Induksi haploid secara maternal dapat dilakukan dengan penyerbukan menggunakan serbuk sari yang diiradiasi. Kemudian penyerbukan dapat diikuti dengan pembuahan sel telur dan perkembangan embrio, namun tahap selanjutnya inti paternal tereliminasi pada tahap awal embriogenesis atau permbuahan sel telur tidak terjadi (Murovec & Bohanec 2012).
Penyerbukan dengan serbuk sari yang diiradiasi merupakan metode lain untuk menginduksi haploid maternal menggunakan penyerbukan intraspesifik. Namun cara ini sangat rumit karena harus mengisolasi ovul yang telah distimulasi dengan polen yang dinonaktifkan dengan iradiasi sinar x atau sinar gamma, diikuti
dengan penyelamatan embrio. Perkembangan embrio distimulasi oleh
perkecambahan serbuk sari pada stigma dan pertumbuhan dari tabung serbuk sari di dalam stilus, meskipun serbuk sari yang telah diiradiasi tidak dapat membuahi sel telur. Metode ini telah berhasil dilakukan pada spesies-spesies tanaman buah- buahan, tanaman hias dan tanaman industri seperti kapas (Aslam 2000; Savaskan 2002; Murovec dan Bohanec 2012).
Produksi haploid maternal dengan penyerbukan menggunakan serbuk sari yang diiradiasi memerlukan pekerjaan emaskulasi, dan dalam kasus tertentu menunjukkan keterbatasan karena pengerjaannya yang memerlukan banyak tenaga. Selain itu dosis radiasi juga berpengaruh terhadap produksi tanaman haploid. Pada dosis yang rendah inti generatif hanya sebagian yang rusak sehingga masih mampu membuahi sel telur dan menghasilkan embrio yang banyak tetapi membawa karakter mutant. Peningkatan dosis iradiasi menyebabkan penurunan jumlah embrio, tetapi diperoleh regeneran yang sebagian besar haploid (Murovec dan Bohanec 2012).
❳enomena yang muncul dalam kultur antera dan ovul secarain vitro
Teknologi haploid dengan kultur antera dan kultur ovul (tanpa fertilisasi dan fertilisasi dengan serbuk sari yang dinonaktifkan) ditujukan untuk menghasilkan tanaman haploid. Mutasi mudah terjadi dalam kultur antera, dalam
bentuk variasi somaklonal akibat dari aplikasi kultur jaringan secara in vitro.
Keragaman somaklonal didefinisikan sebagai keragaman genetik dari tanaman
yang dihasilkan oleh sel somatik tanaman yang ditumbuhkan secara in vitro
(Larkin & Scowcroft 1981)
Dalam kultur antera sering timbul masalah seperti munculnya tanaman albino dan mutasi dengan frekuensi kejadian bervariasi tergantung tanaman donor
dan kondisi kulturin vitro. Salah satu kejadian yang penting adalah metilasi yang
tidak normal pada DNA tanaman hasil kultur jaringan. Metilasi merupakan proses
penambahan group metil pada cincin sitosin oleh enzim methyltransferase
(Antequera & Bird 1988).
Studi pembungaan pada Arabidopsis melalui jalur vernalisasi melibatkan
protein MADS-box ialah gen yang berperan sebagairepressorpembungaan. Pada
suhu dingin ekspresi gen sangat rendah dan terjadi demetilasi, sehingga proses
pembungaan dapat berlangsung (Finnegan et al. 1998). Abormalitas juga terjadi
pada penentuan identitas organ bunga yang terbentuk karena ketidakseimbangan dari kelompok gen identitas organ pembungaan yang terkait dengan model ABC dalam perkembangan bunga. Meristem pembungaan dibagi menjadi tiga
kelompok aktivitas gen yang saling overlapping, yang setiap kelompok
merupakan dua lingkaran (whorl) yang berdampingan. Kelompok gen A bekerja
untuk perkembangan sepal dan petal. Ketidakhadiran APETALA1 (AP1) dan
APETALA2 (AP2) menyebabkan sepal dan petal gagal berkembang, sehingga
membentuk mutan ap1 dan ap2. Kelompok gen B bekerja untuk perkembangan
petal dan stamen yang secara normal ditemukan pada lingkaran bunga ke 2 dan 3.
