• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pseudofertilisasi menggunakan serbuk sari yang diiradiasi dengan sinar gaam pada dosis 100 Gy

Efek iradiasi pada perkecambahan serbuk sari terlihat bahwa serbuk sari yang diiradiasi pada dosis iradiasi 100 Gy menghambat perkecambahan serbuk sari (Gambar 31C) dibandingkan dengan serbuk sari yang tidak di iradiasi. Serbuk sari yang tidak diiradiasi mampu berkecambah sempurna (Gambar 31A,B). Selain itu pada dosis 100 Gy kemampuan menyerap pewarna aceto-orcein berkurang (Gambar 31E) dibandingkan dengan kontrol yang mampu menyerap pewarna aceto-orcein secara intensif (Gambar 31D). Hasil ini menunjukkan bahwa serbuk sari non aktif pada dosis iradiasi 100 Gy.

Gambar 31. Pengaruh iradiasi terhadap aktifitas serbuk sari yang dikecambahkan pada larutan sukrosa 15%. (A dan B) serbuk sari tanpa diiradiasi, berkecambah (C) serbuk sari yang diiradiasi pada dosis 100 Gy (D) penyerapan pewarna aceto-orcein yang kuat dari serbuk sari kontrol, (E) penyerapan warna aceto-orcein yang lemah dari sebuk sari yang diradiasi pada dosis 100 Gy, Bar = 10 µM.

Buah hasil penyerbukan dengan serbuk sari yang diiradiasi, dipanen mulai umur 10 sampai 21 hari. Buah yang dipanen adalah buah yang berwarna hijau, sedangkan buah berwarna coklat menandakan buah tersebut telah gugur. Dari hasil observasi diperoleh bahwa umur 14 hari merupakan umur maksimal buah dapat dipanen, selebihnya buah akan gugur. Dari sebanyak 123 persilangan yang telah dilakukan, 77 buah (62 %) dapat dipanen, 46 buah (38%) buah gugur (berwarna coklat). Dari 77 buah yang dipanen hanya 41 buah diteruskan untuk di kultur.

Perlakuan iradiasi pada serbuk sari untuk penyerbukan mampu menginduksi partenogenesis dan diperoleh tujuh poros bunga (karpel) yang membawa biji belum masak yang selanjutnya ditanam di media penyelamatan

embrio. Biji Dianthus chinensis dalam kondisi masak berwarna hitam. Jumlah

poros bunga yang membawa biji yang ditanam di media M8 sebanyak 21 dan di

A B C D E

Hasil

Percobaan 1. Pseudofertilisasi menggunakan serbuk sari yang diiradiasi dengan sinar gaam pada dosis 100 Gy

Efek iradiasi pada perkecambahan serbuk sari terlihat bahwa serbuk sari yang diiradiasi pada dosis iradiasi 100 Gy menghambat perkecambahan serbuk sari (Gambar 31C) dibandingkan dengan serbuk sari yang tidak di iradiasi. Serbuk sari yang tidak diiradiasi mampu berkecambah sempurna (Gambar 31A,B). Selain itu pada dosis 100 Gy kemampuan menyerap pewarna aceto-orcein berkurang (Gambar 31E) dibandingkan dengan kontrol yang mampu menyerap pewarna aceto-orcein secara intensif (Gambar 31D). Hasil ini menunjukkan bahwa serbuk sari non aktif pada dosis iradiasi 100 Gy.

Gambar 31. Pengaruh iradiasi terhadap aktifitas serbuk sari yang dikecambahkan pada larutan sukrosa 15%. (A dan B) serbuk sari tanpa diiradiasi, berkecambah (C) serbuk sari yang diiradiasi pada dosis 100 Gy (D) penyerapan pewarna aceto-orcein yang kuat dari serbuk sari kontrol, (E) penyerapan warna aceto-orcein yang lemah dari sebuk sari yang diradiasi pada dosis 100 Gy, Bar = 10 µM.

Buah hasil penyerbukan dengan serbuk sari yang diiradiasi, dipanen mulai umur 10 sampai 21 hari. Buah yang dipanen adalah buah yang berwarna hijau, sedangkan buah berwarna coklat menandakan buah tersebut telah gugur. Dari hasil observasi diperoleh bahwa umur 14 hari merupakan umur maksimal buah dapat dipanen, selebihnya buah akan gugur. Dari sebanyak 123 persilangan yang telah dilakukan, 77 buah (62 %) dapat dipanen, 46 buah (38%) buah gugur (berwarna coklat). Dari 77 buah yang dipanen hanya 41 buah diteruskan untuk di kultur.

