• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pseudofertilisasi menggunakan polen yang diiradiasi dengan dosis 100 Gy

Hasil penelitian pseudofertilisasi Dianthus chinensis menggunakan sinar

gamma pada dosis 100 Gy dapat menonaktifkan serbuk sari. Akibat dari serbuk sari yang non aktif menyebabkan buah gugur setelah 2 minggu, ditandai dengan berubahnya warna ovari dari warna hijau menjadi coklat. Buah harus dipanen

sebelum umur 2 minggu. Hasil penelitian Sato et al.(2000), menggunakan donor

betina Dianthus caryophyllusyang diiradiasi dengan sinar X pada level dosis 100

kRad, serbuk sari mampu berkecambah di dalam tabung polen dan dapat mencapai stilus. Pembengkakan buah terjadi satu minggu setelah penyerbukan, tetapi ovari akan mengalami aborsi pada umur 4 minggu, sehingga harus dikultur pada umur 2- 3 minggu setelah penyerbukan.

Pada percobaan ini dari 123 persilangan semu (pseudofertilisasi) yang dilakukan diperoleh dua tanaman haploid yaitu PF69.1 dan PF69.2. Pseudofertilisasi PF 69.1 memiliki daun berwarna kekuningan, dengan umur berbunga yang lambat. Persentase tanaman haploid yang diperoleh pada penelitian

ini lebih banyak jika dibandingkan dengan yang diperoleh Sato et al (2000)

dengan hasil 1 tanaman haploid ganda dari 300 pseudofertilisasi dan Dolcet-

sanjuan et al. (2001) dengan hasil 3 tanaman haploid dari 1650 pseudofertilisasi.

Tanaman yang dihasilkan dari biji hasil penyerbukan dengan serbuk sari yang

diiradiasi merupakan hasil dari tidak lengkapnya transmisi genom jantan (Peixe et

al. 2000). Menurut Sestili dan Ficcadenti (1996), iradiasi pada tingkat yang

rendah hanya merusak sebagian inti sel generatif serbuk sari saja, sehingga masih mampu berfusi dengan sel telur.

Pada tanaman apel setelah penyerbukan dengan serbuk sari yang diiradiasi menghasilkan biji yang mengandung endosperm saja atau endosperm dan embrio. Pada dosis tertentu ada kemungkinan inti sperma tunggal masih ada dalam tabung

sari sehingga mampu membuahi sel telur atau berfusi dengan inti polar (Nicoll et

al. 1987). Jika hanya menghasilkan endosperm saja dipastikan tanaman adalah

triploid, sedang jika menghasilkan embrio dan endosperm dipastikan diploid, tetapi dapat memunculkan mutan karena adanya transmisi gen dari tetua paternal. Hal ini terjadi pada hasil penelitian ini (PF42 dan PF89) yang level ploidinya adalah diploid.

Persentase terbentuknya embrio tertinggi menjadi tanaman adalah pada

umur embrio 14 HSP (24%). Hasil penelitian Sato et al. (2000) umur 3 minggu

merupakan umur maksimal ovari yang dapat dipanen, selebihnya buah akan gugur. Pada penelitian ini hasil yang diperoleh berbeda. Pada persilangan normal, 3 minggu setelah penyerbukan buah telah masak ditandai dengan berubahnya warna embrio dari putih menjadi hitam, sehingga panen buah dilakukan maksimal umur dua minggu untuk menghindari kehilangan materi. Perbedaan ini disebabkan oleh penggunaan materi induk betina yang digunakan. Pada penelitian Sato et al. (2000) yang menggunakan Dianthus caryophyllus sebagai penerima

serbuk sari, memiliki umur berbunga yang lebih lama. Tanaman kontrol yang dipanen satu minggu HSP hanya satu ovul yang mampu tumbuh. Hasil ini menunjukkan bahwa umur satu minggu buah masih terlalu muda untuk berkembang menjadi tanaman. Buah umur satu minggu biji belum masak dan berwarna putih, pada akhirnya embrio berubah menjadi coklat seperti biji masak.