Produk MADS-box gen APETALA3 (AP3), PISTILATA (PI) dan SEPALATA3
(SEP3) berinteraksi menentukan fungsi gen B dan mutan dari kedua gen ini ialah
ap3, pidan sep3. Sedangkan kelompok gen C untuk perkembangan stamen dan
karpel yang ditemukan pada lingkaran bunga ke 3 dan 4. Aktivitas AGAMOUS
(AG) dan SEPALATA3 (SEP3) berperan mencegah akumulasi dari RNA APETALA1pada dua lingkaran bagian dalam (Goto 1996).
❨❩❬❭❪❩ ❫❴ ❫❵❵❛ ❜❝❛ ❞❡❫❢❣❫❢ ❝❬❢❤❬❵❡❬❢❣❫✐
❞❪❝ ❜❥ ❨❵ ❥❜❫
❭ ❫❢❥ ❦❬ ❧
Dianthus chinensis
❧♠♥bstrak
Stadia perkembangan mikrospora dan ovul yang tepat sangat menentukan keberhasilan mendapat tanaman haploid melalui androgenesis dan ginogenesis. Tujuan penelitian ialah mendapatkan penanda morfologi bunga dan stadia yang tepat dari perkembangan mikrospora dan ovu. Studi biologi bunga meliputi studi tahap perkembangan bunga, penghitungan jumlah dan ukuran mikrospora, rasio tahap perkembangan mikrospora, viabilitas mikrospora dan seleksi stadia mikrospora dan ovul yang tepat untuk inisiasi kultur mikrospora dan ovul.. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran kuncup bunga dan warna antera
merupakan indikator waktu dilakukan pengambilan donor eksplan. D. chinensis
Dchi-11 memiliki jumlah dan viabilitas mikrospora tertinggi (60,36%). Tahap
perkembangan mikrospora dengan persentaselate-uninucleate tertinggi (44,64%)
pada saat ukuran kuncup bunga T2 (ukuran kuncup antara 1,31 1,50 cm, warna
antera putih, umur 5 hari, pencoklatan antera paling rendah). Tahap perkembangan ovul T7 (ukuran kuncup antara 1,81 2.00 cm, panjang petal 30% lebih panjang dari panjang sepal, umur 10 hari) merupakan tahap yang tepat untuk induksi kultur ovul berdasarkan persentase pembentukan kalus (59,375%) dengan tipe kalus remah dan agak remah dan berwarna hijau.
Kata kunci: indikator morfologi, viabilitas mikrospora, tahap perkembangan, mikrospora, ovul.
♦♣ qrs t ✉✉✈ t ✇①② ③ qrr①④①✈ t⑤⑥①⑦♣ ⑧⑥⑨⑩② t♦ ⑤t②①
❶⑦ rt④q✈① t ✉
Dianthus chinensis
✈❷❸bstract
The study of anther or microspore and ovule critical development were important to determine the successfull of obtaining haploid plants through androgenesis and gynogenesis. The aim of the research was to determine mophological indicator of bud, dominan uninucleate microspore and the right ovule development stage for. Flower biological study comprised study of flower development, the number and size of microspore, ratio of microspore development stage, microspore viability and selection of the right microspore and ovule stage for culture initiation of microspore and ovul. The research showed
that bud size and anther color are indicators for isolating donor explants. D.
chinensis Dchi-11 has the highest microspore number and viability (60.36%).
Bud size of T2 stage (44,64%, 1.31 1.50 cm, white anther color, 5 days old, and the lowest browning anther) produce the highest late uninucleate microspore.
Ovule development of T7 (1.81 2,00 cm, the length of petals are 30% longer
than sepals length, 10 days old) was the right stage for ovule culture based on percentage of callus formation ((59,375%) and friable green callus.
Key words: morphology indicator, microspore viability, flower bud development, microspore, ovule.
❹endahuluan
Aplikasi teknologi kultur antera dan ovul pada tanaman anyelir masih jarang, oleh karena itu pengembangan penelitian ini dimulai dari studi tanaman donor, kajian khusus mengenai biologi bunga dan perkembangannya (morfologi maupun mikroskopi), studi perkembangan mikrospora, metode kultur; pemilihan pra-perlakuan yang optimal; pengembangan media inisiasi, regenerasi dan pemasakan embrio; analisis ploidi; penggandaan kromosom yang menjadi bagian penting dalam pengembangan teknologi haploid pada anyelir. Dari berbagai kajian mendasar tersebut pada akhir studi diharapkan dapat ditemukan teknologi
haploid anyelir yang efektif, efisien, mudah diproduksi (reproducible) dan mudah
diulang (repeatable).
