensi utamanya masalah pangan bila terjadi gejolak harga; karena sebagian besar pengeluaran adalah untuk konsumsi makanan. Untuk jangka panjang, intervensi yang seharusnya dilakukan adalah memperkuat coping ability

penduduk miskin terhadap shock yang terjadi terhadap perubahan pendapatan dan pengeluaran rumahtangga melalui diversifikasi usaha ataupun perluasan lapangan kerja.

Agroekosistem pantai atau pesisir menunjukkan proporsi kemiskinan kronis, kedalaman dan keparahan serta kerentanan yang tertinggi setelah hutan. Dari 67 439 desa di Indonesia, sejumlah 9 261 desa dikategorikan desa pesisir (Kusnadi, 2002). Dengan pantai terpanjang di dunia, memiliki keragaman hayati dan kelimpah-ruahan sumberdaya perairan, maka kemiskinan penduduk dengan ekonomi berbasis sumberdaya alam ini tidak seharusnya terjadi. Kenyataannya, penduduk yang sebagian besar nelayan ini mengalami kemiskinan yang dalam, parah, dan kronis. Kontribusi yang besar terhadap terjadinya kemiskinan di pantai/pesisir dicirikan oleh besarnya pengeluaran untuk makanan. Penguasaan aset fisik merupakan penentu untuk dapat mengakses peluang-peluang ekonomi bagi penduduk dengan matapencarian berbasis sumberdaya perikanan laut. Karakteristik struktur sumberdaya ekonomi sangat menentukan terjadinya perangkap kemiskinan di agroekosistem ini. Di pantai/pesisir, akses terhadap peluang-peluang ekonomi seharusnya dapat optimal melalui sistim open access terhadap sumberdaya perairan, namun hal ini tidak terjadi. Meskipun sumberdaya perikanan laut merupakan sumberdaya milik umum (common property resource) namun telah menimbulkan masalah sosial

ekonomi serta kerawanan terhadap konflik perebutan sumberdaya (Kusnadi (2002).

Permasalahan kemiskinan di agroekosistem pantai/pesisir sangat kompleks. Selain struktur alamiah sumberdaya ekonomi yang berkaitan dengan fluktuasi musim penangkapan, juga keterbatasan peluang kerja dan peluang usaha. Pola kerja nelayan membatasi aktivitas ekonominya di sektor lain. Selain itu, keterbatasan kapasitas sumberdaya manusia, dan penguasaan modal fisik dan finansial menjadikan nelayan kalah bersaing memperebutkan akses terhadap sumberdaya tersebut. Kondisi ini diperparah dengan minimnya aturan yang memberikan perlindungan dan jaminan terhadap relasi yang proporsional antara nelayan buruh dengan pemilik modal yang menguasai aset fisik dan finansial; bahkanterjadi hubungan yang ekploitatif.

Sehubungan dengan fenomena kemiskinan di pantai/pesisir tersebut di atas, pengurangan kemiskinan di pantai/pesisir memerlukan upaya-upaya yang lebih spesifik. Agar pengurangan kemiskinan efektif, selain memperkuat kapasitas sumberdaya manusia melalui penguasaan teknologi, meningkatkan akses terhadap modal fisik dan finansial, juga akses terhadap kecukupan, ketersediaan dan keterjangkauan pangan. Selain itu, infrastruktur fisik seperti jaringan listrik dan infrastruktur sosial seperti kebijakan yang memihak penduduk msikin, aspek legal hubungan nelayan buruh dan pengusaha, dan koperasi. Sehingga diharapkan aktivitas ekonomi dapat memberikan manfaat proporsional bagi penduduk miskin utamanya nelayan.

Penjelasan rasional untuk membahas mengapa kemiskinan berasosiasi dengan faktor spasial berdasarkan agroekosistem, perlu dilihat dari dua sisi yaitu dari sisi pengeluaran dan dari sisi pendapatan. Dari sisi pengeluaran, maka faktor lokasi (spasial) antar agroekosistem akan mempengaruhi pola konsumsi

rumahtangga. Hal demikian terjadi karena perbedaan lokasi (spasial) dapat mempengaruhi perbedaan permintaan terhadap bundel konsumsi, misalnya biaya transportasi dan komunikasi, biaya untuk mengakses pendididikan dan kesehatan. Untuk lokasi yang dekat dengan pusat pertumbuhan ekonomi, maka kebutuhan konsumsi akan mudah diperoleh dengan tingkat harga yang relatif murah. Sedangkan untuk daerah terpencil, kebutuhan konsumsi akan sulit diperoleh dengan tingkat harga yang relatif lebih mahal. Selanjutnya, faktor spasial secara langsung akan mempengaruhi juga pola permintaan terhadap konsumsi, misalnya permintaan terhadap bahan makanan dan non makanan. Misalnya kebutuhan akan pakaian untuk rumahtangga di daerah dataran tinggi akan berbeda dengan di daerah sekitar pantai.

Sementara dari sisi pendapatan, faktor spasial yang memiliki keragaman kondisi sumberdaya alam dan infrastruktur akan mempengaruhi jenis usaha sebagai sumber pendapatan rumahtangga. Selanjutnya faktor-faktor yang berkaitan dengan spasial akan merefleksikan perbedaan peluang ekonomi (economic opportunities). Kondisi lahan dan lokasi daerah akan mempengaruhi lapangan kerja utama dan aksesibilitas masyarakat di daerah terhadap peluang kerja dan peluang usaha tersebut yang pada akhirnya akan mempengaruhi pendapatan.