Sejalan dengan pendapat Bohanec (2009) dan Musialet al. (2005) bahwa proses

pemasakan kantong embrio berlanjut selama kulturin vitro.

Perlakuan iradiasi pada serbuk sari menyebabkan DNA kromosom rusak, sehingga embrio yang dihasilkan dari serbuk sari ini hanya mengandung kromosom dari sel telur. Pada saat terbentuk embrio, kromosom dari serbuk sari yang diiradiasi ada kemungkinan dapat bergabung dengan kromosom dari sel telur, tetapi pada perkembangan embrio selanjutnya, kromosom ini dapat hilang

selama proses mitosis (Suharsonoet al., 2009).

ercobaan 2. Pseudofertilisasi menggunakan polen yang diiradiasi dengan

berbagai macam dosis sinar gamma 0 Gy, 50 Gy, 100 Gy, 200 Gy dan 300 Gy

Haploid pada Dianthus chinensis telah diperoleh melalui induksi

partenogenesis melalui persilangan dengan serbuk sari yang diiradiasi dengan sinar gamma. Dibandingkan dengan percobaan 1 dengan menggunakan spesies genotipe yang sama, pada percobaan kedua ini menggunakan metode yang sama, tetapi menggunakan laju dosis yang diperlebar sampai 300 Gy untuk mengetahui batas atas dari perlakuan dosis iradiasi. Pada percobaan 1 serbuk sari yang diiradiasi dengan sinar gamma 100 Gy hanya menonaktifkan perkecambahan serbuk sari saja, tetapi kemungkinan serbuk sari pulih dari paparan sinar radiasi gamma masih ada. Hal ini dibuktikan dengan diperolehnya tanaman variegata

(PF42), dan dua tanaman lain yaitu PF35.1 dan PF79 tidak berbunga. Hasil konfirmasi ploidi tanaman-tanaman ini adalah diploid. Hasil ini memberikan indikasi bahwa pada dosis 100 Gy walaupun seluruh serbuk sari telah non aktif, tetapi terdapat kemungkinan serbuk sari pulih kembali. Maka percobaan ke 2 ini dilakukan dengan meningkatkan dosis iradiasinya.

Pada semua dosis 100 300 Gy dapat diperoleh tanaman, tetapi

peningkatan laju dosis akan menurunkan persentase perkembangan genotipe normal dan meningkatkan genotipe yang abnormal. Meskipun pada dosis iradiasi 300 Gy diperoleh tanaman, tetapi tanaman haploid tidak diperoleh. Genotipe pada dosis 300 Gy ini tumbuh abnormal dan mati pada tahap perkembangan selanjutnya. Menurut Vassileva-Dryanovska (1966), embrio haploid dapat dihasilkan melalui dua cara berbeda. Pertama terkait dengan stimulasi inti induk betina untuk membelah melalui piknotisasi dari kromatin induk jantan. Kedua fertilisasi dari inti sel telur dirusak oleh sperma, kromatid sesudah itu tereliminasi dalam sitoplasma. Tabung serbuk sari memiliki kemampuan untuk tumbuh ke dalam kantong embrio meskipun pada level dosis yang tinggi. Fenomena ini secara teori dapat diinterpretasikan sebagai RNA dan protein RNA (banyak terdapat dalam sitoplasma serbuk sari) yang lebih tahan terhadap paparan iradiasi dari pada DNA (banyak terdapat pada inti generatif).

Perlakuan dengan dosis iradiasi tinggi (300 Gy) menghasilkan abnormalitas tanaman yang tinggi, laju kematian yang tinggi serta lambatnya pertumbuhan tanaman. Pada percobaan ke dua ini ditemukan dua tanaman haploid

(D231 dan D9.1) yang memiliki tipe pertumbuhan abnormal yang kerdil (dwarf).

Dosis sinar gamma 200 Gy pada penelitian ini diperoleh jumlah tanaman hidup dan tanaman haploid yang lebih banyak dibandingkan dengan dosis 100 Gy.

Fenomena ini dikenal dengan nama Hertwig effect (Pandey and Phung 1982).