Induksi tanaman haploid melalui kultur in vitro antera, ovul dan ovari
yang tidak diserbuki menjadi pendekatan yang biasa dilakukan untuk mendapatkan tanaman haploid pada beberapa tanaman. Pada beberapa spesies tanaman, efisiensi induksi haploid sangat bervariasi dan terdapat banyak kendala
yang dapat mengurangi keberhasilan protokol yang telah dihasilkan (Musialet al.
2005). Tahap perkembangan eksplan merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi induksi haploid (Yang & Zhou 1982). Namun studi yang berkaitan dengan tahap perkembangan eksplan sedikit dipublikasi. Pada androgenesis tahap perkembangan serbuk sarinya mudah diamati, sedangkan pada ginogenik tahap perkembangan dalam kantong embrio lebih sulit diamati. Hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan pada umumnya tahap perkembangan megagametofit yang digunakan untuk induksi ginogenik ialah pada tahap kantong embrio masak
(Musial et al.2005). Namun menurut Bhojwani dan Thomas (2001) pada tahap
kantong embrio muda lebih sesuai untuk diinduksi karena sel gamet betina melanjutkan perkembangannya sampai sel-sel yang ada dalam kantong embrio telah berdiferensiasi.
Pada tahap awal studi ini diarahkan untuk mengungkap perkembangan kuncup bunga secara morfologi terkait dengan penampilan morfologi bunga (ukuran panjang, lebar diameter bunga, dan waktu bunga mekar), jumlah serbuk sari, ukuran dan viabilitas serbuk sari, rasio tahap perkembangan serbuk sari serta anatomi ovul. Aktivitas tahap ini memiliki tujuan utama untuk menyediakan data dasar terkait dengan pemanfaatannya dalam pengembangan kultur antera dan ovul anyelir.
Tahap perkembangan polen merupakan faktor yang penting untuk
androgenesis in vitro, maka pemilihan tanaman donor untuk studi ini sangat
penting. Berkenaan dengan hal tersebut korelasi antara tahap perkembangan polen dan morfologi kuncup (panjang petal, munculnya petal dari kelopak dan lain-lain), bervariasi antara spesies dan umur tanaman donor. Antera yang paling responsif biasanya pada tahap perkembangan serbuk sari uninukleat yaitu pada tahap antara
tetrad dan mitosis polen pertama (Heberle-Bors 1985). Sementara pada
ginogenesis meskipun gametofit betina melanjutkan perkembangannya selama
kultur in vitro, perkembangan tahap awal kantong embrio sampai tahap masak
perlu diuji untuk melihat potensi perkembangan masing-masing tahap perkembangannya. Tujuan penelitian adalah menentukan indikator morfologi dari tahap perkembangan kuncup, stadia perkembangan serbuk sari uninukleat dominan serta stadia ovul yang tepat untuk digunakan dalam kultur antera, ovul dan pseudofertilisasi
n etode
Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan dan Rumah Sere Anyelir, Balai Penelitian Tanaman Hias Segunung, Laboratorium Mikroteknik, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor, dan Laboratorium Anatomi dan Sitologi Puslitbang Biologi LIPI, Cibonong mulai
April 2009 Maret 2010. Bahan tanaman yang digunakan ialah kuncup dari lima
genotipe Dianthus chinensis Dchi-11, Dchi-12, Dchi-13, Dchi-14 dan Dchi-15
(Gambar 2).
Gambar 2. Morfologi bunga lima genotype Dianthus chinensis (A) Dchi-11, (B)
Dchi-12, (C) Dchi-13, (D) Dchi-14 dan (E) Dchi-15 Perkembangan kuncup bunga
Studi biologi ini difokuskan untuk melihat perkembangan bunga sejak kuncup bunga terlihat hingga bunga mekar sempurna. Berbagai peubah yang menyangkut ukuran kuncup bunga: panjang, lebar, diameter dan pengamatan
antera, serbuk sari dan ovul dari tanaman donor, diamati dan diukur. Studi biologi ini melibatkan aplikasi anatomi sederhana (baik irisan lintang maupun membujur) dan pewarnaan (haematoxilin, fuchsin, Metilen-blue, aceto-orcein dan aceto- carmin) untuk membantu memperjelas pengamatan. Studi ini akan dibandingkan langsung dengan studi tahap perkembangan serbuk sari dan ovul untuk menentukan tahap yang tepat untuk pengambilan tanaman donor.
