• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. TIPOLOGI KEMISKINAN DAN KERENTANAN

5.5. Dataran Tingg

5.6.2. Kerentanan Kemiskinan 1 Elastisitas

Dengan menggunakan garis kemiskinan BPS, ternyata 18.3% masyarakat pada hutan termasuk kedalam kelompok miskin. Selanjutnya, untuk mengetahui bagaimana insiden kemiskinan sekitar garis kemiskinan yang

diasumsikan rentan terhadap garis kemiskinan, maka disimulasikan garis kemiskinan naik 10 persen dan 20 persen. Dari simulasi tersebut diperoleh hasil perubahan indikator-indikator kemiskinan, persentase perubahan dan elastisitasnya disajikan pada Tabel 25.

Tabel 25. Indikator dan Elastisitas Kemiskinan di Hutan

Indikator GK GK*110% GK&*120%

Nilai Nilai Elastisitas Nilai Elastisitas HTN Nas HTN Nas HTN Nas HTN Nas HTN Nas P0 18,3 13.1 25,5 18.8 3.93 4.35 33,2 25.0 4.07 4.54

P1 3,4 2.3 5,1 3.6 5.00 5.65 7,1 5.1 5.44 6.09

P2 1,0 0.7 1,5 1.1 5.00 5.71 2,3 1.6 6.50 6.43

Sumber : Hasil Perhitungan

Keterangan : HTN = Hutan;GK= garis kemiskinan Nas = Nasional

Dengan skenario GK naik 10 persen (GK*110 persen), yang terjadi pada

Headcount Index (P0) pada hutan adalah peningkatan proporsi insiden

kemiskinan dari 18.3 persen menjadi 25.5 persen. Fakta ini menunjukkan bahwa terjadinya gejolak peningkatan insiden kemiskinan bila garis kemiskinan naik.

Secara grafik, distribusi pengeluaran rumahtangga di Hutan dapat dilihat pada Gambar 10. Lebih lanjut, dengan skenario GK*110 persen, yang terjadi pada Poverty Gap Index (P1) meningkat dari 3.4 menjadi 5.1. Hal ini

menunjukkan bahwa ada peningkatan kesenjangan, misalnya bila terjadi bencana/goncangan, kecenderungan, dan pengaruh musim yang menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa yang termasuk di dalam bundel garis kemiskinan sehingga mendorong GK naik 10 persen. Artinya, selain makin banyak yang jatuh miskin, kondisi mereka pun makin menjauh dari garis kemiskinan dan semakin mengecil peluang mereka untuk melampaui garis kemiskinan.

Pola yang sama terjadi pada Poverty Severity Gap Index (P2) yang

meningkat dari 1.0 menjadi sebesar 1.5 pada GK*110 persen. Artinya, pada hutan ini, mempunyai peluang terjadinya gejolak peningkatan keparahan di kawasan hutan bila terjadi bencana/goncangan, kecenderungan, dan pengaruh musim yang menyebabkan kenaikan harga-harga kebutuhan hidup yang mendorong GK naik sebesar 10 persen. Walaupun dibanding dengan nasional, presentase perubahan P2 Hutan (50 persen) lebih kecil dari pada persentase P2

Nasional (57.1 persen). Dengan skenario GK naik 20 persen (GK*120 persen), yang terjadi pada Headcount Index (P0) adalah peningkatan proporsi insiden

kemiskinan dari 18.3 persen menjadi 33.2 persen. Walaupun dibanding dengan nasional, presentase perubahan P0 Hutan (81.4 persen) lebih kecil dari pada

persentase perubahan P0 Nasional (90.8 persen).

100000 200000 300000 400000 Pengeluaran (Rp) 0 30000 60000 90000 120000 150000 F reku en si ( R u mah T an g g a) Mean = 161261.37 Std. Dev. = 71762.222 N = 7,222,145

Gambar 10. Distribusi Frekuensi Pengeluaran Rumahtangga di Hutan

GK = Rp 89.100 GK 10 % = Rp 98.800 GK 20 % = Rp 122.800

Kurva Normal

Sumber : Susenas 2004

Keterangan: GK= Garis Kemiskinan P

Distribusi Frekuensi

Rumahtangga

Kemudian, yang terjadi pada Poverty Gap Index (P1) meningkat dari 3.4

menjadi 7.1 yang menunjukkan bahwa dengan ekosistem ini mempunyai peluang terjadinya gejolak peningkatan kedalaman di kawasan hutan bila terjadi bencana/goncangan, kecenderungan dan pengaruh musim yang mendorong batas kebutuhan minimum sebesar 20 persen. Artinya, rumahtangga makin jauh dari garis kemiskinan. Laju perubahan peningkatan persentase P1 juga

meningkat dua kali laju perubahan P1 pada GK*110 persen. Dibanding dengan

nasional, persentase perubahan P1 Hutan (108.8 persen) lebih kecil dari pada

persentase P1 nasional (121.7 persen).