Rendahnya pembentukan biji biasa terjadi setelah iradiasi serbuk sari dan

mencerminkan kegagalan fertilisasi (Nicoll et al. 1987). Rendahnya

perkecambahan biji terjadi karena aborsi pada kantong embrio (Chalak and Legave 1997).

enomena yang terjadi pada pseudofertilisasi

Menurut Satoet al. (2000) studi pseudofertilisasi tanaman asal kultur ovul

memiliki tiga potensi sumber atau asal usul hasil pseudofertilisasi disamping fertilisasi ovul yang sebenarnya. Potensi pertama adalah dari sel somatik tanaman

induk betina, yang berarti tanaman yang telah beregenerasi pasti identik dengan tanaman induk betina. Pada penelitian pseudofertilisasi ini tujuh tanaman haploid hasil percobaan 1 dan 2 secara morfologi berbeda dengan tanaman induk (donor ovul dan serbuk sari) dan tanaman kontrol (persilangan normal).

Potensi kedua adalah fertilisasi ovul dengan serbuk sari yang aktif terhindar dari iradiasi sinar Gamma sehingga karakter dominan dari donor serbuk sari pasti terekspresi dalam tanaman. Pada penelitian ini warna bunga dari donor serbuk sari Dchi-14 adalah ungu dengan warna merah melingkar dan tanaman induk betina Dchi-11 adalah pink. Hasil persilangan keduanya memiliki karakter warna bunga yang dominan dari tetua jantan. Hasil percobaan 1 kedua tanaman haploid masing-masing berwarna pink keputihan dan salmon, sedangkan percobaan ke 2 diperoleh lima tanaman haploid dengan kisaran warna putih sampai pink dan tidak ada cirri-ciri warna bunga dari tanaman donor serbuk sari (Dchi-14). Karena warna dasar bunga tanaman haploid tidak sama dengan tetua jantan, maka pada percobaan ini bukan mengikuti potensi kedua.

Potensi ketiga adalah ovul yang di serbuki sendiri dengan serbuk sari tanaman akan bervariasi karena materi tanaman sangat heterosigus dan turunan S1 akan bersegregasi dengan banyak karakter. Untuk membuktikan potensi ketiga ini, dicontohkan PF42 hasil percobaan 1. Penyerbukan sendiri yang dilakukan pada PF42 (berdaun variegata) menghasilkan keturunan normal yang bersegrasi baik bentuk daun maupun bentuk dan corak bunga. Daun variegata juga bersegrasi antara variegata dan daun normal. Secara teori daun variegata terkait dengan perkembangan klorofil pada tanaman yang dikendalikan secara maternal, karena klorofil terdapat dalam plastida. Daun variegata juga ditemukan lagi pada percobaan 2 yaitu C18.2, C21.4, dan E30C .

Pada percobaan ke 2 ditemukan genotipe hasil pseudofertilisasi dengan bunga yang berwarna putih, menunjukkan bahwa warna putih merupakan warna dengan kendali resesif, karena warna putih selalu tertutupi dan jarang muncul dalam persilangan kecuali dua gamet jantan dan betina yang membawa karakter resesif ada bersama-sama.

Pada percobaan 1 dan 2, hasil pemeriksaan kromosom, sel-sel haploid ada bersama-sama dengan sel-sel diploid dalam meristerm tanaman diploid. Hasil ini memberikan indikasi adanya penggandaan kromosom spontan dapat terjadi. Hasil ini dibuktikan dari analisis flow cytometer yang terdeteksi adanya dua ploidi yaitu haploid dan haploid ganda dalam satu tanaman, sehingga hasil ini menjelaskan

adanya penggandaan kromosom spontan pada tanaman haploid Dianthus chinensis. Hasil penelitian ini sama dengan yang terjadi pada penelitian Sato et al

(2000) di mana terjadi penggandaan kromosom spontan pada hasil

pseudofertilisasi, Fu et al. (2008) juga menemukan adanya penggandaan spontan

pada tanamanD. chinensishasil kultur antera.

Meskipun tanaman haploid diperoleh dari kultur ovul pseudofertilisasi tidak terlalu tinggi, tetapi metode pseudofertilisasi ini menawarkan potensi

parthenogenesisin vitroyang potensial pada tanamanD. chinensis.