Perlakuan iradiasi pada serbuk sari untuk penyerbukan mampu menginduksi partenogenesis dan diperoleh tujuh poros bunga (karpel) yang membawa biji belum masak yang selanjutnya ditanam di media penyelamatan

embrio. Biji Dianthus chinensis dalam kondisi masak berwarna hitam. Jumlah

poros bunga yang membawa biji yang ditanam di media M8 sebanyak 21 dan di

A B C D E

Hasil

Percobaan 1. Pseudofertilisasi menggunakan serbuk sari yang diiradiasi dengan sinar gaam pada dosis 100 Gy

Efek iradiasi pada perkecambahan serbuk sari terlihat bahwa serbuk sari yang diiradiasi pada dosis iradiasi 100 Gy menghambat perkecambahan serbuk sari (Gambar 31C) dibandingkan dengan serbuk sari yang tidak di iradiasi. Serbuk sari yang tidak diiradiasi mampu berkecambah sempurna (Gambar 31A,B). Selain itu pada dosis 100 Gy kemampuan menyerap pewarna aceto-orcein berkurang (Gambar 31E) dibandingkan dengan kontrol yang mampu menyerap pewarna aceto-orcein secara intensif (Gambar 31D). Hasil ini menunjukkan bahwa serbuk sari non aktif pada dosis iradiasi 100 Gy.

Gambar 31. Pengaruh iradiasi terhadap aktifitas serbuk sari yang dikecambahkan pada larutan sukrosa 15%. (A dan B) serbuk sari tanpa diiradiasi, berkecambah (C) serbuk sari yang diiradiasi pada dosis 100 Gy (D) penyerapan pewarna aceto-orcein yang kuat dari serbuk sari kontrol, (E) penyerapan warna aceto-orcein yang lemah dari sebuk sari yang diradiasi pada dosis 100 Gy, Bar = 10 µM.

Buah hasil penyerbukan dengan serbuk sari yang diiradiasi, dipanen mulai umur 10 sampai 21 hari. Buah yang dipanen adalah buah yang berwarna hijau, sedangkan buah berwarna coklat menandakan buah tersebut telah gugur. Dari hasil observasi diperoleh bahwa umur 14 hari merupakan umur maksimal buah dapat dipanen, selebihnya buah akan gugur. Dari sebanyak 123 persilangan yang telah dilakukan, 77 buah (62 %) dapat dipanen, 46 buah (38%) buah gugur (berwarna coklat). Dari 77 buah yang dipanen hanya 41 buah diteruskan untuk di kultur.

Perlakuan iradiasi pada serbuk sari untuk penyerbukan mampu menginduksi partenogenesis dan diperoleh tujuh poros bunga (karpel) yang membawa biji belum masak yang selanjutnya ditanam di media penyelamatan

embrio. Biji Dianthus chinensis dalam kondisi masak berwarna hitam. Jumlah

poros bunga yang membawa biji yang ditanam di media M8 sebanyak 21 dan di

media M10 sebanyak 20. Hasil penyelamatan embrio ini diperoleh 7 karpel (0,13%) yang berisi 10 biji belum masak dan berhasil ditanam (Tabel 15).

Tabel 15. Pengaruh media terhadap jumlah buah yang berhasil tumbuh dari ovari hasil pseudofertilisasi dengan serbuk sari yang diiradiasi dengan sinar gamma

Media Jumlah karpelyang ditanam

Jumlah ovari yang tumbuh pada berbagai pseudofertilisasi

Serbuk sari Dchi-14 Serbuk sari Dchi-13

Dchi-11 Dchi-15 Dchi-15 Dchi-14

M8 21 16 (4)* 1 (1)* 1 3

M10 20 17 (2)* 3 0 0

Keterangan : *) angka di dalam kurung adalah embrio yang berhasil tumbuh

M8=MS + 1,9 µM NAA + 4,44 µM BAP + 60 g L-1sukrosa M10 = MS + 4,52

µM 2,4-D+ 4,44 µM BAP + 30 g L-1sukrosa

Embrio mulai tumbuh menjadi tunas pada minggu ke 4 setelah kultur. Selanjutnya ovari yang ditanam diberi kode PF03, PF35, PF42, PF69, PF74, PF79, dan PF89. PF 35, PF69 dan PF74 menghasilkan dua embrio, sedangkan yang lain hanya satu embrio. Pada pertumbuhan selanjutnya PF03 mati dan PF74 terkontaminasi. Enam embrio yang tersisa dapat tumbuh langsung menjadi tunas, sedangkan embrio dari PF89 yang dipanen umur 10 hari terinduksi menjadi kalus. (Gambar 32).