Pola yang sama terjadi pada Poverty Severity Gap Index (P2) yang

meningkat dari 1.0 menjadi sebesar 2.3 pada GK*120 persen. Jadi, terjadi ketimpangan yang makin parah. Laju perubahan peningkatan persentase P2

meningkat 2.5 kali laju perubahan P2 pada GK*110 persen. Persentase

perubahan P2 Hutan (130 persen) sedikit lebih besar dari pada persentase P2

nasional (128.5 persen).

Jika dicermati lebih jauh dengan menggunakan dua skenario ini, dimana diasumsikan akibat kenaikan bundel harga-harga barang dan jasa mendorong garis kemiskinan naik 10 persen dan 20 persen, maka pada GK*110 persen diperoleh elastisitas terhadap perubahan garis kemiskinan ini sebesar 3.93 untuk P0; dan 5.00 untuk P1, serta 5.00 untuk P2. Kemudian pada GK*120 persen,

diperoleh elastisitas terhadap perubahan garis kemiskinan ini sebesar 4.07 untuk P0, 5.44 untuk P1, dan 6.50 untuk P2. Dengan elastisitas lebih besar dari satu,

maka pada agroekosistem hutan dapat dikatakan memiliki sensitivitas peningkatan proposi kemiskinan, kedalaman dan keparahan yang elastis. Tetapi dibanding dengan nasional, elastisitas untuk P0, P1, dan P2, baik pada GK 110

Pernyataan tersebut diperkuat oleh The World Bank (2006): “the poor and near poor in Indonesia are particulary vulnerable to price and other shock given the income distribution profile in Indonesia. Orang miskin dan yang mendekati miskin (rentan) biasanya sensitif terhadap harga dan gejolak lainnya. Sesuai dengan pernyataan The World Bank (2006) bahwa “although income proverty is relatively low, vulnerability to income poverty is high”. Hal ini mengisyaratkan mengapa pemahaman tentang kerentanan menjadi penting untuk mengurangi kemiskinan. Fakta memperlihatkan bahwa meskipun kemiskinan adalah rendah, tetapi kerentanan terhadap kemiskinan adalah tinggi.

Kerentanan juga disebut sebagai ancaman baru yang menciptakan peningkatan kemiskinan, didukung oleh Hebel (2002) yang menyatakan bahwa, ”how dynamic are livelihood strategy; how do they adapt permanent shock, what temporary coping strategies do different actors develop and how do these become more permanent adaptive strategies”. Hebel lebih menekankan antara lain untuk melihat seberapa jauh mereka menyusun strategi perikehidupannya, dan bagaimana mereka beradaptasi terhadap gejolak yang permanen.

5.6.2.2. Sifat Kemiskinan

Model regresi pengeluaran konsumsi rumahtangga miskin dirancang untuk mengetahui sifat kemiskinan. Hasil regresi untuk daerah kawasan hutan, menghasilkan model yang nyata secara statistik (Lampiran 10). Hasil analisis sifat kemiskinan dengan menggunakan model regresi ini memperoleh gambaran kemiskinan bahwa 3.81 persen tergolong miskin kronis dan 14.51 persen miskin tidak kronis. Dibanding model nasional, persentase proporsi rumahtangga miskin dan miskin kronis di agroekosistem hutan lebih besar daripada model nasional.

Tabel 26. Sifat Kemiskinan di Hutan Garis Kemiskinan (GK) GK*110% GK*120% Aspek Penelitian Sifat

Hutan Nas Hutan Nas Hutan Nas

Miskin 14.5 10.9 17.9 14.1 19.8 16.3 Miskin kronis 3.8 2.2 7.7 4.8 13.4 8.7 % perubahan Akibat GK Total miskin 18.3 13.1 25.5 18.8 33.2 25.0 Sumber: Hasil Perhitungan

Kerangan : Nas = nasional

Untuk mengetahui sifat kemiskinan rumahtangga di sekitar garis kemiskinan, maka disimulasikan garis kemiskinan meningkat sebesar 10 persen. Hasil regresi untuk daerah kawasan hutan dengan garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen, adalah nyata secara statistik sebagaimana pada Lampiran 17. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa terdapat peningkatan persentase rumahtangga miskin menjadi sebesar 25.5 persen rumahtangga miskin (7.7 persen miskin kronis dan 17.9 persen miskin tidak kronis). Ini berari 17.9 persen rumahtangga ini dapat didorong meningkatkan pendapatan dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat.

Selanjutnya, 7.7 persen rumahtangga terjebak dalam kemiskinan (Poverty Trap) atau dikenal dengan kemiskinan struktural. Untuk mengentaskan katagori kemiskinan ini diperlukan effort yang besar, bertahap dan berkelanjutan.