⑦⑧pul⑨ ⑩m

1. Penyerbukan menggunakan serbuk sari yang diradiasi 100 200 Gy dapat

menginduksi partenogenesis Dianthus sp. menghasilkan tujuh tanaman

haploid (PF69.1, PF69.2, C11, D9.1, D9.2, D19.1 dan D231).

2. Frekuensi tanaman haploid yang diperoleh pada percobaan ke dua adalah 5,1%.

3. Diperoleh putative mutan dwarf pada D9.1 dan D231 serta mutan

❶❷ ❸❹ ❺❻ ❺❼❺❽❾❸❾❸

Dianthus chinensissebagai tanaman model

Teknologi haploid yang berkembang saat ini, berasal dari tanaman model, yang dapat dikembangkan pada tanaman komersial lain. Pola pengembangan

teknologi tersebut dilakukan pada tanaman Brassica napus cv Topaz yang

menjadi tanaman model untuk penelitian androgenesis dikotil, terutama untuk mengetahui biologi dasar pembelahan sel dan tahap awal embriogenesis (Custers

et al. 2001). Pada penelitian ini pemilihan tanaman donor Dianthus chinensis

untuk pengembangan teknologi haploid di antara tanamanDianthus sp yang lain,

didasarkan pada (1) budidaya tanamannya mudah, (2) produksi bunga setiap saat, (3) memiliki karakter sebagai penanda yang stabil, dan (4) berumur lebih pendek

dibandingkan spesies-spesies lain seperti D. caryophillus dan D. barbatus

(Sparnaaij & Koehorst-van Putten 1990).

Studi awal yang meliputi studi tahap perkembangan bunga, rasio tahap perkembangan serbuk sari, viabilitas serbuk sari, dan seleksi tanaman donor dan media dasar memberi informasi yang penting untuk pengembangan teknologi

haploid pada Dianthus chinensis. Selanjutnya kemampuan tanaman donor diuji

untuk pengembangan teknologi. Apabila memiliki peluang keberhasilan yang tinggi serta respon terhadap perlakuan yang diaplikasikan, tanaman tersebut dapat menjadi tanaman model untuk pengembangan teknologi haploid.

Dianthus chinensis Dchi-11 berwarna pink, memiliki potensi sebagai

model, karena memenuhi persyaratan tersebut. Dchi-11 memiliki jumlah serbuk sari dan viabilitas mikrospora tertinggi di antara genotipe yang diuji, sehingga selalu diikutsertakan pada pengujian-pengujian seleksi tahap perkembangan serbuk sari dan ovul. Walaupun persentase terbentuknya kalus lebih rendah dibandingkan dengan Dchi-13, tetapi Dchi-11 cepat membentuk kalus dan memiliki kemampuan beregenerasi yang lebih tinggi dibandingkan genotipe lainnya. Selain itu Dchi-11 berespon positif terhadap semua aplikasi metode androgénesis, ginogenesis dan pseudofertilisasi.

Di antara faktor endogenus, tahap perkembangan serbuk sari dan genotipe memiliki keterkaitan. Genotipe yang berbeda menunjukkan respon yang berbeda terhadap pembentukan kalus. Kompetensi ginogenik tampaknya memiliki dasar

Keberhasilan induksi haploid pada Dianthus chinensis ditentukan oleh

sistem kultur yang digunakan. Tanaman haploid atau haploid ganda dapat diinduksi dengan mengkulturkan ovul atau ovari dan ovul tanpa difertilisasi.

Metode lain seperti persilangan jarak jauh, tidak diterapkan untuk Dianthus

chinensis, karena persilangan interspesifik Dianthus chinensis mudah dilakukan.

