• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. TIPOLOGI KEMISKINAN DAN KERENTANAN

5.4. Lahan Campuran 1 Indikator Kemiskinan

5.4.1.1. Insiden Kemiskinan

Insiden kemiskinan pada lahan campuran berdasarkan hasil penghitungan FGT Index, diperoleh Headcount Index (P0) sebesar 14.4 persen

dari total rumahtangga yang tinggal di lahan campuran (14 595 653 rumahtangga) atau sebanyak 2 101 774 rumahtangga miskin, sementara insiden kemiskinan nasional (P0) sebesar 13.1 persen dari total rumahtangga nasional

(53 200 353 rumahtangga) atau sebanyak 6 969 246 rumahtangga miskin. Jika dibandingkan dengan angka nasional, nilai P0 lahan campuran lebih besar dari

P0 nasional, namun jika dibandingkan besarannya dengan angka nasional rumah

tangga miskin yang sebesar (6 969 246 rumahtangga) maka insiden kemiskinan di lahan campuran sebesar 30.16 persen dari total rumahtangga miskin nasional. Data ini menjelaskan bahwa adanya konsentrasi rumahtangga miskin di agroekosistem lahan campuran yang cukup besar.

Pemahaman tentang besarnya insiden kemiskinan di lahan campuran akan memberi makna dalam penentuan lokasi sasaran penanggulangan

kemiskinan. Data di atas menyiratkan perlunya memfokuskan penanggulangan kemiskinan di agroekosistem lahan campuran tersebut. Dengan penerapan strategi penanggulangan kemiskinan yang tepat pada agroekosistem ini, maka akan memberi dampak yang cukup besar dalam konteks nasional.

5.4.1.2. Kedalaman Kemiskinan

Hasil analisis mengenai indeks kedalaman kemiskinan atau Poverty Gap Index (P1) di lahan campuran menunjukkan angka sebesar 2.4 persen. Jika

dibandingkan dengan angka nasional, maka P1 lahan campuran lebih besar dari

P1 nasional. Hal ini menjelaskan bahwa indeks kedalaman kemiskinan nasional

turut ditentukan oleh kondisi di lahan campuran ini. Indeks kedalaman kemiskinan mengindikasikan besarnya jarak rata-rata kesenjangan pengeluaran rumahtangga miskin terhadap garis kemiskinan, dimana semakin besar nilainya maka semakin dalam kemiskinan yang terjadi. Indeks kedalaman kemiskinan menjelaskan juga seberapa kritis kemiskinan terjadi.

Pemahaman tentang indeks kedalaman kemiskinan dapat dijadikan acuan dalam memilih area prioritas penanggulangannya. Dengan demikian, maka hasil analisis di atas menjelaskan bahwa jarak rata-rata pengeluaran rumah tangga miskin di lahan campuran yang sebesar 2.4 persen belum mendekati garis kemiskinan. Adanya jarak terhadap garis kemiskinan ini memperlihatkan bahwa kondisi kemiskinan di lahan campuran cukup kritis sehingga diperlukan upaya yang serius ke agroekosistem ini, agar rumahtangga miskin di lahan campuran dapat memenuhi kebutuhan minimum.

5.4.1.3. Keparahan Kemiskinan

Hasil analisis indeks keparahan kemiskinan atau Poverty Severity Gap Index (P2) di lahan campuran sebesar 0.6 persen. Jika dibandingkan dengan

angka nasional maka nilai P2 lahan campuran lebih besar dari P2 nasional. Ini

berarti keparahan kemiskinan di lahan campuran gambarannya sedikit lebih baik dari kondisi kemiskinan nasional. Indeks keparahan kemiskinan menjelaskan ketimpangan pengeluaran antar rumahtangga miskin, dimana semakin kecil kesenjangannya (mendekati (0) menunjukkan kondisi yang tidak parah. Dengan demikian, maka indeks keparahan kemiskinan di lahan campuran yang sebesar 0.6% menunjukkan ketimpangan yang relatif lebih kecil. Hal ini memberikan indikasi bahwa distribusi pengeluaran rumahtangga miskin di lahan campuran relatif agak merata.

5.4.2. Kerentanan Kemiskinan 5.4.2.1. Elastisitas kemiskinan

Untuk mengetahui kerentanan kemiskinan di agroekosistem lahan campuran maka disimulasikan garis kemiskinan naik 10 persen dan 20 persen. Jika bundel harga barang dan jasa naik karena misalnya terjadinya kenaikan harga bahan bakar minyak dan lain-lain, maka kebutuhan minimum naik, sementara penyesuaian pendapatan akibat dari kenaikan harga tersebut tidak segera mengikuti perubahan harga.

