• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. TIPOLOGI KEMISKINAN DAN KERENTANAN

5.5. Dataran Tingg

5.5.2.2. Sifat kemiskinan

Model regresi pengeluaran konsumsi rumah tangga miskin dirancang untuk menyusun sifat kemiskinan. Hasil regresi untuk daerah kawasan dataran tinggi, menghasilkan model yang nyata secara statistik (Lampiran 10). Hasil analisis sifat kemiskinan dengan menggunakan model regresi ini memperoleh gambaran 1.7 persen miskin kronis dan 9.8 persen miskin tidak kronis. Hal ini berarti 9.8 persen rumahtangga ini berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumah tangga ini bisa meningkat. Dibanding model nasional, terlihat bahwa persentase proporsi rumah tangga dataran tinggi lebih kecil daripada model nasional yang memperlihatkan bahwa 2.2 persen miskin kronis, dan 10.9 persen tidak kronis. Untuk mengetahui sifat kemiskinan untuk rumah tangga di sekitar garis kemiskinan, maka disimulasikan garis kemiskinan meningkat sebesar 10 persen, dimana menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Lampiran 16.

Tabel 22. Sifat Kemiskinan Pada Dataran Tinggi

GK GK*110% GK*120%

Aspek Penelitian

Sifat

DTT Nas DTT Nas DTT Nas

Miskin 9,8 10.9 13,0 14.1 15,3 16.3 Miskin kronis 1,7 2.2 3,9 4.8 7,3 8.7 %

perubahan

Akibat GK Total miskin 11,5 13.1 16,9 18.8 22,6 25

Sumber: Hasil Perhitungan

Keterangan: GK = garis kemiskinan DTT = dataran tinggi Nas = nasional

Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat peningkatan persentase rumahtangga miskin menjadi sebesar 16.9 persen rumahtangga miskin yang terdiri dari 4.8 persen miskin kronis dan 14.1 persen miskin tidak kronis. Ini berarti bahwa proposi persentase rumahtangga miskin masih sensitif terhadap perubahan garis kemiskinan dengan meningkatkan sebesar 10 persen. Walaupun dibanding dengan model nasional, peningkatan proporsi persentase sifat rumahtangga miskin ini masih lebih kecil, dimana model nasional menunjukkan peningkatan menjadi sebesar 18.8 persen rumahtangga miskin (4.8 persen miskin kronis dan 14.1 persen miskin tidak kronis),. Hasil regresi pada dataran tinggi dengan garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Lampiran 23.

Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa terdapat peningkatan persentase menjadi sebesar 22.6 persen rumahtangga miskin (7.3 persen miskin kronis dan 15.3 persen miskin tidak kronis). Walaupun dibanding dengan model nasional, peningkatan proporsi persentase klasifikasi rumahtangga miskin ini masih lebih kecil, dimana model nasional menunjukkan peningkatan menjadi sebesar 25 persen rumahtangga miskin (8.7 persen miskin kronis dan 16.3 persen miskin tidak kronis). Jika dianalisis lebih jauh, terdapat pengaruh dari kenaikan garis kemiskinan sebesar 10 persen dan 20 persen terhadap sifat kemiskinan keluarga miskin pada dataran tinggi. Kenaikan pada garis kemiskinan ternyata dampaknya besar sekali terhadap keluarga miskin kronis dan jumlah rumahtangga miskin itu sendiri.

Tabel 23 menunjukkan laju pertambahan rumahtangga miskin kronis melebihi angka 100 persen, termasuk secara nasional, artinya dengan meningkatkan garis kemiskinan sebesar 10 persen menyebabkan jumlah keluarga miskin kronis bertambah lebih dari dua kali lipat dari angka

sebelumnya. Apalagi jika garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, akan berakibat peningkatan keluarga miskin kronis mencapai lebih dari 300 persen.

Tabel 23. Perubahan Sifat Kemiskinan di Dataran Tinggi

GK*110% GK*120% Aspek Penelitian Sifat DTT Nas DTT Nas Miskin 32.1 29.0 55.5 49.1 Miskin kronis 126.7 116.2 324.4 291.9 % perubahan

akibat GK Total miskin

46.2 116.2 95.5 90.3

Sumber: Hasil Perhitungan

Keterangan: GK = garis kemiskinan DTT= dataran tinggi Nas= nasional

Selanjutnya, berdasarkan hasil perhitungan perbedaan pengeluaran, ternyata persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) lebih besar dari 40 persen (Tabel 24). Sedangkan untuk golongan tidak miskin (berdasarkan median), perbedaan golongan tidak miskin nasional terhadap garis kemiskinan sebesar 85.8 persen. Pada dataran tinggi memiliki beda di atas 70 persen yang artinya, terdapat jarak tinggi antara yang tidak miskin dengan miskin.

Jika kondisi garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen, ternyata persenase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) di bawah 40 persen untuk dataran tinggi. Sedangkan untuk golongan tidak miskin (berdasarkan median), pada tingkat nasional, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 76.6 persen; sementara pada dataran tinggi lebih besar dari 40 persen. Jadi tidak terdapat jarak yang besar antara yang tidak miskin dengan miskin, dibanding tingkat nasional.

Pada kondisi garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, pada dataran tinggi ternyata persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis

kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) diatas 40. Sedangkan untuk golongan tidak miskin (berdasarkan median), pada tingkat nasional, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 70.4 persen, dan pada agroekosistem di bawah 60 persen yang artinya terdapat jarak pengeluaran per kapita yang lebih tinggi antara yang tidak miskin dengan miskin dibanding nasional.