Gambar 32. Embrio yang berhasil tumbuh dari enam ovari hasil pseudofertilisasi dengan serbuk sari yang diiradiasi dengan sinar gamma. (A) PF35.1 (B) PF42 (C) PF69.1 (D) PF69.2 (E) PF74 (F) PF79 dan (G) PF89. Bar = 0,5 cm ❡ ❢ ❣ ❤ ✐ ❥ ❦

Dari Tabel 15 menunjukkan bahwa kedua media perkecambahan M8 dan M10 dapat digunakan sebagai media penyelamatan embrio. Namun M8 menghasilkan persentase tumbuh embrio yang lebih tinggi dibanding M10. Jumlah sukrosa M8 lebih tinggi dan menggunakan auksin NAA sedang media M10 menggunakan auksin 2,4-D. Hal yang sama juga terjadi pada mawar

(Meynet et al. 1994) bahwa embrio dapat berkecambah di semua media uji dan

tidak ada pengaruh penggunaan hormon yang berbeda-beda. Namun sebagian besar regeneran mengalami vitrifikasi. Embrio yang berhasil tumbuh pada media M8 dan M10 pada umumnya berasal dari pseudofertilisasi menggunakan serbuk sari Dchi-14 (Tabel 16). Tidak ada satupun donor serbuk sari berasal dari Dchi-13 yang berhasil mendorong pembentukan embrio pada Dchi-14 dan Dchi-15.

Tabel 16. Jumlah embrio yang tumbuh dari setiap ovari hasil pseudofertilisasi

Kode ovari Betina Donor polen Media Jumlah embrio tumbuh

PF03 Dchi-11 Dchi-14 M8 1+ PF35 Dchi-11 Dchi-14 M8 2# PF42 Dchi-11 Dchi-14 M8 1 PF69 Dchi-11 Dchi-14 M8 2 PF74 Dchi-11 Dchi-14 M8 2* PF79 Dchi-11 Dchi-14 M10 1 PF89 Dchi-15 Dchi-14 M10 1

Keterangan: *) terkontaminasi +) planlet mati #) 1 embrio mati

M8=MS + 1,9 µM NAA + 4,44 µM BAP + 60 g L-1sukrosa M10 = MS + 4,52 µM

2,4-D+ 4,44 µM BAP + 30 g L-1sukrosa

Evaluasi tingkat ploidy

Dari total 10 embrio yang telah tumbuh terdapat 4 embrio terkontaminasi dan mati yaitu 1 embrio dari PF03, 1 embrio dari PF35 dan 2 embrio dari PF74. Genotipe PF35-1, PF42, PF69-1, PF69-2, PF79 dan PF89 dilanjutkan untuk evaluasi ploidi. Berdasarkan analisis jumlah kandungan kloropas pada sel penjaga stomata diperoleh 4 genotipe yang diduga haploid yaitu PF035-1, PF42, PF 69-1 dan PF79, sedang dua genotipe yaitu PF69-2 dan PF89 belum dapat dianalisis, karena belum membentuk daun (Tabel 17). Hasil penelitian ini sejalan dengan

hasil penelitian Yuan et al. (2009) bahwa jumlah kloroplas bervariasi pada

genotipe yang sama dengan kisaran jumlah kloropas antara 9-24 pada genotipe yang diduga haploid (Gambar 33A-E) dan 19-36 pada genotipe diploid (kontrol) (Gambar 33F). Empat genotipe yang diduga haploid dilanjutkan dengan analisis jumlah kromosom.