Perkembangan antera dan serbuk sari
Penghitungan jumlah dan ukuran serbuk sari
Untuk penghitungan jumlah serbuk sari, 2-3 antera dipanen, seluruh serbuk sarinya dikeluarkan dari kotak spora, kemudian dilarutkan dalam 1 ml media cair embriogenesis. Suspensi serbuk sari dibuat sehomogen mungkin melalui pengocokan menggunakan vortex. Setelah dirasa cukup homogen, sampel dipipet dan diletakkan di atas haemacytometer, dan ditutup dengan gelas penutup, diamati di bawah mikroskop. Serbuk sari dihitung menggunakan rumus A = (n x B)/N (Godini 1979), n : jumlah serbuk sari dalam setiap kotak, B = 10.000/jumlah kotak yang dihitung dan N = jumlah antera yang digunakan. Ukuran serbuk sari diukur menggunakan mikrometer okuler yang telah dikalibrasi. Pengukuran dilakukan sebanyak mungkin mewakili jumlah serbuk sari secara keseluruhan. Hasil penghitungan dan pengukuran selanjutnya ditampilkan dalam bentuk data rata-rata dan standar deviasinya untuk setiap tanaman donor.
Studi rasio tahap perkembangan serbuk sari
Tahap perkembangan serbuk sari diamati melalui pewarnaan inti sel
menggunakan 4,6-diamidino-2-phenylindole (DAPI) (Custers et al, 2001) yang
dilakukan pada Dianthus chinensis. Sebanyak 25 µl larutan serbuk sari
dimasukkan dalam Eppendorf kecil kemudian disentrifugasi pada 4000 rpm
selama 2-4 menit. Supernatan dipipet hingga hanya tersisa pelet dan sesedikit mungkin supernatan ditambah larutan kerja DAPI dengan konsentrasi 1 µg/ml, dan diaduk merata menggunakan ujung pipet. Campuran serbuk sari dan larutan DAPI dipipet dan letakkan di atas kaca obyek ditutup dengan gelas penutup, dan dibiarkan minimal 4 jam (1 malam) pada suhu 4ºC. Setelah inkubasi, serbuk sari diamati di bawah mikroskop UV pada perbesaran 200 dan 400x. Tahap-tahap perkembangan serbuk sari dihitung jumlahnya dan dibagi dengan jumlah seluruh
sel yang diamati dikalikan 100 untuk mengetahui persentasenya. Rasio perkembangan dihitung dengan membandingkan frekuensi perkembangan serbuk sari early uninucleate,mid uninucleate, late uninucleate, early binucleate dan binucleate yang ada dalam satu bidang pandang pengamatan. Frekuensi setiap
tahap perkembangan serbuk sari dihitung dan dibagi total serbuk sari yang diamati pada tahap kuncup yang sama. Pengamatan dilakukan minimal pada 5 bidang pandang dan diulang minimal 5 kali untuk mendapatkan data yang valid.
Uji viabilitas serbuk sari
Pengujian viabilitas atau vitalitas sel serbuk sari atau polen menggunakan
larutan kerja 10 µM fluorescein diacetate (FDA) (Custers et al. 2001). Larutan
serbuk sari (90 µl) ditempatkan dalam Eppendorf yang telah dibungkus dengan
aluminium ditambah 10 µl larutan stok FDA ke dalam larutan kultur serbuk sari dan diaduk rata, ditempatkan dalam gelap 10 menit. Sebanyak 50-100µl kultur serbuk sari yang telah diberi perlakuan FDA dipipet dan ditetes di atas kaca obyek dan ditutup dengan kaca penutup, dan segera dilakukan pengamatan di bawah mikroskop fluoresen. Jumlah serbuk sari yang memendarkan warna hijau diamati dan dihitung. Pengamatan diulang minimal pada 5 bidang pandang pengamatan. Viabilitas atau vitalitas sel (%) dihitung dengan membagi jumlah total sel yang fluoresen dengan jumlah total sel yang diamati pada satu bidang pandang dikalikan dengan 100%.