Tabel 17. Indikator dan Elastisitas Kemiskinan Pada Lahan Campuran

Indikator GK GK*110% GK*120%

Nilai Nilai Elastisitas Nilai Elastisitas

LC Nas LC Nas LC Nas LC Nas LC Nas

P0

14.4 13.1 20.9 18.8 4.51 4.35 27.9 25.0 4.69 4.54 P1

2.4 2.3 3.8 3.6 5.83 5.65 5.5 5.1 6.46 6.09 P2 0.5 0.7 1.1 1.1 12.00 5.71 1.6 1.6 11.00 6.43

Sumber: Hasil Perhitungan

Keterangan: GK = garis kemiskinan LC = lahan campuran Nas= nasional

Diasumsikan, akibat kenaikan bundel harga-harga barang dan jasa mendorong garis kemiskinan naik 10 persen dan 20 persen. Dengan menggunakan skenario ini diketahui bahwa dampak inflasi terhadap proporsi rumahtangga miskin di lahan campuran ternyata cukup besar (Tabel 17). Secara grafis distribusi frekuensi pengeluaran rumahtangga di lahan campuran dapat dilihat pada Gambar 8.

Dengan mencermati nilai-nilai P0 dan simulasi perubahan-perubahan

indeks harga kebutuhan minimum, maka persentase rumahtangga yang hidup di sekitar garis kemiskinan sekitar 20.9 persen pada GK*110 persen dan 27.9 persen rumahtangga miskin jika kenaikan harga mendorong kenaikan GK sebesar 20 persen ceteris paribus. Dibanding angka nasional, dimana persentase rumahtangga yang hidup di sekitar garis kemiskinan sekitar 18.8 persen pada GK*110 persen dan 25.0 persen rumahtangga miskin maka angka di lahan campuran lebih besar. Hal ini berarti perubahan garis kemiskinan, akan memberi dampak peningkatan proporsi rumahtangga miskin yang lebih besar pada lahan campuran ini dibandingkan dengan nasional. Pola laju perubahan persentase rumahtangga miskin berubah lebih besar jika dampak kenaikan harga barang dan jasa mendorong kenaikan nilai rupiah kebutuhan minimum atau GK sebesar 20 persen.

Poverty Gap Index (P1) yang terjadi di lahan campuran dengan indeks

sebesar 3.8 pada GK*110 persen dan 5.5 pada GK*120 persen lebih besar dari

Poverty Gap Index (P1) di tingkat nasional. Hal ini berarti jika terjadi gejolak

ekonomi yang menyebabkan terjadi perubahan garis kemiskinan sebesar 10 persen atau 20 persen, ternyata masyarakat yang tinggal pada lahan campuran lebih besar merasakan akibat dari gejolak ekonomi ini dari pada tingkat nasional sebagaimana dapat terlihat dari perubahan Poverty Gap Index.

100000 200000 300000 400000 500000 expcap 0 50000 100000 150000 200000 250000 300000 Fr eq ue nc y Mean = 180828.78 Std. Dev. = 81864.417 N = 14,293,697

Cases weighted by wert04

Gambar 8. Distribusi Frekuensi Pengeluaran Rumahtangga di Lahan Campuran

Namun tidak demikian halnya yang terjadi pada indeks keparahan (Poverty Severity Index), dimana gejolak ekonomi akan berdampak sama pada masyarakat yang tinggal pada lahan campuran dan nasional, dimana P2 sebesar

1.1 pada GK*110 persen dan 1.6 pada GK*120 persen. Hasil analisis nilai elastisitas perubahan insiden kemiskinan di lahan campuran sebagai akibat kenaikan garis kemiskinan GK*110 persen, dan GK*120 persen masing-masing sebesar 4.51 dan 4.69. Angka ini menjelaskan bahwa insiden kemiskinan di lahan campuran termasuk kategori elastis. Dibanding nasional, dimana besaran nilai elastisitasnya sebesar 4.35 pada GK*110 persen dan 4.54 pada GK*120 persen, maka nilai elastisitas di lahan campuran sedikit lebih besar. Ini berarti dampak dari dua skenario tersebut terhadap insiden kemiskinan di lahan campuran akan sedikit lebih besar dari tingkat nasional.

GK = Rp 92.800

GK 110 % = Rp 103.100 GK 120 % = Rp 113.400

Kurva Normal

Sumber : Susenas 2004, Podes 2003 dan Garis Kemiskinan 2004; Data Diolah

Pengeluaran (Rp)

Distribusi Frekuensi

Hasil analisis nilai elastisitas indeks kedalaman kemiskinan di lahan campuran sebagai akibat kenaikan garis kemiskinan GK*110 persen, dan GK*120 persen masing-masing sebesar 5.83 dan 6.46 yang berarti elastis. Dibanding nasional, dimana besaran nilai elastisitasnya sebesar 5.65 pada GK*110 persen dan 6.09 pada GK*120 persen, maka nilai elastisitas di lahan campuran lebih besar. Ini berarti dampak pada lahan campuran akan lebih besar dari tingkat nasional.

