• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendekatan Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Agroekosistem Berdasarkan temuan dalam penelitian dan memperhatikan gambaran

VII. KEBIJAKAN PENGURANGAN KEMISKINAN BERBASIS AGROEKOSISTEM

7.3. Pendekatan Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Agroekosistem Berdasarkan temuan dalam penelitian dan memperhatikan gambaran

kinerja kebijakan penanggulangan kemiskinan Indonesia seperti diuraikan diatas, maka beberapa upaya penanggulangan kemiskinan masa lalu yang perlu

dikoreksi. Hal ini berkaitan dengan evaluasi yang antara lain upaya pengurangan kemiskinan selama ini yaitu: (1) kurang memperhatikan karakteristik orang miskin dan dan keragaman profil, (2) kurang memberdayakan masyarakat, (3) kebijakan yang terpusat dan seragam, (4) lebih bersifat karikatif, (5) memposisikan masyarakat sebagai obyek dalam keseluruhan proses penanggulangan kemiskinan, (6) asumsi permasalahan dan penanggulangan kemiskinan yang sering dipandang sama, (7) kurang memperhatikan keragaman spasial dan (8) peranan negara yang besar tanpa melibatkan masyarakat sipil (civil society) sebagai beneficiaries dan stakeholders.

Kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah sampai saat ini belum sepenuhnya menyentuh permasalahan utama determinan kemiskinan. Hal ini terlihat pada kebijakan yang belum pro-poor dan sistem kontrol dari seluruh lapisan masyarakat belum berjalan secara efektif, khususnya dalam aspek pemanfaatan sumberdaya alam sebagai sumber penghidupan sebagian besar penduduk perdesaan. Kebijakan eksploitasi sumberdaya alam, sampai saat ini belum sepenuhnya berpihak kepada masyarakat miskin, bahkan memarginalkan mereka dengan tidak mengindahkan hak-hak perolehan masyarakat seperti hak ulayat dan pengetahuan tradisional lainnya. Peraturan perundangan tentang kehutanan, perikanan, dan pertambangan serta perkreditan masih belum berpihak pada kelompok miskin.

Diantara beberapa koreksi yang dikemukakan di atas, penelitian ini ingin mengkritisi tentang program-program penanggulangan kemiskinan selama ini yang lebih banyak bersifat top down berdasarkan generalisasi permasalahan. Penanggulangan kemiskinan dilakukan melalui kebijakan yang sama untuk tiap daerah. Misalnya, kebijakan melalui pendidikan dengan memberikan beasiswa tidak memberikan manfaat yang sama bagi rumahtangga miskin dengan profil

rumahtangga yang berbeda ataupun tinggal di wilayah yang berbeda. Misalnya, bagi masyarakat nelayan dengan masyarakat dalam dan tepi hutan terkait dengan faktor spasial yang terpencil dan perbedaan aksesibilitas terhadap infrastruktur. Demikian pula kebijakan melalui fasilitas pengobatan gratis bagi rumahtangga miskin, kebijakan operasi pasar khusus (OPK), bantuan langsung tunai, penciptaan lapangan kerja melalui skema kredit dan padat karya.

Kemanfaatan yang diterima oleh rumahtangga miskin seharusnya tergantung pada kebutuhannya yang secara umum dapat diidentifikasi melalui tipologi kemiskinan dan kerentanannya serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kemiskinan pada rumahtangga di suatu masyarakat tertentu. Kebijakan subsidi pupuk misalnya, hanya akan bermanfaat bagi petani yang meiliki lahan, namun tidak bermanfaat bagi buruh tani, nelayan ataupun masyarakat di wilayah hutan. Disamping itu, perhatian ataupun upaya-upaya penanggulangan kemiskinan selama ini tertuju pada rumahtangga yang sudah dikatagorikan miskin, sehingga rumahtangga yang berada pada sekitar garis kemiskinan tidak tersentuh program dalam upaya penanggulangan kemiskinan.

Hasil penelitian ini menawarkan pendekatan baru dalam menanggulangi kemiskinan yaitu pendekatan lokasi (spasial) berdasarkan agroekosistem. Hal ini didasarkan pada kesimpulan penelitian yang telah membuktikan bahwa insiden, kedalaman dan keparahan kemiskinan yang terjadi di Indonesia berasosiasi kuat dengan agroekosistem. Tiap agroekosistem juga menunjukkan model dengan penciri yang berbeda dalam mempengaruhi pengeluaran sebagai cerminan kemiskinan yang diukur dengan indikator kemiskinan.

Keunggulan dari penanggulangan kemiskinan berbasis agroekosistem ini antara lain: lebih sesuai dengan urgensinya, bisa dilakukan tindakan preventif, lebih menyentuh permasalahan utama determinan kemiskinan, lebih spesifik

sesuai dengan kebutuhan sasaran, lebih sesuai dengan karakteristik potensi agroekosistem yang tersedia, sehingga akan lebih efektif dan lebih efisien dalam penggunaan sumberdaya.