Seleksi tahap perkembangan kuncup bunga pada berbagai media inisiasi double layer untuk kultur antera
Percobaan faktorial terdiri atas dua faktor, disusun dalam Rancangan Acak Kelompok. Faktor pertama ialah tahap perkembangan kuncup bunga dan faktor ke dua ialah media induksi. Empat tahap perkembangan kuncup bunga yang diuji dalam kegiatan ini yaitu (1) kuncup 1 (T2), dominan mikrospora berada dalam
kondisi tetrad, (2) kuncup 2 (T3), dominan mikrospora berada dalam tahap early
dan middle uninucleate, (3) kuncup 3 (T4), dominan mikrospora berada pada
tahap late uninucleate, dan (4) kuncup 4 (T5), dominan mikrospora berada pada
tahap early binucleate. Masing-masing tahap ditanam dalam lima media yang
diuji responnya dalam induksi pembentukan kalus dan/atau embrio adalah (1) M1
1999), (4) M4 (Satoet al,2000) dan (5) M5 (Fuet al. 2008). Setiap unit perlakuan
diulang 10 kali. Setiap ulangan terdiri atas 1 cawan petri yang berisi 10 antera. Isolasi antera dilakukan dengan cara membersihkan kuncup bunga dengan kapas yang dibasahi alkohol 70%, kemudian dilewatkan di atas api sekilas. Antera diisolasi dengan cara membuka kuncup bunga, kemudian antera dan filament dipisahkan, dan ditanam dalam media induksi. Metode kultur sebar mikrospora
antera (anther shed microspore culture) pada media double layer digunakan
dalam penelitian ini. Prosedur penelitian menggunakan prosedur standard dari
Dolcet-Sanjuanet al. 1997.Media embriogenesis yang digunakan disusun dengan
sistem double layer yang tersusun atas dua lapisan yaitu lapisan padat di bawah
dan cair di atas. Media padat ditambahkan 0,5% arang aktif , dengan pH 5,8. Pengamatan dilakukan terhadap persentase pencoklatan dan kontaminasi.
Perkembangan ovari atau ovul
Pembuatan sayatan kuncup bunga D. chinensis
Bahan difiksasi di dalam larutan FAA (formali : asam asetat glasial : alkohol 70% (v/v) = 5 :5 :90) selama 24 jam. Selanjutnya didehidrasi secara
bertahap menggunakan alkohol 50% 100% masing-masing selama 30 menit.
Kemudian dilakukan dealkoholisasi secara bertahap menggunakan campuran alkohol-xylol, dilanjutkan dengan xylol murni 1 dan 2 masing-masing 30 menit. Parafin diinfiltrasi sedikit demi sedikit sampai jenuh dan disimpan dalam oven
dengan suhu 60oC selama 3 jam. Parafin diganti dengan parafin baru dan
disimpan dalam oven dengan suhu 50-60oC selama 3 hari. Sampel dimasukkan
dalam parafin, kemudian blok sampel disayat dengan ketebalan 15-17 µm menggunakan mikrotom putan (Yamato RV-240). Sayatan parafin yang berrbentuk pita di rekatkan pada gelas objek yang telah diolesi dengan larutan
albumin-gliserin dan dikeringkan di atas hot plate dengan suhu 40oC selama 3-5
jam. Sampel diwarnai dengan safranin 2% (b/v) dan fastgreen 0,5% (b/v).
Seleksi tahap perkembangan kuncup bunga untuk kultur ovula tau ovari
Percobaan merupakan faktor tunggal yang disusun dengan Rancangan Acak Kelompok. Tiga tahap perkembangan kuncup bunga yang diuji dalam kegiatan ini yaitu (1) kuncup bunga tahap T5, (2) kuncup bunga tahap T7, (3)
sebelum diisolasi. Masing-masing tahap tersebut ditanam dalam media MS + 4,52
µM 2,4-D+ 4.44 µM BAP + 20 g L-1sukrosa (Mosquera et al. 1999), yang diuji
responnya dalam induksi pembentukan kalus. Setiap unit perlakuan diulang 8 kali. Setiap ulangan terdiri atas 1 cawan petri yang berisi 4 potongan ovul. Semua
kultur diinkubasi pada kondisi gelap ± selama 7 hari pada suhu 4 oC dilanjutkan
dengan inkubasi terang pada suhu 25oC dengan lama penyinaran 16 jam di bawah
lampu fluoresen (13 µmol.m-2.s-1) hingga kalus terbentuk. Peubah yang diamati
dalam percobaan ini ialah persentase eksplan membentuk kalus (%), dan pengamatan kalus secara visual. Pengamatan dilakukan 1 bulan setelah inisiasi kultur.