Hasil analisis nilai elastisitas indeks keparahan kemiskinan di lahan campuran sebagai akibat kenaikan garis kemiskinan GK*110 persen, dan GK*120 persen masing-masing sebesar 12.00 dan 11.00. Angka ini menjelaskan keparahan kemiskinan di lahan campuran lebih elastis dibanding nasional, dimana besaran nilai elastisitasnya 5.71 dan 6.43, sehingga dampak terhadap keparahan kemiskinan di lahan campuran akan besar dari tingkat nasional. Nilai elastisitas insiden, kedalaman dan keparahan kemiskinan di lahan campuran seperti diuraikan diatas memberi makna pula bahwa jika terjadi perbaikan situasi ekonomi, maka akan cukup memberi dampak bagi pengentasan kemiskinan di agroekosistem tersebut dan akan memberi dampak yang cukup signifikan dalam kontek nasional.

Untuk golongan rumahtangga rentan terhadap kemiskinan ini walaupun dari kemampuan konsumsinya di atas garis kemiskinan tetapi berpotensi besar untuk jatuh ke golongan rumahtangga miskin. Agar rumahtangga yang rentan ini mampu bertahan terhadap shock, maka perlu adanya upaya pencegahan. Dengan demikian, penanganan yang bersifat preventif seperti asuransi, pemberdayaan sumberdaya manusia menjadi relevan bagi rumahtangga yang rentan ini.

5.4.2.2. Sifat Kemiskinan

Hasil regresi memperlihatkan bahwa dari 13.1 persen rumahtangga miskin (di bawah garis kemiskinan) terdiri dari rumahtangga yang kronis terhadap kemiskinan sebesar 2.2 persen dan rumahtangga yang tidak kronis sebesar 10.9 persen. Dengan demikian maka sebesar 10.9 persen rumahtangga ini berpotensi untuk meningkatkan pendapatan dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Sedangkan 2.2 persen rumahtangga yang miskin kronis ini adalah kemiskinan struktural yang relatif kompleks.

Hasil regresi untuk lahan campuran, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Tabel 18. Hasil analisis sifat kemiskinan dengan menggunakan model regresi ini adalah 14.4 persen rumahtangga miskin (di bawah garis kemiskinan) di lahan campuran terdiri dari rumahtangga yang miskin kronis sebesar 2.3 persen dan sebesar 12.1 persen miskin tidak kronis. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa usaha kecil menengah cukup tahan dalam menghadapi krisis ekonomi. Sedangkan 2.3 persen rumahtangga yang miskin ini merupakan bentuk kemiskinan struktural yang memerlukan barang dan jasa untuk segera dapat memenuhi kebutuhan minimumnya; sehingga kebijakan subsidi seperti Raskin, BLT masih relevan untuk dilakukan.

Tabel 18. Sifat Kemiskinan Pada Lahan Campuran

GK GK*110 % GK*120 %

Aspek

Penelitian Sifat Lahan cam- puran Nas Lahan cam- puran Nas Lahan cam- puran Nas Miskin 12.1 10.9 15.7 14.1 18.1 16.3 Miskin kronis 2.3 2.2 5.3 4.8 9.8 8.7 % RT Miskin (menurut

sifat) Total miskin 14.4 13.1 20.9 18.8 27.9 25 Sumber: Hasil Perhitungan

Keterangan: GK = garis kemiskinan; Nas= nasional

Untuk mengetahui sifat kemiskinan untuk rumahtangga di sekitar garis kemiskinan, maka disimulasikan garis kemiskinan dengan meningkatkan sebesar 10 persen. Setelah dilakukan pemilihan variabel, dilakukan kembali regresi konsumsi rumahtangga dengan variabel dummy yang dibuat dari variabel- variabel terpilih. Hasil regresi untuk nasional dengan garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Lampiran 11. Berdasarkan hasil analisis terdapat 18.8 persen rumahtangga miskin seluruh Indonesia terdiri dari rumahtangga yang miskin kronis yaitu 4.8 persen dan 14.1 miskin tidak kronis.

Hasil regresi pada lahan campuran dengan garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Tabel 18. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa 27.9 persen rumahtangga miskin terdiri dari rumahtangga yang miskin kronis yaitu 9.8 persen dan 18.1 persen miskin tidak kronis.