Tabel 17. Rata-rata dan kisaran jumlah kloroplas pada sel penjaga stomata enam

genotipe Dianthus chinensis hasil pseudofertilisasi dengan polen yang

diiradiasi sinar gamma

Genotipe Jumlah stomata yang

diamati Rata-rata jumlah kloroplas Kisaran jumlah kloroplas PF035.1 77 15,88 ± 2,47 17 - 24 PF042 144 14,42 ± 1,79 9 - 18 PF069.1 47 13,51 ± 2,45 9 - 18 PF079 21 15,57 ± 2,18 10 - 18 Kontrol 1 116 26,00 ± 3,08 19 - 36 Kontrol 2 34 25,00 ± 2,19 21 - 31

Gambar 33. Kloroplas dalam sel penjaga stomata tanaman Dianthus chinensis

hasil pseudofertilisasi: (A) PF035.1, (B) PF042, (C) PF069.1, (D)

PF69.2, (E) PF79, dan (F) diploid (kontrol) Bar =10 µm; Kromosom (G) PF35.1, (H) PF 42, (I) PF69.1, (J) PF79, (K) kontrol. Bar = 1 µm

Analisis kromosom sangat sulit dilakukan pada akar yang berasal dari

planlet in vitro, sehingga analisis jumlah kromosom menggunakan jaringan

meristem pada planlet. Berdasarkan analisis jumlah kromosom menggunakan meristem pucuk planlet diketahui bahwa empat genotipe memiliki jumlah kromosom 15 (PF35.1, PF69.1, PF69.1 dan PF79) dan jumlah kromosom 30 (PF42 dan kontrol) (Gambar 33G-K). Pada PF79 terdapat kemungkinan telah terjadi penggandaan kromosom secara spontan. (Gambar 34). Namun hasil analisis kromosom ini juga masih meragukan. Untuk memperjelas analisis ploidi ini dilakukan analisis flow cytometri.

Gambar 34. Kromosom tanaman PF79 hasil pseudofertilisasi: terdapat dua sel dengan jumlah kromosom berlainan. Jumlah kromosom 30 (panah hitam), jumlah kromosom 15 (panah merah)

Analisis dengan Flow cytometer diperoleh bahwa PF69.1 dan PF69.2 adalah haploid (Gambar 35). Pada histogram itu pula dapat dibuktikan adanya

kemungkinan penggandaan spontan, terlihat adanya peak (puncak) 4C. Analisis

dengan flow cytometer pada PF 35.1, PF42, PF79 dan PF89 menunjukkan bahwa tanaman-tanaman tersebut adalah diploid (Gambar 36 dan 37).

Gambar 35. Histogram DNA hasil analisis flow cytometer pada tanaman PF69.1 dan PF69.2 hasil pseudofertilisasi: (A) Kontrol diploid, (B) PF69-1 dan (C) PF69-2

A

B

Gambar 36. Histogram DNA hasil analisis flow cytometer pada tanaman PF89 hasil pseudofertilisasi: (A) kontrol diploid, (B) PF89 diploid

Gambar 37. Histogram DNA hasil analisis flow cytometry pada tanaman PF35.1 hasil pseudofertilisasi: (A) kontrol; (B) PF 35.1

Setelah aklimatisasi, dari enam genotipe hasil pseudofertilisasi hanya 3 genotipe (PF42, PF69.1 dan PF69.2) yang berbunga (Gambar 38). Genotipe PF42 morfologi daun dan bunga yang sangat berbeda dengan donor ovul dan serbuk

File: Anyelir Kontrol Date: 17-02-2012 Time: 09:12:43 Particles: 7401 Acq.-Time: 254 s

0 200 400 600 800 1000 0 40 80 120 160 200 FL1 - co un ts 0 200 400 600 800 1000 0 40 80 120 160 200 FL1 - co un ts partec CyFlow

File: Anyelir PF89 Date: 17-02-2012 Time: 09:22:58 Particles: 8452 Acq.-Time: 326 s

0 200 400 600 800 1000 0 40 80 120 160 200 FL1 - co u n ts 0 200 400 600 800 1000 0 40 80 120 160 200 FL1 - co u n ts partec CyFlow A 2C 2C 4C 4C Kontrol diploid B PF89 A Kontrol B PF35.1

sarinya. PF42 memiliki corak berbintik putih yang merata pada petal dengan warna petal sama dengan donor ovul. Perbedaan juga terjadi pada bentuk dan ukuran daun, tipe batang yang lebih roset dibanding dua sumber atau donor ovul dan serbuk sari. PF42 kemungkinan mengalami mutasi selama proses

penyelamatan embrio secarain vitro.