Sebagai ilustrasi, daerah-daerah marjinal di dataran tinggi, dengan kemiringan tinggi dan berbatuan akan mempengaruhi peluang usaha masyarakat di lokasi tersebut. Demikian juga pada daerah terpencil, daerah dengan akses transportasi dan komunikasi yang sulit, dapat mempengaruhi terjadinya kemiskinan. Antara lain, disebabkan oleh terhambat ataupun terlambatnya penyesuaian-penyesuaian dalam proses pasar tenaga kerja dan keputusan untuk migrasi atau berpindah dan mencari nafkah di tempat lain.

Argumen tersebut relevan dengan IFAD (2002) yang mengemukakan bahwa kemiskinan perdesaan terjadi di daerah marjinal, dataran tinggi terpencil utamanya di daerah lahan kering dan berbukitan kapur atau batuan, serta daerah pesisir atau pantai. Kondisi kemiskinan di daerah tertentu erat kaitannya dengan kondisi infrastruktur. Hal ini juga didukung oleh penelitian Bank Dunia (2001), dimana dikemukakan bahwa kelompok miskin sangat terbatas aksesnya terhadap infrastruktur, sehingga dengan adanya infrastruktur yang menyentuh rumahtangga miskin, maka utilitas infrastruktur tersebut menjadi tinggi.

Temuan selanjutnya adalah bahwa kerentanan kemiskinan juga bervariasi antar agroekosistem. Kerentanan terhadap kemiskinan (vulnerability to poverty) menjelaskan probabilitas atau resiko rumahtangga mengalami kemiskinan setidaknya pada suatu masa dalam siklus hidupnya di masa yang akan datang. Suatu rumahtangga dianggap rentan (vulnerable) terhadap kemiskinan bila probabilitasnya jatuh pada kondisi kemiskinan sama atau lebih besar dari 50 persen.

Keragaman kerentanan kemiskinan antar agroekosistem seperti diuraikan di atas menjelaskan beragamnya faktor yang mendorong atau memicunya. Studi yang dilakukan oleh Islam (2001), menyatakan bahwa faktor-faktor kerentanan dapat berupa goncangan tingkat mikro/household seperti pencari nafkah jatuh sakit atau meninggal, pada tingkat meso/community seperti gagal panen, fluktuasi harga produk dan degradasi lingkungan; dan pada tingkat makro/economy-wide level seperti krisis finansial tahun 1997.

Pengaruh faktor spasial terhadap kerentanan kemiskinan nampaknya berkaitan dengan sumber mata pencarian di agroekosistem tersebut. Rumahtangga di agroekosistem yang sumber penghasilannya berbasis

budidaya, lebih rentan terhadap kemiskinan sebagai akibat pengaruh iklim/musim, atau gejolak harga input maupun harga produk.

Selanjutnya berdasarkan klasifikasi kemiskinan, terbukti bahwa proporsi rumahtangga miskin kronis dan miskin tidak kronis juga bervariasi antar agroekosistem. Rumahtangga yang miskin kronis ini merupakan bentuk kemiskinan struktural yang untuk pengentasannya relatif lebih memerlukan upaya-upaya besar, bertahap dan berkelanjutan. Penciri kemiskinan pada tiap agroekosistem disarikan pada Tabel 49.

Tabel 49. Pengaruh Beta (%) Untuk Variabel Dengan Beta Lebih dari 0.10 Pada Tiap Agroekosistem

Variabel Dummy LB LK LC PT DT HT IN

Fasilitas Kesehatan : Puskesmas 26.3

Jenis Bahan Bakar Memasak : Minyak tanah 14.6 13.1 12.1 15.0 12.9

Jenis Lantai : Bukan Tanah 10.6 11.8

Jenis kloset : Plengsengan/Jemplung 10.7

Lalu lintas sebagian keluarga : Darat 15.0

Luas lantai perkapita : >10 m2 22.1 18.5 18.4 21.3 17.9 19.5 18.4

Penyakit Marasmus : Ya 19.2

Persen pengeluaran untuk kesehatan : >20% 13.3

Persen pengeluaran untuk makanan : 25.1% - 50% 29.5 22.9 21.6 21.2 23.4 26.0 23.2 Persen pengeluaran untuk makanan : 50.1% - 75% 114.5 95.4 99.6 117.4 93.9 98.2 97.3 Persen pengeluaran untuk pendidikan : 10.1% - 20% 13.5 Rata-rata lama sekolah Kepala Keluarga : 6-8 tahun 12.1

Saluran pembuangan limbah cair : saluran lancar 24.2

Sumber Penerangan : Listrik 12.3

Sumber air mandi/cuci : PAM 19.8 13.0

Sumber penghasilan dari pertambangan : Ya 12.9

Sumber penghasilan dari peternakan : Ya 33.1

Tempat membuang air besar di desa : Jamban

bersama 10.0

Tempat membuang sampah : Lubang/dibakar 14.5 11.0

Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan:

LB : Lahan Basah LK : Lahan Kering LC : Lahan Campuran PT : Pantai DT : Dataran Tinggi DS : Daerah Aliran Sungai HT : Kawasan Hutan IN : Nasional (Indonesia)

Sel yang kosong berarti pengaruh beta < 0,1

Hal lainnya yang menarik ditemukan adalah beragamnya karakteristik penciri kemiskinan antar agroekosistem sebagaimana disajikan pada Tabel 49.

penanggulangan kemiskinan tidak bisa dilakukan dengan solusi one fits for all, namun haruslah tepat sasaran sesuai dengan karakteristik kemiskinan berdasarkan ekonomi agroekosistem atau yang disebut oleh Ikhsan (1999) sebagai zona agroekonomi.

Walaupun tiap agroekosistem memperlihatkan karakteristik yang spesifik, namun, hasil analisis memperlihatkan bahwa ada empat variabel yang mempunyai pengaruh besar terhadap konsumsi keluarga hampir pada setiap