Hasil regresi untuk nasional dengan garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Lampiran 18. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa terdapat 25 persen rumahtangga miskin seluruh Indonesia terdiri dari rumahtangga yang miskin kronis yaitu 8.7 persen dan 16.3 persen miskin tidak kronis.

Hasil regresi pada lahan campuran dengan garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Tabel 19. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa terdapat 27.9 persen rumahtangga miskin terdiri dari rumahtangga yang miskin kronis yaitu 9.8 persen dan 18.1 persen miskin tidak kronis.

Jika dianalisis lebih jauh, ada pengaruh dari kenaikan garis kemiskinan sebesar 10 persen dan 20 persen terhadap sifat kemiskinan keluarga miskin,

pada lahan campuran (Tabel 19). Kenaikan pada garis kemiskinan ternyata berdampak besar terhadap keluarga miskin kronis dan jumlah rumahtangga miskin itu sendiri. Tabel 19 menunjukkan laju pertambahan rumahtangga miskin kronis melebihi angka 100 persen (135.6 persen), artinya dengan meningkatkan garis kemiskinan sebesar 10 persen menyebabkan jumlah keluarga miskin kronis bertambah lebih dari 2 kali lipat dari angka sebelumnya. Jika garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, akan berakibat peningkatan keluarga miskin kronis melebihi 200 persen yakni 291.9 persen.

Tabel 19. Perubahan Sifat Kemiskinan Pada Lahan Campuran

GK*110% GK*120%

Aspek

Penelitian Sifat Lahan

Campuran Nasional Lahan Campuran Nasio nal Miskin 29.6 29.0 49.5 49.1 Miskin kronis 135.6 116.2 335.6 291.9 % perubahan Akibat GK Total miskin 45.5 116.2 94.3 90.3 Sumber: Hasil Perhitungan

Keterangan: GK= garis kemiskinan

Untuk mengetahui perbedaan pengeluaran rumahtangga dengan garis kemiskinan, maka pengeluaran rumahtangga dikonversi dahulu ke pengeluaran per kapita karena garis kemiskinan satuannya adalah per kapita. Tabel 20 menggambarkan persentase perbedaan pengeluaran per kapita dengan garis kemiskinan, relatif terhadap garis kemiskinan (Beda) dan juga ratio pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan (Ratio).

Secara umum, ternyata persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) adalah diatas 40 persen (Tabel 20). Sedangkan untuk golongan tidak miskin, untuk seluruh Indonesia, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 85.8 persen. Sementara untuk lahan campuran memiliki

beda 69.4 persen yang artinya jarak yang lebih rendah antara yang tidak miskin dengan miskin dibanding dengan nasional.

Untuk kondisi garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen, ternyata persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) sebesar 37.3 persen untuk lahan campuran. Sedangkan untuk golongan tidak miskin, untuk seluruh Indonesia,

perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 76.6 persen. Untuk kondisi garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, ternyata

persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) sebesar 36.2 persen. Sedangkan untuk golongan tidak miskin, untuk seluruh Indonesia, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 70.4 persen; sementara pada lahan campuran di bawah 60 persen (55.2 persen), artinya terdapat jarak pengeluaran per kapita yang lebih rendah antara yang tidak miskin dengan miskin dibanding dengan nasional.

Tabel 20. Beda Relatif dan Ratio Rataan dan Median Pengeluaran Per Kapita Terhadap Garis Kemiskinan Pada Lahan Campuran

GK GK*110 % GK*120 % Berdasarkan Sifat % beda ratio % beda Ratio % beda ratio Lahan campuran Miskin Kronis - 40.1 0.599 - 37.3 0.627 - 36.2 0.638 Miskin - 12.4 0.876 - 11.9 0.881 - 11.6 0.884 Rataan Tidak Miskin 100.7 2.007 91.2 1.912 84.5 1.845 Miskin Kronis - 38.4 0.616 - 35.1 0.649 - 33.9 0.661 Miskin - 11.4 0.886 - 11.3 0.887 - 11.5 0.885 Median Tidak Miskin 69.4 1.694 61.0 1.610 55.2 1.552 Nasional Miskin Kronis - 42.2 0.578 - 39.6 0.604 - 38.3 0.617 Miskin - 13.2 0.868 -12.6 0.874 -12.2 0.878 Rataan Tidak Miskin 138.6 2.386 126.4 2.264 118.0 2.180 Miskin Kronis - 40.0 0.600 - 37.3 0.627 - 35.8 0.642 Miskin - 12.1 0.879 -12.0 0.880 -11.9 0.881 Median Tidak Miskin 85.8 1.858 76.6 1.766 70.4 1.704 Sumber: Hasil Perhitungan