Dengan mengacu pada hasil penelitian Fu et al. (2008) yang menguji penggunaan

media padat untuk kultur antera, penelitian pendahuluan dicoba menggunakan metode kultur sebar dengan aplikasi perlakuan berbagai macam media dan

praperlakuan suhu randah, heat shock, manitol dan penempatan tanaman pada

ruangan dengan suhu 14-20oC. Namun semua aplikasi tersebut tidak memberikan

respon yang signifikan. Kemudian metode diubah dengan menggantinya dengan kultur antera pada media padat. Hasil yang diperoleh sama dengan yang dilakukan Fuet al. (2008).

nogenesisr

Hasil penelitian kultur antera pada media padat menunjukkan bahwa media yang terbaik ialah media yang mengandung 2,4-D sebagai auksin untuk induksi kalus. 2,4-D memiliki sifat yang lebih baik dibandingkan dengan auksin lainnya, karena lebih mudah diserap sel tanaman, tidak mudah terurai dan

berfungsi mendorong aktifitas morfogenetik (Shoemakeret al.1991; Widoretnoet

al. 2003). Keseimbangan antara konsentrasi auksin dan sitokinin yang tepat dapat

mempercepat waktu inisiasi kalus. Pembentukan kalus tidak hanya dipengaruhi 2,4-D saja. Penambahan sitokinin dikombinasikan dengan auksin memacu pembentukan kalus. Kombinasi hormon sangat berpengaruh terhadap perbedaan waktu inisiasi kalus. Dalam penelitian ini penambahan TDZ atau BAP dalam konsentrasi yang rendah ke dalam media yang mengandung 2,4-Ddiperlukan untuk induksi kalus. Pemberian auksin dan sitokinin sangat menentukan bentuk dan struktur kalus. Kombinasi konsentrasi auksin dan sitokinin yang tepat akan menghasilkan kalus yang berstruktur remah (Wattimena, 1988).

Pembentukan kalus juga tergantung dari sumber eksplan maupun genotipe. Genotipe tanaman donor sangat menentukan keberhasilan pembentukan kalus

dari kultur antera. Begitu pula pada kultur antera tanaman lain, sepertiflax (Linum

usitatissimum L.) (Chen & Dribnenki 2002). Banyak penelitian yang

menunjukkan bahwa genotipe memiliki kapasitas embriogenik yang bervariasi

genotipe dalam kapasitas embriogenik mencerminkan perbedaan kemampuan mengaktifkan elemen kunci dalam lintasan embriogenik. Studi yang dilakukan pada Dianthus sp terdapat perbedaan genotipik yang signifikan untuk induksi

kalus embriogenik dan embrio somatik (Kallak et al.1997, Pareek dan Kothari

2003, Fuet al. 2008).

Regenerasi kalus Dianthus chinenesis dilakukan pada media dasar yang

sama. Pada umumnya media regenerasi ditentukan dengan menurunkan kandungan garam mineral media. Penurunan kandungan garam mineral media dasar ternyata juga dilaporkan oleh Nichterlein (2003) pada kultur antera tanaman

flax (Linum usitatissimum). Pada studi lain, penurunan kandungan bahan media

MS hingga ½ bagian menjadi kunci keberhasilan pada regenerasi dan

perbanyakan tunas dengan variasi ZPT yang digunakannya pada Prunus

domestica (Nowak et al., 2007). Pada studi ini tidak dilakukan penurunan

kandungan media dasar, tetapi dengan mengurangi auksin dan sitokinin.

➁➂nogenesis

Secara umum ginognenesis serupa dengan parthenogenesis di alam. Ginogenesis biasanya memiliki efisiensi yang rendah karena tanaman memproduksi sel telur lebih sedikit dibandingkan serbuk sari, tetapi ginogenesis sangat berguna untuk diterapkan pada spesies yang tidak efektif menerapkan

androgenesis (W dzonyet al.2009).

Perkembangan sporofitik ginogenesis diinduksi dari sel telur yang tidak difertilisasi (gamet betina). Tahap perkembangan ovul pada saat inokulasi sering tidak ditentukan. Beberapa peneliti lebih suka melakukan inokulasi pada tahap kuncup bunga atau tahap perkembangan serbuk sari. Beberapa spesies seperti juga

Dianthus chinensis memiliki tingkat kemasakan gametofit yang tidak simultan

antara jantan dan betina. Dianthus chinensis memiliki sifat protandry (antera

masak lebih dulu sebelum putik), sehingga bila menggunakan perbandingan dengan perkembangan serbuk sari akan menjadi masalah.