PF69.1 memiliki warna daun kekuningan, kemungkinan karena terjadi gangguan pada klorofil. Waktu berbunga tanaman ini sangat lama (11 bulan), dan bunga tidak memiliki antera. PF69.2 memiliki pertumbuhan vegetatif normal, tetapi bunga tidak memiliki antera. Dari hasil ini terlihat bahwa perbedaan antara diploid dengan haploid yang utama adalah bagian bunga. Tanaman diploid memiliki antera, sedangkan tanaman haploid tidak memiliki antera (Gambar 38L, M). .

Gambar 38. Pertumbuhan planletin vitrodan tanaman hasil pseudofertilisasi. (A) kontrol,

(B) PF35-1, (C) PF42, (D) PF69-1 (E) PF69-2, (F) PF79 (G) Tanaman hasil pseudofertilisasi umur 3 bulan setelah aklimatisasi, (H) tanaman PF42, (I) tanaman PF69.1, (J) tanaman PF69.2, (K) bunga PF42, (L) bunga PF69.1, (M) bunga PF69.2

PF35.1, PF79, PF89 memiliki pertumbuhan vegetatif roset dan tidak berbunga. PF79 dan PF89 memiliki daun yang tipis, dan peka terhadap busuk akar. Untuk mengetahui asal-usul dari PF35.1, PF42, PF79, dan PF89, maka dilakukan analisis isoenzim dan hasilnya disajikan pada Gambar 39.

Analisis isozim

Analisis isozim dilakukan dengan mengambil sampel daun PF35.1, PF 42, PF79, dan PF89. Tanaman donor ovul Dchi-11, donor serbuk sari Dchi-14 dan

salah satu keturunan hasil persilangan kedua donor tersebut (151) digunakan sebagai kontrol. Tanaman haploid akan memiliki pita yang sama atau lebih sedikit dibandingkan dengan tanaman donor betina dan tidak ada pita yang berasal dari donor serbuk sari.

Pita yang terbentuk pada isozim merupakan hasil reaksi enzimatik dari substrat dengan enzim yang diamati. Hasil analisis isozim dengan sistem enzim esterase (EST) diperoleh bahwa PF35.1 dan PF89 memiliki pita yang sama dengan induk betina Dchi-11. Hasil ini menunjukkan bahwa kemungkinan PF35.1 dan PF89 berasal dari perkembangan bagian dari sel donor betina, namun dua pita yang sama ini juga dimiliki oleh donor jantan Dchi-14. PF 79 berbeda satu pita dari donor ovulnya (pita tidak ada). Dua pita yang lain memiliki pita sama dengan donor ovul dan donor serbuk sari, namun dengan sistem enzim peroksidase (PER) PF79 memiliki pita sama dengan donor betina, dan tidak memiliki satu pita (Gambar 39, tanda anak panah). Hasil ini masih meragukan sehingga perlu diuji

melalui segregasi turuannya melaluiselfing. Namun karena tanaman ini berbentuk

roset dan tidak berbunga, sehingga tidak dapat diuji segregasinya. PF42 memiliki satu pita yang sama sekali berbeda dari Dchi-11 dan Dchi-14 baik pada sistem enzim esterase dan peroksidase, menunjukkan bahwa PF42 mengalami mutasi.

Hasilselfing dari PF42 memiliki keragaman yang tinggi pada bentuk daun, warna

daun, dan bunga (40), sehingga memberikan indikasi PF42 adalah diploid.

A B

Gambar 39. Hasil analisis isozim dengan enzim (A) esterase (EST) dan (B) peroksidase (PER) pada tanaman hasil pseudofertilisasi PF35.1, PF42, PF79 dan PF89 menggunakan serbuk sari yang diiradiasi sinar gamma 100 Gy

Dari sistem enzim peroksidase terdapat satu pita spesifik yang hanya dimiliki oleh donor jantan dan tanaman F1 (Gambar 39B, tanda panah) dan tidak

dimiliki PF35.1, PF79 dan PF79. Hasil sistem enzim peroksidase ini menunjukkan bahwa kemungkinan PF35.1, PF79 dan PF89 berasal dari donor betina Dchi11.

Gambar 40. PF42 dan progeni hasil penyerbukan sendiri tanaman PF42 hasil

pseudofertilisasi. (A) bunga PF42, (B-L) bunga progeni hasilselfing

PF42. (M) keragaman pertumbuhan PF42

ercobaan 2. Pseudofertilisasi menggunakan polen yang diiradiasi dengan