Tabel 24. Beda Relatif dan Ratio Rataan dan Median Pengeluaran Per Kapita Terhadap Garis Kemiskinan (GK) Pada Dataran Tinggi

GK GK*110 % GK*120 %

Berdasarkan Sifat %

beda ratio % beda ratio

% beda ratio Dataran tinggi Miskin Kronis - 42,4 0,576 - 39,7 0,603 - 42,4 0,576 Miskin - 13,1 0,869 - 12,7 0,873 - 13,1 0,869 Rataan Tidak Miskin 147,2 2,472 133,8 2,338 147,2 2,472 Miskin Kronis - 40,5 0,595 - 37,3 0,627 - 40,5 0,595 Miskin - 11,9 0,881 - 12,0 0,880 - 11,9 0,881 Median Tidak Miskin 90,6 1,906 80,8 1,808 90,6 1,906 Nasional Miskin Kronis (42.2) 0.578 (39.6) 0.604 (38.3) 0.617 Miskin (13.2) 0.868 (12.6) 0.874 (12.2) 0.878 Rataan Tidak Miskin 138.6 2.386 126.4 2.264 118.0 2.180 Miskin Kronis (40.0) 0.600 (37.3) 0.627 (35.8) 0.642 Miskin (12.1) 0.879 (12.0) 0.880 (11.9) 0.881 Median Tidak Miskin 85.8 1.858 76.6 1.766 70.4 1.704

Sumber: Hasil Perhitungan

5.6. Hutan

5.6.1. Indikator Kemiskinan 5.6.1.1. Insiden Kemiskinan

Insiden kemiskinan pada agroekosistem berdasarkan hasil penghitungan FGT Index, diperoleh Headcount index (P0) sebesar 18.3 persen. Hal ini berarti

konsumsi per kapita di bawah garis kemiskinan pada hutan, atau sebanyak 1 367 966 rumahtangga miskin (2.57 persen dari total rumahtangga nasional). Lebih lanjut, P0 hutan ini di atas rata-rata P0 nasional (13.1 persen) yang berarti

persentase/proporsi rumahtangga miskin pada hutan lebih besar dari pada rata- rata proporsi nasional.

Agroekosistem hutan pada hakekatnya bukanlah kawasan miskin karena komoditas pada agroekosistem ini adalah komoditas unggulan (kayu) yang bernilai ekonomi tinggi. Hutan di Indonesia dikenal sebagai sumberkayu perdagangan internasional, dimana terdapat sekitar 120 famili kayu yang berkualitas tinggi yang mendominasi perdagangan kayu internasional. Selain itu, hutan mempunyai berbagai manfaat dan nilai ekonomi, sosial dan lingkungan (Bappenas, 2003). Tetapi di sisi lain, hutan ditengarai tidak lagi dijadikan sumber mata pencarian, antara lain karena: (1) lokasi yang terpencil jauh dari pasar, (2) menjadi wilayah yang ’tertutup’ yang hanya dapat diakses oleh pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan (3) kehidupan masyarakat untuk ketahanan pangan, kebutuhan rumahtangga dan peningkatan pendapatan sangat tergantung pada hutan, dimana peluang peluang ekonomi relatif terbatas.

Hal tersebut sejalan dengan CESS-ODI (2005) yang menyatakan bahwa kemiskinan sering terjadi pada wilayah hutan dengan kebijakan yang mengeksploitasi sumberdaya alam. Dengan kondisi seperti ini, hutan menjadi salah satu target area untuk pengentasan kemiskinan. Menurut Justianto (2005), pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan harus diarahkan untuk meningkatkan akses pendanaan masyarakat (baik perbankan maupun lembaga keuangan alternatif lainnya), akses informasi pasar dan introduksi teknologi, akses pembinaan kelembagaan usaha masyarakat serta aspek legal

yang mendukung dan menjamin keterlibatan masyarakat dalam usaha pemanfaatan sumberdaya hutan.

5.6.1.2. Kedalaman Kemiskinan

Selanjutnya, Poverty Gap Index (P1) sebesar 3.4 lebih besar daripada

Poverty Gap Index (P1) nasional (2.3). Ini berarti rata-rata pendapatan

rumahtangga miskin pada agroekosistem hutan memiliki kedalaman kemiskinan yang lebih besar daripada nasional (jarak yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan) di hutan lebih jauh jaraknya dari garis kemiskinan dibanding P1

nasional. Kedalaman ini terkait dengan tingkat jumlah rumahtangga yang jatuh dalam kemiskinan kronis.

5.6.1.3. Keparahan Kemiskinan

Distributionally Sensitive Index atau disebut juga Poverty Severity Gap Index (P2) sebesar 1.0 % di kawasan hutan lebih besar dari nasional (0.7). Ini

berarti indeks keparahan kemiskinan yang memperhitungkan tidak hanya jarak yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan tetapi juga kesenjangan diantara orang miskin (perbedaan diantara rumahtangga miskin) lebih besar dibanding di tingkat nasional. Dengan indikasi terjadinya keparahan di ekosistem ini, maka dimensi sosial terkait dengan equity menjadi fokus penting dalam pengentasan kemiskinan pada agroekosistem ini.

5.6.2. Kerentanan Kemiskinan