Tahap terbaik isolasi eksplanDianthus chinensisadalah pada tahap T7 (10

hari setelah munculnya primordia bunga/3-4 hari sebelum bunga mekar). Pada tahap ini kantong embrio telah mengalami mitosis. Pada tanaman bunga matahari, bunga memiliki kantong embrio muda tetapi sudah berkembang lengkap

sampai empat inti berkaitan dengan tahap uninukleat akhir atau binukleat awal

pada serbuk sari padi (Zhou et al 1986) merupakan tahap masak. Hasil serupa

juga diperoleh pada bawang (Musial et al. 2005) dimana kuncup bunga berukuran

kecil yang mengandung sel induk megaspora dan yang mengandung kandung embrio yang masak kurang responsif dibandingkan dengan bunga yang berukuran medium yang mengandung 2-4 inti hasil mitosis di kantong embrio.

Kebalikan dari serbuk sari bahwa kultur ovul tanpa penyerbukan mampu melanjutkan proses masaknya kantong embrio selama tahap inokulasi (Bohanec 2009). Kantong embrio memiliki sel telur haploid, secara teori juga mampu membentuk embrio haploid lain dari sel sinergid, sel antipodal dan dua inti polar yang tidak berfusi. Namun pada umumnya sel telur merupakan sumber utama dari

embrio haploid (Huang & Sunderland.1982, Ferrant & Bouharmont 1994; Musial

et al.2001, 2005).

Hasil penelitian tentang peranan praperlakuan pada induksi ginogenesis masih terbatas, sehingga pada penelitian ini tidak dilakukan pengujian praperlakuan. Namun praperlakuan diaplikasikan pada semua eksplan, karena

beberapa penelitian seperti perlakuan suhu dingin pada gandum (Sibiet al. 2001),

gula bit (Lux & Wetzel.1990) dapat menginduksi embriogenesis.

Selain itu kultur in vitro juga merupakan faktor yang menunjang

keberhasilan ginogenesis. Komposisi media dasar yang digunakan dalam androgenesis berbeda dengan ginogenesis. Pada ginogenesis penggunaan media dasar MS lebih baik dibandingkan dengan media dasar WT. Hasil ini menunjukkan bahwa formulasi media yang digunakan dalam ginogenesis lebih

banyak untuk pertumbuhan embrio haploid dari pada re-programming lintasan

gametofitik ke sporofitik. Sedangkan zat pengatur tubuh yang digunakan untuk ginogenesis merupakan faktor induksi yang pasti akan berbeda untuk setiap genotipe. Perbandingan auksin dan sitokinin lebih banyak digunakan untuk menginduksi kalus atau embrio (Bohanec 2009). Begitu pula penggunaan sumber karbohidrat (sukrosa), pada konsentrasi yang tinggi menguntungkan untuk ginogenesis terutama spesies monokotil. Sedangkan untuk tanaman dikotil kebutuhan karbohidrat rendah.

Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa faktor yang mempengaruhi keberhasilan ginogenesis di antaranya adalah penggunaan genotipe, media dasar, pemilihan dan perbandingan zat pengatur tumbuh (dalam hal ini adalah auksin

dan sitokinin). Dari penelitian ini pula diketahui bahwa pemilihan eksplan dan metode isolasi ovul juga menentukan keberhasilan ginogenesis.

Keberhasilan pembentukan embrio langsung dari kultur ovari, masih

memerlukan pengujian lebih lanjut, yaitu dengan melakukanselfinguntuk melihat

segregasi keturunanya. Walaupun pada tahap awal pemeriksaan ploidi dengan mengamati jumlah kloroplas regeneran adalah haploid dan pengujian selanjutnya regeneran adalah diploid, terdapat kemungkinan terjadi penggandaan kromosom spontan atau kemungkinan lain embrio berkembang dari jaringan nuselus.