Analisis statistik
Data pengamatan yang diperoleh dari hasil seleksi tahap perkembangan kuncup bunga untuk kultur ovul atau ovari, dianalisis menggunakan analisis ragam (ANOVA) dengan program SAS Release window 9.1. Data dalam bentuk persen ditransformasi ke dalam Arcsin. Untuk nilai 0% sebelum ditransformasi diganti dengan 1/4n, di mana n adalah jumlah satuan percobaan dari data persentase yang diperoleh. Jika terdapat perbedaan nilai rata-rata perlakuan maka dilakukan uji lanjutan menggunakan uji jarak berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%.
❺ ❻❼ ❽l
Perkembangan kuncup bunga
Inisiasi bunga ditandai dengan munculnya daun-daun kecil pada ujung tunas. Hari ke empat setelah inisiasi bunga ditentukan sebagai tahap perkembangan kuncup bunga T1. Pada tahap tersebut mikrospora didominasi oleh
pollen mother cell (PMC) dan tetrad. Hari ke lima setelah inisiasi bunga
ditentukan sebagai tahap perkembangan kuncup bunga T2 yang didominasi oleh mikrospora mid uninukleat. Tahap T3 yang didominasi oleh mikrospora late uninukleat pada hari ke enam setelah inisiasi bunga dan seterusnya sampai bunga mekar sebagai tahap T10 pada hari ke 13 setelah inisiasi kuncup bunga.
Hasil studi ini diketahui bahwa dari lima genotipe Dianthus chinensisyang
digunakan memiliki kecepatan antesis yang. Pada tahap T3 bagian pucuk kuncup sedikit terbuka, dan pada tahap T4 ujung petal yang berwarna putih mulai
kelihatan, dan tahap T5 ujung petal berubah warna menjadi pink. Tahap selanjutnya warna petal berubah menjadi kemerahan (Gambar 3). Ukuran panjang
kuncup bunga setiap genotipe berbeda-beda. Panjang kuncup D. chinensis
merupakan ukuran panjang kelopak, dan tidak berubah sampai bunga mekar. Pada tahap T2 berkisar 1,295 cm pada Dchi-13 sampai 1,535 cm pada Dchi-15 (Lampiran 1).
Gambar 3. Perkembangan kuncup bunga, ovari dan antera Dianthus chinensis
Dchi-11. T1 sampai T10 adalah 4 sampai 13 hari setelah inisiasi bunga. Bar = 0,5 cm
Perkembangan antera dan serbuk Sari
Pengamatan antera dan serbuk sari
Masa reseptif putik dan kemasakan polen D. chinenesis tidak terjadi
secara bersamaan. Serbuk sari D. chinenesis masak lebih dahulu dibandingkan
putik. Antera terbuka dan mengeluarkan polen pada umur 14 16 hari setelah
inisiasi bunga. Pengamatan antera dilakukan dari T1 sampai T7. Pengamatan tahap terakhir pada tahap T7 karena pada tahap tersebut 100% antera dalam satu kuncup sudah berwarna ungu tua.
Dari hasil pengamatan pada jumlah antera diketahui bahwa lima genotipe dari kultivar yang berbeda memiliki jumlah antera yang sama yaitu 10. Jumlah antera 12 ditemukan pada genotipe Dchi-14, tetapi jumlah antera 12 ini sangat jarang ditemukan. Pada tahap perkembangan bunga T1-T2 antera berwarna putih. Kemudian pada tahap pertumbuhan lanjut warna antera berubah sesuai dengan warna petal. Perubahan warna antera dimulai pada tahap T3, 6 hari setelah munculnya kuncup bunga (Gambar 3 dan Tabel 1).