Hasil lain yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa kerentanan kemiskinan juga bervariasi antar agroekosistem. Temuan ini menyiratkan dua hal: pertama, perlunya kebijakan yang bersifat preventif, sehingga ketika ada gejolak tidak terjadi penambahan insiden kemiskinan secara drastis. Kedua, sasaran penanggulangan kemiskinan di masa depan hendaknya tidak pada rumahtangga miskin saja, tetapi juga diperluas terhadap rumahtangga rentan miskin.

Dengan memperhatikan Tabel 48, yang menunjukkan bahwa kerentanan tertinggi terdapat di agroekosistem lahan basah, maka kebijakan yang bersifat preventif dalam bentuk perlindungan sosial seperti jaminan sosial, bantuan sosial, tabungan dan kearifan lokal menjadi prioritas di agroekosistem ini. Hal berbeda untuk agroekosistem hutan yang menunjukkan kerentanan terendah, tetapi dengan insiden, kedalaman dan keparahan tertinggi, maka sangat diperlukan kebijakan yang bersifat rescue (darurat), seperti penyediaan pangan, subsidi BBM, dan subsidi pendidikan.

Studi ini menemukan juga bahwa kemiskinan kronis tertinggi terjadi di agroekosistem hutan diikuti oleh agroekosistem pantai/pesisir. Sebagai implikasinya maka kebijakan penanggulangan kemiskinan dalam jangka pendek berupa bantuan langsung perlu dilakukan, selanjutnya dalam jangka panjang perlu dilanjutkan dengan program peningkatan akses terhadap kebutuhan dasar, perbaikan aktivitas ekonomi dan produktivitas, peningkatan akses terhadap sumberdaya produktif serta pemberdayaan ekonomi.

Jika dilihat secara agregat menggunakan tiga indikator kemiskinan yaitu insiden, kedalaman dan keparahannya, maka kemiskinan yang paling kritis terjadi di agroekosistem hutan, diikuti oleh pesisir/pantai dan lahan campuran. Hal ini menyiratkan bahwa kebijakan penanggulangan kemiskinan perlu diprioritaskan ke lokasi agroekosistem ini. Temuan lain yang akan memberi makna terhadap penanggulangan kemiskinan adalah beragamnya karakteristik atau penciri kemiskinan pada tiap agroekosistem. Keragaman penciri kemiskinan ini menggambarkan bahwa kebijakan penanggulangan kemiskinan ke depan tidak bisa dilakukan dengan solusi one fits for all, namun haruslah spesifik mengacu pada tipologi dan kerentanan dan dengan memperhatikan faktor penciri kemiskinan berdasarkan agroekosistem.

Tiap agroekosistem memperlihatkan karakteristik yang spesifik, namun hasil analisis memperlihatkan bahwa persentase pengeluaran untuk makanan menjadi ciri kemiskinan rumahtangga pada semua tipe agroekosistem. Oleh karena itu, aksesibilitas rumahtangga miskin terhadap pangan haruslah merupakan prioritas utama intervensi pemerintah dalam pengurangan kemiskinan. Aksesibilitas tersebut meliputi aspek ketersediaan, kecukupan dan keterjangkauan pangan oleh penduduk miskin. Intervensi pemerintah secara makro dalam kebijakan pangan antara lain persediaan pangan nasional dalam jumlah yang cukup dan distribusi yang baik yang menjamin ketersediaan bagi penduduk, dan harga yang terjangkau. Secara mikro, pemerintah bersama masyarakat dapat mendorong ketahanan pangan tingkat rumahtangga ataupun desa; misalnya program lumbung desa dan desa mandiri pangan. Selain itu, perlu didorong program diversifikasi pangan dan kecukupan gizi dengan menggunakan sumberdaya lokal. Selain itu, empat variabel yang mempunyai pengaruh besar terhadap konsumsi keluarga hampir di setiap agroekosistem

yaitu variabel bahan bakar memasak jenis minyak tanah, luas lantai per kapita dan variabel modal fisik.

Tabel 52. Faktor Penciri Kemiskinan dan Implikasi Kebijakan

Agroekosistem Variabel Aspek Intervensi Pemerintah

Persen pengeluaran untuk makanan : 50.1% - 75%

Kondisi ekonomi rumah tangga Persen pengeluaran untuk

makanan : 25.1% - 50%

Kondisi ekonomi keluarga Fasilitas Kesehatan :

Puskesmas

Kondisi fisik rumah tangga

Luas lantai perkapita : >10 m2

Kondisi fisik rumah tangga

Penyakit Marasmus infrastruktur fisik dan sosial

Tempat membuang sampah : Lubang/dibakar

Infrastruktur fisik dan sosial

Lahan Basah

Persen pengeluaran untuk kesehatan : >20% Kondisi ekonomi keluarga 1. meningkatkan aksesibilitas terhadap pangan (ketersediaan, keterjangkauan dan kecukupan), 2. akses pada pelayanan

kesehatan dan subsidi kesehatan

3. akses pada modal fisik dan perumahan

4. perbaikan infrastruktur fisik dan sosial,

5. perbaikan sanitasi dan