seudofertilisasi

Percobaan 1 menghasilkan dua tanaman yang bersifat haploid yaitu

PF69.1 dan PF69.2 yang tetap dalam kondisi haploid setelah diaklimatisasi. Kedua tanaman haploid ini berasal dari ovari yang sama, tetapi masing-masing memiliki karakter yang berbeda. Hasil ini menunjukkan adanya variasi gametoklonal yang berasal dari gamet betina bervariasi. Hasil pseudofertilisasi lain yaitu PF35.1, PF79, PF42 dan PF89 adalah diploid. PF35.1 dan PF79 pada awal pengamatan memiliki jumlah kloroplas pada sel penjaga stomata haploid,

namun hasil flow cytometer adalah diploid dan kedua tanaman ini tidak

berbunga, sedang PF89 adalah diploid berdasarkan analisis flow cytometer, sampai saat ini masih di dalam botol kultur. PF42 terjadi mutasi pada progeninya, memiliki daun lebar, variegata, yang berbeda dengan daun kedua tetuanya.

Penelitian pseudofertilisasi ke dua dengan meningkatkan dosis iradiasi sampai pada dosis 300 Gy diperoleh lima tanaman haploid yang dapat berbunga yaitu C11, D231, D9.1, D9.2 dan D19.1. Penelitian pseudofertilisasi ke dua,

planlet tidak dilakukan perbanyakan in vitro untuk mendeteksi terjadinya

penggandaan spontan.

Serbuk sari yang lolos dari iradiasi, akan mentrasfer fragment DNA paternal yang mungkin mengalami mutasi ke progeninya. Transmisi gen dari paternal yang diiradiasi ini serupa dengan fertilisasi normal, dan bukan

parthenogenesis (Borrino et al. 1985). Kemungkinan yang terjadi adalah adanya

pengaturan kembali kromosom dan aneuploid. Menurut Snape et al. (1983)

peristiwa ini disebut dengan meiotic sieve yang terjadi setelah meiosis M1 yang

membatasi transmisi gen paternal. Pengaruhnya adalah hilangnya segmen kromosom (delesi) yang berakibat perubahan beberapa karakter. Pada tanaman

Nicotiana sp (Warner et al. 1984) dan gandum (Snape et al. 1983) ditemukan

tingginya tingkat aneuploid (50%).

Mutasi atau perubahan hasil dari lolosnya inaktivasi serbuk sari akibat irradiasi sinar Gamma yang dapat dilihat dari penelitian ini adalah terjadinya sterilitas dari tanaman M1 dalam bentuk tidak berkembangnya polen. Ciri adanya transmisi gen dari paternal adalah warna melingkar merah yang diwariskan dari tetua paternal seperti pada genotipe D13.1, D15.1. Sementara mutasi warna terjadi pada genotipe C21-4 yang menghasilkan warna bunga dan warna antera beserta serbuk sari berbeda dengan ke dua tetuanya, bentuk daun yang juga berbeda dari ke dua tetuanya. Warna tetua betina adalah pink dan tetua jantan adalah merah dengan warna merak tua yang melingkat di petal.

Beberapa genotipe generasi M1 memiliki warna daun variegata yaitu C18.1, C21.4 dan E30C. dari ke tiga tanaman variegata ini hanya E30C yang

bersifat variegata sejak berada dalam kultur in vitro. Secara teori warna daun

variegata merupakan karakter yang dibawa oleh genom maternal. Terjadinya perubahan pada daun kemungkinan disebabkan oleh terjadinya mutasi pada inti.

Kultur in vitro mewakili suatu kombinasi faktor stres yang dihadapi tanaman

(misalnya stres oksidatif akibat pelukaan atau pemotongan jaringan, zat pengatur tumbuh, tinggi rendahnya konsentrasi garam, tinggi rendahnya intensitas cahaya)

(Zavlatteriet al. 2010).

Geissman & Mehlquist (1947) mengidentifikasi 6 gen untuk warna dasar anyelir. Enam gen tersebut adalah Y, I, A, S, R dan M. Pada penelitian ini diduga tanaman haploid PF69.1, PF69.2 dan D9.1 yang berwarna salmon dan warna pucat adalah merupakan ekspresi dari dominansi gen Y, I dan A menghasilkan antosianin dalam jumlah terbatas karena kehadiran gen I yang epistatik terhadap