Tabel 1. Rata-rata jumlah antera dan warna antera pada setiap tahap pertumbuhan
bunga lima genotipeDianthus chinensis
Genotipe
Warna antera pada satu kuncup bunga
Rata-rata jumlah antera per bunga pada tahap pertumbuhan T1 (4 hr) T2 (5 hr) T3 (6hr) T4 (7 hr) T5 (8 hr) T6 (9 hr) T7 (10 hr) Dchi-11 putih 10,0 10,0 10,0 3,9 0,9 0,0 0,0 Ungu muda 0,0 0,0 0,0 6,1 9,0 1,0 0,0 Ungu tua 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 9,0 10 Dchi-12 putih 10,0 10,0 10,0 10,0 5,2 0,0 0,0 Ungu muda 0,0 0,0 0,0 0,0 4,8 2,4 0,0 Ungu ttua 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 7,6 10,0 Dchi-13 putih 10,0 10,0 10,0 8,9 4,5 0,3 0,0 Ungu muda 0,0 0,0 0,0 1,1 5,5 8,8 0,0 Ungu tua 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,7 10,0 Dchi-14 putih 10,0 10,0 9,6 7,25 3,2 0,0 0,0 Ungu muda 0,0 0,0 0,4 2,75 4,1 0,0 0,0 Ungu tua 0,0 0,0 0,0 0,0 2,7 10 10,2 Dchi-15 putih 10,0 10,0 10,0 9,33 5,0 0,0 0,0 Ungu muda 0,0 0,0 0,0 0,67 5,0 0,5 0,0 Ungu tua 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 9,5 12
Keterangan: Data dihitung dari rata-rata 10 sampel kuncup bunga yang diambil secara acak. T1, T2 .T7 = tahap perkembangan kuncup bunga
pertama, ke dua ..ke tujuh, 4 hari, 5 hari 10 hari setelah inisiasi
bunga.
Warna antera berubah dari warna putih menjadi ungu muda, dan pada saat masak menjadi berwarna ungu tua. Perubahan warna antera ini merupakan karakter yang stabil yang terjadi pada tahap pertumbuhan kuncup bunga T3 pada semua genotipe yang diamati. Perubahan warna ini dapat digunakan sebagai penanda dengan pembandingan perkembangan serbuk sari untuk mendapatkan ciri spesifik pada saat yang tepat untuk pengambilan eksplan tanaman donor.
Pengamatan tahap perkembangan serbuk sari dilakukan dengan mewarnai serbuk sari dengan berbagai macam pewarnaan yaitu aceto-orcein, metilene blue, fuchsin dan campuran metilene blue dan fuchsin (1:1). Pewarnaan terbaik yang dapat mewarnai inti dalam serbuk sari adalah campuran metilene blue dan
fuchsin. Hasil pewarnaan serbuk sari dengan campuran antara metilene blue dan
fuchsin pada serbuk sari diperoleh bahwa tahap perkembangan T1 banyak
didominasi oleh tahap pollen mother cell (sel induk mikrospora) dan tetrad. Pada
tahap perkembangan T2 didominasi oleh mid uninucleat(tahap serbuk sari berinti
tunggal di tengah) dan tahap perkembangan T3 didominasi oleh late uninucleate.
Sedang tahap perkembangan T4, tahap di mana terjadi perubahan warna antera
yaitu inti generatif dan vegetatif) mulai muncul (Gambar 4A-D). Tahap inti
binucleateini hanya dapat dilihat dengan pewarnaan DAPI (Gambar 4F) dan tidak
dapat dilihat dengan pewarnaan campuran metilene blue dan fuchsin (Gambar 4L1).
Gambar 4. Tahap perkembangan serbuk sari. Pewarnaan mikrospora dengan
Fuchsin + Metilen-blue (A-D dan L) dan DAPI (E-K, M). (A) PMC
(pollen mother cell); (B) tetrad; (C, G) early uninucleate; (H) mid uninucleate; (D, I) late uninucleate; (E) serbuk sari dengan dua inti
identik (F) serbuk sari tahap binucleate dengan inti vegetatif (warna
pudar) dan inti generatif (warna terang). (L, M) Serbuk sari dengan ukuran yang berbeda: (1) serbuk sari berinti 1, (2) serbuk sari tanpa
inti, (3) serbuk sari berinti 2, (A D) bar = 10 µm; (G-K) bar = 15
µm (L-M) bar = 25 µm
Jumlah serbuk sari dan ukurannya
Hasil pengamatan yang dilakukan pada lima genotipe menunjukkan
bahwa rata-rata jumlah serbuk sari per antera berkisar 4000 64000 (Tabel 2).
Jumlah serbuk sari yang terkandung dalam antera akan berpengaruh terhadap