Dibanding dengan model nasional, peningkatan proporsi persentase rumahtangga miskin ini masih lebih besar, dimana model nasional menunjukkan peningkatan menjadi sebesar 18.8 persen rumahtangga miskin (4.8 persen miskin kronis dan 14.1 persen miskin tidak kronis), jadi proporsi persentase rumahtangga miskin relatif sensitive terhadap perubahan garis kemiskinan dengan meningkatkan sebesar 10 persen.

Hasil regresi untuk kawasan hutan dengan garis kemiskinan ditingkatkan 20%, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Lampiran 24. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa terdapat peningkatan persentase menjadi sebesar 33.2 persen rumahtangga miskin (13.4 persen miskin kronis dan 19.8 persen miskin tidak kronis). Artinya 19.8 persen rumahtangga ini dapat ditingkatkan pendapatannya dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Selanjutnya, 13.4 persen rumahtangga yang miskin merupakan kemiskinan kronis.

Dibanding dengan model nasional, peningkatan proporsi persentase rumah tangga miskin ini masih lebih besar, dimana model nasional menunjukkan peningkatan menjadi sebesar 25 persen rumahtangga miskin (8.7 persen miskin kronis dan 16.3 persen miskin tidak kronis). Jika dianalisis lebih jauh, ada pengaruh dari kenaikan garis kemiskinan sebesar 10 persen dan 20 persen terhadap sifat kemiskinan keluarga miskin, pada agroekosistem hutan (Tabel 27).

Tabel 27. Perubahan Sifat Kemiskinan di Hutan Garis Kemiskinan*110% Garis Kemiskinan*120% Aspek Penelitian Sifat

Hutan Nasional Hutan Nasional

Miskin 23,4 29.0 36,5 49.1

Miskin kronis 102,1 116.2 251,7 291.9 %

perubahan akibat Garis

Kemiskinan Total miskin 39,3 116.2 81,3 90.3

Sumber: Hasil Perhitungan

Kenaikan pada garis kemiskinan ternyata dampaknya relatif besar terhadap keluarga miskin kronis dan jumlah rumahtangga miskin itu sendiri, meskipun lebih kecil dari pada kondisi nasional. Tabel 27 menunjukkan laju pertambahan rumahtangga miskin kronis melebihi angka 100 persen, dimana dengan meningkatkan garis kemiskinan sebesar 10 persen menyebabkan jumlah

keluarga miskin kronis bertambah lebih dari dua kali lipat dari angka sebelumnya. sementara jika garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, akan berakibat peningkatan keluarga miskin kronis melebihi 250 persen.

Selanjutnya, perbedaan pengeluaran per kapita dengan kondisi garis kemiskinan biasa ternyata persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan), secara umum diperoleh diatas 40 persen (Tabel 28). Sedangkan untuk golongan tidak miskin (berdasarkan median), untuk seluruh Indonesia, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 85.8 persen. Agroekosistem hutan memiliki beda dibawah 70 persen dimana yang terdapat jarak relatif kecil dibanding dengan Nasional.

Tabel 28. Beda Relatif dan Ratio Rataan dan Median Pengeluaran Per Kapita Terhadap Garis Kemiskinan Pada Agroekosistem Hutan

GK GK*110% GK*120%

Berdasarkan Sifat

% beda Ratio % beda Ratio % beda ratio Hutan Miskin Kronis (40.4) 0.596 (38.2) 0.618 (36.7) 0.633 Miskin (12.5) 0.875 (12.0) 0.880 (11.3) 0.887 Rataan Tidak Miskin 100.1 2.000 92.1 1.921 88.0 1.880 Miskin Kronis (38.1) 0.619 (35.9) 0.641 (34.2) 0.658 Miskin (11.5) 0.885 (11.6) 0.884 (11.2) 0.888 Median Tidak Miskin 64.0 1.640 57.5 1.575 54.2 1.542 Nasional Miskin Kronis (42.2) 0.578 (39.6) 0.604 (38.3) 0.617 Miskin (13.2) 0.868 (12.6) 0.874 (12.2) 0.878 Rataan Tidak Miskin 138.6 2.386 126.4 2.264 118.0 2.180 Miskin Kronis (40.0) 0.600 (37.3) 0.627 (35.8) 0.642 Miskin (12.1) 0.879 (12.0) 0.880 (11.9) 0.881 Median Tidak Miskin 85.8 1.858 76.6 1.766 70.4 1.704

Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: GK= garis kemiskinan

Untuk kondisi garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen, ternyata persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) di bawah 40 persen untuk hutan. Sedangkan untuk golongan tidak miskin (berdasarkan median), pada tingkat nasional, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garasi kemiskinan sebesar 126.4 persen. Sementara hutan dibawah 60 persen yang artinya jarak yang relatif kecil dibanding tingkat nasional.

Jika garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, pada agroekosistem hutan ternyata persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) di bawah 40 persen. Sementara itu untuk golongan tidak miskin (berdasarkan median), pada tingkat nasional, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 70.4 persen lebih tinggi dibanding agroekosistem hutan (60 persen).